Jumat, 28 Maret 2025

Sesapan Tumpek Pengatag

Mantra Sesapan Tumpek Pengatag / Tumpek Wariga
Om Awighnam Astu Namo Siddham

Om Swasti Prajabhyaḥ Paripalayantām
Nyāyena Mārgeṇa Mahīṁ Mahīśāḥ।
Go-Brāhmaṇebhyaḥ Śubhamastu Nityaṁ
Lokāḥ Samastāḥ Sukhino Bhavantu॥

Om Sang Hyang Sangkara,
Ratu Ngurah Subandar,
Sang Hyang Wisnu Murti,
Anugrahakaning Sarwa Tumuwuh,
Mogi Rahayu Labda Karya,
Anugraha Werdhi Dhana Jaya,
Sidha Sidhi Labdha॥

Om Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Om

Makna Mantra:
Mantra ini dipanjatkan pada Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatag sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Sangkara, dewa yang melindungi tumbuh-tumbuhan. Umat Hindu berdoa agar tanaman tetap subur, memberikan hasil yang baik, serta memberikan berkah bagi kehidupan. Mantra ini juga mengandung harapan akan kesejahteraan dan kesuburan bagi seluruh alam semesta.

Makna Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga)

Pengantar

Tumpek Pengatag, yang juga dikenal sebagai Tumpek Wariga atau Tumpek Bubuh, adalah salah satu hari suci dalam kalender Hindu Bali yang jatuh setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Saniscara Kliwon Wuku Wariga. Hari ini memiliki makna spiritual yang mendalam karena berkaitan dengan penghormatan kepada tumbuh-tumbuhan sebagai sumber kehidupan.

Makna Filosofis

Tumpek Pengatag merupakan perwujudan rasa syukur manusia terhadap anugerah alam, khususnya tanaman dan pepohonan yang menyediakan makanan, obat, serta berbagai kebutuhan hidup lainnya. Perayaan ini berakar pada konsep Tri Hita Karana, yaitu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

Dalam ajaran Hindu, Tumpek Pengatag juga dikaitkan dengan pemujaan kepada Sang Hyang Sangkara, manifestasi Tuhan sebagai penjaga dan pemberi kesuburan bagi tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, upacara ini adalah bentuk doa dan harapan agar tanaman tetap subur dan memberikan hasil yang melimpah bagi kehidupan manusia.

Pelaksanaan Upacara

Pada hari Tumpek Pengatag, masyarakat Hindu Bali melakukan ritual khusus dengan menghaturkan sesajen atau banten yang terdiri dari bubur merah dan bubur putih (bubuh), yang melambangkan keseimbangan alam. Sesajen ini dipersembahkan kepada pohon-pohon dan tanaman dengan harapan agar mereka tumbuh subur dan menghasilkan buah yang baik.

Selain itu, para petani dan pekebun biasanya melakukan upacara di ladang atau kebun mereka sebagai bentuk permohonan berkah agar tanaman yang mereka rawat tidak terserang hama dan dapat memberikan panen yang baik.

Pesan Moral dan Lingkungan

Tumpek Pengatag mengajarkan manusia untuk selalu menjaga alam dengan penuh cinta dan tanggung jawab. Dalam konteks modern, perayaan ini dapat menjadi momentum bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan, seperti menanam pohon, mengurangi pencemaran, serta menjaga keberlanjutan ekosistem.

Dengan merayakan Tumpek Pengatag, umat Hindu Bali tidak hanya menjalankan tradisi leluhur tetapi juga memperkuat kesadaran akan pentingnya keseimbangan alam demi kehidupan yang harmonis dan lestari.

Kesimpulan

Tumpek Pengatag bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga refleksi dari filosofi kehidupan yang menekankan pentingnya hubungan manusia dengan alam. Melalui penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan, umat Hindu mengajarkan nilai-nilai kepedulian lingkungan, rasa syukur, dan keseimbangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, Tumpek Pengatag adalah momen penting untuk merefleksikan bagaimana manusia bisa hidup selaras dengan alam demi keberlanjutan masa depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar