Minggu, 23 Maret 2025

Festival Ogoh-Ogoh

Festival Ogoh-Ogoh: Antara Kompetisi dan Pelestarian Budaya

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba


Festival Ogoh-Ogoh telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. Setiap tahun, umat Hindu di Bali, terutama para pemuda, berkreasi menciptakan Ogoh-Ogoh dengan berbagai bentuk yang mencerminkan Bhuta Kala atau kekuatan negatif yang harus disucikan sebelum memasuki Tahun Baru Saka. Namun, dalam perkembangannya, Festival Ogoh-Ogoh kerap dijadikan ajang perlombaan yang justru dapat menggeser esensi utama dari tradisi ini.

Ogoh-Ogoh sebagai Warisan Seni dan Budaya

Ogoh-Ogoh tidak sekadar karya seni rupa, tetapi juga memiliki nilai filosofis yang mendalam. Pembuatan Ogoh-Ogoh adalah bentuk refleksi manusia terhadap kekuatan negatif dalam diri dan lingkungan, yang kemudian harus dinetralisir melalui prosesi Ngrupuk atau Pengerupukan. Tradisi ini memiliki makna spiritual yang kuat, dan seharusnya tetap dipertahankan sebagai bagian dari ajaran Tri Hita Karana—hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Ogoh-Ogoh: Dari Tradisi ke Festival

Ogoh-ogoh merupakan karya seni rupa dalam bentuk patung raksasa yang dibuat dari bambu dan kertas, kemudian diarak keliling desa pada malam Pengerupukan, sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Tradisi ini awalnya bersumber dari konsep Bhuta Yadnya, yaitu upacara untuk menetralisir kekuatan Bhuta Kala (roh jahat) agar tidak mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan manusia.

Seiring perkembangan zaman, ogoh-ogoh mulai dikreasikan dengan berbagai bentuk yang tidak hanya berwujud raksasa menyeramkan, tetapi juga figur-figur dari mitologi Hindu, makhluk fantasi, hingga tokoh-tokoh modern. Kemajuan ini mendorong masyarakat Bali, khususnya para pemuda, untuk lebih kreatif dalam membuat ogoh-ogoh, sehingga tradisi ini berkembang menjadi bagian dari seni pertunjukan dan budaya.

Pemerintah Bali melihat potensi besar dalam tradisi ini dan pada tahun 1983 secara resmi menjadikan Ogoh-Ogoh sebagai festival budaya yang didukung oleh pemerintah daerah. Festival Ogoh-Ogoh kemudian menjadi daya tarik wisata, menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin menyaksikan keunikan perayaan menjelang Nyepi.

Upacara Ogoh-Ogoh dalam Perayaan Nyepi

Walaupun Ogoh-Ogoh berkembang menjadi festival, pada dasarnya keberadaannya tetap memiliki makna sakral dalam rangkaian Hari Raya Nyepi. Prosesinya tetap mengikuti aturan adat dan agama yang berlaku. Sebelum diarak, ogoh-ogoh biasanya didoakan dengan upacara pecaruan di perempatan jalan atau titik-titik tertentu dalam desa. Upacara ini bertujuan untuk menyeimbangkan unsur alam semesta dan membersihkan lingkungan dari pengaruh negatif Bhuta Kala.

Setelah diarak keliling desa pada malam Pengerupukan, sebagaian atribut dari ogoh-ogoh atau sanggah cucuk nya kemudian dibakar sebagai simbol pemusnahan sifat-sifat buruk yang harus dilepaskan sebelum memasuki Nyepi, hari penyucian diri. Meskipun ada beberapa daerah yang tidak membakar ogoh-ogoh dan memilih menyimpannya sebagai karya seni, esensi ritualnya tetap terjaga masyarakat kadang-kaadang membuat dua atau lebih ogoh-ogoh, satu sebagai karya seni budaya yang divestivalkan dan ada ogoh-ogoh duplikat yang dibuat untuk dibakar melalui rangkaian upacara yang dilakukan sebelum dan sesudah pawai.

Konsep "Kangin" dalam Pengaturan Festival Ogoh-Ogoh oleh Pemerintah

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Bali berupaya menata pelaksanaan Ogoh-Ogoh agar tidak hanya menjadi ajang kreativitas seni, tetapi juga tetap berlandaskan nilai-nilai Hindu. Konsep "Kangin" yang diterapkan oleh pemerintah bertujuan untuk memastikan bahwa perayaan Ogoh-Ogoh tetap sesuai dengan aturan adat, agama, dan budaya yang berlaku, sehingga tidak mengurangi esensi makna dari ritual tersebut. Berikut akronim untuk KANGIN dalam pengaturan Festival Ogoh-Ogoh oleh Pemerintah:

KANGIN = Kreatif, Adil, Norma, Gema, Integritas, Nyata

1. K – Kreatif → Mendorong inovasi seni tanpa meninggalkan nilai tradisi.

2. A - Adil→ Menjamin keadilan dalam aturan adat dan agama yang diterapkan.

3. N – Norma → Mengacu pada norma budaya dan keagamaan yang harus dijunjung tinggi.

4. G – Gema → Memastikan festival ini tetap bergaung sebagai identitas budaya Bali.

5. I – Integritas → Menjaga esensi ritual dan makna spiritual dalam pelaksanaan.

6. N – Nyata → Pengelolaan yang nyata dan berkelanjutan demi kelestarian tradisi.

Konsep KANGIN ini menguatkan bahwa festival Ogoh-Ogoh tidak hanya sebagai hiburan semata, tetapi tetap dalam koridor adat, agama, dan budaya yang sesuai dengan nilai-nilai Hindu di Bali.


Beberapa langkah yang diambil dalam pengaturan festival Ogoh-Ogoh meliputi:

1. Pembatasan Tema – Ogoh-ogoh harus tetap menggambarkan tokoh-tokoh mitologi, Bhuta Kala, atau figur yang memiliki nilai edukatif dan relevan dengan ajaran Hindu.

2. Aturan Mengenai Arak-Arakan – Pawai harus dilakukan dengan tertib, tanpa tindakan anarkis atau konsumsi minuman keras, serta harus berakhir sebelum tengah malam.

3. Dukungan Adat dan Keagamaan – Setiap ogoh-ogoh yang diarak harus mendapatkan restu dari desa adat setempat dan melalui prosesi upacara pecaruan.

4. Evaluasi dan Festival Berjenjang – Beberapa daerah mengadakan festival ogoh-ogoh sebelum Pengerupukan untuk memilih karya terbaik, yang nantinya akan mewakili desa dalam pawai utama.
Kesimpulan

Ogoh-ogoh telah mengalami transformasi dari ritual sakral menjadi festival budaya yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai Hindu. Dengan adanya konsep "Kangin" yang diterapkan oleh Pemerintah Bali, festival ini tetap berjalan sesuai dengan aturan adat dan agama, sehingga tidak mengurangi esensi makna dari ritual penyucian sebelum Hari Raya Nyepi.

Melalui pengelolaan yang baik, Ogoh-Ogoh bukan hanya menjadi warisan budaya yang lestari, tetapi juga menjadi media edukasi bagi generasi muda tentang filosofi Hindu dan pentingnya menjaga keseimbangan alam semesta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar