Senin, 21 April 2025

ANTARA MPU GNI JAYA DAN MPU BRADAH

“Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa sebagai Manifestasi Sinergi Spiritualitas antara Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah dalam Genealogi Leluhur Nusantara: Telaah Filosofis, Historis, dan Teosofis atas Penyatuan Nilai Dharma Leluhur oleh Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa)”



Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


Pendahuluan

Dalam lintasan panjang sejarah spiritual dan budaya Nusantara, nama-nama seperti Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah berdiri sebagai dua pilar besar dalam membentuk akar religius, sosial, dan intelektual masyarakat Bali dan Jawa. Kedua tokoh ini tidak hanya sebagai pemangku kebijaksanaan dan spiritualitas, tetapi juga sebagai titik mula genealogis bagi berbagai trah dan soroh besar di Nusantara, termasuk Maha Gotra Pasek. PASEK = Pamikukuh Sesananing Kawitan / Pamikukuh Sesanan Kawikon. 

Artikel ini hadir sebagai refleksi dan upaya menghidupkan kembali jalinan kesadaran leluhur antara Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek—tempat Ida Bhatara Mpu Gana bersemayam—dengan penyatuan konsep spiritual antara Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah sebagaimana disarikan oleh Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa). Pendekatan yang digunakan bersifat historis-filosofis dan dilengkapi dengan kutipan sloka Sanskerta sebagai penguat esensi spiritualitasnya.


1. Mpu Gni Jaya: Leluhur Catur Parhyangan dan Awal Spiritualitas Pasek

Mpu Gni Jaya adalah tokoh agung spiritual yang diyakini bersemayam di puncak Gunung Semeru, simbol api suci keilahian. Ia merupakan turunan dari Betari Manik Gni, dan melalui ketujuh putranya, menjadi cikal bakal soroh Pasek, Tangkas, dan Bendesa:

  1. Mpu Ketek
  2. Mpu Kananda
  3. Mpu Wiradnyana
  4. Mpu Withadharma
  5. Mpu Ragarunting
  6. Mpu Prateka
  7. Mpu Dangka

Mpu Gni Jaya kemudian menuju Bali dan menetap di Lempuyang Madya, menjadi bagian dari Catur Parhyangan, bersama Mpu Semeru, Mpu Kuturan, dan Mpu Gana. Dalam perjalanannya, beliau menyampaikan pesan penting kepada adiknya, Mpu Bradah:

“Adikku Mpu Bradah dan anak-anakku semua, saya akan kembali ke Bali… Sembahlah aku olehmu dan keturunan-keturunanmu sampai akhir jaman… Jangan melupakan Petirtayan Hyang Putra Jaya di Besakih.”

Pesan ini menggarisbawahi pentingnya kontinuitas spiritual dan penghormatan lintas generasi dalam menjaga hubungan antara leluhur dan keturunannya.


2. Mpu Bradah: Pewaris Dharma dan Penjaga Teks-Teks Suci

Sebagai adik Mpu Gni Jaya, Mpu Bradah menetap di Jawa dan menjadi Bhagawanta di Kerajaan Deha. Ia dikenal sebagai penjaga tatanan dharma, dan melalui garis keturunannya, lahirlah tokoh-tokoh spiritual besar Nusantara:

  • Mpu Bahula menikah dengan Dyah Ratna Manggali (putri Mpu Kuturan), melahirkan Mpu Tantular, penulis Sutasoma dengan semboyan:

    “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”

  • Danghyang Nirartha – pembawa dharma ke Bali tahun 1489 M, menurunkan empat soroh Brahmana besar.

  • Danghyang Kepakisan – leluhur Dalem-Dalem Bali, termasuk pendiri Kerajaan Gelgel dan Klungkung.

Melalui jaringan ini, Mpu Bradah mewakili kekuatan teks dan ajaran dharma yang menyebar luas ke seluruh wilayah Nusantara.


3. Sloka Spiritualitas: Menyatukan Nilai-Nilai Universal

Sebagai pemersatu spiritualitas antara dua tokoh besar ini, kita dapat merenungi sloka berikut:

सर्वे भवन्तु सुखिनः, सर्वे सन्तु निरामयाः।
सर्वे भद्राणि पश्यन्तु, मा कश्चिद् दुःखभाग्भवेत्॥

(Sarve bhavantu sukhinaḥ, sarve santu nirāmayāḥ
Sarve bhadrāṇi paśyantu, mā kaścid duḥkha-bhāgbhavet)

Makna:
“Semoga semua makhluk hidup berbahagia, sehat, melihat hal-hal baik, dan tidak menderita.”

Sloka ini mewakili nilai universal yang diyakini oleh para Mpu: bahwa spiritualitas tidak membeda-bedakan kasta, garis darah, atau status sosial—semua berasal dari satu sumber yang sama: Atman.


4. Persatuan dalam Kesadaran: Menembus Sekat Ego Genealogis

Zaman sekarang membawa tantangan berupa fragmentasi identitas—trah merasa lebih tinggi dari trah lain, kasta menjadi sekat, dan klaim kebenaran menjadi senjata sosial. Padahal, para Mpu mengajarkan kesederajatan dalam kesadaran spiritual.

Sloka:
अहं ब्रह्मास्मि
Aham Brahmāsmi
“Aku adalah Brahman (Kebenaran Mutlak)”

Makna ini menegaskan bahwa jati diri tertinggi kita tidak terletak pada label sosial, tetapi pada kesadaran.


5. Pura Penataran Agung dan Konsepsi Penyatuan oleh Ida Sinuhun

Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa adalah titik temu energi spiritual antara Ida Bhatara Mpu Gana dengan kehendak suci Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, yang menyatukan konsep Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah sebagai satu sistem kesadaran leluhur.

Pundukdawa menjadi “spiritual convergence point”—persimpangan antara api, air, tanah, dan udara dari para Mpu. Inilah bentuk nyata tirtha pusaka spiritual leluhur Nusantara, yang membentangkan jembatan antara Bali dan Jawa, antara Gunung Semeru dan Gunung Agung, antara aksara dan kesunyian.


Penutup: Menyatukan Kembali Jati Diri Leluhur

Penyatuan antara Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah bukan hanya rekonstruksi sejarah, melainkan rekonstruksi kesadaran—bahwa spiritualitas tidak pernah memecah, tapi menyatukan. Melalui pendekatan filosofis dan nilai-nilai Dharma yang diwariskan oleh para Mpu, kita diajak untuk:

  • Melebur ego genealogis
  • Menyatu dalam dharma
  • Menghidupkan kembali tirtha spiritual melalui bhakti dan pemahaman esensial

Sloka terakhir:
एकोऽहम् बहुस्याम्
Eko’ham bahusyām
“Aku adalah satu yang ingin menjadi banyak”

Semua berasal dari satu kesadaran. Ketika kita menyadari ini, kita akan melihat bahwa tak ada satupun di antara kita yang lebih tinggi atau lebih rendah—hanya sama-sama pulang menuju sumber yang satu: Brahman.

Om Santih Santih Santih Om



Puisi: "Leluhur Catur Parhyangan dan Awal Spiritualitas Pasek"

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


Di puncak Semeru, api keilahian membara,

Mpu Gni Jaya bersemayam dalam kesunyian,

Penyulut cahaya di antara awan dan api,

Purnama dalam waisak yang abadi, tak terlupakan.

Dari darah Betari Manik Gni, kekuatan spiritual mengalir,

Melalui ketujuh putra, jalan dharma terbuka lebar,

Mpu Ketek, Mpu Kananda, dan Mpu Wiradnyana,

Serta Mpu Withadharma yang luhur,

Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Mpu Dangka,

Mewariskan soroh yang agung bagi umat.


Dari Semeru yang megah, beliau berangkat,

Menjejakkan langkah di Lempuyang Madya, Bali,

Bersama Mpu Semeru, Mpu Kuturan, dan Mpu Gana,

Mengisi ruang Catur Parhyangan dengan suci.

Pesan diturunkan untuk Mpu Bradah yang terkasih:

“Sembahlah aku olehmu dan keturunanmu,

Jangan lupakan Petirtayan Hyang Putra Jaya di Besakih,

Kembali, aku akan membawa terang abadi.”


Dengan kekuatan dharma yang diwariskan,

Mpu Bradah menjaga tatanan, menuntun umat,

Di tanah Jawa, menjadi Bhagawanta Kerajaan Deha,

Menjadi penjaga teks suci, penuntun jalan hidup.

Melalui anak cucu, terbentang warisan luhur:

Mpu Bahula, Mpu Tantular yang menulis Sutasoma,

Mengukir semboyan bangsa:

“Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa,”

Keberagaman dalam satu kesatuan, ajaran yang tak terhingga.


Maka datanglah waktu, para Mpu berjejaring,

Saling menyambung dalam benang spiritual,

Di Pura Penataran Agung, titik temu jiwa,

Antara Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah,

Menyatu dalam kesadaran yang tak terhingga,

Mereka adalah satu, namun banyak dalam perwujudan,

Menyatukan api, tanah, udara, dan air,

Menjadi tirtha pusaka, tempat jiwa bertemu.


Namun zaman bergulir, fragmentasi mulai mengusik,

Ego genealogis, klaim kebenaran yang tak berujung,

Lupa bahwa kita semua berasal dari satu sumber,

Seperti sloka yang mengalun dalam kesadaran universal:

"Sarve bhavantu sukhinaḥ, sarve santu nirāmayāḥ,

Sarve bhadrāṇi paśyantu, mā kaścid duḥkha-bhāgbhavet."

Semoga semua makhluk hidup berbahagia,

Melihat hal-hal baik dan tidak menderita.


Para Mpu mengajarkan kita untuk menghapus batas,

Melebur ego dalam kesadaran yang lebih tinggi,

Bahwa spiritualitas menyatukan, bukan memecah,

Dalam bhakti, kita kembali kepada Atman yang satu,

Menghidupkan kembali tirtha yang terlupakan,

Dan melihat dunia dengan mata dharma yang jernih.

"Aham Brahmāsmi," aku adalah Brahman,

Kebenaran yang mutlak, tak terpisahkan oleh waktu dan ruang.


Dan dalam setiap langkah yang diambil,

Kita temukan kembali jati diri leluhur kita,

Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah,

Karena kita semua adalah satu dalam kesadaran,

Sebagaimana Mpu Gni Jaya dan Mpu Bradah mengajarkan,

Bahwa spiritualitas adalah persatuan jiwa,

Satu kesadaran, satu jalan, menuju Brahman yang abadi.


"Eko’ham bahusyām," aku adalah satu yang ingin menjadi banyak,

Melalui jalan dharma, kita kembali ke sumber,

Menyatu dalam keharmonisan yang tiada akhirnya,

Sebagai anak cucu leluhur, kita berjalan bersama,

Dalam kesatuan yang abadi, menuju terang yang sama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar