Selasa, 22 April 2025

Berikut ini puisi religius dengan nada sakral dan meditatif, terinspirasi dari konsep spiritual yang agung:

RANCANGAN TAKSU TERTINGGI

Konsepsi Tri Mandala Persembahyangan oleh Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba
di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, Linggih Ida Bhatara Mpu Gana, Pundukdawa

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

I. Prolog Sukma: Di Gerbang Waktu

Dalam sunyi kidung Sang Hyang Adi,
terdengar gema lontar kuno di Pundukdawa,
titis sinar Ida Sinuhun dari Griya Agung Bangkasa
menggores cakra takdir di atas mandala bumi,
membelah waktu, menggurat jalur suci:
Kanista, Madya, Utama —
tiga gerbang, tiga jalan pulang.

Sangkan paraning dharma,
itulah awal mula kata dan cahaya,
ketika tanah menadah klungah,
dan langit menunduk menatap tapakan jnana.



II. Mandala Pertama – Kanistaning: Nyuluh Niat

Angin pagi mengelus kelapa hijau muda,
Klungah gadang, pucat harapan dan kesiapan.
Dibalut sunyi, kaki-kaki para pemuja menjejak
pintu Simpangan Dalem Ped,
tempat niat menjadi janji,
dan janji menjadi persembahan awal.


Benang Tri Datu melingkar di pergelangan,
bagaikan ikrar di antara guna yang bertarung:
merah menggeliat dalam api rajas,
hitam membisu dalam kabut tamas,
putih terjaga dalam cahaya sattva.


Oṁ Kara pun dibaca lirih,
sebutir air suci mengalirkan peluruh maya,
meluruhkan segala kekotoran yang bertabir
di wajah sang jiwa yang baru lahir.


III. Mandala Kedua – Madyaning: Menyatukan Langkah dan Jiwa

Lalu langkah pun naik ke jantung persembahan,
Pura Ratu Pasek, gerbang kebajikan,
di mana Ida Bhatara Mpu Gana bersemayam
dalam cahaya abadi ketekunan.


Di altar, klungah nyuh bulan dipersembahkan:
putihnya laksana cahaya bulan purnama
yang mencuci setiap gelisah malam
dengan keteduhan bhakti dan sabda leluhur.


Ini adalah medan antara:
antara suara dan sunyi,
antara keinginan dan kesabaran,
antara laku dan pencerahan.


Sang pemuja tak lagi berjalan,
melainkan mengendap dalam kesadaran,
menjadi satu dengan mantra dan napas,
mewujudkan sembah sejati —
sembah rasa, bukan rupa.



IV. Mandala Ketiga – Utamaning: Puncak Kesatuan

Akhir dari perjalanan adalah kelahiran,
bukan kematian.
Di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan,
terbentang langit emas tanpa nama.
Tiada genta, tiada kata,
hanya sunya dan kilau klungah gading,
kelapa emas yang dilingkari sinar kebijaksanaan.


Dari Atman menuju Paramatman,
jiwa tak lagi bersuara
karena ia telah menjadi suara itu sendiri.
Tiada lagi “aku” yang memuja,
karena “aku” telah lebur dalam Ida Sang Hyang Widhi.


Disanalah Ida Sinuhun menuliskan
aksara tak terlihat pada udara,
menyulam semesta dalam barisan taksu,
agar setiap yang sembah
menjadi cahaya.



V. Epilog Dharma: Cahaya yang Dirancang

Tri Mandala bukan batu dan tanah,
tetapi tahap-tahap jiwa
yang menari dalam tarian semesta.
Tiga klungah bukan persembahan benda,
tetapi persembahan makna:
potensi, kejernihan, dan kematangan suci.


Rancang Ida Sinuhun bukan rancangan duniawi,
melainkan jalan kembali,
ke asal di mana kita tak lagi bernama.
Dari Bhur ke Bwah, dan Swah,
dari getar ke gema,
dari kita menuju Ida.


Sloka Penutup:
“Tṛṇād api sunīcena, taror iva sahiṣṇunā,
amāninā mānadena, kīrtanīyaḥ sadā Hariḥ”


Artinya:
Jadilah lebih rendah dari rumput,
bersabarlah seperti pohon,
tak mendamba hormat,
namun hormatilah segalanya —
maka nama-Nya akan menjadi dirimu.

Oṁ dharma-jaya jayati, yaḥ namaḥ svāhā
Semoga Taksu Tertinggi senantiasa memanggil
jiwa-jiwa yang tulus menapaki jalan suci
di lorong-lorong Pundukdawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar