Pemangku Tidak Dibolehkan Tatalungguh Upacara Bebayuhan, Hanya Ida Sulinggih Sebagai Pemuput
Dalam tradisi keagamaan Hindu di Bali, pelaksanaan upacara keagamaan harus mengikuti aturan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu aturan yang harus dipahami dengan baik adalah peran seorang pemangku dalam suatu upacara, terutama dalam kaitannya dengan bebayuhan. Bebayuhan merupakan upacara khusus yang membutuhkan otoritas rohani tertinggi, yakni Ida Sang Sulinggih sebagai pemuput upacara.
Kewenangan Pemangku dalam Upacara Bebayuhan
Pemangku adalah rohaniawan yang bertugas sebagai pelaksana upacara di pura atau dalam suatu ritual tertentu. Meskipun pemangku memiliki tugas yang sakral, ada batasan tertentu yang harus ditaati, terutama dalam upacara bebayuhan. Dalam ajaran Hindu Bali, pemangku tidak dibenarkan tatalungguh (duduk memimpin) upacara bebayuhan karena upacara ini membutuhkan tingkat spiritual yang lebih tinggi, yang hanya dimiliki oleh Ida Sang Sulinggih.
Pemangku hanya diizinkan untuk ngemargiang ruwatan tirtha, yaitu menyalurkan atau memediasi tirtha suci yang berasal dari Ida Sang Sulinggih. Tirtha tersebut merupakan sarana penyucian yang memiliki energi spiritual tinggi untuk menyucikan orang yang memohon bebayuhan. Dengan demikian, pemangku tidak boleh mengambil alih peran sulinggih dalam memimpin dan menyelesaikan (mapuput) upacara.
Ida Sulinggih sebagai Pemuput Upacara
Hanya Ida Sang Sulinggih yang telah menjalani Diksa dan mencapai tingkat spiritual tertentu yang dapat memimpin dan menyelesaikan upacara bebayuhan. Ketika seorang sulinggih mengenakan busana agung saat upacara, maka beliau memiliki otoritas sebagai pemuput. Busana agung ini mencerminkan kesucian dan kewenangan tertinggi dalam aspek ritual keagamaan Hindu Bali.
Dalam susunan upacara, sulinggih memuput bebayuhan dengan mantra dan tirtha, yang dipercaya memiliki kekuatan penyucian, penyelarasan karma, serta pemulihan spiritual. Oleh karena itu, seseorang yang membutuhkan prosesi bebayuhan harus memastikan bahwa upacara tersebut dipimpin oleh Ida Sang Sulinggih, bukan oleh seorang pemangku.
Kesimpulan
Penting bagi umat Hindu untuk memahami batasan peran antara pemangku dan Ida Sang Sulinggih dalam suatu upacara. Pemangku tidak memiliki wewenang untuk tatalungguh dalam upacara bebayuhan, melainkan hanya boleh ngemargiang ruwatan tirtha yang berasal dari Ida Sang Sulinggih. Hanya Ida Sang Sulinggih yang dapat bertindak sebagai pemuput upacara, terutama saat beliau mengenakan busana agung dalam prosesi suci tersebut. Dengan mengikuti aturan ini, keharmonisan spiritual dalam pelaksanaan ritual agama Hindu di Bali akan tetap terjaga sesuai dengan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar