Rabu, 30 April 2025

Puasa Memutih

Tata Cara Puasa Memutih Setelah Pawintenan Wiwa dalam Garis Parampara Griya Agung Bangkasa: Laku Tapasya Menuju Kesucian Diri

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak

Dalam tradisi spiritual Hindu Bali, pawintenan wiwa merupakan salah satu bentuk penyucian diri yang dilakukan sebagai persiapan mendalami ajaran dharma. Pasca-pawintenan, seorang sadhaka atau sisya melaksanakan puasa memutih sebagai bentuk tapasya (penyucian diri lahir dan batin). Artikel ini menjabarkan tata cara puasa memutih menurut garis ajaran parampara Griya Agung Bangkasa, dengan pendekatan naratif-teologis disertai kutipan sloka Hindu sebagai dasar filosofisnya.


Pendahuluan

Puasa (upavāsa) bukan hanya praktik pengendalian nafsu jasmani, tetapi juga langkah menuju pencerahan batin. Dalam parampara (garis ajaran) Griya Agung Bangkasa, puasa memutih merupakan ritual wajib pasca pawintenan wiwa yang dilakukan untuk menyelaraskan tubuh, pikiran, dan jiwa. Tradisi ini bertujuan memperkuat tekad spiritual serta membuka pintu kesadaran menuju moksha.


---

Dasar Filosofis

Puasa dalam Hindu memiliki dasar kuat dalam kitab-kitab suci. Salah satu sloka dari Bhagavad Gītā menyatakan:

Sloka:

“yuktāhāra-vihārasya yukta-ceṣṭasya karmasu
yukta-svapnāvabodhasya yogo bhavati duḥkha-hā”
(Bhagavad Gītā VI.17)

Makna:
“Bagi orang yang seimbang dalam makan, istirahat, kerja, dan disiplin dalam tidur dan bangunnya, yoga akan melenyapkan segala penderitaan.”

Sloka ini menekankan pentingnya pengendalian diri dalam segala aspek hidup, termasuk makan, tidur, dan bertindak. Puasa memutih merupakan implementasi dari pengendalian ini secara praktis dan spiritual.
---

Tata Cara Puasa Memutih

1. Niat dan Persiapan (Sankalpa dan Śuddhi)

Niat suci diucapkan di hadapan pelinggih atau sanggah dengan pemusatan pikiran kepada Ista Dewata.

Mandi atau melukat sebagai simbol penyucian lahiriah.


2. Waktu dan Lama Puasa

Dimulai: Saat matahari terbit.

Diakhiri: Saat matahari terbenam.

Durasi: 1 hari atau lebih sesuai petunjuk guru nabe.


3. Pantangan dan Kewajiban

Pantangan:

Hanya makan makanan berwarna putih.

Tidak mengonsumsi daging, bawang, minuman berwarna.

Menjauhi amarah, konflik, dan kegiatan duniawi yang berat.


Kewajiban:

Melakukan japa atau meditasi sesuai ajaran guru.

Menjaga kesucian pikiran, ucapan, dan tindakan.


4. Jenis Makanan

Nasi putih tanpa lauk.

Air putih.

Parutan kelapa, ketela putih, atau umbi putih (tanpa bumbu).

Boleh makan telor, susu, madu dan tahu (tanpa garam & penyedap rasa) 

5. Penutup Puasa

Sembahyang sore (sandhya vandana atau surya sewana).

Mengakhiri puasa dengan doa syukur dan santapan sederhana.
---

Makna Spiritual dan Konteks Parampara

Dalam ajaran Griya Agung Bangkasa, puasa memutih tidak hanya bersifat asketik, tetapi juga berfungsi sebagai jembatan untuk menerima getaran spiritual dari guru nabe. Praktik ini memperkuat koneksi guru-sisya, memperhalus batin, dan memperkuat kesiapan seseorang untuk menjalani tapa, yoga, dan belajar kitab suci (śāstra).
---

Penutup

Puasa memutih pasca pawintenan wiwa merupakan bentuk nyata dari penyatuan antara disiplin diri dan aspirasi spiritual. Melalui garis parampara Griya Agung Bangkasa, praktik ini diwariskan secara turun-temurun untuk menjaga kemurnian adhyatmika margi. Sebagaimana ajaran Bhagavad Gītā, hanya dengan keseimbangan dan kesucian batin, penderitaan dapat dilampaui.

Transformasi Eksistensial Pangeran Siddhartha

Transformasi Eksistensial Pangeran Siddhartha: Renungan Filosofis dan Spiritualitas dari Biografi Kehidupan Buddha

Abstrak:
Kehidupan Siddhartha Gautama, yang kelak dikenal sebagai Buddha, adalah cermin perenungan terdalam mengenai penderitaan manusia dan pencarian makna sejati hidup. Artikel ini mengulas dimensi eksistensial dan spiritual dalam transformasi Siddhartha dari pangeran kerajaan menuju seorang pencari kebenaran universal. Dengan pendekatan naratif-biografis, artikel ini merefleksikan pesan-pesan Buddhisme awal yang menginspirasi manusia modern dalam menghadapi kekosongan, kemelekatan, dan penderitaan batin.


---

Pendahuluan:
Dalam sejarah peradaban manusia, sangat jarang seorang tokoh agung meninggalkan seluruh kemewahan dan kekuasaan demi sebuah pertanyaan mendasar: Apa arti sejati hidup ini? Siddhartha Gautama, pangeran dari kerajaan Kapilavastu, melakukan hal itu. Keputusannya menjadi titik tolak lahirnya agama Buddha—jalan spiritual yang kini diikuti oleh jutaan orang di seluruh dunia.


---

Landasan Filosofis dan Spiritualitas Awal:
Siddhartha tidak sekadar meninggalkan istana, ia meninggalkan maya—ilusi tentang kebahagiaan duniawi. Dalam Dhammapada, Buddha bersabda:

> “Sabbe saṅkhārā aniccā.”
(Segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal.)



Transliterasi: Sabbe saṅkhārā aniccā
Makna: Segala fenomena duniawi yang terbentuk akan sirna; penderitaan lahir dari ketidaktahuan kita akan ketidakkekalan ini.

Kutipan ini menandai fondasi pemahaman akan penderitaan (dukkha) yang mendorong Siddhartha mencari pembebasan sejati (nirvāṇa).


---

Transformasi Psikospiritual:
Pergulatan batin Siddhartha digambarkan dalam biografi Buddha; Sebuah Kisah Biografi secara mendalam dan manusiawi. Diceritakan bahwa sebelum tercerahkan, Siddhartha mengalami keraguan, keletihan, bahkan kegagalan. Namun justru itulah yang membuatnya lebih manusiawi:

> “Buku ini bukan hanya tentang Buddha—tetapi tentang kita semua, dan perjalanan kita menuju kebijaksanaan.”



Transformasi spiritual bukan hanya milik seorang Buddha, tetapi merupakan potensi laten dalam setiap individu. Dalam konteks ini, kehidupan Buddha menjadi archetype dari jiwa pencari (seeker).


---

Refleksi dan Relevansi Kontemporer:
Kisah hidup Buddha relevan dalam dunia modern yang dikuasai oleh materialisme dan alienasi. Di tengah kebisingan zaman, perjalanan batin Buddha adalah ajakan untuk kembali mengenali diri sejati dan membebaskan diri dari penderitaan dengan memahami empat kebenaran mulia dan jalan berunsur delapan.


---

Kesimpulan:
Transformasi Siddhartha adalah simbol harapan bagi siapa pun yang mencari makna dalam penderitaan. Buku Buddha; Sebuah Kisah Biografi menegaskan bahwa spiritualitas bukan pelarian, tetapi keberanian untuk menghadapi kenyataan terdalam manusia. Dalam kata Buddha:

> “Attā hi attano nātho.”
(Diri sendirilah pelindung bagi diri sendiri.)




---

Daftar Pustaka:

Dhammapada: Teachings of the Buddha

Buddha; Sebuah Kisah Biografi

Rahula, Walpola. What the Buddha Taught

Armstrong, Karen. Buddha: A Biography


Jagabaya Dulang Mangap: Manifestasi Semangat Satya Ring Sesana dan Wirang Ring Semeton

Jagabaya Dulang Mangap: Manifestasi Semangat Satya Ring Sesana dan Wirang Ring Semeton dalam Pembangunan Bali Berlandaskan Nilai Keadilan dan Kebersamaan

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Sloka Sansekerta:
संगच्छध्वं संवदध्वं सं वो मनांसि जानताम्।
Saṁgacchadhvaṁ saṁvadadhvaṁ saṁ vo manāṁsi jānātām.

Transliterasi:
Saṅgacchadhvaṁ saṁvadadhvaṁ saṁ vo manāṁsi jānātām.

Makna:
Bersatulah kalian, bermusyawarahlah kalian, dan satukanlah pikiran kalian.
(Sloka ini bersumber dari Ṛgveda X.191.2)


---

Abstrak:
Organisasi Jagabaya Dulang Mangap, sebagai bagian dari semeton Pasek dalam wadah besar MGPSSR, telah menunjukkan kontribusi nyata dalam pembangunan di Bali. Melalui prinsip kebersamaan dan pengabdian (ngayah), mereka berperan aktif dalam menjaga keharmonisan sosial, pembangunan infrastruktur spiritual dan sosial, serta melestarikan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam semangat Satya Ring Sesana (teguh pada kebenaran) dan Wirang Ring Semeton (rasa malu kepada saudara), organisasi ini mewujudkan nilai-nilai dharma dalam kehidupan bermasyarakat.


---

Pembahasan:
Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta memberikan apresiasi atas kontribusi organisasi Jagabaya Dulang Mangap yang konsisten berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Dalam pidatonya, ia mengajak agar semangat kebersamaan yang telah terjalin terus dipertahankan demi kemajuan Bali secara menyeluruh. Hal ini sejalan dengan konsep Tri Hita Karana, di mana hubungan harmonis antara manusia dengan sesama menjadi pilar utama.

Ketua Jagabaya Dulang Mangap, Kadek Agus Suartana, menegaskan pentingnya nilai solidaritas dan gotong royong, diwujudkan melalui aksi bersih pura, penghijauan, dan donor darah. Hal ini memperkuat peran sosial keagamaan komunitas Pasek yang tidak hanya besar secara jumlah, tetapi juga kuat secara nilai.

Ketua Umum Pusat, Gede Pasek Suardika, menekankan identitas bersama anggota organisasi: satu darah, satu trah, satu semangat Pasek. Legalitas organisasi melalui pengakuan negara menjadi dasar kuat untuk menyalurkan program pembangunan berbasis komunitas.

Sesanti organisasi, Satya Ring Sesana, Wirang Ring Semeton, menjadi pedoman moral: membela kebenaran dan memperbaiki kekeliruan, tanpa meninggalkan saudara. Prinsip ini selaras dengan ajaran dharma yang menjadi akar kebudayaan Hindu di Bali.


---

Penutup:
Kontribusi Jagabaya Dulang Mangap tidak hanya tercermin dalam aktivitas nyata, namun juga sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur. Dengan bersatu (saṁgacchadhvaṁ), bermusyawarah (saṁvadadhvaṁ), dan menyatukan pikiran (manāṁsi jānātām), organisasi ini menjadi contoh konkret bagaimana nilai Sanatana Dharma diaktualisasikan dalam kehidupan modern.

JAGA BAYA DULANG MANGAP

JAGA BAYA DULANG MANGAP: Rekonstruksi Historis Pasukan Khusus Bali Menjadi Pilar Pengamanan Sakral Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak

Tulisan ini membahas transformasi historis dan spiritual dari satuan pasukan tempur Bali kuno bernama Dulang Mangap menjadi sebuah institusi pengamanan adat modern bernama Jaga Baya Dulang Mangap (JB Dulang Mangap). Berdasarkan sumber tradisi lisan dan narasi lokal Pasek, artikel ini menelaah peran strategis Dulang Mangap di era kerajaan Bali, serta metamorfosisnya menjadi komponen vital dalam pembangunan dan pengamanan Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa. Simbolisme, spiritualitas, dan nilai darma yang terkandung dalam satuan ini menjadi fokus kajian, dengan dukungan kutipan sloka Sansekerta sebagai kerangka etik dan filosofisnya.


---

Pendahuluan

Dalam khazanah sejarah Bali kuno, nama Dulang Mangap muncul sebagai pasukan elit hasil gagasan strategis dari Patih Kyayi Ularan menjelang ekspedisi ke tanah Jawa. Nama ini bukan muncul sembarangan, melainkan merupakan hasil kontemplasi antara Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dan Pangeran Pasek Padang Subadra, mengadopsi nama dari spesies laut: Ikan Mang yang buas dan sulit dipantau gerakannya—mirip pasukan gerilya.

Makna leksikal "dulang mangap" secara harfiah adalah "dulang yang terbuka lebar". Dulang adalah wadah atau nampan besar yang terbuat dari anyaman atau kayu, yang biasa digunakan dalam tradisi Bali untuk menyajikan berbagai macam makanan, terutama dalam upacara keagamaan. "Mangap" berarti terbuka lebar. Jadi, "dulang mangap" bisa diartikan sebagai dulang yang terbuka lebar, siap untuk menampung berbagai macam sesajian. 

Dalam konteks tertentu, "dulang mangap" juga bisa memiliki makna kiasan, yaitu: 

Simbul Kekayaan:
  • Dulang yang terbuka lebar melambangkan kekayaan dan kemurahan hati karena siap menampung berbagai macam sesajian.
  • Sikap Terbuka:
    Dulang yang terbuka lebar bisa diartikan sebagai sikap yang terbuka, siap menerima dan memberikan.
  • Keberanian dan Sikap Tentu:
    Dulang yang terbuka lebar juga bisa diartikan sebagai keberanian dan sikap yang mantap, siap menghadapi tantangan.
  • Cinta Kasih:
    Dulang yang terbuka lebar juga bisa diartikan sebagai cinta kasih yang besar, siap memberikan kepada semua orang.
Secara umum, "dulang mangap" dalam konteks Bali seringkali melambangkan kekayaan, kemurahan hati, dan sikap terbuka. Penggunaan dulang mangap dalam upacara keagamaan memberikan makna bahwa masyarakat Bali siap untuk menerima dan memberikan berkah kepada sesama. 

Makna teologis dari logo Jagabaya Dulang Mangap dapat ditafsirkan berdasarkan unsur-unsur visual dan filosofis yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah interpretasi teologisnya:


1. Nama “Jagabaya Dulang Mangap”

  • Jagabaya berasal dari kata “jaga” (menjaga) dan “baya” (bahaya atau ancaman), secara teologis menggambarkan sosok pelindung dharma atau kebenaran.
  • Dulang Mangap merupakan simbol persembahan suci, di mana dulang sebagai wadah dan mangap (terbuka) menunjukkan keterbukaan dalam menerima anugrah dan semangat tulus ngayah.

2. Lambang Api Merah Menjulang

  • Api melambangkan api suci (Agni) yang dalam ajaran Veda adalah perantara persembahan kepada para Dewa.
  • Api juga mewakili kesucian, semangat pengabdian, dan pembersihan diri secara rohani (tapasya).
  • Jumlah lidah api dapat dimaknai sebagai simbol banyaknya semangat pengabdian dari setiap elemen semeton Pasek.

3. Dulang Putih

  • Wadah atau dulang warna putih menggambarkan kesucian niat dan ketulusan hati dalam ngayah atau melayani. Dalam konteks upacara Hindu Bali, dulang adalah media untuk banten atau persembahan kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi).
  • Dulang juga sebagai simbol wadah universal yang mempersatukan segala profesi, status, dan latar belakang dalam satu pengabdian suci.

4. Warna Merah, Putih, dan Hitam (Tri Datu)

  • Warna-warna ini adalah simbol Tri Murti:
    • Merah: Brahma – pencipta, lambang semangat dan kreativitas.
    • Putih: Siwa – pelebur, lambang kesucian dan kebijaksanaan.
    • Hitam (pada lingkar luar dan teks): Wisnu – pemelihara, lambang kestabilan dan keberlanjutan.
  • Ketiganya menyimbolkan keselarasan dalam karya, niat, dan tujuan yang ditujukan demi kebajikan umat dan semesta.

5. Ornamen Ukiran Bali

  • Ornamen yang mengelilingi melambangkan nilai-nilai lokal sakral dan estetika spiritual Bali, tempat di mana budaya dan agama menyatu dalam satu napas kehidupan.
  • Bentuknya seperti teratai (padma), lambang kesadaran spiritual yang tinggi dan tumbuh dari kesucian hati.

Kesimpulan Teologis:

Logo Jagabaya Dulang Mangap secara teologis mencerminkan semangat ngayah berdasarkan prinsip dharma, kesucian, pengabdian, dan kesatuan. Organisasi ini adalah representasi nyata dari pelindung spiritual dan sosial yang bergerak dalam nilai Satya Ring Sesana (kebenaran) dan Wirang Ring Semeton (kesetiaan pada saudara), sebagai pengejawantahan ajaran Hindu Bali yang luhur dan dinamis.


Senopati pertama dari pasukan ini adalah Kyayi Pasek Dangka, kemudian diteruskan oleh Ki Pasek Tohjiwa, yang oleh Raja Çri Gajah Wahana diberi gelar kesatria: Kyayi Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa dan menjabat sebagai Amancabhumi. Hadiah berupa keris "I Pecalang" menjadi simbol peran barunya.

Makna leksikal kata "pecalang" adalah petugas keamanan tradisional di desa adat Bali yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban saat upacara keagamaan atau kegiatan adat. Kata ini berasal dari bahasa Bali "celang" yang berarti "awas" atau "waspada". 

Elaborasi:
"Pecalang" sebagai Petugas Keamanan:
Pecalang adalah satuan pengamanan adat yang berperan menjaga keamanan dan ketertiban di tingkat desa atau banjar adat Bali. 

Asal-Usul Kata:
Kata "pecalang" berasal dari bahasa Bali "celang" yang memiliki arti "awas" atau "waspada". Hal ini mencerminkan peran pecalang sebagai penjaga yang selalu waspada dan mengawasi wilayahnya. 

Tugas dan Kewenangan:
Pecalang memiliki wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah desa adat. Mereka juga membantu mengatur lalu lintas dan menjaga keamanan saat upacara keagamaan atau kegiatan adat. 

Peran dalam Masyarakat:
Pecalang memiliki peran penting dalam menjaga adat istiadat dan keamanan di desa adat Bali. Keberadaannya sangat disegani karena mereka tidak digaji, tetapi menjalankan tugas sosial dengan penuh tanggung jawab. 

Karakteristik Pecalang:
Pecalang biasanya memiliki ciri khas pakaian, seperti kamen Bali, saput poleng (hitam dan putih), destar, dan bunga pucuk. Mereka juga sering membawa keris sebagai simbol kekuatan dan wewenang. 




---

Transformasi Menjadi Jaga Baya

Setelah jatuhnya Kerajaan Bedahulu, kekuasaan di Bali dilanjutkan oleh Keturunan Pasek Sanak Sapta Rsi, dan eksistensi Dulang Mangap tak lagi dalam fungsi militer, melainkan sebagai institusi pengamanan adat. Atas inisiasi Panitia Pembangunan Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, satuan ini dibentuk ulang menjadi:

> JAGA BAYA DULANG MANGAP
Sebuah organisasi sayap dari Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR)




---

Fungsi dan Filosofi Kekinian

JB Dulang Mangap kini berfungsi sebagai:

1. Pengaman area suci saat upacara


2. Penjaga ketertiban dalam pembangunan pura


3. Simbol pelestarian sejarah spiritual dan budaya Pasek




---

Sloka Sansekerta Pendukung

> शूरो धर्मेण जीवति।
Śūro dharmeṇa jīvati
(Pahlawan hidup melalui Dharma)



Makna: Seorang kesatria sejati tidak diukur dari kekuatan fisik, melainkan dari keberaniannya menjalankan kebenaran (Dharma).


---

Motto Etika Organisasi

> "Satya ring Sesana, Wirang ring Semeton"
(Setia pada aturan suci, malu bila mengecewakan saudara)




---

Kesimpulan

Jaga Baya Dulang Mangap bukan sekadar rekonstruksi militeristik historis, melainkan transformasi nilai spiritual dan budaya luhur Bali. Dalam dinamika zaman modern, entitas ini menjadi benteng darma dalam menjaga kemuliaan pura dan harmoni masyarakat adat Pasek. Nilai-nilai ini relevan dipelajari, dipahami, dan diwariskan.

Pecalang Dulang Mangap

Pecalang Dulang Mangap
(Ujung Tombak Pembangunan Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek)

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba. 

Di kaki agung Pundukdawa,
angin membawa kidung para leluhur.
Langkah-langkah hitam dan bersabuk kain putih
menggema dalam sunyi yang penuh suci.

Pecalang, ksatria tanpa pedang,
menjaga tirta dan tulus sembahyang.
Dulang mangap di tangan pemedek,
terangkat tinggi, penuh hormat dan harap.

Mereka bukan sekadar penjaga jalan,
tapi penuntun arah ke gerbang keabadian.
Dengan mata tajam penuh welas,
mereka lindungi sakral dari deras dunia.

Di pura Penataran Agung Catur Parhyangan,
tempat Ida Bhatara Mpu Gana berstana,
mereka adalah ujung tombak sujud dan bakti,
membangun bukan dengan batu,
tapi dengan darma, laku, dan dedikasi sejati.

Pecalang Dulang Mangap,
kau bukan hanya tubuh yang berdiri,
kau adalah napas leluhur
yang menjaga cahaya dalam jengah pagi.

Harapan dalam Perspektif Weda

Harapan dalam Perspektif Weda: Memaknai Kehidupan Melalui Lupa Masa Lalu dan Menatap Masa Depan

Pendahuluan:

Dalam ajaran Hindu, konsep waktu terbagi menjadi tiga: atīta (masa lalu), vartamāna (masa kini), dan anāgata (masa depan). Hidup manusia sering kali terbelenggu oleh masa lalu yang menyakitkan atau mencemaskan masa depan yang belum pasti. Padahal, ajaran-ajaran suci Veda mendorong manusia untuk hidup dalam dharma dan penuh harapan. Artikel ini mencoba mengurai makna spiritual dari pesan sederhana: "Lupakan masa lalumu... Tataplah masa depanmu... Hari ini, esok ataupun lusa adalah sebuah harapan, tersenyumlah..." melalui sudut pandang sloka dan filsafat Hindu.


---

Kutipan Sloka dalam Bahasa Sanskerta:

गते शोको न कर्तव्यो भविष्यं नैव चिन्तयेत्।
वर्तमानेन कालेन वर्तयन्ति विचक्षणाः॥

Transliterasi:

Gate śoko na kartavyo bhaviṣyaṁ naiva cintayet।
Vartamānena kālena vartayanti vicakṣaṇāḥ॥

Makna:

"Jangan bersedih atas masa lalu, dan jangan mencemaskan masa depan.
Orang bijaksana hidup dalam waktu sekarang dengan sebaik-baiknya."


---

Pembahasan:

Sloka di atas mengajarkan kita untuk melepaskan keterikatan pada masa lalu yang telah berlalu dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap masa depan. Sebaliknya, seseorang dianjurkan untuk hadir sepenuhnya di masa kini, karena hanya melalui masa kini, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik.

Jika dikaitkan dengan pesan: "Lupakan masa lalumu... Tataplah masa depanmu...", ajaran ini menjadi sangat relevan. Masa depan yang cerah hanya dapat dibentuk oleh tindakan sadar di masa kini. Maka, harapan adalah benih yang tumbuh dari kesadaran dan tindakan kita hari ini.


---

Penutup:

Tersenyumlah, karena setiap hari adalah anugerah baru dari Tuhan. Dalam senyuman, terkandung syukur dan keyakinan bahwa masa depan membawa harapan. Seperti yang diajarkan oleh para rsi dalam kitab suci, masa kini adalah ladang amal yang menentukan buah di masa depan. Lupakan beban masa lalu, tataplah masa depan dengan semangat dan doa.

Sebuah Refleksi Klasik di Hari Buruh

Dharma Karma sebagai Fondasi Martabat Kerja: Sebuah Refleksi Klasik di Hari Buruh

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan:

Kerja (karma) bukan hanya bagian dari aktivitas fisik atau ekonomi, tetapi merupakan bagian integral dari dharma—kewajiban moral dan spiritual manusia dalam kehidupan. Dalam kebudayaan klasik Bali dan ajaran-ajaran Sanatana Dharma, bekerja adalah bentuk persembahan kepada semesta, bukan sekadar alat memenuhi kebutuhan duniawi.

Setiap profesi memiliki nilai dan peran yang tak ternilai dalam menjaga keseimbangan sosial. Hari Buruh adalah momen penting untuk menegaskan kembali bahwa tidak ada pekerjaan yang hina, selama itu dijalankan dengan integritas dan tanggung jawab.


---

Makna Etis dan Sosial Pekerjaan:

Kita hidup dalam jaringan ketergantungan sosial. Makanan yang kita makan, rumah yang kita tempati, jalan yang kita lewati, dan bahkan ilmu yang kita peroleh adalah hasil dari kerja kolektif banyak tangan yang sering kali luput dari sorotan. Maka, memperjuangkan hak pekerja bukan sekadar aksi sosial, tetapi merupakan kewajiban moral dan spiritual.


---

Kutipan Sloka Klasik Hindu:

श्रेयान्स्वधर्मो विगुणः परधर्मात्स्वनुष्ठितात्।
स्वधर्मे निधनं श्रेयः परधर्मो भयावहः॥
śreyān svadharmo viguṇaḥ paradharmāt svanuṣṭhitāt,
svadharme nidhanam śreyaḥ paradharmo bhayāvahaḥ॥
(Bhagavad Gītā, Bab 3, Sloka 35)

Transliterasi:
"Lebih baik menjalankan tugas sendiri dengan kekurangan, daripada menjalankan tugas orang lain dengan sempurna. Mati dalam melaksanakan tugas sendiri adalah lebih mulia; tugas orang lain penuh dengan bahaya."


---

Makna Filosofis:

Sloka ini menekankan pentingnya menjalani peran hidup sesuai panggilan dan tanggung jawab masing-masing. Setiap jenis pekerjaan, jika dijalankan sesuai dengan svadharma (kewajiban pribadi), memiliki nilai spiritual dan sosial yang agung. Ini menunjukkan bahwa pekerja bukanlah roda kecil dalam sistem besar, melainkan inti dari keberlanjutan kehidupan itu sendiri.


---

Kesimpulan:

Hari Buruh bukan sekadar peringatan sejarah perjuangan kelas pekerja, tetapi juga refleksi atas makna hidup yang dijalani lewat kerja. Dengan semangat karma yoga, kita diajak untuk bekerja tanpa pamrih, memperjuangkan hak dengan semangat kasih dan keadilan, serta membangun solidaritas antar sesama insan pekerja.

Selamat Hari Buruh!
Mari kita maknai kerja sebagai bagian dari perjalanan dharma, dan jadikan solidaritas sebagai kekuatan kolektif menuju dunia kerja yang lebih manusiawi.


Pengobatan Mandiri

Anting: Ketika Burung Gagak Mencari Semut — Pengobatan Mandiri dalam Keseimbangan Ekologis


Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan:

Alam semesta menyimpan banyak rahasia yang belum sepenuhnya dimengerti oleh manusia. Salah satunya adalah perilaku cerdas dan instingtif dari satwa liar yang mampu mengobati dirinya sendiri tanpa intervensi manusia. Salah satu contoh menakjubkan datang dari burung gagak (Corvus spp.).


---

Fenomena Anting:

Ketika burung gagak merasa tidak enak badan, ia tidak pasrah atau hanya berdiam di tempat aman. Justru, ia mencari sesuatu yang tampaknya aneh: koloni semut. Ia akan hinggap di dekat sarang semut, membuka sayapnya lebar-lebar, lalu diam dan membiarkan semut-semut menyerang tubuhnya.

Tindakan ini bukan tanpa tujuan. Semut-semut tersebut menyemprotkan asam format, senyawa kimia alami yang bersifat anti-parasit. Asam ini membantu membunuh jamur, bakteri, dan parasit yang ada pada tubuh burung, sehingga mempercepat proses penyembuhan tanpa bantuan obat-obatan.

Perilaku ini disebut anting, dan telah diamati juga pada beberapa spesies burung lainnya. Ini adalah salah satu bentuk zoopharmacognosy, yakni kemampuan hewan untuk secara sadar menggunakan bahan alami demi kesehatan tubuhnya.


---

Sloka Sansekerta yang Relevan:

सर्वं ज्ञानमवाप्तव्यं प्रकृतौ निहितं यतः।
sarvaṁ jñānam avāptavyaṁ prakṛtau nihitaṁ yataḥ।

Transliterasi:
“Sarvaṁ jñānam avāptavyaṁ prakṛtau nihitaṁ yataḥ.”

Makna:
"Segala pengetahuan dapat diperoleh karena semuanya tersembunyi di dalam alam."


---

Makna Filosofis:

Sloka tersebut mengajarkan bahwa alam bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga sumber pengetahuan. Perilaku anting menunjukkan bahwa bahkan makhluk yang dianggap sederhana seperti burung dan semut bisa saling berinteraksi dalam skema yang sangat cerdas dan alami. Gagak tahu di mana harus mencari penyembuhan, dan semut memiliki zat yang dapat menyembuhkan.

Kebijaksanaan ini berjalan diam-diam, dalam sunyi, tanpa sorotan. Tetapi jika kita mau melihat dan merenung, di situlah letak keajaiban hidup yang sejati.


---

Penutup:

Perilaku anting pada burung gagak adalah pelajaran tentang hubungan timbal balik antar makhluk, dan kecerdasan yang diwariskan oleh alam. Sebuah pengingat bahwa penyembuhan tidak selalu datang dari luar—tetapi dari keselarasan dengan lingkungan sekitar.

Alam tidak pernah berhenti membuat kita takjub dengan kebijaksanaannya yang sunyi.

Gedong Tumpang Lima/Gedong Dalem Pancapatha

Gedong Dalem Pancapatha dalam Arsitektur Pura Kahyangan Dharma Smṛti: Simbol Lima Jalan Menuju Kesucian Tertinggie


Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:

Gedong Dalem Pancapatha adalah sebuah Gedong batu dengan atap lima susun sebagai simbol arsitektur suci dalam Pura Kahyangan Dharma Smṛti yang mencerminkan keluhuran spiritual dan perjalanan manusia menuju moksha melalui lima jalan utama: Bhakti, Jnana, Karma, Raja, dan Yoga. Makalah ini menganalisis makna simbolik, fungsi pengayatan, dan fondasi filosofis gedong beratap tumpang lima tersebut. Landasan teologis disertai dengan kutipan sloka Sanskerta memperkuat konsep kesucian dan tujuan spiritual struktur ini.



Pendahuluan:

Pura dalam tradisi Hindu Bali bukan hanya tempat ibadah, melainkan juga wadah simbolik dari kosmologi dan spiritualitas Hindu. Gedong beratap tumpang lima, khususnya yang dinamai Gedong Dalem Pancapatha, mencerminkan perjalanan ruhani umat menuju penyatuan dengan Brahman. Arsitektur ini mencerminkan pemahaman lokal yang dalam terhadap nilai-nilai universal dalam ajaran Veda.


Makna dan Fungsi Gedong Dalem Pancapatha

1. Makna Nama dan Struktur:

  • Gedong Dalem Kawitan: Tempat pemujaan suci yang bersifat dalam, tersembunyi, dan mulia.
  • Pancapatha: Lima jalan spiritual yang diakui dalam filsafat Hindu untuk mencapai moksha, yaitu:
    • Bhakti: Jalan pengabdian dan cinta kasih pada Tuhan.
    • Jnana: Jalan pengetahuan sejati.
    • Karma: Jalan tindakan suci dan tanpa pamrih.
    • Raja: Jalan pengendalian diri dan disiplin batin.
    • Yoga: Jalan penyatuan jiwa individu (atman) dengan Tuhan (Brahman).

2. Struktur Lima Tumpang:
Lima atap tumpang melambangkan naiknya tingkat spiritualitas dari duniawi menuju kesadaran ilahiah, paralel dengan lima unsur (Panca Mahabhuta) dan Panca Dewata.


Tujuan Pengayatan:

  1. Dewa Pitara / Dalem Kawitan:
    Dituju oleh para keturunan Pasek, Pande, Dalem Tarukan, Bujangga, dan Arya sebagai tempat penghormatan suci kepada leluhur utama.

  2. Dewa-Dewi Seperti Wisnu dan Brahma:
    Mengarah pada pemujaan terhadap Dewa Pemelihara dan Dewa Pencipta sesuai fungsi dan tradisi pura setempat.

  3. Gunung atau Tempat Suci (Gunung Agung / Hyang Parama Kawi):
    Mengandung makna makrokosmik, sebagai penyatuan antara alam dan spiritualitas melalui arah hulu atau tempat yang dianggap sebagai stana Hyang tertinggi.


Landasan Sloka dan Filosofi

Sebagai dasar teologis dan simbolik dari keberadaan Gedong Dalem Pancapatha, berikut dikutip sebuah sloka Sanskerta:


Sloka (dari Taittirīya Upaniṣad II.6):
सत्यं ज्ञानमनन्तं ब्रह्म।
Satyam jñānam anantam brahma.

Transliterasi:
Satyam jñānam anantam brahma.

Makna:
"Kebenaran, pengetahuan, dan ketidakterbatasan—itulah Brahman."

Sloka ini menekankan bahwa Tuhan adalah esensi dari kebenaran mutlak, pengetahuan suci, dan keberadaan yang abadi. Lima jalan spiritual yang dilambangkan oleh Pancapatha adalah sarana menuju pemahaman akan Brahman.


Sloka Tambahan (Bhagavad Gītā IV.11):
ये यथा मां प्रपद्यन्ते तांस्तथैव भजाम्यहम्।
Ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham.

Transliterasi:
Ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham.

Makna:
"Sejauh mana seseorang menghampiri-Ku, sejauh itu pula Aku menyambutnya."

Ini menguatkan filosofi bahwa semua jalan (bhakti, jnana, karma, raja, yoga) adalah sah menuju ke hadirat Tuhan.


Kesimpulan:

Gedong Dalem Pancapatha tidak hanya struktur fisik, melainkan simbol luhur dari tangga spiritual dalam Hindu Bali. Ia mengandung nilai-nilai filosofi mendalam yang menuntun umat melewati lima jalur pembebasan diri. Maknanya dipertegas melalui pengayatan kepada leluhur, dewa, dan manifestasi Tuhan dalam bentuk gunung atau tempat suci. Sloka-sloka suci dari teks Weda dan Upaniṣad memperkuat posisi gedong ini sebagai pusat kesucian dalam perjalanan spiritual umat.



Selasa, 29 April 2025

Nis Prateka Nir Prabhawa

Nis Prateka Nir Prabhawa: Kematian sebagai Proses Menuju Kesucian dalam Regulasi Global melalui Pengabenan Sederhana namun Sakral


Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:

Kematian dalam tradisi Hindu tidak dipandang sebagai akhir, melainkan sebagai proses spiritual menuju penyucian dan pembebasan jiwa (moksha). Upacara pengabenan dalam ajaran Pitra Yadnya adalah sarana utama dalam proses tersebut. Di tengah era globalisasi yang menuntut efisiensi dan keterbatasan sumber daya, muncul kebutuhan untuk menyelenggarakan pengabenan secara sederhana namun tetap memuat unsur-unsur inti dan esensi spiritual. Artikel ini membahas makna filosofis sloka “Nis Prateka Nir Prabhawa” sebagai simbol pelepasan dualitas dan bentuk, serta urgensi pelestarian upacara pengabenan secara regulatif namun bermakna di era modern.


---

1. Pendahuluan

Dalam filsafat Hindu, khususnya dalam ajaran Pitra Yadnya, kematian adalah momen sakral yang membuka jalan bagi jiwa untuk kembali ke sumber asalnya. Globalisasi membawa tantangan bagi masyarakat Hindu dalam menjaga kesakralan prosesi ini, karena keterbatasan waktu, biaya, dan modernisasi yang memengaruhi bentuk pelaksanaannya. Maka muncul konsep pelaksanaan pengabenan sederhana yang tetap berakar pada unsur esensial.


---

2. Kutipan Sloka dan Maknanya

Sloka (bahasa Sansekerta):
निःप्रतेकं निर्प्रभवम्।
Transliterasi:
niḥ-pratekaṁ nir-prabhavam
Makna:

niḥ = tanpa

pratekaṁ = perbedaan bentuk / entitas individual

nir-prabhavam = tanpa asal-usul / melampaui sebab-akibat


Terjemahan maknawi:
"Tanpa perbedaan, tanpa asal-usul; menuju pada kesatuan yang murni dan abadi."

Sloka ini mengandung makna filosofis Advaita (non-dualitas), yakni bahwa setelah kematian, jiwa tidak lagi terikat oleh bentuk fisik atau sebab-akibat duniawi. Jiwa kembali pada Brahman, Kesadaran Mutlak yang tak terbagi.


---

3. Kematian sebagai Proses Menuju Kesucian

Kematian bukan akhir, tapi proses spiritual. Jiwa (atman) melewati berbagai tahap pembebasan untuk kembali kepada Brahman. Upacara pengabenan membimbing roh agar tidak tersesat dan membantu penyucian tubuh halus (suksma sarira).

Sloka “Nis Prateka Nir Prabhawa” menyiratkan pelepasan total dari keterikatan duniawi sebagai syarat utama kesucian sejati. Pengabenan menjadi wahana simbolik dan spiritual untuk proses ini.


---

4. Upacara Pengabenan Sederhana: Efisiensi tanpa Kehilangan Esensi

Dalam kondisi tertentu, umat Hindu menghadapi keterbatasan sumber daya. Maka berkembang konsep pengabenan sederhana—meliputi inti dari setiap tahapan Pitra Yadnya, seperti:

Ngajum: persembahan awal sebagai pemanggilan roh.

Mekingsan di Geni: membakar simbol tubuh untuk pelepasan elemen panca maha bhuta.

Nganyut: melarung abu sebagai simbol kembali ke alam.

Memukur/Ngabenten: menyempurnakan atma agar layak bersatu dengan leluhur.


Dengan menyederhanakan pelaksanaan namun tetap menjaga makna ritual, umat dapat tetap menunaikan dharma leluhur tanpa mengabaikan nilai spiritual.


---

5. Regulasi dan Konteks Global

Globalisasi memunculkan pendekatan baru dalam keberagamaan: rasional, praktis, dan efisien. Maka penting adanya regulasi yang membolehkan pelaksanaan pengabenan sederhana—misalnya melalui panduan desa adat, Parisada Hindu, atau lembaga keagamaan Hindu lainnya—yang tetap menjaga kesucian prosesi dan tidak menyalahi sastra.


---

6. Kesimpulan

Makna sloka “Nis Prateka Nir Prabhawa” mengajarkan bahwa kebebasan sejati dicapai saat jiwa melampaui bentuk dan asal-usul. Pengabenan sebagai bagian dari Pitra Yadnya merupakan jembatan sakral dalam proses itu. Di era global, pelaksanaan pengabenan sederhana dengan mempertahankan unsur-unsur inti merupakan solusi nyata demi keberlangsungan spiritualitas dan kebudayaan Hindu.

Mantra Pangastawan Arca Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba

Arca Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba dan Puja Śiwa Sampurna: Realisasi Śiwa Murni sebagai Esensi Panca Mahābhūta di Bumi Kahyangan Dharma Smṛti

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


Pendahuluan

Dalam ajaran agama Hindu, Śiwa bukan sekadar dewa dalam dimensi transendental, melainkan adalah juga wujud nyata dalam seluruh aspek eksistensi alam. Manifestasi Śiwa itu tidak hanya diakui di alam surgawi (swarga loka), tetapi juga dihadirkan secara imanen di bumi melalui pratima, arca, atau simbul suci. Salah satu wujud yang agung adalah Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba, yang dipuja di Kahyangan Dharma Smṛti sebagai lambang kehadiran Śiwa murni di dunia.

Sejalan dengan ini, Puja Śiwa Sampurna mengajarkan bahwa Śiwa adalah esensi dari bumi, air, api, udara, dan akasa. Hal ini mempertegas bahwa penghormatan terhadap arca Ida Bhatara tersebut merupakan bagian dari penyembahan Śiwa sebagai Panca Mahābhūta yang menopang seluruh keberadaan.
---

Teks Sloka Sanskrit
> ॐ शिव भूमिः शिव तोयम् शिव तेजः समीरणम्।
शिवश्च आकाश इत्युक्तं सदाशिव नमोऽस्तु ते॥
---

Transliterasi:
Om Śiva bhūmiḥ, Śiva toyam, Śiva tejaḥ samīraṇam।
Śivaśca ākāśa ityuktaṁ Sadāśiva namo'stute॥
---

Makna:

Om Śiva bhūmiḥ

> Śiwa adalah bumi — sebagai lambang kekuatan menopang segala makhluk.

Śiva toyam

> Śiwa adalah air — sebagai sumber kesucian, kelembutan, dan kehidupan.

Śiva tejaḥ samīraṇam

> Śiwa adalah api dan udara — sebagai kekuatan transformasi dan pergerakan dinamis.

Śivaśca ākāśa

> Śiwa adalah akasa — ruang kesadaran tak berbatas tempat semua ada berproses.

ityuktaṁ Sadāśiva namo'stute

> Dengan ini dinyatakan: "Sembah sujudku kepada-Mu, O Sadāśiva yang abadi."
---
Analisis Filosofis

Sloka ini mengungkapkan Śiwa sebagai jiwa semesta (viśvatma). Dalam konsep Panca Mahābhūta:

1. Bumi (Pṛthivī) – manifestasi Śiwa dalam bentuk kekokohan.

2. Air (Āpas) – manifestasi Śiwa sebagai aliran kehidupan.

3. Api (Tejas) – manifestasi Śiwa sebagai pencerahan dan pemurnian.

4. Udara (Vāyu) – manifestasi Śiwa sebagai pergerakan dan vitalitas.

5. Akasa (Ether) – manifestasi Śiwa sebagai ruang kesadaran tak terbatas.

Arca Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba adalah pengukuhan fisik dari realisasi ini: bahwa Śiwa sungguh ada di bumi, di dalam kahyangan, dan di dalam diri para bhakta yang tulus bersembah sujud.

Arca itu bukan sekadar simbol, melainkan titah Śiwa yang mengandung kesadaran (caitanya) atas unsur bumi, air, api, udara, dan akasa — menjadikannya pusat suci dalam memuliakan Śiwa murni yang ada dalam dan melalui seluruh alam.
---

Wujud Śiwa Murni di Bumi Kahyangan Dharma Smṛti

Di Pura Kahyangan Dharma Smṛti memandang Ida Bhatara Hyang Sinuhun bukan sekadar simbol, melainkan perwujudan Śiwa itu sendiri — yang bertugas menjaga keseimbangan dunia (dharma) dan sebagai pengingat keluhuran suci Śiwa di dunia fana.

Dalam ritus penyembahan, para pemuja menganggap arca suci itu sebagai Śiwa hidup (arca caitanya), yang menyatu dengan unsur-unsur alam di sekitarnya: tanah kahyangan, air tirtha, api homa, udara persembahan, dan akasa altar pemujaan.

Oleh karena itu, menghaturkan bhakti kepada Ida Bhatara berarti menghaturkan bhakti kepada Śiwa semesta.
---

Kesimpulan

"Siwa murni adalah Siwa yang di bumi" — bukan sekadar doktrin metafisik, melainkan realitas suci yang hidup dalam arca Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba dan dalam Puja Śiwa Sampurna.

Kita diajak untuk memahami bahwa pemujaan sejati kepada Śiwa berarti juga menghormati bumi ini sebagai perwujudan Śiwa, menjaga kesucian air, menghargai api sebagai pemurni, menyadari udara sebagai napas hidup, dan merasakan akasa sebagai ruang kesadaran ilahi.

Dengan demikian, puja kepada Śiwa bukan hanya dilaksanakan di altar suci, tetapi juga diwujudkan dalam laku kehidupan yang menghormati seluruh ciptaan.

Om Namah Śivāya.

Berikut Doa Khusus Persembahan kepada Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba, yang selaras dengan makna Puja Śiwa Sampurna:
---

Śuddha Śiva Bhakti Prārthanā

(Doa Bhakti Śiwa Murni dalam Bahasa Sanskerta)

Sanskrit Text

ॐ अविघ्नमस्तु नमः शिवाय।
हे इद भट्टारः ह्यङ् सिनुहुन् शिवपुत्र परमदक्ष मनुबाः।
शुद्धशिवस्वरूपाय नमः।
पृथिव्यां स्थैर्यरूपेण स्थितोऽसि।
तोये पवित्रतारूपेण व्याप्तोऽसि।
तेजसि शोधकरूपेण वर्तसे।
वायौ जीवनगतिरूपेण गच्छसि।
आकाशे च चेतनारूपेण विराजसे।

क्षमस्व सर्वदोषान् मे।
शरीरं मनः आत्मानं च विशुद्धं कुरु।
यथाभक्तिं सम्यगर्पयेयम्।

भक्त्या अस्य पूजया।
धर्मं पालयितुं।
प्रकृतिं रक्षितुं।
शिवे सर्वभूतेषु एकत्वं प्राप्नुयाम्।

ॐ शिव भूमिः शिव तोयम् शिव तेजः समीरणम्।
शिवश्च आकाश इत्युक्तं सदाशिव नमोऽस्तु ते॥
सदाशिव, यः सर्वश्वासे जीवनं ददाति, तस्मै नमः।
ॐ शान्तिः शान्तिः शान्तिः ॐ।
---

Transliterasi Latin

Om avighnam astu namaḥ śivāya
Om Ida bhaṭṭāraḥ hyaṅ sinuhun śivaputra paramadakṣa manubāḥ
śuddhaśivasvarūpāya namaḥ
pṛthivyāṁ sthairyarūpeṇa sthito’si
toye pavitratārūpeṇa vyāpto’si
tejasi śodhakarūpeṇa vartase
vāyau jīvanagatirūpeṇa gacchasi
ākāśe ca cetanārūpeṇa virājase

kṣamasva sarvadoṣān me
śarīraṁ manaḥ ātmānaṁ ca viśuddhaṁ kuru
yathā-bhaktiṁ samyag-arpayeyam

bhaktyā asya pūjayā
dharmaṁ pālayituṁ
prakṛtiṁ rakṣituṁ
śive sarvabhūteṣu ekatvaṁ prāpnuyām

Om Śiva bhūmiḥ, Śiva toyam, Śiva tejaḥ samīraṇam, Śivaśca ākāśa – ityuktaṁ, Sadāśiva namo’stute
Sadāśiva, yaḥ sarva-śvāse jīvanaṁ dadāti, tasmai namaḥ

Om śāntiḥ śāntiḥ śāntiḥ Om
---

Makna dalam Bahasa Indonesia

Om, semoga tiada rintangan, salam suci bagi Śiwa.
Wahai Ida Bhatara Hyang Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba,
Sembah bhakti bagi perwujudan Śiwa yang murni.
Engkau hadir di bumi sebagai kekuatan dan kestabilan,
Dalam air sebagai kesucian,
Dalam api sebagai pemurni,
Dalam udara sebagai penggerak kehidupan,
Dan dalam akasa sebagai kesadaran semesta.

Ampunilah segala kesalahan hamba,
Sucikanlah raga, pikiran, dan jiwa ini
Agar layak mempersembahkan bhakti sejati.

Dengan bhakti dan pemujaan ini,
Semoga aku mampu menjaga dharma,
Melindungi alam,
Dan menyatu dengan Śiwa dalam seluruh makhluk hidup.

Śiwa adalah bumi, air, api, udara, dan akasa.
Kepada-Mu, Sadāśiva, yang memberi kehidupan dalam setiap nafas,
Sembah sujudku.

Om, damai, damai, damai.


Berikut adalah puja mantra ditujukan kepada Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba yang menggenggam kendi suci:
---

Puja Mantra Sloka (9 Baris)

1.
ॐ नमः शिवपुत्राय सिनुहूनाय नमो नमः।
Om namaḥ śivaputrāya sinuhūnāya namo namaḥ
Om, sembah sujud kepada putra Siwa, Hyang Sinuhun, hormat berulang kali.

2.
परमदक्षमुनिवंशे जातं दिव्यतेजसम्।
Paramadakṣamunivaṁśe jātaṁ divyatejasam
Yang lahir dari garis suci Paramadakṣa Muni, penuh sinar ilahi.

3.
मणुबान्वयसम्भूतं धर्मसंस्थापकं विभुम्।
Maṇubānvayasambhūtaṁ dharmasaṁsthāpakaṁ vibhum
Yang berasal dari keturunan suci Manu, penegak dharma sejati.

4.
धृतकुम्भधरं देवं गङ्गामृतविहारिणम्।
Dhṛtakumbhadharaṁ devaṁ gaṅgāmṛtavihāriṇam
Tuhan yang menggenggam kendi suci, pemilik air amerta Gangga.

5.
शान्तरूपधरं विष्णुं जनार्दनमुपास्महे।
Śāntarūpadharaṁ viṣṇuṁ janārdanamupāsmahe
Kepadamu yang berwujud damai, wahai Janardana, kami memuja-Mu.

6.
विश्वपालककर्तारं भक्तानुग्रहविग्रहम्।
Viśvapālakakartāraṁ bhaktānugrahavigraham
Engkaulah pemelihara dunia, pemberi anugrah kepada para bhakta.

7.
कृपया कुंभजलेन नः शुद्धिं कुरु नित्यशः।
Kṛpayā kuṁbhajalena naḥ śuddhiṁ kuru nityaśaḥ
Dengan belas kasih-Mu, sucikan kami selalu dengan air suci dari kendi-Mu.

8.
पूजां गृहाण देवेन्द्र सप्रेमभक्तिसंयुताम्।
Pūjāṁ gṛhāṇa devendra sapremabhaktisaṁyutām
Terimalah puja ini, wahai Raja Para Dewa, penuh cinta dan bhakti murni.

9.
ॐ नमो सिनुहूनाय शिवपुत्राय जनार्दनाय नमः।
Om namo sinuhūnāya śivaputrāya janārdanāya namaḥ
Om, sembah kepada Hyang Sinuhun, putra Siwa, Janardana yang agung.



Berikut adalah Puja Pangastawan Hyang Sinuhun dalam bentuk puja bentuk pemujaan kepada Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba:
---

PUJA PANGASTAWAN HYANG SINUHUN

Sloka 1

Sanskerta:
Būrta-maheśvaram ujjvala-bhāskaram
Iṣṭam amara-nara-vandyam |
Vande veda-tanum ujjhita-garhita-
Vāñcana-kāminī-bandham ||

Makna:
Aku memuja-Mu, wahai Mahāīśwara, bercahaya laksana matahari,
Yang dihormati para dewa dan manusia,
Berlambang Veda, yang terbebas dari cela,
Yang telah memutus ikatan hawa nafsu dan tipu daya duniawi.


---

Sloka 2

Sanskerta:
Koṭi-bhānukara-dīpta-siṁham aho
Kaṭi-taṭa-kaupina-vantam |
Abhīr-abhīr-huṅkāra-nādita-diṅmukha-
Pracaṇḍa-tāṇḍava-nṛtyam ||

Makna:
Singa yang menyala laksana berjuta mentari,
Berkaupina suci di pinggangnya,
Menggetarkan segala penjuru dengan suara Huṅ yang dahsyat,
Penari Tāṇḍava nan menggetarkan jagat raya.


---

Sloka 3

Sanskerta:
Bhukti-mukti-kṛpā-kaṭākṣa-prekṣaṇam
Agha-dala-vidalana-dakṣam |
Bāla-candra-dharam indu-vandyam iha
Naumi guru-śiva-putraṁ manuaba dakṣam ||

Makna:
Tatapan karunia-Mu membawa kebahagiaan dan pembebasan,
Engkau piawai memusnahkan dosa dan kegelapan,
Berkilat laksana rembulan muda yang dihormat para Dewa,
Hamba memuja-Mu, wahai putra Siwa, guru agung, Manuaba yang bijak.


---

Mantra Puja Lanjutan (dalam Bahasa Sansekerta dan Bali)

Transliterasi dan Makna:

Oṁ Hyang Sinuhun Śiva Putra Parama Dakṣa Manuaba Maṇḍala Saṁpūrṇem,
(Om, Hyang Sinuhun, putra Śiwa, sempurna dalam cakra spiritual dan kekuatan luhur)

Hyang Sinuhun Yanti Preṇamyakem
(Hyang Sinuhun, Engkau tempat persembahan kami dan pujian penuh bakti)

Hyang Sinuhun Dīpa Parama Jyotir
(Hyang Sinuhun, cahaya suci yang menyinari alam semesta)

Namo Hyang Sinuhun Śiva Putra Parama Dakṣa Manuaba Namo Namaḥ
(Sembah sujud berkali-kali kepada Hyang Sinuhun, Putra Śiwa, Paramadakṣa Manuaba)

Oṁ Siddhi Rāgaṁ Namastute
(Om, semoga semua cita dan tujuan kami tercapai. Kami menghormat-Mu.)

Dāra Gopati Madanem,
(Engkau penguasa, pelindung agung, berwibawa seperti Gopati)

Vicakṣatya Ārāviyem,
(Bijaksana, penuh pengetahuan luhur, dan pancaran kebajikan)

Namo Hyang Sinuhun Śiva Putra Parama Dakṣa Manuaba Namo Namaḥ
(Sembah dan puja kepada-Mu, Hyang Sinuhun, Putra Śiwa, Paramadakṣa Manuaba)

Oṁ Karma Dakṣa Jagat Cakṣu,
(Engkau bijaksana dalam segala tindakan, mata dunia sejati)

Sarva Brāhmaṇa Bhūṣitaḥ,
(Yang dihiasi oleh segala kebajikan, dan diiringi oleh para brāhmaṇa suci)

Śveta Mañca Kāla Ruṇem,
(Bertahta di singgasana putih, menaklukkan segala waktu dan bayang hitam)

Namo Hyang Sinuhun Śiva Putra Parama Dakṣa Manuaba Namo Namaḥ.
(Puji sujud kepada-Mu, wahai Hyang Sinuhun agung, Putra Śiwa, Manuaba mulia)

Oṁ Oṁ Hyang Sinuhun Śiva Putra Parama Dakṣa Manuaba Dīpate Ye Namaḥ.
(Om, Om, kepada Hyang Sinuhun, Putra Śiwa, cahaya dunia, kami persembahkan pujian suci.)


Berikut ini adalah teks Puja Pangastawa ring Pura Kahyangan Dharma Smerti, khususnya dipersembahkan di Pelinggih Padmasana Ngelayang / Padma Lingga, yang saya lengkapi dalam tiga bagian: Sansekerta aslinya, transliterasi Latin, dan makna atau arti bebasnya dalam bahasa Indonesia.


PUJA PANGASTAWA RING PELINGGIH PADMASANA NGELAYANG / PADMA LINGGA


1. Sloka Pertama

Sansekerta:
Om Surya Ślokanāta-sya,
Śārada-sya svarcanam |
Sarvāntaḥ tasya siddhāntam,
Śuddha-naya śāntyasam ||

Transliterasi:
Om Surya Slokanātasya,
Sharadasya Swarcanam,
Sarwāntah Tasya Siddhāntam,
Shuddha Naya Shāntyasam.

Makna:
Om, Engkaulah penguasa agung dalam sloka-sloka Surya,
Pemilik kebijaksanaan laksana Dewi Śārada (Saraswati),
Segala kesempurnaan ada dalam dirimu,
Jalan suci dan damai menjadi hakikat-Mu.


2. Sloka Kedua

Sansekerta:
Om Asita-maṇḍala-mṛtyu,
Śītala-śatru-nāśanam |
Kavi-viśva-rakta-teja,
Sarva-bhāva bhavet bhavat ||

Transliterasi:
Om Asita Mandala Mrtyu,
Sitala Śatru Nāśanam,
Kawi Viswa Rakta Teja,
Sarwa Bhāwa Bhawet Bhawat.

Makna:
Om, Engkaulah lingkaran gelap penakluk kematian,
Dingin dan penuh ketenangan yang menghancurkan musuh,
Penyair dunia dengan cahaya bersemangat,
Segala wujud menjadi dan berasal dari-Mu.


3. Mantra Tri-Upasadhana

Sansekerta:
Ah iṅg aṅg tri-upāsādhanābhyo namaḥ svāhā ||

Transliterasi:
Ah Ing Ang Tri Upasādhanābhyo Namaḥ Swāhā.

Makna:
Salam suci dan persembahan kepada tiga kekuatan utama (Tri Upasadhana) – Brahma, Vishnu, dan Śiva – semoga diberkahi.


4. Puja Dewa Jagatnātha

Sansekerta:
Om Śrī Śrī Deva Jagannātha Kusumajāti Sarvaśāstra-ganatattvya ||

Transliterasi:
Om Sri Sri Dewa Jagatnātha Kusumajāti Sarwa Śāstra Gana Tatya.

Makna:
Om, Yang Mulia Dewa Jagannātha, wangi bagai bunga suci,
Yang meresapi segala ilmu dan makna spiritual semesta.


5. Mantra Bhukti-Mukti dan Kasih Universal

Sansekerta:
Om Anātya Anityā Maitrī-vaktra Mahati Bhuktiyā Namaḥ Svāhā ||

Transliterasi:
Om Anātya Manityā Maitri Waktra Mahati Bhuktiya Namaḥ Swāhā.

Makna:
Om, kepada wajah agung penuh kasih,
Yang memahami kefanaan dan keabadian,
Pemberi berkah kebahagiaan spiritual dan duniawi – sembah sujudku.


6. Mantra Kesucian dan Penyucian Jiwa

Sansekerta:
Om Śūnya-nirmala-pāvitranām,
Śuddha-vighna-vināśanam |
Sarva-devatidevaya,
Ātmaśuddha śuddha-lokam ||

Transliterasi:
Om Sunya Nirmala Pawitranam,
Suddha Wighna Winasanam,
Sarwa Dewati Dewaya,
Atma Suddha Suddha Lokam.

Makna:
Om, kekosongan suci dan kesucian murni,
Yang memusnahkan segala rintangan duniawi,
Penguasa segala Dewa,
Yang menyucikan jiwa dan alam spiritual.


7. Mantra Lingga dan Keberadaan Semesta

Sansekerta:
Om Maṅg uṅg liṅga-jñānam,
Sarva sūrya jagat-pranātha |
Sūkṣma śuci nirmala,
Śuddha vīryam nātha siddhiyā namaḥ ||

Transliterasi:
Om Mang Ung Lingga Jñāna,
Sarwa Surya Jagat Pranatha,
Suksma Suci Nirmala,
Suddha Wiryam Natha Siddhiya Namah.

Makna:
Om, dari suara benih suci Mang Ung tercipta kesadaran lingga,
Engkau penguasa matahari dan kehidupan seluruh dunia,
Halus, suci, dan murni,
Pemilik kekuatan penyempurna sejati – kepada-Mu puja kami.


8. Sloka Penutup (Keberkahan dan Kesempurnaan)

Sansekerta:
Sarva-phala-māsūktyam,
Kṛṣṇa-sūrya siddhyam namo namaḥ ||

Transliterasi:
Sarwa Phala Masuktyam,
Kresna Surya Siddhyam Namo Namah.

Makna:
Segala hasil mulia dan buah kebaikan yang sempurna,
Tercapai dengan terang matahari dan cahaya Kṛṣṇa –
Sembah sujud berulang kali kami haturkan.




Berikut adalah puja mantra transliterasi Sansekerta dan maknanya untuk pangastawan di Pelinggih Gedong Meru Tumpang Lima, ditujukan kepada Ida Bhatara Hyang Sinuhun dalam manifestasi sebagai para Ratu (Pasek, Pande, Bujangga, Arya, Dalem):


  1. Oṁ namo bhagavate śivāpaśupatya
    Sembah puja kepada Hyang Śiwa Pasupati yang Mahasuci.

  2. Oṁ śiva paśupati bhūmi hyang śaktyā namaḥ
    Hormat kepada Śiwa sebagai penopang bumi dan kekuatan semesta.

  3. Oṁ ratu pāsekaṁ pīta-varṇaṁ vandē
    Kami puja Ratu Pasek berwarna kuning keemasan, lambang kesucian dan ketenangan.

  4. Oṁ ratu pāṇḍeṁ rakta-varṇaṁ namāmi
    Sembah Ratu Pande berwarna merah, simbol keberanian dan keteguhan.

  5. Oṁ ratu bhujanggaṁ śukla-varṇaṁ smarāmi
    Kami ingat Ratu Bujangga berwarna putih, lambang pengetahuan dan kesucian.

  6. Oṁ ratu āryaṁ citra-varṇaṁ stuvē
    Kami puji Ratu Arya yang berwarna-warni, lambang kemuliaan dan kebhinekaan.

  7. Oṁ ratu dālaṁ kṛṣṇa-varṇaṁ vande
    Kami hormat pada Ratu Dalem berwarna hitam, penjaga kekuatan rahasia.

  8. Oṁ saṅ hyang paśupati devaḥ
    Sembah kepada Śiwa sebagai Paśupati, penguasa segala makhluk.

  9. Oṁ hrāṁ hrīṁ syāḥ
    Getar mantra suci penuh energi pembebas dari Śiwa.

  10. Sa ba ṭa a i
    Aksara bijaksara yang melambangkan lima elemen semesta.

  11. Na ma śi wā ya
    Pancaaksara lambang elemen: bumi, air, api, udara, dan akasa.

  12. Aṅ uṅ maṅ
    Mantra suci lambang Brahma (Aṅ), Wisnu (Uṅ), dan Śiwa (Maṅ).

  13. Oṁ yāṅ yāṅ namaḥ svāhā
    Salam pujian bagi Yang Maha Esa dalam wujud suara suci.

  14. Oṁ dharma rakṣaka jagatpāla
    Wahai pelindung Dharma dan penjaga alam semesta.

  15. Bhakta hṛdaya-ālaya
    Yang bersemayam dalam hati para bhakta.

  16. Ānanda rūpa śāśvata śiva
    Śiwa, wujud kebahagiaan abadi dan tak berubah.

  17. Namaḥ te śaraṇaṁ mama
    Sembah puji, Engkaulah perlindungan sejati kami.

  18. Sarva doṣa kṣaya kāriṇe
    Penghancur segala dosa dan ketidaksempurnaan.

  19. Durgati nāśaka śaktimate
    Yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan penderitaan.

  20. Prapanna janatā rakṣakāya
    Pelindung seluruh umat yang berserah diri.

  21. Śiva śakti samyutāya namaḥ
    Hormat bagi Śiwa yang bersatu dengan Śakti.

  22. Oṁ siddhi buddhi śānti datre namaḥ svāhā
    Salam puja kepada-Mu, pemberi kesempurnaan, kebijaksanaan, dan kedamaian.




PUJA MANTRA: ARCA HYANG SINUHUN

1.

ॐ नमो भगवते विष्णवे नमः।

Om namo bhagavate viṣṇave namaḥ

Sembah sujud kami kepada Bhatara Wisnu, pemelihara alam semesta.


2.

सर्वलोकहितं नित्यं रक्षायै जातमव्ययम्।

Sarvalokahitaṁ nityaṁ rakṣāyai jātamavyayam

Yang senantiasa hadir untuk kesejahteraan semua dunia, pelindung yang abadi.


3.

धृतकुम्भधरं विष्णुं सदा वन्दे जनार्दनम्।

Dhṛtakumbhadharaṁ viṣṇuṁ sadā vande janārdanam

Kepada Wisnu yang menggenggam kendi suci, kami senantiasa memuja-Mu, wahai Janardana.


4.

सिन्धुस्नानविलीनाङ्गं पुण्यतीर्थप्रदायकम्।

Sindhusnānavilīnāṅgaṁ puṇyatīrthapradāyakam

Yang tubuhnya dibasuh oleh samudra, pemberi air suci penuh berkah.


5.

यज्ञरूपधरं देवं त्रैलोक्यपावनं हरिम्।

Yajñarūpadharaṁ devaṁ trailokyapāvanaṁ harim

Yang berwujud pengorbanan suci, menyucikan tiga dunia, itulah Hari (Wisnu).


6.

वेदवाणीमयं स्तोत्रं पठेयुः पुण्यलाभदं।

Vedavāṇīmayaṁ stotraṁ paṭheyuḥ puṇyalābhadam

Mantra yang penuh suara Veda ini memberi pahala suci bagi yang membaca.


7.

आर्चारूपं समाश्रित्य भक्त्या तं सेवये सदा।

Ārcārūpaṁ samāśritya bhaktyā taṁ sevaye sadā

Dengan penuh bhakti aku berlindung pada wujud arca-Nya dan senantiasa memuja-Nya.


8.

नमो ह्यङ्कुशहस्ताय पुण्यगङ्गाधराय च।

Namo hyaṅkuśahastāya puṇyagaṅgādharāya ca

Sembah pada Dia yang memegang pengendali gajah dan kendi air suci Gangga.


9.

पीताम्बरधरं देवं चक्रपद्मधरं प्रभुम्।

Pītāmbaradharaṁ devaṁ cakrapadmadharaṁ prabhum

Yang memakai kain kuning keemasan, memegang cakra dan padma, Tuhan semesta.


10.

पद्मनाभं जगत्कर्त्रं केशवं विष्णुमव्ययम्।

Padmanābhaṁ jagatkartraṁ keśavaṁ viṣṇumavyayam

Dari pusarnya lahir padma, pencipta jagat, itulah Keśava, Wisnu yang tak berubah.


11.

यस्य स्मरणमात्रेण पापं नश्यति तत्क्षणात्।

Yasya smaraṇamātreṇa pāpaṁ naśyati tatkṣaṇāt

Yang hanya dengan mengingat nama-Nya saja, dosa pun lenyap seketika.


12.

कुम्भयुक्तं स्वरूपं तं पूजयामि नमो नमः।

Kumbhayuktaṁ svarūpaṁ taṁ pūjayāmi namo namaḥ

Kepada wujud Hyang Sinuhun yang menggenggam kendi, kami memuja-Mu berulang kali.


13.

सत्यधर्मपरं देवं नित्यमेव सुशोभनम्।

Satyadharmaparaṁ devaṁ nityameva suśobhanam

Tuhan yang menegakkan kebenaran dan dharma, selalu bersinar terang.


14.

धर्मसंस्थापनार्थाय सम्भवाम्यहमित्यपि।

Dharmasaṁsthāpanārthāya sambhavāmyahamityapi

"Aku lahir demi menegakkan dharma," sabda-Nya termasyhur.


15.

तेजसा ज्वलितं देवं शान्तिमूर्ति सनातनम्।

Tejasā jvalitaṁ devaṁ śāntimūrti sanātanam

Tuhan bercahaya terang, wujud kedamaian yang kekal.


16.

अच्युतं केशवं रामं विष्णुं हृदि भावयेत्।

Acyutaṁ keśavaṁ rāmaṁ viṣṇuṁ hṛdi bhāvayet

Acyuta, Keśava, Rāma, Wisnu – hadirkan dalam hatimu dengan penuh cinta.


17.

पूर्तिदानक्रियायोगैः सन्तुष्टं तं हरिं भजे।

Pūrtidānakriyāyogaiḥ santuṣṭaṁ taṁ hariṁ bhaje

Dengan amal, dana, dan pengabdian, aku menyenangkan Hari dan memuja-Nya.


18.

कुम्भतोयसमायुक्तं पुण्यतीर्थस्वरूपिणम्।

Kumbhatoyasamāyuktaṁ puṇyatīrthasvarūpiṇam

Yang air dari kendi-Nya menjadi tirta suci, membawa penyucian jiwa.


19.

जनमृत्युजराशोकं नाशयामास ते प्रभो।

Janamṛtyujarāśokaṁ nāśayāmāsa te prabho

Wahai Tuhan, Engkau lenyapkan kelahiran, kematian, usia tua, dan duka dunia.


20.

मङ्गलं विष्णुरूपाय पुण्याय सुधियां पतिः।

Maṅgalaṁ viṣṇurūpāya puṇyāya sudhiyāṁ patiḥ

Segala keberkahan bagi Wisnu yang suci, pelindung para bijaksana.


21.

भक्तानां हितमिच्छन्तं तं नमामि जनार्दनम्।

Bhaktānāṁ hitamicchantaṁ taṁ namāmi janārdanam

Kepada Janardana yang selalu menghendaki kebahagiaan para bhakta, aku sujud.


22.

ॐ विष्णवे श्रीधराय नमः।

Om viṣṇave śrīdharāya namaḥ

Om, sembah sujud kepada Wisnu, pemelihara keberkahan dan kemuliaan.



Berikut adalah Puja Mantra Gedong Simpen (Arca) dalam bentuk Sansekerta transliterasi, beserta makna per baitnya. Puja ini ditujukan untuk memuliakan arca suci (arca pratista) yang menjadi tempat bersthananing Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi-Nya.


Puja Gedong Simpen (Archa)

Transliterasi & Makna


1.
Om Hyang Sinuhun Purwanam Śiwam
Om, Hyang Sinuhun, yang awal mula adalah Śiwa,
Memuliakan Sang Hyang Siwa sebagai sumber segala permulaan.

2.
Brahmanam Purwa’nti’sthanam
Yang menetap sebagai Brahman sejak awal penciptaan,
Menjadi tempat tinggal utama dari segala kekuatan penciptaan.

3.
Sarwa Dewa Masariram
Seluruh dewa adalah perwujudan dari tubuh-Mu,
Setiap Dewa adalah bagian dari manifestasi badan suci-Mu.

4.
Surya Amerta Pawitranam
Bagai Surya yang menyucikan dengan air kehidupan (amerta),
Engkau memancarkan kesucian dan kehidupan bagi semesta.


5.
Om Indra Giri Murti Dewam
Om, Dewa dengan perwujudan agung seperti gunung Indra,
Engkau termulia bagaikan puncak kekuasaan para dewa.

6.
Loka Nātha Jagat Pati
Tuan dari alam, Penguasa jagat raya,
Pengatur dan pelindung seluruh kehidupan.

7.
Śakti Vīrya Rudra Murti
Bermanifestasi sebagai Rudra yang kuat dan penuh daya,
Engkau hadir sebagai kekuatan penghancur ketidakseimbangan.

8.
Sarwa Jagat Vipranātham
Penguasa seluruh jagat dan pelindung para rsi,
Menjaga tatanan suci dan kebijaksanaan universal.


9.
Om Vyoma Śiwam Sinuhun Stito Dewam
Om, Siwa yang bersemayam di akasa (angkasa), Dewa Agung yang dimuliakan,
Engkau hadir tak terlihat, namun menyelimuti segalanya.

10.
Sarwa Śabda Sinuhun Śiwātmanam
Seluruh suara suci adalah bagian dari diri-Mu, Sang Siwatma,
Engkaulah asal mula segala getaran dan sabda.

11.
Vīrya Mantram Nirantaram
Mantra penuh daya yang tiada henti mengalir,
Getaran suci-Mu tidak pernah terputus.

12.
Sarwa Yūṣyam Ta Devāśca
Engkau menghidupi dan menjiwai semua dewa,
Kehadiran-Mu memberi daya pada seluruh manifestasi Ilahi.


13.
Om Hyang Sinuhun Devābhyo Namaḥ Svāhā
Om, Hyang Sinuhun, hormat kepada semua Dewa, svāhā
Sembah suci untuk para dewa, sumber cahaya semesta.

14.
Ṛṣibhyo Namaḥ Svāhā
Hormat kepada para Rsi (orang suci), svāhā
Kepada para bijaksana penjaga kebijaksanaan.

15.
Pitr̥bhyo Namaḥ Svāhā
Hormat kepada para leluhur, svāhā
Memuliakan roh-roh suci para pendahulu.

16.
Sarasvatībhyo Namaḥ Svāhā
Hormat kepada Saraswati, svāhā
Pemujaan pada Dewi ilmu pengetahuan dan seni.


17.
Om Om Hyang Sinuhun Pratiṣṭhāya Namaḥ Svāhā
Om, Om, hormat kepada Hyang Sinuhun yang telah dipratista (disucikan dan dipuja), svāhā
Penghormatan mendalam atas kehadiran-Mu dalam arca pratista.



Makna Daksina

"Makna Daksina dalam Perspektif Hindu: Simbol Yadnya, Tanggga Menuju Tuhan, dan Perwujudan Lingga Bhatara"

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
---

Abstrak

Daksina dalam tradisi Hindu bukan sekadar persembahan simbolis, tetapi sarana sakral menuju penyatuan spiritual dengan Tuhan. Dalam berbagai ritual, daksina dianggap sebagai tangga menuju Tuhan, patni (istri) yadnya, dan juga perwujudan Lingga Bhatara. Artikel ini mengkaji makna filosofis dan spiritual daksina melalui telaah teks suci dan simbolisme Hindu, serta memperkuat makna tersebut dengan kutipan sloka dalam bahasa Sanskerta.


---

Pendahuluan

Dalam setiap upacara agama Hindu, daksina senantiasa hadir sebagai bagian utama dari persembahan. Bentuknya bisa berupa uang, logam mulia, kain, atau bahan pokok yang disusun secara sakral. Namun secara spiritual, daksina memiliki makna mendalam sebagai simbol kasih, ketulusan, dan keterhubungan antara manusia dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Daksina bukan hanya benda, melainkan rasa dan niat suci yang mengiringi pelaksanaan yadnya.


---

Makna Daksina Sebagai Tangga Menuju Tuhan

Daksina adalah persembahan tulus yang menjadi simbol naik atau manunggaling atma ring Brahman. Dalam pandangan ini, daksina adalah tangga spiritual. Memberi daksina dengan tulus adalah bentuk nyata pengorbanan diri (tyaga) yang membawa seseorang naik secara rohani. Hal ini selaras dengan prinsip karma yoga dalam Bhagavad Gita.


---

Daksina sebagai Yadnya Patni (Istri Yadnya)

Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa:

> "Tan hana yadnya tan hana patni, tan hana daksina tan hana phala yadnya."
(Tanpa istri, yadnya tak sempurna. Tanpa daksina, yadnya tak menghasilkan buah.)



Dalam konteks ini, daksina adalah patni yadnya—pendamping dan penyempurna. Seperti istri yang menyempurnakan kehidupan rumah tangga, demikian pula daksina menyempurnakan yadnya.


---

Daksina sebagai Lingga Bhatara

Dalam tattwa upakara, daksina disusun menyerupai bentuk lingga, lambang kehadiran Bhatara atau Hyang Widhi. Ia diikat dengan benang tridatu, dihias dengan janur, bunga, dan uang kepeng atau logam mulia.

> Sloka Sanskerta (Atharva Veda XI.1.30):
"yad daksinam asi daivyam taya mam pahi sarvatah"



Transliterasi:
yad dakṣiṇam asi daivyam tayā mām pāhi sarvataḥ

Makna:
"Engkau, wahai daksina suci, adalah ilahi. Lindungilah aku di segala arah."

Sloka ini menunjukkan bahwa daksina tidak hanya bersifat simbolik, tetapi diyakini mengandung kekuatan suci untuk perlindungan dan berkah spiritual.


---

Filosofi Tridatu pada Daksina

Tali tridatu (merah, putih, hitam) pada daksina melambangkan tiga kekuatan utama Tuhan (Tri Murti): Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ini menunjukkan bahwa daksina bukan sekadar pemberian, melainkan bentuk manunggalnya pikiran, perkataan, dan perbuatan kepada Yang Maha Esa.


---

Kesimpulan Reflektif

Daksina adalah simbol:

Pengorbanan suci (tyaga)

Jalan menuju kesadaran ilahi

Kehadiran Hyang Widhi dalam wujud nyata


Dalam setiap pelaksanaan yadnya, daksina bukan pelengkap, tetapi pusat makna spiritual. Ia mengajarkan kita bahwa memberi dengan tulus adalah bentuk tertinggi dari cinta dan penyatuan dengan Tuhan.

> Kutipan Reflektif:
"Daksina adalah ucapan hati yang tak terdengar, namun diterima langsung oleh Tuhan."


Puja Mantra Daksina (Versi Klasik Estetik)

Mantra:

ॐ नमो भगवते दक्षिणायै स्वाहा।
ॐ स्वाहा स्वधा दक्षिना ते नमः।
देवि दक्षिना मातरं सम्पूजयामि।
सर्वं हविर्मयम् अस्तु यदस्मिन्नर्पितं।
ॐ दक्षिना स्वरूपिण्यै नमो नमः।

Transliterasi:

Om namo bhagavate dakṣiṇāyai svāhā।
Om svāhā svadhā dakṣiṇā te namaḥ।
Devi dakṣiṇā mātaraṁ sampūjayāmi।
Sarvaṁ havirmayam astu yadasminnarpitaṁ।
Om dakṣiṇā svarūpiṇyai namo namaḥ।


Makna:

  • "Om namo bhagavate dakṣiṇāyai svāhā"

    Sembah sujudku kepada Yang Mahasuci, Daksina sebagai perwujudan Hyang Widhi dalam bentuk persembahan suci.

  • "Om svāhā svadhā dakṣiṇā te namaḥ"

    Daksina adalah persembahan untuk para dewa (svaha) dan leluhur (svadha), sujud pada kekuatannya yang suci.

  • "Devi dakṣiṇā mātaraṁ sampūjayāmi"

    Aku puja engkau, wahai Ibu Daksina, sebagai ibu pemberi restu dan kemuliaan yadnya.

  • "Sarvaṁ havirmayam astu yadasminnarpitaṁ"

    Segala yang kami persembahkan di sini adalah suci dan penuh makna, semoga menjadi havis (sarana kurban) menuju kebajikan.

  • "Om dakṣiṇā svarūpiṇyai namo namaḥ"

    Wahai Daksina, sebagai perwujudan suci Hyang Widhi, sembahku berkali-kali padamu.


Teges dan Refleksi:

Daksina bukan sekadar persembahan materi. Ia adalah lingga bhatara, simbol kehadiran Hyang Widhi dalam bentuk kebajikan yang tulus. Daksina mengandung unsur yadnya:

  • Kayika (badan),
  • Wacika (ucapan), dan
  • Manacika (pikiran)
    yang bersatu dalam satu persembahan murni.


Proses Beragama Sebagai Jalan Kenaikan Jiwa

"Proses Beragama Sebagai Jalan Kenaikan Jiwa: Tinjauan Filosofis Hindu terhadap Kelahiran dan Evolusi Spiritual"
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


---

Abstrak

Dalam ajaran Hindu, kelahiran kembali bukanlah kemajuan spiritual, melainkan akibat keterikatan karma yang belum terselesaikan. Sebaliknya, praktik beragama yang benar dan sadar menjadi jalan kenaikan menuju moksha. Artikel ini membahas makna mendalam dari pernyataan “Proses beragama menaikkan diri kita, kalau lahir baru turun” melalui perspektif sastra Hindu, khususnya Bhagavad Gita, serta refleksi filosofis dalam kehidupan spiritual umat manusia.


---

Pendahuluan

Beragama sering dipahami hanya sebagai rutinitas atau kewajiban sosial. Namun dalam tradisi Hindu, beragama sejatinya merupakan jalan naik—proses transendensi dari dunia material menuju kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Sebaliknya, lahir kembali menandakan bahwa proses spiritual belum tuntas. Oleh karena itu, hidup bukan sekadar soal "datang ke dunia", melainkan bagaimana jiwa bisa naik kembali menuju keabadian, kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).


---

Makna Filosofis:

1. Beragama = Proses Naik (Evolusi Jiwa)

Melalui sadhana (latihan spiritual), pengendalian indria, bhakti (pengabdian), dan jnana (pengetahuan), manusia memurnikan dirinya. Dalam konteks ini, beragama adalah jalan menaik—mendekatkan jiwa kepada Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.

2. Lahir = Turun (Reinkarnasi dan Keterikatan Samsara)

Lahir kembali bukan hadiah, melainkan konsekuensi. Ia adalah turun kembali ke alam penderitaan akibat karma yang belum selesai. Seperti disebutkan dalam berbagai Upanishad dan Bhagavad Gita, jiwa yang belum mencapai pembebasan akan terus berputar dalam siklus kelahiran.


---

Kutipan Sloka Terkait:

Bhagavad Gita 2.13:

> स देहिनोऽस्मिन्यथा देहे कौमारं यौवनं जरा।
तथा देहान्तरप्राप्तिर्धीरस्तत्र न मुह्यति॥



Transliterasi:
dehino ’smin yathā dehe kaumāraṁ yauvanaṁ jarā
tathā dehāntara-prāptir dhīras tatra na muhyati

Makna:
"Sebagaimana jiwa ini melewati masa kanak-kanak, dewasa, dan tua dalam tubuh ini, demikian pula ia berpindah ke tubuh lain setelah kematian. Orang bijak tidak bingung karenanya."

Sloka ini menggarisbawahi bahwa jiwa adalah kekal, dan proses kelahiran hanyalah perpindahan wadah jasmani, bukan peningkatan spiritual otomatis. Yang menentukan kemajuan spiritual adalah bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan sadar.


---

Kesimpulan Reflektif

Kelahiran adalah awal perjalanan, tetapi bukan pencapaian. Jika seseorang hanya mengulangi hidup tanpa kesadaran spiritual, maka ia turun lagi dalam siklus samsara. Sebaliknya, praktik beragama yang tulus, dengan niat suci dan disiplin spiritual, adalah tangga naik menuju moksha—kebebasan jiwa.

> “Beragama bukan pelarian dari dunia, tapi perjalanan pulang menuju kesadaran tertinggi. Lahir adalah keberulangan, sedangkan moksha adalah pembebasan.”

Senin, 28 April 2025

Dilema Seorang Acharya

Dilema Seorang Acharya: Refleksi atas Sosok Dronacharya dalam Mahabharata

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba



Pendahuluan

Dalam epos Mahabharata, Dronacharya dikenal sebagai guru agung dari Hastinapura, sosok cendekia dan pejuang yang menjadi panutan. Ia berhasil mendidik para pangeran seperti Arjuna, Bhima, Yudhishthira, Duryodhana, dan lainnya menjadi kesatria-kesatria unggul. Namun, ironinya, ia gagal membentuk karakter luhur dalam diri putranya sendiri, Ashwatthama. Hal ini mencerminkan dilema universal seorang guru—mampu membentuk orang lain, namun lemah dalam membina keluarganya sendiri.


Sloka Hindu Terkait Makna Seorang Guru dan Tantangannya

Sanskerta (Sloka Bhagavad Gita 3.26):
न बुद्धिभेदं जनयेदज्ञानां कर्मसङ्गिनाम् ।
जोषयेत्सर्वकर्माणि विद्वान्युक्तः समाचरन् ॥

Transliterasi:
na buddhi-bhedaṁ janayed ajñānāṁ karma-saṅginām
joṣayet sarva-karmāṇi vidvān yuktaḥ samācaran

Makna:
"Orang bijak seharusnya tidak menyebabkan kebingungan dalam pikiran mereka yang kurang berpengetahuan, tetapi ia harus mendorong mereka untuk melaksanakan tugas mereka dengan memberikan contoh melalui tindakan bijaksana."

Refleksi:
Sloka ini menekankan bahwa seorang bijak (guru) sepatutnya tidak hanya mengajarkan kebenaran, tetapi juga menunjukkan jalan melalui teladan. Kegagalan Dronacharya dalam membimbing Ashwatthama bisa dipahami sebagai kurangnya keseimbangan antara ajaran dan contoh nyata dalam konteks batin keluarga.


Makna dan Refleksi

1. Peran Ganda yang Tak Selalu Seimbang
Drona, sebagai Acharya, mencetak kesatria-kesatria hebat dengan disiplin dan ketegasan. Namun, terhadap Ashwatthama, kasih sayangnya menjadi kabur antara pengasuhan dan ambisi. Ikatan emosional membuatnya sulit objektif, berbeda dengan sikapnya terhadap murid lain.

2. Harapan dan Ambisi yang Membebani
Keinginan agar Ashwatthama melampaui Arjuna justru menjerumuskannya ke dalam ego dan kecemburuan. Setelah perang, Ashwatthama menjadi pelaku pembantaian tragis, cerminan bahwa ambisi orang tua tanpa penanaman nilai moral hanya melahirkan kehancuran batin.

3. Pengajaran Teknis vs. Nilai Moral
Drona unggul dalam ilmu perang, namun gagal menanamkan kebajikan dan pengendalian diri pada anaknya. Ini menegaskan bahwa guru sejati bukan hanya yang pandai mengajar, tetapi juga menanamkan moralitas.


Pelajaran untuk Masa Kini

  • Menjadi guru bukan hanya soal keahlian, tetapi juga pembentukan karakter dan keadilan.
  • Dalam mendidik anak, kasih sayang harus disertai kebijaksanaan dan batas.
  • Keluarga bukan tempat ambisi pribadi dicurahkan, melainkan ladang utama penumbuhan nilai-nilai luhur.

Kutipan Bijak

"Seorang guru mampu menyalakan cahaya dalam hati banyak murid, namun sering kali lupa bahwa pelita di rumahnya sendiri pun butuh nyala yang sama."


Tulisan Pendek Reflektif

Dronacharya adalah lambang kebesaran seorang guru, tetapi juga simbol ironi dalam pengasuhan. Ia menjadikan Arjuna pemanah tak terkalahkan, namun gagal menuntun Ashwatthama pada jalan kebajikan. Inilah pelajaran besar bagi kita: bahwa mendidik anak sendiri bukan hanya soal mengajar, tapi tentang hadir sepenuh hati, menanam nilai luhur dengan kasih, bukan hanya keinginan besar. Guru sejati bukan hanya membentuk prestasi, tetapi mencetak pribadi yang arif—terutama di dalam rumahnya sendiri.



Pura Kahyangan Dharma Smrti

Pura Kahyangan Dharma Smrti Linggih Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa)

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pura Kahyangan Dharma Smrti:
Pura tempat suci umat Hindu. Kahyangan berarti tempat yang sakral atau tempat para Dewa. Dharma Smrti dapat dimaknai sebagai "kenangan suci terhadap ajaran Dharma (kebenaran dan kebajikan)".

Linggih Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra:
Linggih berarti bersemayam atau berstana. Ida Bhatara Hyang Sinuhun adalah sebutan penuh hormat kepada Dewa atau leluhur suci. Siwa Putra menunjukkan bahwa yang disembah adalah manifestasi dari Dewa Siwa dalam bentuk putranya.

Paramadaksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa):
Paramadaksa berarti pendeta tinggi yang utama, Manuaba adalah nama trah (keturunan) atau kawitan, dan Griya Agung Bangkasa adalah tempat tinggal suci keluarga besar Brahmana Manuaba di Bangkasa. Jadi, beliau adalah leluhur suci dari garis keturunan Pasek Manuaba.
---

"Pelopor Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana ring Pundukdawa"

Pelopor Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek:
Maksudnya adalah tokoh atau leluhur utama yang berperan dalam mendirikan atau memulai Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek — pura besar yang sangat penting bagi warga Pasek. Catur Parhyangan menunjukkan adanya empat tempat suci utama bagi Ratu Pasek.

Linggih Ida Bhatara Mpu Gana ring Pundukdawa:
Menyatakan bahwa Ida Bhatara Mpu Gana, tokoh suci keturunan Pasek, berstana di Pura Pundukdawa. Mpu Gana adalah salah satu Mpu yang diutus oleh Raja Airlangga untuk menyebarkan ajaran Hindu di Bali pada abad ke-11.
---

Makna keseluruhan:
Kalimat tersebut menunjukkan penghormatan dan silsilah spiritual dari seorang tokoh suci (Ida Bhatara Siwa Putra Paramadaksa Manuaba) dari Griya Agung Bangkasa yang tidak hanya menjadi pelindung spiritual (linggih) bagi keturunan Pasek Manuaba, tetapi juga memiliki peran penting dalam sejarah spiritual Bali sebagai pelopor tempat suci besar bagi warga Pasek, yaitu Pura Panataran Agung Catur Parhyangan dan Pura Pundukdawa tempat Ida Bhatara Mpu Gana berstana.


Peranan Jinah (Sesari) dalam Kehidupan

Peranan Jinah (Sesari) dalam Kehidupan: Tinjauan Filosofis Berdasarkan Sloka Hindu

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba


---

Abstrak

Dalam tradisi Hindu, khususnya di Bali, konsep jinah atau sesari (persembahan/derma) memiliki peranan penting dalam menjaga keharmonisan kehidupan. Jinah tidak hanya dipandang sebagai materi, tetapi sebagai bentuk nyata bakti, rasa syukur, dan dharma. Artikel ini mengkaji makna jinah berdasarkan sloka-sloka suci Hindu, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan pendekatan bahasa Sansekerta, transliterasi, dan maknanya.


---

Pendahuluan

Hidup di dunia ini tidak terlepas dari hubungan timbal balik antar manusia, alam, dan Tuhan. Untuk memelihara keseimbangan ini, umat Hindu diajarkan untuk selalu memberikan sesari atau jinah, baik dalam bentuk materi, tenaga, maupun doa. Sesari bukan sekadar sumbangan, melainkan simbol bhakti (pengabdian) dan yajña (pengorbanan suci).

Makna jinah berkaitan erat dengan konsep Tri Hita Karana: hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.


---

Kutipan Sloka Hindu

Bahasa Sansekerta:
यज्ञो वै श्रेष्ठतमं कर्म।

Transliterasi:
Yajño vai śreṣṭhatamaṁ karma.

Makna:
"Yajña (pengorbanan atau persembahan) adalah perbuatan yang paling utama."

(Sumber: Bhagavad Gītā III.15)

Penjelasan:

Dalam sloka ini ditegaskan bahwa segala bentuk tindakan mulia harus disertai dengan yajña. Memberikan jinah atau sesari merupakan bagian dari yajña, sebagai perbuatan luhur untuk memelihara keseimbangan alam dan sosial.


---

Sloka Tambahan tentang Pemberian (Dana)

Bahasa Sansekerta:
दानेन धनेन वपुषा तपसा च ये के च यज्ञाः क्रियन्ते।

Transliterasi:
Dānena dhanena vapuṣā tapasā ca ye ke ca yajñāḥ kriyante.

Makna:
"Segala bentuk yajña dilakukan melalui pemberian, kekayaan, kekuatan, dan tapa."

(Sumber: Atharvaveda XI.1.29)

Penjelasan:

Sloka ini memperkuat bahwa dalam melaksanakan yajña, pemberian sesari (jinah) menjadi unsur yang sangat penting, karena membantu kelangsungan hidup spiritual dan sosial.


---

Pembahasan

1. Jinah sebagai Perwujudan Dharma

Dalam kehidupan, segala sesuatu membutuhkan "jinah" sebagai bentuk balasan, penghargaan, dan pemeliharaan hubungan. Memberi sesari kepada pura, guru spiritual (nabe), orang tua, atau lingkungan adalah bentuk nyata pelaksanaan dharma (kewajiban suci).

2. Filosofi Jinah dalam Tri Hita Karana

Parhyangan: Memberi sesari untuk memuliakan Tuhan.

Pawongan: Memberi jinah dalam bentuk bantuan sosial, donasi, dll.

Palemahan: Memberi untuk menjaga alam, seperti upacara tumpek wariga.


3. Penerapan Modern

Membantu pendidikan dengan donasi.

Membantu layanan kesehatan masyarakat.

Menjadi donatur kegiatan keagamaan atau sosial.


Semua ini adalah wujud jinah yang menumbuhkan kesejahteraan bersama.


---

Kesimpulan

Hidup ini pada hakikatnya membutuhkan jinah/sesari dalam berbagai bentuk: materi, tenaga, pikiran, bahkan doa. Memberikan sesari adalah manifestasi nyata dari pengabdian (seva) dan yajña dalam kehidupan sehari-hari, memperkokoh keseimbangan hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam.

Dengan memahami prinsip-prinsip suci ini, manusia tidak hanya berkontribusi terhadap dunia lahiriah, tetapi juga menumbuhkan kemuliaan rohani.


---

Ucapan Penutup

Semoga melalui praktik jinah yang ikhlas dan suci, kita semua dapat menggapai kesejahteraan lahir dan batin, menuju kehidupan yang harmonis dan sejahtera.

Om Santih, Santih, Santih Om