Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
"Ketika telah tiada, tangismu takkan mampu untuk mengembalikan semua..."
---
Senja baru saja berlalu. Langit yang tadinya jingga perlahan berubah kelam. Angin malam menyusup ke sela-sela jendela kamar Raka, membuat gorden tipis itu berkibar pelan. Di sudut ruangan, pemuda itu duduk termenung, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari seseorang yang kini tak lagi bisa membalasnya.
"Maaf, Rak... Aku capek."
Hanya itu. Sebaris kalimat pendek yang saat itu tak sempat ia balas karena sibuk dengan pekerjaannya. Ia berpikir mungkin Aira hanya lelah seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya saat gadis itu mengeluh tentang hidupnya yang terasa berat.
Tapi kali ini, semuanya berbeda.
Aira telah pergi.
Bukan sekadar pergi menjauh, bukan sekadar menghilang sementara. Gadis itu benar-benar pergi—untuk selamanya.
Raka menggenggam erat ponselnya. Seandainya malam itu ia tak mengabaikan pesan itu. Seandainya ia menelepon, mendengar suaranya, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Seandainya...
Tapi apa gunanya penyesalan sekarang? Tangisannya pun tak akan mampu mengembalikan Aira.
Ia bangkit, berjalan pelan ke meja di sudut kamar. Di sana, sebuah bingkai foto berdiri. Aira tersenyum di dalamnya, dengan mata yang selalu bersinar penuh harapan.
"Kenapa kamu nggak cerita lebih banyak, Ra?" bisiknya, suaranya bergetar. "Kenapa kamu pergi tanpa bilang kalau ini yang terakhir?"
Hening. Tak ada jawaban. Hanya suara angin malam yang terus berbisik di antara keheningan.
Raka meraih pena dan selembar kertas. Jemarinya gemetar saat mulai menulis sesuatu. Tapi tak ada judul yang ia bubuhkan di atasnya, karena bagaimana mungkin ia bisa memberi judul pada sebuah kehilangan?
Saat ia selesai menulis, ia melipat kertas itu dengan hati-hati, lalu menyelipkannya di balik bingkai foto Aira. Ia tahu, ini tak akan mengubah apa pun. Tapi setidaknya, ia ingin percaya bahwa di suatu tempat, Aira masih bisa membaca kata-kata terakhirnya.
"Aku menyesal. Maaf karena tak pernah benar-benar mendengarkanmu. Maaf karena terlambat menyadari betapa berharganya kamu."
Dan malam pun semakin larut, membawa pergi sisa-sisa harapan yang tak sempat terucapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar