Melaksanakan Upacara Raja Sewala Dan Raja Singa (Menek Bajang) Massal di Griya Agung Bangkasa
Menek bajang masal ini didanai masing-masing keluarga dengan beban Rp. 100.000 per orang yang digunakan untuk biaya banten dan konsumsi saat ngayah, sementara konsumsi di hari pelaksanaan didanai oleh Yayasan Widya Daksha Dharma.
Peserta kali ini diikuti oleh 22 orang, terdiri dari 10 putri dan 12 putra, waktu yang diperkirakan berjalan dari jam 07.00 sampai jam 14.00 dapat dilaksanakan dengan lancar ternyata bisa berakhir sebelum tengah hari.
Diawali dengan upacara melukat, kemudian stelah berganti pakaian disambung dengan acara natab dan sekaligus melakukan persembahyangan Purnama, terakhir ditutup dengan acara membasuh kaki orang tua dan sungkeman dari peserta kepada orang tuanya masing.
menek bajang 2
Peserta bersama para ibu
menek bajang 3
Persiapan awal natab
Semoga dengan prosesi ini para peserta menjadi pribadi remaja yang beranjak dewasa yang dilandasi dengan ajaran dharma dan kelak menyongsong upacara selanjutnya yakni Potong gigi / Mesangih / Metatah atau Mepandes.
Pemangku:
Jro Mangku Gde I Gede Sugata Yadnya Manuaba
UPACARA MENEK BAJANG
A. MAKNA DAN TUJUAN
Upacara menek kelih tergolong kedalam upacara manusa yadnya sebagai wujud bhakti dan pembayaran pitra rna.Upacara Menek Kelih/ bajang memiliki makna sebagai wujud angayubagya kahadapan Hyang Widdhi Wasa, dalam manifestasinya sebagai Hyang Samara Ratih, agar dituntun dan diberikan jalan baik dan benar serta di jauhkan dari hal hal yang menyesatkan.
Hyang Smara Ratih adalah manifestasi Hyang Widdhi yang mengendalikan kama bang (pada anak perempuan) dan kama petak (pada laki-laki). Upacara ini dilaksanakan pada saat anak mulai beranjak remaja atau akil balik, kurang lebih berumur 14 tahun sampai 20 Tahun.
Menek Kelih sering disebut juga Ngeraja yang artinya menginjak remaja. Untuk laki-laki disebut Ngeraja Singa atau Menek Taruna sedangkan untuk perempuan dinamakan Ngeraja Sewala atau Menek Taruni, Bajang, Deha. Perubahan yang dialami anak akan terlihat saat mereka dewasa, ciri ciri nya pada pria ditandai dengan perubahan suara yang bertambah besar yang dalam bahasa Bali nya di sebut Ngembakin, mulai ditumbuhi bulu/rambut pada bagian bagian tertentu, jakun pada dileher bahasa Bali nya batun salak dan Otot yang mulai mengembang. Sementara untuk wanita di tandai dengan membesarnya buah dada/payudara, dalam bahasa Bali nyonyon atau susu, mulai mengalami datang bulan/menstrubasi atau haid dalam bahasa Bali sebel dan penggul yang mulai membesar.
Pada saat itu, semua perubahan perubahan mulai terjadi pada batin dan diri mereka, seperti rasa malu, suka menyendiri, menjaukan diri dari keramaian, sering termenung, menghayal, bersolek dan bercermin di depan kaca dan terkadang kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Serta yang paling di tunggu tunggu oleh para anak anak yang beranjak dewasa adalah timbulnya getar asmara atau pubertas, karena pada saat itu umat Hindu percaya Dewa Asmara atau sebut juga Hyang Semara Ratih mulai masuk dan menempati lubuk hati mereka. Adanya perubahan secara biologis tersebut mempengaruhi perkembangan lahir maupun batin mereka, maka dengan itulah diadakan Upacara Menek Kelih ini yang mempunyai hakekat agar mereka lebih mengerti arti dari kedewasaan baik jiwa maupun pikiran.
Disnilah kewajiban orang tua tak henti-hentinya berupaya menasehati dan mendoakan secara niskala dengan upacara menek bajang. Unsur upacara menek bajang meliputi pembersihan sekala dengan mandi. Pembersihan niskala dengan melukat, mebyakawon, durmenggala dan prayascita yang dirangkai dengan permohonan melalui sesayut.
B. UPAKARA MENEK BAJANG
Beberapa sarana/sesajen upacara Menek Kelih yang diperlukan:
1. Banten Leluhur untuk satu keluarga masing-masing 1 (Pejati, sandingan/ sesuai
kemampuan)
2. Banten Mepiuning ring Pura:
a. Pejati, sandingan/ sesuai kemampuan
b. Ajuman
c. Canang
d. Segehan
3. Toya Kumkuman bunga 7 warna yang ditunas di pelinggih Dewi Saraswati sehari
sebelumnya (malam harinya)
4. Banten Pembersihan:
a. Banten byakala 1
b. Banten durmenggala 1
c. Banten prayascita 1
d. Bayuhan 1
5. Untuk Wanita :
a. Banten sesayut tabuh rah 1
b. Banten Catur sanak masing-masing 1
6. Untuk Pria:
a. Banten sesayut ngraja singa 1
b. Banten padedarian 1
c. Banten Catur sanak masing-masing 1
7. Banten Tataban bersama
a. Tumpeng pitu/11, dst. Sesuai kemampuan
b. Aneka sesayut yang merupakan harapan
8. Kelengkapan lainya
a. Sirawista sebanyak peserta (disipakan dipura)
b. Baskom dan cedok/ air dalam botol untuk padasewanam (sungkeman)
disipakan peserta
c. Baju adat ringan saat melukat (baju pasraman), ganti pakaian sembahyang
setelah melukat.
C. TATA CARA PELAKSANAAN UPACARA
Upacara dilakukan di wantilan, laki-laki disebelah kanan dan perempuan disebelah kiri untuk memudahkan dalam prosesi upacara dengan rangkaian sebagai berikut:
1. Hari Minggu (30 Maret 2025, Pk. 19.00 wita) mepiuning di Pura Panataran Merajan Agung Dalem Tang suba sekaligus nunas kumkuman dipelinggih Sang Hyang Aji Saraswati yang akan digunakan sebagai melukat oleh pemangku dan sarati banten. Air kumkuman bisa terdiri dari 3,5,7,11 warna bunga yang merupakan sarana penyucian. Mandi kumkuman memiliki maksud agar jiwa dan raga menjadi suci dan agar lebih waspada dalam mengarungi jenjang kehidupan ini. Melukat dengan toya kumkuman dapat pula dilakukan setiap purnama tilem, hari kelahiran dan hari suci lainya.
2. Hari Senin (31 Maret 2025, Pk. 07.00-selesai) acara inti:
a. (07.00-07.30) Nagturang banten upacara menek bajang sekaligus nunas pengelukatan (Mangku Gede)
b. (Pk. 07.30-08.00) Melukat dengan toyo kumkuman yang dipimpin pemangku, dilaksanakan di natar Griya Agung Bangkasa. Disiapkan dua tempat melukat yang dipandu pemangku sebagai petugas. Peserta akan dipanggil satu persatu untuk dilukat demi ketertiban. Selama melukat peserta diharapakan memfokuskan diri dengan menghaturkan gayatri mantram dalam hati memohon penyucian kehadapan Sang Hyang Aji Saraswati.
c. (Pk. 08.00-09.00) eteh-eteh byakala, durmenggala, prayascita, bayuan (Mangku & Serati).
d. (Pk. 09.00-10.00) Natab teabasan sesayut,
-sesayut tabuh rah bagi yang perempuan,
-sesayut raja singa bagi peserta laki-laki,
-bersama: atma rauh, pengenteg bayu, pageh tuwuh, sapuh lara melaradan.
e. (Pk. 10.00-11.00) Sembahyang bersama
1. Sembah puyung (Paramatma)
2. Dengan bunga (Surya)
3. Dengan kwangen/ bunga jangkep (Arda Nareswari- Smara Ratih)
4. Dengan kwangen/ bunga jangkep (Sang Hyang Aji Saraswati)
5. Dengan kwangen/ bunga jangkep (leluhur)
6. Dengan kwangen/ bunga jangkep (anugrah)
7. Sembah Puyung (Parama Acintya)
f. (Pk. 11.00-12.00) Natab banten ayaban tumpeng pitu & Nunas Tirta
g. (Pk. 12.00-13.00) Pada sewanam-sungkeman dengan orang tua
h. (Pk. 13.00-14.00) Makan siang dirangkai dengan:
i. Sambutan Panitia/Penglingsir Griya
ii. Dharma wacana dengan tema makna upacara menek bajang.
D. PEMAKNAAN
4.1. BEYAKALA
Mantra:
Om Pakulun sang kala kali puniki pabhyakalan nira sang yajamana katur ring
sang kala kali, sira ta reka pakulun angluarkna sakweh ikang kala kacarik, kala
pati, kala lara, kala karogan-rogan, kala gringgingan, kala sepetan, kala
undar-andir, kala brahma, mekadi sakweh ikang kala wighna kaluarana
denira bhatara Siwa, lah sama mata sira sang kala-kali, mundur sedulur maring
ipun sang abhyakala, den ipun anutugaken tuwuh tunggunen denira sang hyang premana ketekan sasi nadyan ipun.
Nama-nama kala yang ada sesunggunya merupakan sad ripu yaitu musuh-musuh di dalam diri serta dasamala sepuluh kotoran bathin yang mengalangi kemajuan rohani manusia. Kala kecarik misalnya adalah sifat yang suka menunda-nunda pekerjaan, pati-selalu ingin berkuasa atau menang sendiri, lara-penderitaan, roga-penyakit, ... kala wighna-yang menghalangi. Semua bhutakala itu bersumber dari Sang Kala-Kali, yang sesunggunnya semua bhuta kala itu berada didalam diri, dengan beyakala itulah Bhatara Siwa mengeluarkan semua bhuta kala itu melalui banten serta lis senjata yang merupakan perwujudan dari Bhatara Siwa yang bermanifestasi menjadi sang Hyang Sapuh jagat.
Bhuta kala ini adalah kekuatan negatif yang merupakan dampak dari masih terikatnya manusia oleh panca maha buta. Dengan demikian maka fungsi dari beyakala adalah agar kekuatan negatif dari bhuta kala dikeluarkan dari tubuh yang bersangkutan agar menjadi bersih dan dapat hidup sehat dan panjang
umur.
4.2. DURMENGGALA
Mantra:
Om sang kala purwa sangkala bajra, sang kala sakti, sang kala ngulengleng, sang kala petre, aja sira pati pepanjingan, pati peperepet ngi, iki tadah saji nira penek lawan trasi bang bawang jahe. Anadaha sira tur lunga, menawi kirang tadahan iki jinah satak slawe, lawe satukel, nggene tuku ring
pasar agung ajaken sanak ira kabeh aja sira mewali muwah, wehakena menusan nira urip waras dirgahyu dirgayusa mwang presida nutugaken dharma kalepasan.
Om mertyunjaya rakta sraya
Sarwa roga upadrawa
Papa mertyu sangkara
Sarwa kali kalika syah
Wigraha ngawipada
Susupena durmenggala
papa kroda winasaya
sarwa wighna ya namah swaha.
Kedurmenggalan adalah kotoran batin perbuatan-perbuatan yang banyak dipengaruhi oleh lingkungan diluar diri. Kekuatan alam yang bersifat negatif yang bisa mempengaruhi perilaku manusia sehingga cenderung memilih hal-hal negatif. Dengan banten durmenggala diharapkan kekuatan negatif itu (sang kala purwa sangkala bajra, sang kala sakti, sang kala ngulengleng, sang kala petre) tidak merasuki pikiran dan mempengaruhi hati manusia (aja sira pati pepanjingan).
Dengan keluranya halangan dari bhutakala diharapkan mampu menhadapi kehidupan ini dengan sehat panjang umur dan pada akhirnya fokus pada ajaran kalepasan (kamoksan) Dalam bait mantra teks sansekrtanya merupakan pujian bahwa kita bersandar pada Sang Hyang Mertyunjaya yang berwarna merah, Sehingga manusia terhindar dari berbagai penyakit (sarwa roga), terhindar dari kesusahan (upadrawa ) perbuatana dosa (papa), dan terhindar dari kematian-pralaya (mertyu-sangkara). Memiliki kelengkapan keterampilan (ngawipada) kemampuan memilah-milah baik dan buruk (wigraha), Lenyapnya dosa-dosa, kemarahan dan segala rintangan (papa kroda winasaya sarwa wighna ya namah swaha)
4.3. PRAYASCITA
Tentang Prayascitta, kakawin Niti Sastra sargah VIII dalam tembang ragakusuma menyuratkan:
Dhumojjwālaning anggesêng cawa mareng awak anurudaken kayowanan. Prāyaçcitta mayajna homa wangunên pangilanganira pāpa kaçmala.
Terjemahan:
Jika panas nyala api pembakaran mayat mengenai tubuh, maka ia akan mengurangkan tenaga kembang tubuh itu. Maka sebaiknya adakanlah Prāyaçcitta sesaji untuk menghilangkan kehinaan dan kekotoran
Dalam kalimat Kakawin Nīti Çāstra diatas dijelaskan bahwa:
1. Pertama; Jika panas nyala api pembakaran mayat mengenai tubuh, maka ia akan mengurangkan tenaga kembang tubuh (anurudaken kayowanan).
2. Kedua; maka sebaiknya adakanlah sesaji (Prāyaçcitta) untuk menghilangkan kehinaan dan kekotoran (pāpa kaçmala).
Kata Prāyaçcitta jika diuraikan sangat menjadi Prāyaç dan citta. Kata Prayas berarti mengalir, menyucikan, citta berarti alam pikiran. Ada dua hal yang penting berkenaan dengan kata Prāyaçcitta. Prāyaç (mengalir), adalah sifat dari air yang membersihkan, juga sifat dari energi yang mengalami perubahan bentuk, namun hakikatnya tetap yaitu energi yang memberikan daya hidup. Dengan demikian Prāyaç memiliki makna yang menyucikan dan mengalirkan atau memberikan daya hidup.
Citta adalah alam pikiran, yang merupakan manifestasi dari pertemuan purusha dan prakerti. Sebagai manifesatsi pertama dari ciptaan maka citta sangatlah murni bila dibandingkan dengan buddhi (kecerdasan) maupun manah (pikiran). Sehingga citta dapat diartikan murninya alam pikiran
kembali. Jadi Prāyaçcitta, berarti yang menyucikan dan mengalirkan atau memberikan daya hidup, menuju kepada pemurnian atau kembali pada yang sejati.
Prāyaçcitta adalah upaya mengurangi bahkan dipandang mampu menetralisir pengaruh energi pralina (mertyu). Prāyaçcitta menyucikan dan mengalirkan atau memberikan daya hidup (amertha), menuju kepada pemurnian kembali akibat kotoran yang disebut pāpa kaçmala. Mertyu dan amertha merupakan dua hal yang selalu berpasangan walaupun bertentangan, seperti siang dan malam. Daya mertyu memiliki dampak negatif bagi kehidupan, sehingga memerlukan daya amertha sebagai lawan dari mertyu.
Dalam puja mantra kita sering mendengar Panca aksara Mahamertha yaitu Namashivaya, jika diurai menjadi Na-Ma-Shi-Va-Ya dalam pengider berada di tengara-barat daya-barat laut-timur laut-tengah. Panca aksara berarti lima aksara (kekal), dan Mahamertha berarti kehidupan yang agung.
Dengan demikian Panca aksara Mahamertha berarti lima aksara (kekal) yang merupakan sumber kehidupan yang agung. Sehingga antara prayascita dan pancaksara mahamertha memiliki fungsi yang sama yaitu mengembalikan daya tumbuh kembang yang terhambat. Berdasarkan matram prayascita dapat diketahui unsur-unsur yang dibersihkan dalam upacara pemrayascitta sebagai berikut:
Om Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang
Om Ang Ung Mang.
Om Agni rahasia muka mungguh bungkahing ati, angeseng salwering dasa mala teka geseng, geseng, geseng. Om Prayascita subhagyamastu tat astu swaha.
Dengan demikian Prayascita adalah upaya untuk membakar kekotoran bathin berupa dasa mala, dengan kekuatan api rahasia yang berada didalam hati (Agni rahasia muka mungguh bungkahing ati).
4.3. PENGULAPAN/ BAYUHAN
Om Pukulun Sang Hyang Sapta Patala, Sang Hyang Sapta Dewata, Sang Hyang Wesrawana, Sang Hyang Trinadi Pancakosika, Sang Hyang Premana mekadi Sang Hyang Urip, sira amagehaken ri stanan nira sowang-sowang, pakenaning hulun hangeweruhi ri sira, handa raksanan den rahayu, urip waras dirghayusa sang inambian mwang sang inulapan. Om Siddhirastu ya namah swaha.
Dari mantram diatas dapat diketahui bahwa pengulapan/ bayuan memiliki maksud agar yang bersangkutan rahayu (sejahtera), urip waras (hidup sehat) dan panjang umur (dirghayusa)
4.3. AYABAN TUMPENG 11
Dihaturkan kehadapan Om Pukulun Sang Hyang Sapta Patala, Sang Hyang Sapta Dewata, Sang Hyang Wesrawana, Sang Hyang Trinadi Pancakosika, Sang Hyang Premana, dengan tujuan memohon rahayu (sejahtera), urip waras (hidup sehat) dan panjang umur (dirghayusa). Setelah ayaban dihaturkan kemudian ditunas dengan natab diarahkan keulu hati.
4.3. TETEBASAN
Merupakan simbol dari permohonan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya:
1. Smara-Ratih (agar dewa asmara menuntun menuju kehidupan yang benar)
2. Atma rauh (agar sang jiwa benar-benar hadir dalam diri sebagai kusir yang mengarahkan pada jalan kebenaran)
3. Pengenteg bayu (agar sang jiwa benar-benar mantap tak tegoyahkan, menuntun manusia menjadi pribadi yang kuat dan tangguh)
4. Pageh tuwuh (agar hidup kokoh, kuat dan panjang umur)
5. Sapuh lara melaradan (agar segala penyakit, penderitaan disingkirkan)
6. Ngeraja singa (menandai bahwa sianak (pria) telah beranjak dewasa)
7. Tabuh Rah (menandai bahwa sianak (perempuan) telah beranjak dewasa)
8. Banteng Datengan (menyatakan selamat datang, pada masa yang baru
yang hendaknya dimaknai dengan bertumbuhnya kedewasaan pikiran)
3. PENUTUP
Upacara Ngeraja Singa/ Sewala merupakan upacara sebagai penanda dimulainya masa akil balik (deha) dimana dengan penuh kesadaran dibimbing agar mereka menyadari bahwa mulai adanya perubahan-perubahan dalam diri yang ditandai dengan perubahan fisik maupun perasaan suka dengan lawan jenis. Hal ini tiada lain adalah akibat Sang Hyang Smara Ratih mulai mendekati kehidupan mereka, dengan upacara menek deha diharapkan Sang Hyang Smara Ratih menjadi pembimbing kehidupan mereka agar senantiasa berada dijalan dharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar