Bunga Pembawa Pesan Kebajikan & Kebenaran
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Om Swastyastu
A. Pendahuluan
Bunga merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat yajna. Sarana berupa bunga memiliki peranan yang sangat penting untuk keleng-kapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna dalam waktu-waktu tertentu atau naimitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan pelaksanaan Panca Yajna, bunga banyak digunakan dalam upakara banten, sesajen atau upakara yajna.
Kemudian dalam kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu hiasan untuk menumbuhkan suasana keinda-han dan menciptakan suasana kenyamanan dalam suatau kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga, aktifitas kemasya-rakatan, kegiatan hiburan, kegiatan hari raya nasional, kegiatan pesta perkawinan, kunjungan pada tempat-tempat tertentu, kunjungan kenegaraan, dalam percintaan, kedukaan, ziarah ke kuburan dan seba-gainnya.
Dalam kemajuan tehnologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini yang sangat pesat, kebutuhan akan bunga semakin banyak digunakan oleh masyarakat, walaupun dalam penggunaannya tidak berkaitan dengan kepentingan upacara agama. Dalam perkembangan pariwisata saat ini yang bunga juga di perlukan dalam jumlah besar yang digunakan untuk perhiasan . sungguh banyak manfaat dan kegunaan bunga dalam kehidupan bagi manusia. Demikian juga di dalam kehidupan bagi umat Hindu, bunga memiliki nilai relijius, nilai spiritual dan nilai kesucian yang sangat tinggi.
Bunga Cempaka Gadang dan Larangan Persembahan kepada Dewa Siwa
Dalam ajaran Hindu, setiap bunga memiliki makna tersendiri dalam persembahan suci. Salah satu bunga yang dilarang untuk dipersembahkan kepada Dewa Siwa adalah bunga cempaka (Ketaki). Larangan ini bersumber dari berbagai lontar, salah satunya Cempaka Gadang, yang membahas ilmu pengiwa atau black magic.
Dalam lontar Cempaka Gadang, disebutkan bahwa bunga cempaka hijau pernah digunakan sebagai sarana perbuatan jahat untuk memperdaya Dewi Sita. Kejadian ini membuat bunga cempaka dikutuk oleh Dewi Sita, sehingga dianggap tidak layak untuk digunakan dalam persembahan kepada Dewa Siwa.
Kepercayaan ini mengajarkan bahwa sarana persembahan harus murni dan tidak memiliki sejarah keterlibatan dalam energi negatif atau tipu daya. Oleh karena itu, umat Hindu dianjurkan untuk memilih bunga yang suci dan bersih ketika melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa.
Sloka tentang Bunga Cempaka
संस्कृत श्लोकः
(Saṁskṛta Ślokaḥ)
न समर्पणीयः शम्भवे हरिद्रचम्पकः।
सीतायाः शापदोषेण दूषितोऽयं न शुद्धतः॥
पूर्वं मायाप्रयोगेण सीता मोहितवान् हि सः।
तस्मात् पापसमायुक्तः शिवपूजाय न योग्यतः॥
न शुद्धो न हि पुण्याय दोषयुक्तोऽयं पुष्पकः।
तस्मात् निर्मलपुष्पेण शिवं पूजयते सदा॥
शुद्धभावसमायुक्तं पूजनं फलदायकम्॥
Transliterasi (Romanisasi)
Na samarpaṇīyaḥ Śambhave haridracampakaḥ।
Sītāyāḥ śāpadoṣeṇa dūṣito'yaṁ na śuddhataḥ॥
Pūrvaṁ māyāprayogeṇa Sītā mohitavān hi saḥ।
Tasmāt pāpasamāyuktaḥ Śivapūjāya na yogyataḥ॥
Na śuddho na hi puṇyāya doṣayukto'yaṁ puṣpakaḥ।
Tasmāt nirmalapuṣpeṇa Śivaṁ pūjayate sadā॥
Śuddhabhāvasamāyuktaṁ pūjanaṁ phaladāyakam॥
Makna Sloka
"Bunga cempaka hijau tidak boleh dipersembahkan kepada Dewa Siwa,
karena telah menjadi tidak suci akibat kutukan Dewi Sita.
Dahulu, bunga ini digunakan dalam tipu daya untuk memperdaya Dewi Sita,
sehingga ia tercemar oleh dosa dan tidak layak untuk pemujaan Siwa.
Bunga ini tidak suci dan tidak membawa pahala karena penuh dengan dosa.
Oleh karena itu, hendaknya memuja Siwa dengan bunga yang bersih dan suci.
Pemujaan yang dilakukan dengan hati yang murni akan mendatangkan berkah."
Sloka ini menegaskan larangan penggunaan bunga cempaka yang masih berwarna hijau dalam pemujaan kepada Dewa Siwa karena sejarah keterlibatannya dalam tipu daya terhadap Dewi Sita. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa dalam melakukan persembahan kepada dewa, seseorang harus menggunakan sarana yang bersih secara fisik dan spiritual. Pentingnya kemurnian dalam pemujaan kepada Dewa Siwa dan alasan mengapa bunga cempaka hijau dilarang dalam persembahan.
Bunga yang digunakan untuk keperlu yajna atau persembahan, bukanlah bunga yang sembarangan atau bunga yang diperoleh asal ada atau asal dapat, tetapi bunga yang dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama Hindu. Menyimak makna sebuah sloka suci Bhagavadgita IX.26 dan memiliki makna mendalam tentang kesederhanaan dalam pemujaan kepada Tuhan. Berikut adalah penjelasannya:
Sloka dalam Devanagari
पत्रं पुष्पं फलं तोयं
यो मे भक्त्या प्रयच्छति।
तदहं भक्त्युपहृतम्
अश्नामि प्रयतात्मनः॥
Transliterasi (Romanisasi)
Patraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ
Yo me bhaktyā prayacchati,
Tad ahaṁ bhakty-upahṛtam
Aśnāmi prayatātmanaḥ.
Makna
"Barang siapa yang mempersembahkan kepada-Ku dengan bhakti (rasa cinta dan pengabdian) selembar daun, sekuntum bunga, sebutir buah, atau setetes air, maka Aku akan menerimanya dengan suka cita dari jiwa yang suci."
Sloka ini menunjukkan bahwa Tuhan (Sri Krishna, dalam konteks Bhagavad Gita) tidak memerlukan persembahan yang mewah, tetapi hanya menginginkan ketulusan dan keikhlasan dari pemujanya. Kesederhanaan dalam pemujaan lebih penting daripada kemewahan, selama dilakukan dengan hati yang bersih.
Menyimak makna sebuah sloka suci dalam kitab suci Bhagavadgita di depan, ada ditegaskan penggunaan bunga sebagi sarana dalam upacara yajna. Dalam sloka tersebut ada tersurat kata puspam yang maksudnya adalah bunga, yang di gunakan sebagai sarana suci dalam upacara yajna Istilah lain dari bunga adalah puspa, kembang, sekar dan ada juga menyebut nama kusuma.
Puspa atau kembang merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan upakara sebagai wujud yajna .
Sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih. Walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum bunga, apabila landasan kesucian dan cinta kasih yang menyertainya, maka persembahan yang demikianlah yang diterima oleh Hyang Widhi.
Kemudian sebaliknya, apabila memiliki kemampuan untuk mempersembahkan yang serba banyak, serba mewah, serba meriah, serba semarak, juga tidak ada salahnya, sepanjang semua persembahan tersebut merupakan persembahan yang terhormat, persembahan yang dilandasi oleh rasa ikhlas dan suci, tentulah baik pahalanya, karena Hyang Widhi dapat menerima persembahan tersebut yang disertai dengan kesadaran yang tinggi, bukan sifatnya pamrih yang semata-mata untuk menerima balasanya. Juga bukan merupakan suatu persembahan yang sifatnya paksaan, bukan juga persembahan untuk mewujudkan rasa gengsi dengan jorjoran karena status social yang dimiliki. Suatu persembahan akan dapat diterima dengan terpuji, bilamana kesederhanaan serta kesemarakan disertai oleh pendalaman maknanya dan berlandaskan pada konsep kebenaran atau dharma.
Ayam yajño bhuvanasya nàbhiá
Yajurveda XXIII.62.
(Yajña-Nya adalah pusat (penciptaan dan pemeliharaan) alam semesta).
Tasmãd yajñãt sarvahuta rcah sãmãni jajñire, chandãmsi jajñire tasmãd yajus tasmãd ajãyata.
Yajurveda XXX.7
Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai yajña dan dari pada-Nya muncul Rgveda dan Sãmaveda. Dari pada-Nya muncul Yajurveda dan Sãmaveda.
”Saha yajñahprajâh srtva puro’vâca prajâpatih, anena prasavisya dhavam esa vo’dtvista kâmadhuk”.(Bhagawatgita III. 10)
Terjemahannya :
”Pada jaman dahulu Prajapati (Tuhan Yang Mahaesa) menciptakan manusia dan alam semesta atas dasar Yadnya, selanjutnya bersabda : ”Dengan ini engkau akan berkembang dan menjadikannya sebagai Kamadhuk (yang memenuhi keinginanmu).
Purusa evedam sarvam yadbhūtamyacca bhavyam, utàmrtatvasesà no yadannenati rohati. (Rgveda X.90.2.)
(Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan yadnya)
“ Memang didalam kitab Rg. Weda kita jumpai teori yajna, dimana Maha Purusa dalam penciptaan didunia ini. Ia lakukan melalui yajna dan yang dipergunakan sebagai yajna adalah badanya sendiri. Pengorbanan yang tertinggi adalah kurban yang dilakukan dengan mengorbangkan diri sendiri. Tetapi kalau diperhatikan lebih lanjut, apapun juga yang dijadikan kurban dalam upacara yajna itu adalah tidak lain dari pada-Nya, karena Maha Purusa pada permulaan ciptaannya menjadikan semua ini dengan jalan berkurban yang berasal dari dirinya sehingga dengan demikian dunia dan seisi alam ini identik dengan-Nya.
B. Pengertian
Unsur isi perlengkapan upakara samskara atau yajna yang banyak digunakan dalam kehidupan beragama Hindu adalah kembang atau puspa yang merupakan bentuk sesajen yang paling mudah dan paling murah. Puspa adalah benda yang di persembahkan sebagai cara menunjukan perasaan yang dapat mmberikan kepusan. Yang penting ialah bahwa perbuatan itu akan dapat memberikan rasa puas pada diri seseorang yang ingin menyampaikan perasaannya. Bentuk yang lebih komplit ialah dengan menambah jenis korban itu dalam bentuk hasil bumi lainnya.
Didalam mantra Wedaparikrama, ada mantra untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut :
“Om puspa-dantaya namah (puspa)
Om kum kumara wijaya naham (aksata)
Om Cri Gandheswari- amrtebhyo namah swaha (gandha)”
Yang di maksud dengan puspa-danta ialah Ciwa, gelar yang di berikan kepada ciwa. Dari mantra di atas, penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai lambang siwa yang tidak berbeda dari pada-Nya.
Aksata atau biji-bijian berupa beras adalah lambang benih (biji). Kumara adalah putra siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah ciptaan-Nya.
Gandha adalah bau harum, yang berasal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu. Gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamakan sebagai amrta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amrta yang didalam mantra diatas dihubungkan dengan siwa sebagai Iswara,” (baca Wedaparikrana,Gde pudja, M.A., S.H :46 -47).
Dari mantra di atas yaitu mantra puspa, perlu di ingat bahwa puspa di mak-sudkan sebagai wujud dari Syang Hyang Puspa-danta merupakan gelar Sang Hyang Siwa atau Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian, adanya bunga puspa sebagai lambang siwa dan adanya bunga atau puspa sebagai sarana persembahan sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi (Bhagavadgita, IX, 26)
Berdasarkan sumber-sumber sastra Agama Hindu menegaskan bahwa perlunya melakukan persembahan dengan sarana yang di benarkan oleh ajaran agama Hindu serta yang memiliki nilai kesucian.
Dalam beberapa naskah keagamaan ada di jumpai penjelasan mengenai bunga yang memiliki arti dan makna tertentu, seperti bunga sebagai perlambang restu dari Hyang Widhi Wasa, bunga perlambang jiwa alam pikiran, dan bunga merupakan sarana upacara keagamaan atau sarana upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
a. Dalam Kekawin Ramayana, adanya bunga Gandha Kusuma perlambang restu Hyang Widhi terhadap Sang Rama ketika berperang menumpas ketidak benaran atau adharma, maka Sang Rama direstui dengan di jatuhi hujan bunga yang harum baunya.
b. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha, ada menegaskan dalam keberhasilan Sang Arjuna melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi dan sebagai bukti Hyang Widhi merestui tapanya, maka secara tiba-tiba berhamburan hujan bunga Puspa Warsa yaitu hujan bunga sebagi lambang Dewa Siwa (Hyang Widhi) telah merestui tapanya sang Arjuna dengan menda-patkan anugrah Panah Pasupati, yang merupakan senjata lambang kekuatan dharma untuk menumpas ketidak benaran atau adharma.
c. Dalam Kidung Aji Kembang bahwa Dewata Nawa Sanga di lambangkan dengan bunga Tunjung atau teratai yang berwarna sembilan sesuai dengan arah Asta Aiswarya atau Asta Dala, seperti Dewa Iswara arah timur dengan lambang bunga tunjung putih, Dewa Mahesora ara tenggara dengan lambang bunga tunjung dadu, Dewa Brahma arah selatan dengan lambang bunga tunjung merah, Dewa Rudra arah barat daya dengan lambang bunga tunjung jingga, Dewa Mahadewa arah barat dengan lambang bunga tunjung kuning, Dewa Sangkara arah barat laut dengan lambang bunga tunjung wilis atau bunga tunjung hijau, Dewa Wisnu arah utara dengan lambang bunga tunjung Hitam, Dewa Sambu arah timur laut dengan lambang bunga tunjung biru, dan Dewa Siwa arah tengah dengan lambang bunga tunjung warna lima atau panca warna.
d. Dalam naskah Dwijendra Tattwa men-jelaskan bunga teratai yang berwarna tiga: bunga teratai warna putih arah timur, bunga teratai warna hitam arah utara, dan bunra teratai warna merah arah selata. Ketiga jenis bunga teratai tersebut sebagai lambang Sang Hyang Tri Murti.
Kemudian bunga juga sebagai lambang jiwa alam pikiran manusia. Dalam rangkaian upacaraa Pitra Yadnya kita menjumpai adanya penggunaan Sekarura yang merupakan campuran daun temen, 12 macam bunga, uang kepeng, dan beras kuning, sekaruru yang ini biasanya di taburkan mulai dari mayat itu di berang-katkan, dalam perjalanan sampai di kuburan. Sesungguhnya makna dari sekarura ini adalah sebagai pembuka jalan atau mele-paskan kegelapan roh dalam mencari jalan ke Sorga.
Dalam Lontar Mpu Lutuk Aben menyebutkan sebagai berikut :
“ih kita sang ingaskara, limaku sira ngakih genah sira. Yan katiba ring tengahing dalan saget ketemu sira ana jurang parung mandeg pwa sira rumuhun, samburata beras catur warna. Elingakna apan jurang pinaka karman ta nguni duke urip”.
Menyimak kisah cerita Hariwangsa, ada dikisahkan tentang ketulusan dan cetusan kasih Prabhu Kresna terhadap Dewi Rukmini dengan memberikan sekuntum bunga sebagai lambang kasih yang suci murni dan tiada duanya.
Selanjutnya ada pula sebagai suatu ketegasan mengenai bunga melambangkan jiwa kepahlawanan dengan bunga kembang sepatu merah atau wirakusuma atau bunga yang gagah berani.
Sedangkan mengenai arti atau makna bunga sebagai sarana keagamaan atau sarana upacara yajna, sangat pernting artinya dan memiliki makna yang sangat mulia, seperti : makna religius atau makna spiritual serta makna kesucian. Penggunaan sarana bunga dalam upacara yajna sangat banyak kita jumpai.
Bunga Yang Bisa digunakan
Dalam berbagai upakara atau banten, bunga merupakan sarana pokok dan mengan-dung makna tersendiri sesuai dengan jenis upkara atau wujud bantennya. Untuk upakara yajna perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara yajna secara umum, antara lain: bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak mudah layu, bunga yang dalam keadaan segar atau bunga yang baru di petik, bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang lainya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu di ingat, bunga sebagai sarana dalam upacara yajna sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki tirtha pengelukatan agar terbebas dari segala kekotoran dan malapetaka. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan adalah jenis bunga yang dapat menghindari umatnya dari perbuatan –perbuatan dosa atau malapetaka, antara lain:
a Dalam Kekawin Siswaratri Kalpa, menyebutkan sebagai berikut:
“Menur, kenyeri arja kacubung, saha waduri putih, lawan kutat. Asoka saha naga puspa hana tanguli bakula kalak macampaka, saroja biru, bang, putih. Sahananing kusuma halapan ing samangkana. Makadi samining majarja, sulasih panakaraning anggar cana sira”.
Yang artinya :
Menuh, kenyeri, gambir raja, kecubung , serta meduri putih dan bunga kutat, asoka serta bunga cempaka. Seroja biru, merah, putih semuanya bunga-bunga hendaknya dipetik yang demikian. Sebagai pelaksanaan ppppmemuja pagi-pagi, bunga sulasih, sebagai sarana memuja baeliau (Siwa).
b Dalam Lontar wariga Gemet, ada juga menjelaskan tentang bunga yang di bolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan atma) serangkaian dengan upacara pitra yajna, antara lain: Bunga Jepun, Sari, Sincer, pucuk pasat, Tulud Hyuh, Kwanta, Soka keeling, Kenyiri putih, Gambir Lima, Kabari walanda Syulan, Tiga kancu, Sedap malam, anggrek Wulan, Kamrakan, Gunggung Cina, Mawar, pucuk dadu, Tunjung Bang, Jepan Sudamala, Seruni putih, Anggrek Madu, Sarikonta, Temen, Sempiol, pucuk susun, Soka, Natar. Kuranta, kembang kuning, cempaka keeling, bunga gambir, Tunjur, Lungsur, Panca Galuh Grayas, Sandat, Sokasti, cempaka kuning, Cempaka putih, Katrangan, Bunga parijata, pucuk Bang Lamba, Teleng biru, Menuh Susun, Angsana Wungu, Teleng Putih, Dause Gde, Medore putih, Sulasih harum, Tunjur Tutur, Sudmala, Tunjung Nilawati, Grana Petak, Gadung, dan bunga Monasuli ergilo
c. Dalam Naskah Siwagama dan menegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna, terutama untuk membuat “Puspalingga” serangkaian upacara pitra yajna yakni untuk memuja upacara pitara dan roh suci leluhur, terutama dalam upacara atma Wedana (Memukul atau Nyekar), antara lain :Bunga Medori Putih Dan Bambu buluh.
d. Dalam Naskah Dasanama menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara yajna adalah bunga Tunjung atau bunga teratai. Bunga teratai atau bunga Tunjung dikaatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma atau rajanya bunga-bungaan. Ditegaskan pula, apabila bunga teratai Tunjung tidak ada, dapat pula memakai jenis bunga yang lainya, asalkan bunga penggantinya memiliki warna yang sesuai, suci, bersih dan tidak layu.
Di samping itu juga ada jenis bunga memiliki nilai yang utama dalam upacara yajna adalah bunga Ratna. bunga ratna sebagai bunga yang utama untuk memuja tuhan/Hyang Widhi Wasa atau sarana utama dalam upacara keagamaan. Bunga yang memiliki nilai keutamaan merupakan bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya, dengan demikian bunga yang demikian itulah yang dapat digunakan sebagai sarana pemujaan.
Demikianlah sekilas uraian mengenai jenis bunga yang baik dan bunga yang di perkenankan untuk di gunakan sebagai sarana upacara yajna.
Bunga Yang Dilarang Untuk Yajna
Dalam pelaksanaan samskara upacara yajna tidaklah semua bunga dapat di gunakan, atau bunga yang asal dapat karena penggunaan bunga harus tetap mengacu pada nilai relijius, nilai spiritual dan nilai kesucian dan dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama Hindu.
Dalam Agastya Parwa menegaskan bagaimana keutamaan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bunyi sloka sebagai berikut :
”Kunan ikan stri mahala tanpa pirak, tanpa janma, tan wruh maniwi swami, mogha kinasihan denin laki wisesa manke sila nika nuni; jnanabhaktis tu nathe ya, bhkati maswami nuniweh ri dewata ika nuni, ndatan tepet bhakti niki, tan upakara phala nin bhaktinya resep. Dumehnya wirupa mwan tanpa janma. Tan wruh amahelepa silanya nuni, agelem amujeken kembang tan yogya pujakena, tan aradin, olah bwat jawanya, apan samanke kembang tan yogya pujakena rin bhattara”.
Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bias melayani suami tetapi di sayang oleh laki-laki utama. Perbuatannya dahulu demikian; ia itu bhakti kepada suami, bhakti kepada bhatara, tetapi bhaktinya tidak tepat, karena tanpa upakara. Itulah yang menyebabkan ia buruk rupa dan tidak bangsawan, sifatnya dahulu ia tidak tahu menjadikan tingkah lakunya sopan dahulu (ia) gemar mempersembahkan bunga yang tidak patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkan kepada bhatara.
Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan disini, walaupun sungguh besar rasa bhakti kehadapan Hyang widhi dan kepada sesam ciptaan-Nya, tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai denga wujud persembahan berupa upakara yajna maka kuranglah bermakna cetusan rasa bhakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bhakti itu kepada Hyang Widhi dengan persembahan upakara yajna, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada tem-patnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut di persembahkan, memper-sembahkan saran yajna yang tidak suci, persembahan itu camah (kotor), mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan, mencuri menipu (yang bukan miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga /kembang /puspa /sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu di ingat bahwa rasa bhakti ke hadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara yajna yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dari yajna itu sendiri.
Berikut ini akan di kemukan pula beberapa uraian yang membahas tentang jenis bunga yang dilarang dalam pengguna-annya sebagai sarana upacara yajna berda-sarkan ajaran agama Hindu.
a. Dalam Naskah Agastya Parwa, mene-gaskan :
”Kalinanya: nihan ikan kembang tan yogya pujakena ring bhatara; kembang huleren, kembang rurutan inunduh, kembang semuten, kembang laywan-laywan ngaranya alewan mekar, kembang mungah rin sema. Nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nikasan sattwika. Kembang utama ta pujaken ira, maran saphala rupa nira, apan magaweya janma lawan rupa ikang wwang tuhaganamuja ngaranya”.
Yang artinya :
“Inilah bunga yang tidak dapat di persembahkan kepada bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburanya. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut di persembahkan agar supaya wajahnya sesuai dengan yang diharapkan, sebab orang yang selalu memuja tersebut akan membentuk kelahiran wajahnya.
b. Dalam naskah Siwagama, ada mene-gaskan tentang bunga yang tidak baik atau dilarang penggunaannya sebagai sarana upacara yajna, khususnya di kaitkan dengan pelaksanaan Dewa Yajna dalam fungsinya untuk sarana memuja kebesaran Hyang Widhi, antara lain bunga turuk, umung atau bunga kedukduk, yang konon menurut mitologi disebut bunga lalat, baunya yang tidak harum dari bunga tersebut kotor atau tidak suci.
c. Menurut naskah Yama Purana Tattwa, menyebutkan mengenai bunga yang dilarang memakainya yaitu bunga yang keadaannya cemer atau bunga yang tidak suci, seperti bunga yang digigit belalang, bunga yang ada bekas dimakan ulat. Bunga yang seperti itu dilarang dari pemakaiannya untuk membuat puspa linga maupun untuk yajna yang lainnya.
d. Dalam naskan Aji Janataka, menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunaannya sebagai sarana dalam pemujaan. Sesuai naskah terarsebut jenis bunga yang dilarang antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta. Kedua jenis bunga tersebut konon menurut mitologinya tidak mendapat waranugraha dan tidak mohon penglukatan Hyang Siwa, sehingga men-dapat kutukan untuk dilarang digunakan dalam penggunaanya sebagai sarana pemujaan ke hadapan Hyang Widhi.
Didalam Siwa Puran juga ada di sebutkan bahwa bunga Ketaki (cempaka) tidak boleh digunakan untuk memuja Dewa Siwa karena mendapat kutukan; dari Dewi Sita mengutuk bunga Ketaki bahwa bunga itu tidak akan pernah diterima oleh siwa sebagai persembahan pada beliau; Hal ini dijelaskan oleh Rsi Romaharsana sebagai berikut:
Ayah Rama, Dasaratha, suatu kali meminta putranya untuk tinggal di hutan selama empat belas tahun. Maka Rama dan istrinya serta adiknya Laksmana pergi kehutan. Tiga orang itu tinggal di sungai Palgu. Kemudian terdengarlah kabar bahwa Dasaratha mininggal karena sedih dan harus dilakukan sebuah upacara Sraddha untuknya.
Maka Rama kemudian menugaskan Laksmana pergi ke desa terdekat untuk mencari bahan-bahan upacara. Setelah cukup lama Laksmana belum juga kembali kemudian Rama pergi untuk mencari bahan-bahan itu sekaligus mencari Laksmana. Namun Rama juga tak kunjung dating. Saat itu sudah sore dan upacara harus segera dilakukan. Maka dalam keadaan putus asa, Sita melakukan upacaraa itu sendir. Dia melakukan permandian di sungai Palgu sambil menyalakan sebuah lampu minyak kelapa. Dia juga membuat persembahan (panda) pada sang raja yang telah wafat.
Namun setelah selesai melakukan upacara itu, erdengarlah suara tanpa sumber yang berkata ”Sita, kau terberkati, kami puas padamu” Dalam ketakjuban, Sita melihat sebuah tangan gaib di udara menerima persembahannya.
“Siapakah anda” Tanya Sita.
”Aku adalah ayahmertuamu” jawab suara itu. ”upacara kremasiku telah berjalan lanca. Aku telah menerima persemba-hanmu.” Tapi Rama dan Laksmana tidak akan percaya jika aku ceritakan hal ini. Mereka tidak akan percaya ada tangan gaib yang muncul dari udara untuk mengambil persembahan ini.”
Sementara itu Rama dan Laksmana telah tiba dan berkata ”Sita masaklah makanan, waktu kita tinggal sedikit. Kita harus menyelesaikan upacara kremasi ini sebelum malam.”
Sita kemudian memberitahu mereka tentang kejadian itu dan kedua bersaudara itu tidak mempercayainya. Mereka malah mentertawakannya dan mengangapnya berbohong. Sita kemudian memanggil keempat saksinya. Namun keempat saksi itumalah menyangkal telah melihat peristiwa itu. Maka tanpa kata-kata lagi Sita memasak makanan dan Rama membuat persembahan untuk leluhurnya.
Kemudian terdengar suara dari langit ”mengapa kalian memanggilku? Sita telah membuat kami berkenan”
Aku tidak bias mempercayai hal ini, kata Rama, itu benar, kau bias menanyakan pada dewa matahari, kata suara gaib itu.
Maka Dewa Matahari memberikan keterangan yang mebenarkan Sita. Ini membuat Rama dan Laksmana malu dan kagum atas kebajukan Sita. Dan Sita keempat saksi palsu tadi. Sungai Palgu dikutuk agar selalu mengalir di bawah tanah. Bunga Ketaki (Cempaka) bahwa bung aitu tidak akan pernah diterima oleh siwa sebagai persembahan pada beliau. Sapi dikutuk agar mulutnya selalu kotor (tidak suci/berwarna hitam), karena mahluk itu berbohong dengan mulutnya, sedangkan bagian belakaqng sapi itu juga akan selalu bersih (putih). Kemudian api dikutuk agar selalu melahap benda apa saja yang ada di dekatnya. Oleh karena itulah bunga cempaka tidak bias lagi dipakai untuk memuja Siwa.
Disamping itu juga Maharsi Narada mengutuk agar bunga cempaka tidak pernah diterima lagi menjadi . persembahan untuk dewa siwa.
Bunga Mitir, Tebu Ratu, Tibah dan Pisang Saba tidak baik untuk aturan . hal ini ada sebuah mithologi seperti diceritakan setelah meninggalnya Ida Sang Pandu, Dewi Kunti berkeinginan mengadakan upacara (yadnya) besar. Rencana ini diketahui oleh pihak Korawa tertama Duryadhana yang selalu iri dengan kemasyuran pandawa, terus berkeinginn untuk membencanai/menggagalkan upacara tersebut. Maka dia mengadakaan tapa dan memohon kepada Dewi Durga. Dan Dewi Durga menganugrahi keinginannya dnengan mengutus wadwa yang bernama Bhutakala Sakti yang menghancurkan dan merusak yadnya yang dilakukan oleh Pandawa. Karana sangat sakti dan tangguh sang Bhutakala sehingga tak bias ditaklukan oleh Pandawa, yang menyebabkan pandawa lari dan keterlibatan Sri Kresna dengan senjata Cakranyapun tidak mampu mengalahkan bhutakala tersebut.
Sehingga Sri Kresna Mampu mengetahui bahwa Bhutakalatersebut adalah anugrah dari Betari Durga untuk merusak upacara sang Pandawa. Sehingga Sri Kresna mendengar sabda “ Dewa-dewa Sri Kresna tidak pantas dewa lari dari peperangan melawa I Bhutakala. Sehingga trompet perarang dan trompen yadnya Dwarawti di bunyikan yang patut meniup adalah Nakula dan Sadewa. Begi tubunyi tropet perang dan trompet yadnya sang sangat gemuruh makan I Bhutakala berlari merasi diri akan kalah dalam mengahadapi Krisna dan sri Kresna terus mengejar untuk membunuh I Bhutakala dan Dewi Durga.
Pada saat itu Dewa Siwa sedang melaksanakan tapa tapi karena bising dengan suara trompet dan keributan perang tersebut, maka Dewa Siwa mendekati Sri Kresna dan bertanya. Sri Kresna menyampaikan permasalahannya dan berniat memohon anugrahuntuk membunuh Durga, Dewqa Siwa bersabda tidak akan dewa mampu untuk membunuh Dewi Durga tapi jika keras keingunanmu untuk membunuh Dewi Durga ini tongkat pakai, tetapi harus Nakula yang melaksanakan.
Cepat cerita Nakula sudah sampai dan bertemu dengan Dewi Durga dan tahu akan maksud dan tujuan kedatangannya, dan bersabda: “wahai anaku, aku tau akan dibunuh tetapi sebelum aku mati ada bisama adari aku :
• Darahku akan tumbuh menjadi bunga Mitir, tidak boleh di jadikan aturan.
• tulangku akan menjadi tebu ratu, tidak bias dijadikan raka-raka, tetapi baik digunakan untuk nguyeg tulang (menghancurkan tulang waktu Ngben) untuk sekah.
• Susuku akan tumbuh menjadi biyu saba (pisang kapok) baik untuk kehidupan bayi sebagai pengganti air susu ibunya.
• Kotoranku akan tumbuh menjadi Tibah (mengkudu) tidak ada gunanya buat manusia selain sekedar di pakai rujak.
Demikian beberapa sumber yang menyebutkan jenis-jenis bungan yang di hindari penggunaannya atau dilarang untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna, karena alasan tidak memiliki kesucian, tidak segar, layu, dan bekas dimakan ulat, serta alasan lainnya.
Fungsi Bunga
Dalam fungsinya sebagai saran upacara yajna, maka bunga untuk sarana persembaha, sarana untukmemuja Hyang Widhi, sarana untuk menum-buhkan suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsen-trasikan diri, dan sebagai kelengkapan membuat bebanten atau upakara.
Perlu diingat bahwa bunga mempunya dua funggsi :
a. Sebagai wujud atau simbul Siwa atau Hyang Widhi (Sang Hyang Puspadanta), seperti cerminan mantra berikut ini ;
“ Om puspa dantaya namah” (Wedaparikrama 46).
Dalam sembahyang bunga diletakan pada ujung kedua jari tengah paling atas (puncak) dan cakupan tangan berada diatas ubun-ubun. Setelah usai menyembah bunga di taruh diatas ubun-ubun atau juga bias di sumpangkan ditelinga yang bermakna sebagi simbul Siwa atau Hyang Widhi.
b. Sebagai sarana persembahan atau pemujaan, karena bunga dipakai banten atau sarana upakara yang di persem-bahkan kepada Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur.
Memperhaatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara yajna, maka sesungguhnya dari upakara yajna atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan, antara lain merupakan cetusan hati manusia (umat Hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kehadapan Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diujudkan dengan isi dunia yang berupa: air, api, bunga, buah-buahan, dan sebagainya; merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya; merupakan alat konsentrasi dan juga upakara yajna atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan kemahakuasanya untuk menuntun dan memberikan anugrah kepada Umat Hindu.
Om Santih Santih Santih Om
Share this:
Share
Loading...
February 13, 2025Leave a Reply
Makna Upacara Mawinten
Om Swastyastu
“Adbhir gatrani sudhyanti, manah satyena sudhyanti, Widyatapobhyam bhrtatma, buddhir jnanena sudhyati”.
Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
UPACARA Mawinten atau upanayana adalah merupakan salah satu upacara yang tergolong Manusa Yajna. Kata Mawinten berasal dari kata “Winten” (inten), adalah nama permata yang berwarna putih mempunyai sifat mulia, dapat memancarkan sinar berkilauan yang menyenangkan hati para peminat serta pemiliknya.
Bertitik tolak dari pengertian Mawinten sebagaimana telah disebutkan, maka setiap orang yang meyakini ajaran Hindu wajib hukumnya untuk melaksanakan upacara mawinten. Karena, upacara ini bertujuan untuk penyucian diri secara lahir batin.
Secara lahir upacara Mawinten bertujuan untuk membersihkan diri dari kekotoran yang melekat pada dirinya dengan menggunakan sarana air kumkuman (air yang berisi beraneka bunga harum).
Sedangkan secara batin adalah bertujuan untuk memohon penyucian diri kepada Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, agar diberikan waranugraha berupa tuntunan, bimbingan dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat suci seperti kesusilaan, Weda, susastra weda dan selanjutnya dapat mengamalkan ajaran-ajaran tersebut baik untuk diri pribadi maupun kepada orang lain yang memerlukannya.
Landasan sastra agama upacara Mawinten dijumpai dalam berbagai pustaka lontar seperti lontar Tutur Pamangku yang isinya tentang Dharma Pawintenan, Tutur Pawintenan isinya tentang tata cara Pawintenan yang paling kecil dengan upacara dan upakaranya dan lontar Janma Prakreti isinya mengutarakan tentang tingkatan-tingkatan upacara Pawintenan.
Mengacu pada pustaka lontar di atas, disebutkan pula ada beberapa jenis upacara Mawinten sebagai berikut:
1) Pawintenan Sastra/Saraswati,
2) Pawintenan Pamangku,
3) Pawintenan Dalang,
4) Pawintenan Tukang,
5) Pawintenan Balian/Dukun,
6) Pawintenan Sadeg/Dasaran,
7) Pawintenan Mahawisesa (pawintenan khusus bagi pengurus desa adat).
Pawintenan Sastra/Saraswati, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir batin dalam mempelajari pengetahuan (Weda) untuk peningkatan kepandaian berilmu. Jenis pawintenan ini dapat dimulai dari umur 5 tahun atau setelah tanggal gigi.
Pawintenan Pamangku, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir batin dalam tugas kepemangkuan yaitu sebagai pemangku pura yang bertugas memimpin pelaksanaan upacara serta menjadi perantara antara umat penyungsungnya dengan Tuhan Yang Maha Esa di suatu Pura.
Pawintenan Dalang, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir batin dalam tugasnya sebagai Dalang, dengan harapan dapat lebih mampu menarikan pemeranan tokoh-tokoh pewayangan dalam suatu acara pentas. Dalang yang professional dapat memberikan siraman atau pencerahan rohani kepada penonton dengan mengambil sumber ajaran Itihasa (Mahabharata, Ramayana) dan Purana.
Pawintenan Tukang, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir batin dalam tugas selanjutnya sebagai tukang, sesuai dengan profesi yang ditekuni dalam kehidupan untuk mempimpin suatu pekerjaan. Profesi tukang yang dimaksud adalah tukang banten/sajen/ tukang bangunan/undagi, tukang besi/pande, patung, wadah dan sebagainya.
Pawintenan Balian/Dukun, tujuan khususnya adalah untuk mensucikan diri secara lahir batin dalam tugas selanjutnya memberikan pengobatan alternatif terhadap suatu penyakit serta memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa agar si sakit dapat bisa disembuhkan.
Pawintenan Mahawisesa, tujuan khususnya adalah mensucikan diri secara lahir batin terhadap fungsionaris pengurus-pengurus DesaAdat (Bendesa Adat), dengan segenap jajarannya, agar dalam tugas dan pengabdiannya mampu mengemban dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Hindu di wilayah desanya serta dapat melaksanakan dengan baik.
Pawintenan Sadeg/Dasaran, tujuan khususnya untuk mensucikan diri secara lahir batin terhadap tugas selanjutnya, agar dalam pengabdiannya sebagai penyambung penyampaian pawisik/bisikan yang diterima dari Hyang Widhi/ manifestasiNya yang dimuliakan, diberikan kekuatan dengan tidak mengada-ada (membuat-buat).
JENIS-JENIS upacara Mawinten sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, hendaknya disesuaikan dengan profesi yang akan ditekuni dalam kehidupan.
Mengenai waktu penyelenggaraan upacara pawintenan umumnya menjelang upacara “Penyineban” atau hari penutupan Piodalan (ulang tahun pura) yang disebut dengan “Nyurud Hayu”. Nyurud artinya memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi nyurud hayu adalah memohon keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur. Selain itu, hari baik untuk melaksanakan upacara mawinten adalah pada Purnama, dengan tujuan supaya pembersihan dan penyucian terhadap dirinya benar-benar bersih serta terang benderang seperti sinarnya bulan purnama.
Secara umum tempat penyelenggaraan upacara Pawintenan itu adalah di Pura. Pawintenan untuk Pamangku biasanya dilaksanakan dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan.
Adapun pemimpin upacara pawintenan adalah seorang Pandita. Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai pandita, upacara pawintenan dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan pawintenan ini disebut Pawintenan ka Widhi.Penyelenggaraan semua jenis upacara pawintenan pada dasarnya sama yaitu sebagai berikut :
1) upacara persiapan : diawali dengan pembersihan lahir seperti menyapu halaman pura, menata dengan baik alat-alat upacara pawintenan sesuai dengan tempatnya, memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, upacara penyucian palinggih dengan menghaturkan sesajen.
2) upacara menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, selanjutnya mempersembahkan upakara-upakaranya dengan tujuan mohon agar beliau berkenan menjadi saksi dalam penyelenggaraan upacara pawintenan tersebut, sehingga upacara berjalan tertib, aman dan lancar.
3) upacara melukat yaitu pembersihan diri dari yang akan diwinten dengan sarana air kelapa muda (klungah) yang telah dijadikan Tirtha oleh pendeta/pinandita melalui doa, puja dan mantra weda. Selanjutnya dipercikkan ke ubun-ubun dan badan yang diwinten.
4) upacara mabyakala bertujuan memberikan pengorbanan suci kepada mahluk halus (bhutakala) agar tidak mengganggu jalannya upacara.
5) upacara Maprayascita adalah memohon kekuatan-kekuatan Tuhan/manifestasiNya agar yang diwinten dapat memiliki pandangan yang suci.
6) upacara pengukuhan (masakapan, padudusan, marajah) yaitu upacara penetapan sesuai dengan jenis profesi kepamangkuan yang ditekuni, ditandai dengan sarana penyucian asapnya api (dudus) dan menulisi organ tubuh yang diwinten dengan aksara-aksara suci.
7) upacara mejaya-jaya yaitu upacara yang bertujuan menyatakan rasa syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa, karena telah dapat dilaksanakan dengan baik.
8) upacara sembahyang, bertujuan mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa mohon tuntunan dan bimbinganNya agar yang diwinten dapat menjalankan kewajibannya sesuai jenis dan tingkatan pawintenannya.
Upacara pawintenan adalah merupakan salah satu kewajiban setiap umat Hindu dalam upaya mewujudkan kesejahteraan lahir maupun kebahagiaan bathin (jagadhita dan moksa).
Mengingat dari pandangan filosofis upacara pawintenan sarat dengan nilai-nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam.
Rangkaian upacara pawintenan yang dipaparkan di atas secara garis besarnya dapat ditarik makna sebagai berikut :
menenangkan dan memusatkan pikiran, sehingga dapat lebih terarah untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan.
mengendalikan diri dan menuntun seseorang untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran dharma.
merupakan tahapan atau jenjang dalam pendakian spiritual.
meningkatkan kebersihan dan kesucian diri pribadi.
pengabdian, pelayanan kepada Hyang Widhi Wasa dan masyarakat.
Demikianlah beberapa makna upacara pawintenan dalam agama Hindu yang sarat mengandung nilai-nilai etika, moral dan agama.
Om Santih Santih Santih Om
Oleh: I Wayan Sudarma
Share this:
Share
Loading...
January 2, 2025Leave a Reply
Budha Kliwon Pegatwakan
Budha Kliwon Pegatwakan (Budha Kliwon Pahang)
Om Swastyastu
Pegatwakan atau juga ditulis sebagai Pegat Uwakan merupakan rerainan Hindu yang datang pada Budha Kliwon Wuku Pahang atau pada setiap 210 hari (6 bulan sekali).
Budha Kliwon Pegat Uwakan ini mengandung arti pegat yang artinya putus dan uwakan (uwak) berarti kembali .
Pada rerainan ini biasanya umat Hindu akan mencabut penjor yang telah dipasang di depan rumah ketika penampahan Galungan lalu.
Rerainan Pegatwakan yang menjadi penanda berakhirnya rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan. Jika dihitung, rainan Pegatwatakan datang tepat 35 hari setelah perayaan galungan.
Piranti yang terpasang di penjor akan dibakar dan abunya dimasukkan dalam klungah nyuh gading yang telah dikasturi.
Setelah itu klungah nyuh gading tadi ditanam pada tempat pemasangan penjor tadi atau dapat ditanam di belakang palinggih Rong Telu. Maknanya, adalah, umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar diberkati kesuburan hingga rangkaian Hari Raya Galungan selanjutnya tiba dan umat bisa merayakannya dengan meriah dan sukacita.
Dalam teks Lontar Sundarigama dijelaskan sebagai berikut: “Pahang, Budha Kliwon Pegatwakan, ngaran, pati warah panelasning mengku, biana semadi, waraning Dungulan ika, wekasing pralina, ngaran kalingan ika, pakenaning sang wiku lumekasang kang yoga semadi, umoring kala ana ring nguni, saha widi-widana sarwa pawitra, wangi-wangi, astawakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa abesik, katur ring Sang Hyang Tunggal, panyeneng tatebus.
Artinya:
Pada Budha Kliwon Pahang adalah Hari Raya Pegatwakan, ini dikatakan sebagai hari berakhirnya tapa brata.Sang wiku patut melaksakana renungan suci dengan sarana wangi-wangian dan sesayut dirgayusa yang dipersembahkan pada Sanghyang Tunggal dengan dilengkapi penyeneng dan tetebusan.
Pengastawa dilaksanakan dengan pikiran dan budhi cita yang suci nirmala memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa / Bhatara memberikan waranugraha kedirghayusaning jagat raya dan atas welas asih serta kemurahan-Nya melimpahkan karunia di mayapada ini demi kesempurnaan dunia sampai dengan seluruh sarwa prani.
Sebelum mencabut Penjor dapat mengucapkan mantram berikut:
Om pakulun sanghyang sapta patala,
sira sanghyang sapta dewata,
sira sanghyang beda warna,
sira sanghyang tri nadi panca korsika,
sira sanghyang premana,
mekadi ta sira saghyang urip,
sira apageha ri sariraning rahayu,
aneda urip waras dirghaayu paripurna
sang angaturaken bhakti
Om pretiwi dewa sampurna ya namah swaha
Om apah teja jiwatam bayu akasa pramanam, dirghahayu jagad amertham, sarwa merana ya wicitram.
Saat Ngeseng Perlengkapan Penjor, dapat menggunakan mantra berikut:
Om Ang Ung Mang,
Om Ananthaboga bhyo namah swaha
Om Catur Detya Hyang Dewa Bhuta Kala,
Lingga bhuwana murti ya namah swaha.
Om paripurna ya namah swaha.
Demikian dapat dijelaskan secara singkat tentang Hari Suci Budha Kliwon Pegatwakan. Semoga bermanfaat
Om Santih Santih Santih Om
Oleh: I Wayan Sudarma (Penyuluh Agama Hindu Kab. Bangli)
Sumber bacaan:
1). Lontar Sundarigama
2). Surya Sewana
Share this:
Share
Loading...
February 8, 2023Leave a Reply
Makna Beberapa Upakara Pokok Hari Suci Kuningan
Oleh: I Wayan Sudarma
Om Swastyastu
Sepuluh hari setelah hari Galungan kita rayakan sebagai hari suci Kuningan. Jika diperhatikan dari saran upakara yang dipersembahkan pada Hari Suci Kuningan, tak berlebihan kiranya jika saya nyatakan kalau sesungguhnya Kuningan adalah merupakan pengejawantahan ajaran perasaan WELAS ASIH dari kemenangan Dharma (kebenaran) itu sendiri yang kemudian diwujudkan berupa pelaksanaan pelayanan dan pengabdian. Untuk itu mari kita telaah upakara inti dari hari Suci Kuningan dari sudut filosofis, yakni:
TAMIANG (Tameng), bisa dibuat dari janur, slepan (blarak, dalam bahasa Jawa), daun Ron (enau), juga bisa dari daun lontar, dibuat berbentuk bulat, menyerupai matahari atau bulan. Tamiang (Tameng) bermakna sebagai pelindung, yang sering digunakan oleh para ksatria dalam mempertahankan diri dari serangn musuh. Matahari dan bulan juga berfungsi sebagai pelindung agar semua mahluk hidup dapat hidup. Dalam ranah sekala kita sebagai umat semestinya mampu memberikan perlindungan, akan rasa aman danrij nyaman dari ancaman, gangguan baik sekala dan niskala, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan juga masyarakat, serta agar terhindar dari semua jenis marabahaya yang berasal dari luar.
SULANGGI atau NASI SULANGGI, upakara nasi lengkap dengan lauk-pauknya, yang ditempatkan pada wadah khusus bernama Sulanggi, dibuat menyerupai bunga yang mulai mekar, atau seperti tamas kecil. Secara Etimologi kata Sulanggi terdiri dari suku kata Su = baik, Langgi = panutan, umat Hindu harus dapat menjadi panutan baik bagi anak, istri, suami, keluarga, kerabat, bawahan. Intinya Ia harus menjadi suri tauladan dalam penegakan panji-panji kebenaran.
TEBOG atau NASI TEBOG, juga merupakan persembahan nasi lengkap dengan lauk-pauknya, yang dialasi dengan wadah yang dibuat menyerupai piring atau bunga yang sudah mekar. Kata Tebog (bahasa Jawa Kuno) artinya berbagi (sama rata), adil. Mengisyaratkan kepada umat Hindu untuk bisa saling care (melindungi) dan share (berbagi), apalagi kepada mereka yang kesusahan dan sedang menderita (daridra deva bhava = kaum fakir miskin yang datang kepadamu adalah perwujudan Tuhan). Juga bermakna rasa keadilan sesuai dengan tugas dan fungsi kita baik sebagai individu, bagian dari sebuah keluarga, dan di tengah-tengah masyarakat.
ENDONGAN , adalah sebuah jejaitan dari janur, slepan (blarak), daun ron enau), dan juga daun lontar yang dibuat menjadi berbagai reringgitan kemudian disatukan. Kata Endongan (bahasa Jawa Kuno) berarti: bergandengan, saling menuntun. Dalam mengarungi hidup ini kita tidak bisa berdiri sendiri kita membutukan orang bahkan mahluk lain, karena setiap kehidupan memerankan fungsinya sesuai dengan Rta (hukum abadi semesta alam).
KOMPEK, dibuat menyerupai Tas (betek) berisi tumpeng, buah, kue, dan lauk pauk. Kompek bermakna bahwa setiap manusia pasti membutukan bekal ataupun biaya untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk itu kita diwajibkan untuk dapat juga memberikan bekal penghidupan baik berupa makanan, harta, pendidikan, dan sebagainya kepada anggota keluarga, dan juga masyarakat. Seperti halnya Hyang Widhi dan Leluhur yang telah memberikan kita sumber penghidupan sampai saat ini.
Demikian sekiranya kupasan filosofis singkat dari makna Hari Suci Kuningan yang dapat diketengahkan. Jika kita renungkan secara seksama, Konsep ASIH PUNIA BHAKTI diajarkan oleh Leluhur Kita melalui Kuningan. Pesan inti dari Kuningan adalah agar kita dapat memperbaiki, menata dan mengaplikasikan hidup ini dengan rasa welas asih, sebagaimana Hyang Widhi, Leluhur mengasihi kita dengan pelbagai waranugrahaNya,, dan agar dapat kita meniti kehidupan yang jauh lebih bermartabat, bersahaja, dan akhirnya dapat berlabuh dilautan kedamaian.
“Kepada umat Hindu dimanapun berada, saya haturkan Selamat Hari Suci Kuningan, Semoga Kauningan/Kaelingan kita terus bertumbuh sehingga bisa mewujudkan hidup yang Santih”
Om Santih Santih Santih Om
Share this:
Share
Loading...
January 14, 2023Leave a Reply
Meneropong Persembahan Suci Sāttvika-Yajña
Oleh: Darmayasa
Om Swastyastu
aphalākāṅkṣibhir yajño vidhi-dṛṣṭo ya ijyate
yaṣṭavyam eveti manaḥ samādhāya sa sāttvikaḥ
(Bhagavad-gῑtā 17.11)
“Persembahan korban suci yang dilakukan oleh mereka yang sudah tidak menginginkan hasil dari persembahan korban suci yang dilakukan, persembahan korban suci yang dilakukan sesuai dengan aturan kitab suci, yang dilakukan setelah memantapkan dalam hati bahwa persembahan korban suci yang dilakukan adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan, persembahan korban suci seperti itu adalah korban suci dalam sifat kebaikan Sattva-guṇa.”
Bali terkenal sebagai pulau yajña. Mendengar nama Bali, orang luar Bali akan terbayang pada persembahan Banten, Canang, Gebogan, Banten Bebangkit, Pulagembal, Banten Taman Sari dan haturan-haturan yajña lain yang indah menarik. Persembahan-persembahan yajña seperti itu tidak ada duanya di dunia. Hanya ada di Bali. Warisan tradisi agama spiritual yang “the only one in the world” – satu-satunya di dunia. Sangat disayangkan jika ada orang berlebihan mempermasalahkan bebanten haturan indah tersebut. Sesuatu yang sangat indah dan merupakan satu-satunya di dunia, mengapakah kita sebagai umat Hindu Dharma tidak berbangga mempertahankan dan memperindah serta memurnikannya?
Pada umumnya umat belum memberikan pemahanan lebih pada persembahan suci yajña yang dilakukannya. Yajña ada dibedakan dalam tiga jenis, yaitu yajña dalam tingkat Tāmasa-guṇa, yaitu yajña yang dilakukan dalam sifat kegelapan dan kebodohan, Rājasika-guṇa yaitu persembahan suci yajña yang dilakukan dalam sifat kenafsuan, dan Sāttvika-guṇa, yaitu yajña-yajña yang dilakukan dalam sifat kebaikan, mulia, halus, indah asri penuh bhakti. Yajña yang dilakukan tidak semua sama. Ada pula yajña berbeda dipersembahkan kepada para Dewa-Dewi yang berbeda pula. Yajña dalam tutupan sifat alami Tri-guṇa tersebut dibedakan pula dalam 3 tingkatan, yaitu Kaniṣṭha-yajña (yajña yang terkecil paling sederhana), Madhyama-yajña (yajña menengah) dan Uttama-yajña (yang paling utama). Masing-masing juga dibedakan dalam tiga tingkatan lagi sehingga menjadi Navavidha-yajña atau sembilan jenis persembahan suci yajña. Keberadaan dan “rahasia” akan tiga jenis atau level yajña ini sangat penting diadakan pemahaman oleh umat. Jika tidak, maka umat akan melaksanakan yajña tanpa kendali dan tanpa arah jelas, hanya melihat lalu melakukan tanpa pemahaman yang benar.
Umat Hindu Dharma tidak bisa lepas dari yajña. Menurut Atharva Veda (12.1.1), pelaksanaan persembahan suci yajña juga berperan penting dalam usaha menjaga tegak dan damainya dunia (yajñaḥ pṛthivīṁ dhārayanti). Ida Sang Hyang Parama Kawi menciptakan alam semesta melalui yajña (saha-yajñāḥ prajāḥ sṛṣṭvā). Merupakan kewajiban umat untuk melakukan yajña. Kesadaran akan kewajiban dharma seperti itulah yang menyebabkan adanya tradisi pelaksanaan berbagai yajña setiap hari. Setidaknya umat sangat patuh mempertahankan tradisi pelaksanaan yajña-śeṣa atau masaiban setelah memasak. Selain itu, ada hari-hari tertentu dimana umat Hindu Dharma mempersembahkan yajña yang dilakukan secara khusus.
Secara umum yajña dibedakan dalam Nitya-yajña atau yajña yang dilakukan secara terus-menerus setiap hari, misalnya Yajña-śeṣa, Agnihotra dan lain-lain, selainnya ada Naimitika-yajña yaitu yajña yang dilakukan sewaktu-waktu dalam kurun waktu tertentu, bahkan ada yang dilakukan hanya sekali seumur hidup. Yajña-yajña dalam Naimittika-yajña antara lain Kajeng Kliwon, Purnama (Pūrṇimā), Tilem (Amāvasya), Piodalan-piodalan, Galungan, Otonan, Pawiwahan, Ngaben, dan lain-lain.
Ada pula yajña yang dibedakan dalam Pravṛtti-yajña, yaitu yajña yang dilakukan dalam mengumpulkan kārma (keinginan) demi pencapaian hidup damai sejahtera di dunia dan pencapaian Surga setelah meninggal.
Sedangkan jenis lain dinamakan Nivṛtti-yajña justru meninggalkan kāma (keinginan) untuk pencapaian pembebasan (mokṣa). Jenis dan tingkatan-tingkatan yajña ini sesungguhnya lebih banyak dilihat berdasarkan sarananya, bukan dari kegiatan apalagi hasil yang diperoleh dari pelaksanaannya.
Keutamaan sebuah yajña ditentukan oleh beberapa faktor. Yajña yang dilakukan dengan sarana yang sederhana (kaniṣṭha) bisa jadi nilainya lebih mulia daripada yajña yang dilakukan dengan sarana yang lebih mewah dan jumlah yang lebih banyak (madhyama atau uttama-yajña). Jika yajña dilakukan dengan baik dan penuh śraddha bhakti maka upacara kaniṣṭhaning kaniṣṭha (paling sederhana dari yang paling kecil sederhana) akan dapat mengalahkan upacara yang paling lengkap dari yang paling lengkap (uttamaning uttama).
Kekuatan śraddha bhakti sangat ampuh, yang mampu mengalahkan persyaratan upacara banten. Akan tetapi, kesiapan pemahaman seperti ini pastilah belum bisa diterima oleh masyarakat atau umat kebanyakan.
Peluang pergeseran pemahaman di masyarakat dapat terjadi yang menganggap keutamaan yajña ditentukan oleh sarana yang lebih banyak dengan biaya yang lebih mahal. Kecendrungan alpa seperti ini dapat terjadi dengan mudah pada siapa saja khususnya para Sarathi banten (tukang Banten) dan yang lainnya. Niat baik memperindah yajña di sana-sini belum tentu diperlukan dan/atau bisa terjadi penempatan yang tidak tepat. Hal tersebut bisa terjadi terutama pada Sarathi Banten yang alpa “nglinggihang” (memuja) Penguasa Banten, yaitu Sang Hyang Tāpinῑ serta para Ancangan pengiringnya (makadewaning tukang banten, Ida Hyang Bethari Umā, meraga Sang Hyang Tāpinῑ).
Salah satu faktor yang mempengaruhi keutamaan sebuah yajña untuk dapat ditingkatkan pada level Sātvika-yajña adalah keyakinan yang mantap (śraddhā), bahwa yajña harus dilakukan dengan penuh keyakinan (lascarya), artinya yajña harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas, tanpa ada rasa terpaksa atau dipaksa oleh siapa pun, terlebih jika yajña dilakukan demi harga diri, prestige atau status di masyarakat, maka tanpa disadari orang sudah menurunkan nilai yajña karena yajña tidak sekadar membuat banten sampai pelaksanaan upacara selesai.
Pemahaman arti dan makna yajña di dalam masyarakat perlu diperluas antara lain yajña juga merupakan sebuah usaha untuk mencapai masyarakat yang damai dan sejahtera lahir-batin. Untuk mencapai tujuan ini maka pemahaman yajña diarahkan juga dalam bentuk dṛvya yajña atau yajña harta benda.
Persyaratan lain dari Sāttvika-yajña yang patut dipenuhi juga adalah śāstra-pramāṇa, bahwa pelaksanaan yajña harus sesuai dengan petunjuk yang tercantum dalam Veda, Dharmaśāstra atau lontar-lontar bonafid yang dapat dipercaya. Yajña yang dilakukan berdasarkan “terka-terkaan”, sesuai dengan keinginan pribadi atau persetujuan beberapa orang, atau yang bertentangan dengan Śāstra-pramāṇa tidak dapat dikelompokkan ke dalam Sāttvika-yajña. Selanjutnya Sang Yajamāna (yang menyelenggarakan yajña) juga harus menghaturkan dakṣiṇā, wajib memberikan sesuatu yang layak kepada pemimpin upacara sebagai bentuk keseimbangan antara menerima dan memberi.
Selesai pelaksanaan upacara yajña Anna-dāna atau Anna-sevā harus dilakukan. Pada upacara yajña yang melibatkan orang lain sebagai pemimpin upacara atau mānuṣa-sākṣῑ maka sang Yajamāna wajib memberikan makanan dan minuman kepada mereka sebagai bentuk pelayanan dan penghormatan. Pemberian makanan merupakan bagian yang sangat penting dalam praktik-praktik upacara yajña yang dilakukan baik di Bali, India atau pun di tempat-tempat lain di dunia. Untuk Sāttvika-yajña Anna-dāna juga diusahakan yang Sāttvika-bhojanam, yaitu makanan dan minuman dalam sifat kebaikan (Sattva-guṇa).
Yajña hendaknya tidak dilakukan untuk tujuan pamer (nasmita). Sāttvika-yajña tentu harus dijauhkan dari tujuan pamer dan kebanggaan atau smita. Sattvika-yajña harus bersifat nasmita, bebas dari tujuan kebanggaan. Mereka yang hendak melaksanakan yajña diwajibkan menghitung kemampuan dirinya dan kemudian menentukan jenis, tingkat, atau besar-kecilnya yajña yang harus dilakukan. Umat yang baik akan menghindari pelaksanaan yajña yang “ditumpangi oleh rasa kebanggaan dan pamer, apalagi berakhir pada rasa tidak nyaman akibat utang-piutang dan kehabisan harta benda.
Persyaratan terpenting untuk sebuah Sāttvika-yajña adalah:
yajña hendaknya dilakukan dengan ketulusan dan kesungguhan hati sebagai sebuah kewajiban suci (yaṣṭavyam eva iti manaḥ samādhāya),
yajña harus terbebaskan dari keinginan untuk mendapatkan hasil atau pahala (aphalākāṅkṣibhiḥ yajñaḥ), dan
yajña harus mengacu dan/atau dilakukan berdasarkan pada vidhi-śāstra, kitab-kitab suci yang memang memberikan tuntunan serta aturan peraturan yang otentik untuk pelaksanaan Sāttvika-yajña. Manggalamastu.
Om Santih Santih Santih Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar