Oleh:
Markas Melawan
Abstrak
Tradisi keagamaan dan upacara adat merupakan inti dari kehidupan masyarakat Bali yang sarat makna spiritual dan identitas budaya. Namun, di tengah arus modernisasi dan birokrasi, muncul ironi ketika pejabat publik lebih sering terlihat dalam balutan adat seremonial daripada menjalankan tugas kedinasan secara optimal. Artikel ini menyoroti ketegangan antara pelaksanaan adat dan tanggung jawab negara melalui perspektif etika Hindu, dengan merujuk pada sloka-sloka suci dalam bahasa Sanskerta sebagai cermin spiritual untuk mengkritisi praktik penyalahgunaan fasilitas negara atas nama budaya. Tujuannya adalah mengembalikan pejabat publik pada jalur dharma yang sejati—melayani rakyat dengan tulus tanpa mengabaikan akar tradisinya.
1. Pendahuluan
Bali adalah tanah yadnya, tanah pengabdian yang melekat erat dengan ritual dan simbolisme. Namun, dalam konteks pejabat publik, adat seharusnya menjadi nilai pendukung dalam pengabdian kepada masyarakat, bukan alat pembenar untuk melalaikan tugas. Tanggung jawab negara (rajadharma) menuntut kesetiaan pada pelayanan, bukan sekadar tampil dalam seremonial.
2. Sloka Reflektif: Posisi Dharma dalam Tugas
Sloka:
“Svadharme nidhanam śreyaḥ, paradharmo bhayāvahaḥ”
(Bhagavad Gītā 3.35)
Transliterasi:
Svadharme nidhanam śreyaḥ, paradharmo bhayāvahaḥ.
Makna:
“Lebih baik mati dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sendiri (svadharma) daripada berhasil dalam tugas orang lain (paradharma), sebab mengikuti dharma orang lain penuh bahaya.”
Sloka ini mengingatkan bahwa dharma seorang pejabat bukanlah sekadar hadir di pura atau upacara keluarga, melainkan mengabdi secara nyata pada tugas negara. Menggantikan dharma pengabdian dengan pencitraan spiritual adalah bentuk paradharma yang menyesatkan.
3. Fenomena yang Mengkhawatirkan
Beberapa pola yang muncul dan patut dikritisi:
Kehadiran berlebihan dalam upacara tanpa urgensi kedinasan yang jelas.
Penggunaan kendaraan dinas, sopir, hingga staf ASN untuk kegiatan pribadi berkedok adat.
Penundaan pelayanan masyarakat karena agenda seremonial non-struktural.
Perilaku ini kadang dijustifikasi sebagai wujud “kedekatan dengan rakyat”, padahal substansinya nihil.
4. Ketimpangan Antara Simbol dan Substansi
Budaya Bali mengajarkan harmoni (tri hita karana), termasuk harmoni antara tugas kedinasan dengan kehidupan spiritual. Namun ketika simbol adat dijadikan topeng untuk menutupi kemandekan kerja, terjadi ketimpangan antara esensi dan tampilan. Inilah yang disebut oleh para bijak sebagai maya—ilusi yang menipu.
5. Sloka Etika Kepemimpinan
Sloka:
“Rājā dharmeṇa pālayet prajāḥ”
(Manusmṛti 7.35)
Transliterasi:
Rājā dharmeṇa pālayet prajāḥ.
Makna:
“Raja (pemimpin) hendaknya memerintah dan melindungi rakyatnya berdasarkan dharma (kebenaran dan keadilan).”
Ini adalah prinsip dasar etika publik dalam Hindu: kepemimpinan bukan tentang kehadiran fisik di altar suci, tetapi kehadiran konkret dalam penderitaan dan harapan rakyat.
6. Penutup: Kembali ke Jalan Dharma
Keseimbangan antara adat dan kedinasan hanya bisa dicapai jika pejabat publik sadar bahwa jabatan adalah seva—pengabdian. Bukan panggung pencitraan spiritual. Tradisi seharusnya memperkuat integritas, bukan menjadi celah untuk pembenaran penyimpangan. Rakyat tidak menuntut pemimpin yang selalu hadir di pura, tetapi pemimpin yang hadir dalam keputusan, tindakan, dan solusi. Karena dari sanalah śreyas—kemuliaan sejati—dilahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar