Etika Kepemimpinan dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Dharmika: Telaah Logis dan Filosofis terhadap Praktik Penyalahgunaan Wewenang
Abstrak:
Artikel ini mengulas praktik penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa (perbekel) dalam konteks pelayanan publik, khususnya terkait perizinan usaha. Dengan mengangkat perspektif logis dan religius berdasarkan ajaran dharma dalam teks suci Hindu, artikel ini mengajak masyarakat berpikir kritis, logis, dan cerdas untuk memahami hak-haknya sebagai warga serta kewajiban pemimpin dalam menjalankan fungsi pelayanan secara adil dan benar.
Pendahuluan:
Dalam sistem pemerintahan berbasis pelayanan publik, setiap pemimpin – termasuk seorang perbekel – diharapkan menjalankan tugasnya sesuai prinsip keadilan, keterbukaan, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit oknum pemimpin yang menyalahgunakan kewenangan dengan memperumit proses perizinan meskipun warga sudah memenuhi syarat administratif.
Kasus yang dibahas:
Seorang warga ingin membuka usaha dan telah mengantongi:
1. Persetujuan tertulis dari penyanding kanan, kiri, dan belakang.
2. Tanda tangan dari kelihan dinas setempat.
Namun, proses terhenti karena perbekel menolak memberikan tanda tangan tanpa alasan jelas.
Permasalahan: Apakah tindakan perbekel tersebut dapat dibenarkan secara hukum, etika, dan dharma?
---
Pembahasan:
A. Analisis Logis
Secara administratif, warga telah memenuhi syarat dasar partisipatif dan persetujuan lingkungan. Fungsi perbekel sebagai pelayan masyarakat bukan sebagai penghambat proses. Ketika tanda tangan ditahan tanpa alasan rasional dan tertulis, ini adalah bentuk maladministrasi dan indikasi penyalahgunaan wewenang.
Logika sederhananya:
Warga = pemohon ijin dengan dokumen lengkap
Perbekel = pelayan, bukan penguasa
Jika proses dihentikan tanpa alasan, maka itu bentuk abuse of power
B. Analisis Etika dan Dharmika
Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskan:
> सर्वं परवशं दुःखं सर्वमात्मवशं सुखम्।
sarvaṁ paravaśaṁ duḥkhaṁ sarvam ātmavaśaṁ sukham
Artinya: "Segala yang bergantung pada orang lain membawa penderitaan, segala yang berada dalam kekuasaan diri sendiri membawa kebahagiaan."
Makna mendalamnya, masyarakat harus mandiri dan bebas dari ketergantungan yang bersifat menindas. Ketika pemimpin menjadi sebab penderitaan karena kekuasaan yang disalahgunakan, maka ia tidak lagi berjalan dalam jalur dharma.
Sloka lainnya dari Bhagavad Gita (III.19):
> तस्मात्सकं कर्म कौन्तेय मुक्तसङ्गः समाचर।
tasmāt saṅgaṁ tyaktvā karma kāryaṁ samācara
Artinya: "Karena itu, lakukanlah tugasmu dengan tanpa keterikatan dan demi kewajiban."
Pemimpin wajib menjalankan tugasnya karena itu adalah kewajibannya, bukan sebagai alat untuk mengeruk kekuasaan atau keuntungan pribadi.
---
Kesimpulan dan Ajakan:
Maka dari itu, kepada semeton, ayo berpikir logis dan cerdas. Jangan takut menyuarakan kebenaran. Kalau anda sebagai warga telah memenuhi semua syarat administratif, namun hak anda dihambat tanpa dasar hukum, anda wajib protes!
Salah satu prinsip utama dalam masyarakat berlandaskan dharma adalah:
> सत्यमेव जयते
satyam eva jayate
"Kebenaranlah yang akan menang."
Mari tegakkan kebenaran dengan suara yang santun tapi tegas, berpijak pada logika, aturan hukum, dan ajaran suci.
######**********########*********##
Berikut adalah sanggahan yang positif terhadap artikel “Etika Kepemimpinan dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Dharmika”:
Sanggahan Kritis dan Positif terhadap "Etika Kepemimpinan dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Dharmika"
Pendahuluan
Tulisan "Etika Kepemimpinan dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Dharmika" telah menghadirkan perspektif yang berani dan bernas dalam mengulas praktik penyalahgunaan wewenang oleh aparat desa, khususnya dalam konteks perizinan. Artikel tersebut menyoroti sisi keadilan dan etika dharma yang seharusnya menjadi pondasi dalam kepemimpinan. Namun demikian, dalam upaya memperkaya diskursus, perlu disampaikan beberapa catatan kritis untuk menjaga keseimbangan logika, tidak menggeneralisasi, serta tetap membuka ruang dialog yang membangun.
1. Jangan Mengeneralisasi dari Satu Kasus
Memang benar bahwa ada kasus di mana perbekel diduga menahan proses tanpa alasan jelas. Namun, perlu kehati-hatian agar satu kejadian tidak menggiring asumsi bahwa praktik maladministrasi adalah pola umum. Dalam konteks dharma, keadilan juga harus diberikan kepada pemimpin. Dalam Manawa Dharmasastra, juga ditegaskan pentingnya menelusuri niyata hetu (alasan yang pasti) sebelum menarik kesimpulan moral.
2. Perlu Klarifikasi dari Dua Sisi (Klarifikasi Nyata sebelum Konfrontasi)
Dalam tradisi dharma, tindakan adil dan benar baru bisa dicapai jika semua pihak diberi kesempatan menyampaikan kebenarannya. Bisa jadi penundaan oleh perbekel bukan karena kekuasaan disalahgunakan, melainkan karena ada data administratif tambahan yang belum terpenuhi, atau karena prosedur yang belum ditelaah secara mendalam.
Sloka dari Bhagavad Gītā (IV.38) menekankan:
> “Na hi jñānena sadṛśaṁ pavitram iha vidyate”
"Tak ada penyucian yang lebih agung daripada pengetahuan."
Pengetahuan yang dimaksud mencakup informasi lengkap dan utuh dari semua pihak.
3. Kepemimpinan dalam Dharma: Antara Ketegasan dan Pelayanan
Pemimpin desa, dalam struktur adat dan administrasi Bali, juga memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap keamanan, ketertiban, dan tatanan sosial lokal. Mungkin saja penolakan atau penundaan adalah bentuk kehati-hatian agar tidak timbul konflik horizontal, terutama jika usaha yang diajukan berpotensi memunculkan gesekan lingkungan. Maka, kepemimpinan dalam dharma bukan hanya soal melayani, tapi juga melindungi.
4. Mendorong Solusi, Bukan Konfrontasi
Artikel ajakan kepada masyarakat untuk “protes” bila hak dihambat tanpa alasan, memang penting sebagai bentuk partisipasi publik. Namun, dalam spirit dharma, penyampaian aspirasi mestinya diawali dengan sambang sabda (kata-kata yang penuh welas asih) dan pendekatan dialogis, bukan langsung konfrontatif.
Dalam Nitisastra disebutkan:
> “Wacika parisuddha, sabda sane madaging sujati tur nugraha ring liyan.”
(Kesucian ucapan adalah berbicara dengan kata-kata yang halus dan membawa kebaikan bagi orang lain.)
Penutup
Artikel yang disanggah sudah sangat menggugah kesadaran akan pentingnya etika dan pelayanan publik berbasis dharma. Namun, untuk menjaga keseimbangan moral, kita juga harus menempatkan prinsip pradnya (kebijaksanaan) dalam menilai semua pihak. Dharma bukan hanya berpihak pada rakyat, tetapi juga melindungi martabat pemimpin yang bekerja dengan tulus. Maka, solusi terbaik dalam dharma adalah musyawarah, bukan penghakiman.
Mari wujudkan masyarakat adil dan beradab dengan semangat:
> Dharma san hyang jagat karana
(Dharma adalah penyebab terciptanya keteraturan dunia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar