Genta Dharma di Pucak Jiwa
(Puisi Elegan Klasik Tentang Nilai Teologis Jagabaya Dulang Mangap Kearifan Lokal Bali)
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Di puncak sunyi alas dewata,
menggema genta purwa sarwa,
bunyi suci menembus maya,
menggetarkan sukma, menyentuh Swarga.
Jagabaya dulang mangap —
laksana Surya menyinari tanah,
tangan terbuka, hati tak lelah,
melindungi, memberi tanpa pamrih,
itulah yajña, api suci dalam diri.
Dānena dhanaṁ rakṣet —
"Jagalah harta dengan memberi," sabda Manawa,
maka sawah subur dan air tak surut,
jika tangan tak kikir menahan berkat.
Bhakti ring kawitan —
di depan padmasana berkepul dupa,
jejak langkah leluhur jadi jalan cahaya,
Mātṛdevo bhava, Pitṛdevo bhava —
"Anggaplah ayah ibumu sebagai dewa",
karena mereka yang dahulu ada,
adalah benih atma menuju Parama.
Eling ring bhisama —
waktu berderap, umur menua,
namun petuah tak larut bersama usia.
Śreyo hi jñānam adhikaṁ dharmāya nibaddham —
"Pengetahuan yang terikat pada dharma adalah yang utama."
Maka sabda bijak para sesepuh,
adalah kompas di samudra gelap hidup.
Satya ring sesana —
di hati yang jujur mengalir dharma,
pada sesana terpaku swadharma,
Satyaṅ kawruhaning utama dharma,
"kebenaran adalah mahkota utama," kata Sarasamucaya.
Maka lidah dijaga, janji dijunjung,
karena setiap kata adalah cermin suci.
Wirang ring pasemetonan —
di dahi leluhur tertulis warisan nama,
dan kita pewarisnya bukan sekadar darah,
tapi tanggung jawab dan kehormatan.
Lajjā śīlaṁ dayā satyaṁ —
"Empat permata: malu, etika, kasih, dan jujur."
Bila aib mengoyak tapih warisan,
maka jagad pun bersedih dalam sunyi.
Demikian genta dharma dibunyikan,
dalam upacara yang tak hanya seremoni,
tapi hidup yang menjadi pujawali.
Kearifan Bali bukanlah sekadar adat,
ia adalah susastra dharma dalam tindakan.
Ia adalah perahu jiwa menuju Moksha,
berlayar tenang dalam arus Swabhāwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar