Rabu, 23 April 2025

Rancangan Taksu Tertinggi

“Rancangan Taksu Tertinggi: Konsepsi Tri Mandala Persembahyangan oleh Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, Linggih Ida Bhatara Mpu Gana, Pundukdawa”



Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


Abstrak


Tulisan ini menggali makna filosofis dan spiritual dari tata alur persembahyangan yang dirancang oleh Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba dari Griya Agung Bangkasa di kawasan suci Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, Pundukdawa. Tiga tahapan suci persembahyangan — dari Kanistaning Mandala (Pura Simpangan Dalem Ped), Madya Mandala (Pura Ratu Pasek / Ida Bhatara Mpu Gana), hingga Utamaning Mandala (Pura Panataran Agung Catur Parhyangan) — menjadi simbol naiknya kesadaran jiwa menuju penyatuan dengan Dharma Agung. Penggunaan klungah (kelapa) dalam tiga warna simbolik (klungah gadang, nyuh bulan, dan klungah gading) memperkaya makna ritual dalam laku spiritual yang mendalam.


Sloka:

“Tṛṇād api sunīcena, taror iva sahiṣṇunā,

amāninā mānadena, kīrtanīyaḥ sadā Hariḥ”

(Bhagavad Gītā, 6.30)


Makna:

“Jadilah lebih rendah hati daripada sehelai rumput, bersabarlah seperti pohon, tidak mencari penghormatan tetapi menghormati semua makhluk — maka nama-Nya akan terus mengalir dalam kesadaranmu.”

Makna ini menjadi fondasi spiritual bagi tahapan persembahyangan yang tidak hanya sebagai kewajiban ritual, namun sebagai perjalanan pembebasan diri dari ego dan keterikatan duniawi.


Pendahuluan


Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, suluh dari Griya Agung Bangkasa, merupakan arsitek spiritual yang merancang laku suci persembahyangan di kawasan sakral Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, tempat linggih Ida Bhatara Mpu Gana. Konsepsi Tri Mandala yang diimplementasikan beliau tidak hanya membentuk struktur fisik pura, namun juga membentuk struktur penyadaran ruhani para pemuja yang menjalani prosesi tersebut.


1. Tahap Pertama – Kanistaning Mandala: Pura Simpangan Dalem Ped


Makna:

Tahapan awal persembahyangan sebagai ruang pembersihan lahir dan batin, tempat niat suci ditata.


Simbol:

Membawa klungah gadang — kelapa muda hijau besar, simbol potensi spiritual dan kesiapan jiwa.


Aksi Ritual:

Klungah ditunas (diberi lubang tunas) sebagai lambang awal pertumbuhan spiritual. Dilanjutkan dengan memohon benang catur datu. 

Makna dan fungsi Benang Catur Datu (empat warna: merah, putih, kuning, hitam) dalam tradisi Hindu Bali sangat dalam secara simbolis maupun fungsional. Benang ini disebut juga sebagai benang pelindung atau benang sakral, dan umumnya digunakan dalam berbagai ritual sebagai bentuk pemurnian, perlindungan spiritual, dan pengingat akan kehadiran kekuatan suci yang menyertai kehidupan manusia.


Makna Simbolik Keempat Warna (Catur Warna):

1). Merah (Brahma) – Api & Semangat

Simbol kekuatan penciptaan, energi, keberanian, dan dinamika hidup.

Merujuk pada Dewa Brahma, sang pencipta.

Arah: Selatan


2). Putih (Iswara) – Udara & Kesucian

Simbol kemurnian, kebenaran, dan keikhlasan.

Merujuk pada Dewa Iswara, penguasa kesucian dan meditasi.

Arah: Timur


3). Kuning (Mahadewa) – Tanah & Kemakmuran

Simbol keseimbangan, kebijaksanaan, dan kekayaan spiritual.

Merujuk pada Dewa Mahadewa, pelindung alam.

Arah: Barat


4). Hitam (Wisnu) – Air & Perlindungan

Simbol keteduhan, perlindungan, dan keteguhan iman.

Merujuk pada Dewa Wisnu, sang pemelihara jagat.

Arah: Utara


Fungsi Spiritual Benang Catur Datu:

A. Pelindung dari energi negatif (panca mahabhuta)

Diyakini mampu menyeimbangkan lima unsur alam (panca mahabhuta) dalam tubuh manusia dan lingkungan.

B. Simbol pemurnian lahir dan batin

Benang ini sering diikat di tangan sebagai pengingat agar perilaku kita senantiasa berada dalam koridor Dharma (kebenaran).

C. Pengikat niat suci dalam upacara

Dalam persembahyangan, benang catur datu adalah lambang pengikatan niat tulus dan kesucian hati dalam menjalani ritual spiritual.

D. Penegas identitas dan perlindungan spiritual

Pada upacara-upacara besar (manusa yadnya, dewa yadnya, dll.), benang ini digunakan sebagai pengikat simbolik terhadap kekuatan ilahi yang menyertai umat.

Benang catur datu bukan sekadar perhiasan ritual, melainkan jembatan simbolik antara manusia dengan kekuatan suci semesta. Ia adalah simpul yang mengikat niat, kesadaran, dan perlindungan dalam satu garis hidup menuju harmoni spiritual dan kesadaran dharma.


2. Tahap Kedua – Madyaning Mandala: Pura Ratu Pasek (Linggih Ida Bhatara Mpu Gana)


Makna:

Tahap penyatuan niat dengan tindakan, menjembatani kehendak batin dan manifestasi laku.


Simbol:

Membawa klungah nyuh bulan — kelapa putih, simbol kesadaran purnama, keteduhan rasa, dan kejernihan hati.


Aksi Ritual:

Dilakukan dialog batin dalam persembahyangan, menyatukan bhakti kepada leluhur dan Ida Bhatara Mpu Gana, lambang ilmu pengetahuan dan ketekunan.


3. Tahap Ketiga – Utamaning Mandala: Pura Panataran Agung Catur Parhyangan


Makna:

Tahap penyatuan total antara jiwa pribadi (Atman) dengan Jiwa Semesta (Paramatman), puncak kesadaran rohani.


Simbol:

Membawa klungah gading — kelapa kuning keemasan, simbol kematangan spiritual, kebijaksanaan, dan cahaya kesadaran penuh.


Aksi Ritual:

Persembahyangan utama di jantung pura, sebagai wujud totalitas pemujaan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Dharma Agung.


Konsep Filosofis


Tri Mandala

Konsep pembagian ruang suci dalam tiga lapisan: Kanista (paling luar), Madya (tengah), dan Utama (paling dalam). Ini bukan sekadar pembagian arsitektural, melainkan simbol tingkat kesadaran spiritual pemuja.


Tiga Klungah (Kelapa):

Klungah gadang: potensi jiwa awal.

Nyuh bulan: kesadaran dan kejernihan.

Klungah gading: kematangan dan pencerahan jiwa.


Benang Catur Datu

Benang empat warna melambangkan pengaruh kekuatan unsur semesta dan harmoni batin. Ini menjadi pengingat akan keseimbangan catur warna dalam kehidupan dan pemujaan: Brahma (merah), Wisnu (hitam), Iswara (kuning), Siwa (putih).


Penutup: Sebuah Cahaya yang Dirancang untuk Menuntun

Apa yang dirancang oleh Ida Sinuhun bukan sekadar arsitektur ritual, melainkan peta perjalanan jiwa. Pura Panataran Agung Catur Parhyangan tidak hanya tempat sembahyang, tetapi medan laku batin untuk mencapai moksha — kebebasan dari lingkaran samsara. Prosesi ini adalah latihan untuk melebur dalam kesunyian suci, menuju cahaya tertinggi Dharma.


“Oṁ dharma-jaya jayati, yaḥ namaḥ svāhā”

Semoga kemenangan Dharma senantiasa menuntun jiwa kita yang berjalan di lorong-lorong suci Pundukdawa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar