Selasa, 18 Maret 2025

SESANA SANG SULINGGIH KEPADA GURU NABE

BUKU BESAR SESANA SANG SULINGGIH KEPADA GURU NABE

(Khususnya Nabe Siksa Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa)

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd


KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerah-Nya sehingga penyusunan "Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe" ini dapat terselesaikan. Sesana ini disusun sebagai pedoman bagi para Sulinggih dalam menjaga hubungan dengan Guru Nabe, khususnya dalam garis Parampara Griya Agung Bangkasa, agar tetap berjalan sesuai dengan ajaran leluhur dan nilai-nilai Dharma.

Dalam tradisi Hindu di Bali, seorang Sulinggih memiliki kewajiban utama untuk menghormati, mematuhi, dan menjunjung tinggi Guru Nabe, yang telah memberikan tuntunan dalam prosesi Diksa serta membimbing dalam perjalanan spiritual. Oleh karena itu, terdapat tata laku yang harus dipegang teguh agar hubungan antara Sulinggih dan Guru Nabe senantiasa berada dalam kesucian, ketulusan, dan kesetiaan.

Sesana ini memuat kewajiban, larangan, serta sanksi yang berlaku bagi seorang Sulinggih dalam menjalin hubungan dengan Guru Nabe, sehingga nilai-nilai luhur parampara tetap terjaga dan tidak terputus oleh pergeseran zaman. Kami berharap, dengan adanya pedoman ini, para Sulinggih senantiasa dapat menjalankan Dharma, menjunjung tinggi ajaran leluhur, serta menjaga keluhuran tradisi kesulinggihan di Bali.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe ini. Semoga pedoman ini dapat memberikan manfaat dan menjadi pijakan dalam menjalankan laku spiritual sesuai dengan ajaran suci para leluhur.

Om Santih, Santih, Santih Om.

Griya Agung Bangkasa, [Tanggal Penyusunan]

Penyusun

Ida Sinuhun Siwa Putri Paramadaksa Manuaba


PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam tradisi Hindu di Bali, seorang Sulinggih adalah sosok suci yang telah melalui prosesi Diksa dan menjalani kehidupan tapa brata untuk mencapai kesucian lahir dan batin. Seorang Sulinggih tidak hanya bertanggung jawab dalam membimbing umat, tetapi juga memiliki kewajiban utama untuk menghormati, mematuhi, dan menjunjung tinggi Guru Nabe yang telah memberikan tuntunan dalam Diksa serta perjalanan spiritualnya.

Dalam garis Parampara Griya Agung Bangkasa, hubungan antara Sulinggih dan Guru Nabe diatur oleh Sesana, yaitu pedoman moral dan etika yang harus ditaati. Sesana ini memastikan bahwa setiap Sulinggih tetap setia pada ajaran leluhur, menjaga kemurnian ilmu spiritual, serta tidak menyimpang dari nilai-nilai Dharma. Namun, di era modern ini, tantangan seperti pergeseran nilai, kesalahpahaman ajaran, dan kurangnya pemahaman akan Sesana dapat mengancam keberlanjutan tradisi ini. Oleh karena itu, diperlukan pedoman yang jelas agar hubungan Sulinggih dengan Guru Nabe tetap terjaga sesuai dengan ajaran suci leluhur.

2. Tujuan

Penyusunan "Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe" ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan kewajiban seorang Sulinggih dalam menghormati, mematuhi, dan menjaga hubungan dengan Guru Nabe sesuai dengan ajaran Parampara Griya Agung Bangkasa.

2. Menyediakan pedoman moral dan etika bagi Sulinggih agar tetap berada di jalur Dharma dalam menjalankan tugas spiritualnya.

3. Menjaga kelestarian ajaran Parampara agar tetap murni dan tidak terpengaruh oleh pergeseran zaman atau interpretasi yang menyimpang.


4. Mencegah konflik dan penyimpangan dalam hubungan antara Sulinggih dan Guru Nabe dengan menegaskan larangan serta sanksi bagi mereka yang melanggar Sesana.


5. Meningkatkan pemahaman akan nilai-nilai kesulinggihan dalam tradisi Hindu Bali, khususnya dalam garis Griya Agung Bangkasa.

3. Manfaat

Dengan adanya pedoman Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Sulinggih:

Menjadi pedoman dalam menjalankan hubungan yang harmonis dengan Guru Nabe.

Membantu menjaga kesucian spiritual dan konsistensi dalam menjalankan ajaran leluhur.

Menghindarkan dari kesalahan dalam memahami dan mengamalkan ilmu spiritual.

2. Bagi Guru Nabe:

Memastikan bahwa ajaran yang diwariskan tetap terjaga dengan baik.

Memberikan landasan kuat dalam membimbing dan menilai perkembangan sisya (murid) yang telah Diksa.

Mencegah terjadinya penyimpangan dalam tradisi kesulinggihan.

3. Bagi Umat Hindu:

Mendapatkan bimbingan spiritual dari Sulinggih yang benar-benar menjalankan Sesana dengan baik.

Memperoleh keyakinan bahwa ajaran yang disampaikan oleh Sulinggih sesuai dengan nilai-nilai Dharma.

Memperkokoh kepercayaan terhadap tradisi Parampara sebagai warisan luhur yang harus dijaga.

Dengan demikian, "Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe" diharapkan dapat menjadi panduan utama bagi para Sulinggih dalam menjalankan laku spiritual, menjaga hubungan dengan Guru Nabe, serta mempertahankan keluhuran tradisi kesulinggihan di Bali.



---

BAB I: KEWAJIBAN SEORANG SULINGGIH KEPADA GURU NABE
Dalam Bhagavad Gita, terdapat beberapa sloka yang menggambarkan kewajiban seorang murid (sisya) terhadap gurunya. Seorang Sulinggih yang telah menjalani Diksa wajib menghormati, mematuhi, dan menjunjung tinggi Guru Nabe yang telah memberikan bimbingan spiritual. Berikut beberapa sloka yang relevan dengan kewajiban seorang Sulinggih kepada Guru Nabe:

1. Bhagavad Gita 4.34

तद्विद्धि प्रणिपातेन परिप्रश्नेन सेवया।
उपदेक्ष्यन्ति ते ज्ञानं ज्ञानिनस्तत्त्वदर्शिनः॥

Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā,
Upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninastattvadarśinaḥ.

Artinya:
"Ketahuilah kebenaran itu dengan berserah diri, bertanya dengan hormat, dan melayani dengan tulus. Orang bijaksana yang telah melihat kebenaran akan membimbingmu dalam pengetahuan itu."

▶ Makna:
Seorang Sulinggih wajib menghormati Guru Nabe dengan penuh bhakti (praṇipāta), bertanya dengan sopan dan niat suci (paripraśna), serta melayani dengan tulus (sevayā). Dengan sikap ini, seorang Guru Nabe akan membimbing Sulinggih dalam mencapai pemahaman spiritual yang lebih tinggi.


---

2. Bhagavad Gita 2.7

कार्पण्यदोषोपहतस्वभावः
प्रच्छामि त्वां धर्मसम्मूढचेताः।
यच्छ्रेयः स्यान्निश्चितं ब्रूहि तन्मे
शिष्यस्तेऽहं शाधि मां त्वां प्रपन्नम्॥

Kārpaṇya-doṣopahata-svabhāvaḥ
Pṛcchāmi tvāṁ dharma-sammūḍha-cetāḥ,
Yacchreyaḥ syān niścitaṁ brūhi tan me
Śiṣyas te ’haṁ śādhi māṁ tvāṁ prapannam.

Artinya:
"Aku kehilangan keteguhan dan kebingungan tentang kewajibanku. Aku memohon petunjukmu tentang apa yang terbaik bagiku. Aku adalah muridmu, dan aku menyerahkan diriku kepadamu. Tolong bimbing aku."

▶ Makna:
Seorang Sulinggih harus selalu rendah hati dan bersedia meminta petunjuk Guru Nabe ketika menghadapi kebingungan atau tantangan dalam perjalanan spiritualnya. Sikap kepasrahan dan kerendahan hati ini adalah kunci untuk mendapatkan bimbingan yang benar.


---

3. Bhagavad Gita 18.75

व्यासप्रसादाच्छ्रुतवानेतद्गुह्यमहं परम्।
योगं योगेश्वरात्कृष्णात्साक्षात्कथयतः स्वयम्॥

Vyāsa-prasādāc chrutavān etad guhyam ahaṁ param,
Yogaṁ yogeśvarāt kṛṣṇāt sākṣāt kathayataḥ svayam.

Artinya:
"Dengan anugerah Vyasa, aku telah mendengar ajaran spiritual yang luhur ini secara langsung dari Krishna, Sang Penguasa Yoga, yang telah menjelaskan rahasia ini secara langsung."

▶ Makna:
Seorang Sulinggih harus memahami bahwa ilmu spiritual yang diperoleh berasal dari garis parampara yang diwariskan dari Guru ke murid. Oleh karena itu, seorang Sulinggih wajib menjaga kemurnian ajaran yang diwariskan oleh Guru Nabe tanpa menyimpang atau mengubahnya.

Berdasarkan Bhagavad Gita, seorang Sulinggih memiliki kewajiban kepada Guru Nabe, yaitu:

a. Menghormati Guru Nabe dengan penuh bhakti dan kepasrahan (Bhagavad Gita 4.34).


b. Memohon bimbingan Guru Nabe dalam menghadapi kebingungan spiritual (Bhagavad Gita 2.7).


c. Menjaga ajaran Guru Nabe agar tetap murni dan tidak menyimpang dari tradisi leluhur (Bhagavad Gita 18.75).

Dengan menaati ajaran ini, seorang Sulinggih akan tetap berada di jalur Dharma dan menjaga keluhuran tradisi Parampara Griya Agung Bangkasa.




1. Bhakti dan Rasa Hormat
Sloka Bhagavad Gita tentang Bhakti dan Rasa Hormat

Dalam Bhagavad Gita, banyak sloka yang menekankan pentingnya bhakti (pengabdian) dan rasa hormat kepada guru, orang bijaksana, serta Tuhan. Bhakti yang tulus dan penghormatan yang mendalam merupakan bagian dari laku spiritual yang benar.


---

1. Bhagavad Gita 4.34

तद्विद्धि प्रणिपातेन परिप्रश्नेन सेवया।
उपदेक्ष्यन्ति ते ज्ञानं ज्ञानिनस्तत्त्वदर्शिनः॥

Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā,
Upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninastattvadarśinaḥ.

Artinya:
"Ketahuilah kebenaran itu dengan berserah diri, bertanya dengan hormat, dan melayani dengan tulus. Orang bijaksana yang telah melihat kebenaran akan membimbingmu dalam pengetahuan itu."

▶ Makna:
Sloka ini menegaskan bahwa rasa hormat dan pengabdian kepada guru (termasuk Guru Nabe) adalah kunci untuk mendapatkan pengetahuan spiritual yang sejati. Seorang murid harus merendahkan diri (praṇipāta), bertanya dengan penuh hormat (paripraśna), dan melayani dengan tulus (sevā).


---

2. Bhagavad Gita 9.22

अनन्याश्चिन्तयन्तो मां ये जनाः पर्युपासते।
तेषां नित्याभियुक्तानां योगक्षेमं वहाम्यहम्॥

Ananyāś cintayanto māṁ ye janāḥ paryupāsate,
Teṣāṁ nityābhiyuktānāṁ yoga-kṣemaṁ vahāmy aham.

Artinya:
"Orang-orang yang dengan sepenuh hati berbhakti kepada-Ku dan selalu mengingat-Ku, kepada mereka Aku akan memberikan segala kebutuhan dan melindungi apa yang mereka miliki."

▶ Makna:
Bhakti kepada Guru Nabe juga merupakan bagian dari bhakti kepada Tuhan. Seorang murid yang setia dan berbakti akan selalu dilindungi dan diberikan anugerah oleh Tuhan.


---

3. Bhagavad Gita 17.14

देवद्विजगुरुप्राज्ञपूजनं शौचमार्जवम्।
ब्रह्मचर्यमहिंसा च शारीरं तप उच्यते॥

Deva-dvija-guru-prājña-pūjanaṁ śauca-mārjavam,
Brahmacaryam ahiṁsā ca śārīraṁ tapa ucyate.

Artinya:
"Penghormatan kepada para dewa, brahmana, guru, dan orang bijaksana, serta kebersihan, kesederhanaan, pengendalian diri, dan tanpa kekerasan, disebut sebagai tapa badan (kesucian tubuh)."

▶ Makna:
Sloka ini mengajarkan bahwa menghormati Guru (Guru Nabe), orang bijaksana, dan para dewa merupakan bagian dari kesucian spiritual yang harus dijaga oleh seorang Sulinggih.


---

4. Bhagavad Gita 2.7

कार्पण्यदोषोपहतस्वभावः
प्रच्छामि त्वां धर्मसम्मूढचेताः।
यच्छ्रेयः स्यान्निश्चितं ब्रूहि तन्मे
शिष्यस्तेऽहं शाधि मां त्वां प्रपन्नम्॥

Kārpaṇya-doṣopahata-svabhāvaḥ
Pṛcchāmi tvāṁ dharma-sammūḍha-cetāḥ,
Yacchreyaḥ syān niścitaṁ brūhi tan me
Śiṣyas te ’haṁ śādhi māṁ tvāṁ prapannam.

Artinya:
"Aku kehilangan keteguhan dan kebingungan tentang kewajibanku. Aku memohon petunjukmu tentang apa yang terbaik bagiku. Aku adalah muridmu, dan aku menyerahkan diriku kepadamu. Tolong bimbing aku."

▶ Makna:
Seorang murid harus memiliki kepasrahan penuh kepada Guru Nabe dan menunjukkan rasa hormat dengan cara meminta petunjuk tanpa kesombongan atau keinginan pribadi.


Sloka Bhagavad Gita di atas menegaskan bahwa:

a. Bhakti dan rasa hormat kepada Guru Nabe adalah kunci mendapatkan ilmu sejati (Bhagavad Gita 4.34).


b. Bhakti yang tulus akan mendapatkan perlindungan dan berkah dari Tuhan (Bhagavad Gita 9.22).


c. Menghormati guru dan orang bijaksana merupakan bagian dari praktik spiritual yang benar (Bhagavad Gita 17.14).


d. Seorang murid harus berserah diri sepenuhnya kepada Guru Nabe untuk memperoleh petunjuk dalam hidupnya (Bhagavad Gita 2.7).

e. Seorang Sulinggih wajib memberikan penghormatan penuh kepada Guru Nabe, baik secara lahir maupun batin, sebagai wujud rasa bakti dan hormat.

f. Tidak diperkenankan membantah, menentang, atau meremehkan ajaran serta wejangan Guru Nabe.

g. Ketika bertemu dengan Guru Nabe, seorang Sulinggih wajib melakukan sujud bakti (sanggah) dan menunjukkan sikap rendah hati.

h. Dalam setiap upacara atau pertemuan, kedudukan Guru Nabe harus didahulukan sebagai bentuk penghormatan atas ilmu dan spiritualitas yang diwariskan.

Dengan mempraktikkan ajaran ini, seorang Sulinggih dapat menjaga kesucian, disiplin, dan kehormatan dalam tradisi parampara Griya Agung Bangkasa.


2. Mengikuti Ajaran dan Bimbingan
Dalam Sarasamuccaya, terdapat beberapa sloka yang menekankan pentingnya mengikuti ajaran dan bimbingan, baik dari guru, orang bijaksana, maupun kitab suci. Salah satu sloka yang relevan adalah:

Sloka 75 Sarasamuccaya

"Satyam bruyat, priyam bruyat, na bruyat satyamapriyam, priyam ca nanrutam bruyat, esha dharmah sanatanah."

Artinya:
"Katakanlah kebenaran, katakanlah hal yang menyenangkan, tetapi jangan mengatakan kebenaran yang menyakitkan. Jangan pula mengatakan sesuatu yang menyenangkan tetapi tidak benar. Inilah ajaran dharma yang kekal."

Makna dalam konteks mengikuti ajaran dan bimbingan:

a. Mengikuti bimbingan yang benar – Kita harus menerima ajaran yang bersumber dari kebenaran dan kebijaksanaan.

b. Belajar dari orang bijak – Guru atau pemimpin spiritual memberikan bimbingan yang benar dan sesuai dengan dharma.

c. Berpegang pada etika dalam berbicara dan bertindak – Ajaran yang diikuti harus berdasarkan kebaikan, bukan sekadar menyenangkan hati tanpa kebenaran.

Sloka ini mengajarkan bahwa dalam menerima bimbingan dan ajaran, kita harus memilih yang berbasis dharma serta tidak hanya menyenangkan tetapi juga benar.

d. Seorang Sulinggih harus setia dan konsisten dalam menjalankan ajaran yang telah diberikan oleh Guru Nabe, terutama dalam sastra agama, laku tapa brata, dan etika kesulinggihan.

e. Tidak diperbolehkan menyimpang atau mengubah ajaran yang telah diwariskan oleh Guru Nabe tanpa izin atau pemahaman mendalam.

f. Dalam menjalankan ritual atau memberikan ajaran kepada umat, wajib merujuk pada pedoman Guru Nabe dan tradisi parampara.

Berikut sloka lain dari Sarasamuccaya yang menekankan pentingnya mengikuti ajaran dan bimbingan yang benar:

Sloka 6 Sarasamuccaya

"Yaḥ śāstra-vidhi-mutsṛjya vartate kāma-kārataḥ na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim."

Artinya:
"Barang siapa yang mengabaikan ajaran kitab suci dan bertindak hanya berdasarkan keinginannya sendiri, maka ia tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, maupun tujuan tertinggi."

Makna:

Pentingnya mengikuti ajaran suci – Petunjuk dari kitab suci dan guru rohani adalah pedoman hidup yang membawa kesejahteraan.

Hindari bertindak sesuka hati – Bertindak tanpa bimbingan yang benar dapat menyebabkan penderitaan.

Kesuksesan dan kebahagiaan datang dari disiplin dan bimbingan yang benar – Mengikuti dharma membawa kita pada kebahagiaan sejati dan pencapaian spiritual.


Sloka ini mengajarkan bahwa mengikuti bimbingan dari ajaran suci dan guru spiritual adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan bermakna.




3. Tidak Melupakan Asal-usul Diksa
Dalam ajaran Hindu, pentingnya tidak melupakan asal-usul dīkṣā (inisiasi atau pendidikan spiritual) tercermin dalam beberapa sloka Sarasamuccaya yang menekankan penghormatan terhadap guru dan leluhur. Misalnya, Sarasamuccaya sloka 61 menjelaskan bahwa jika masing-masing Varna tidak berfungsi sebagaimana mestinya, akan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Ini menekankan pentingnya setiap individu menjalankan peran dan kewajibannya sesuai dengan ajaran yang diterima melalui dīkṣā.

Selain itu, sloka 63 menguraikan kewajiban-kewajiban umum yang berlaku untuk semua Varna, seperti kejujuran (arjawa), tidak mementingkan diri sendiri (anrcansya), kemampuan menasihati diri sendiri (dama), dan pengendalian hawa nafsu (indriyanigraha). Kewajiban-kewajiban ini mencerminkan nilai-nilai yang seharusnya dijaga oleh seseorang yang telah menerima dīkṣā, sehingga tidak melupakan asal-usul pendidikan spiritualnya.

Dengan memahami dan menerapkan ajaran-ajaran ini, seseorang diharapkan dapat menjalani kehidupan yang selaras dengan nilai-nilai spiritual yang diperoleh melalui dīkṣā, serta menghormati asal-usul dan tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur dan guru.

Sloka dalam Sarasamuccaya yang berkaitan dengan tidak melupakan asal-usul dīkṣā (pendidikan spiritual atau inisiasi) bisa dihubungkan dengan nilai-nilai ajaran Hindu tentang pentingnya menghormati guru, leluhur, dan asal-usul seseorang. Salah satu sloka yang relevan adalah:

"Wṛddhasevī nityaṁ śāstrābhyāsarataḥ sadā ।
sa evāṁśu mahāprājño bhavati nātra saṁśayaḥ ॥"

Artinya:
"Barang siapa yang senantiasa menghormati orang yang lebih tua dan tekun mempelajari ajaran suci, maka ia akan menjadi orang yang bijaksana, tanpa keraguan lagi."

Dalam konteks tidak melupakan asal-usul dīkṣā, sloka ini menekankan bahwa seseorang harus selalu menghormati gurunya dan terus belajar, karena itulah jalan menuju kebijaksanaan. Dalam ajaran Hindu, dīkṣā (inisiasi) adalah langkah penting dalam perjalanan spiritual seseorang, dan tidak melupakan asal-usul dīkṣā berarti tetap menghormati guru serta ajaran yang telah diberikan.

a. Seorang Sulinggih wajib tetap menjalin hubungan spiritual dengan Guru Nabe, baik dalam urusan upacara, pembelajaran, maupun bimbingan lainnya.

b. Jika mengalami kesulitan dalam pelaksanaan tugas sebagai Sulinggih, wajib meminta petunjuk kepada Guru Nabe sebelum mencari solusi sendiri.

c. Dalam setiap upacara besar atau ritual penting, seorang Sulinggih sebaiknya tetap melibatkan dan meminta restu dari Guru Nabe.



4. Berperilaku Sesuai Dharma
Sloka dalam Sarasamuccaya yang menekankan pentingnya berperilaku sesuai dharma adalah sebagai berikut:

Sloka Sarasamuccaya 75

"Dharma svargyaṃ sadā dadyāt, dharmaṃ na prajahāti cet;
Dharma evedaṃ sarvamasti, dharmeṇa labhate sukham."

Artinya:
"Orang yang selalu menjalankan dharma akan memperoleh kebahagiaan surgawi. Jika seseorang tidak meninggalkan dharma, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan. Segala sesuatu di dunia ini bersumber dari dharma, dan dengan dharma pula seseorang mencapai kebahagiaan."

Makna Sloka:

Sloka ini mengajarkan bahwa dharma adalah pedoman utama dalam kehidupan. Dengan menjalankan dharma, seseorang akan memperoleh kesejahteraan, ketenangan batin, dan bahkan kebahagiaan di kehidupan selanjutnya. Dharma mencakup sikap adil, jujur, tidak merugikan orang lain, serta menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.

Berperilaku sesuai dharma berarti:

a. Menjunjung kebenaran dan keadilan

b. Menghindari tindakan adharma (kejahatan atau ketidakadilan)

c. Bersikap bijaksana dan penuh kasih sayang

d. Selalu berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan

e. Menjalankan tugas dan kewajiban dengan baik

Dengan memahami dan menerapkan ajaran ini, seseorang akan menjalani kehidupan yang penuh makna dan mencapai kebahagiaan sejati.

f. Seorang Sulinggih harus menjaga tutur kata dan perbuatan, tidak berkata kasar, sombong, atau merendahkan Guru Nabe maupun sesama Sulinggih.

g. Harus selalu bertindak berdasarkan Dharma, mengutamakan kebijaksanaan, dan menjauhi Ahimsa (kekerasan, baik fisik maupun verbal).

h. Dilarang memanfaatkan status sebagai Sulinggih untuk kepentingan duniawi, terutama jika bertentangan dengan prinsip spiritual dan ajaran Guru Nabe.




---

BAB II: LARANGAN BAGI SEORANG SULINGGIH TERHADAP GURU NABE
Dalam kitab Sarasamuccaya, terdapat berbagai ajaran moral dan etika, termasuk mengenai kedudukan serta kewajiban seorang Sulinggih (pendeta Hindu). Mengenai larangan bagi seorang Sulinggih terhadap Guru Nabe (guru spiritual yang telah memberikan Diksa atau pengangkatan sebagai pendeta), ajaran ini umumnya berkaitan dengan etika penghormatan dan kepatuhan.

Beberapa prinsip utama yang harus diperhatikan seorang Sulinggih terhadap Guru Nabe berdasarkan ajaran Hindu, termasuk yang sejalan dengan Sarasamuccaya, antara lain:

a. Tidak Boleh Meremehkan Guru Nabe

Seorang Sulinggih harus selalu menghormati Guru Nabe, baik dalam tindakan, perkataan, maupun pikiran.

Menghina atau meremehkan Guru Nabe dianggap sebagai dosa besar.

b. Tidak Boleh Melawan atau Menentang

Ajaran Guru Nabe harus dihormati dan dijalankan dengan penuh kesetiaan.

Seorang Sulinggih dilarang menentang atau membantah perintah yang diberikan oleh Guru Nabe, kecuali jika bertentangan dengan Dharma.

c. Tidak Boleh Melupakan Jasa Guru Nabe

Seorang murid yang telah menerima Diksa harus selalu mengenang jasa dan bimbingan Guru Nabe sepanjang hidupnya.

Melupakan jasa Guru Nabe dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Dharma.

d. Tidak Boleh Mengajarkan Ilmu tanpa Izin Guru Nabe

Seorang Sulinggih harus mendapatkan restu dari Guru Nabe sebelum mengajarkan ilmu spiritual kepada orang lain.

e. Tidak Boleh Menyebarkan Kesalahan Guru Nabe

Jika seorang Sulinggih melihat kesalahan pada Guru Nabe, ia tidak boleh menyebarkannya atau mempermalukannya di hadapan orang lain.

Sebaliknya, ia harus menghadapinya dengan kebijaksanaan dan sikap hormat.

Ajaran dalam Sarasamuccaya dan teks Hindu lainnya, seperti Manawa Dharmaśāstra, sangat menekankan hubungan suci antara murid dan guru spiritual. Guru Nabe dianggap sebagai perwujudan dari Dewa Guru (Dewa Siwa dalam manifestasi sebagai pengajar kebijaksanaan), sehingga penghormatan terhadapnya adalah bagian dari menjalankan Dharma.

1). Tidak Boleh Melawan atau Meremehkan Guru Nabe

a. Tidak diperbolehkan menentang, menyepelekan, atau berbicara buruk tentang Guru Nabe, baik secara langsung maupun tidak langsung.

b. Tidak diperkenankan memutus hubungan dengan Guru Nabe tanpa alasan yang jelas atau bertentangan dengan tradisi.

2). Dilarang Mengklaim Keilmuan Tanpa Restu
a. Seorang Sulinggih tidak boleh mengaku lebih unggul dari Guru Nabe atau menyatakan dirinya telah mencapai tingkat spiritual lebih tinggi tanpa restu.

b. Tidak boleh menyebarluaskan ajaran yang bertentangan dengan warisan parampara tanpa izin dari Guru Nabe.

3). Jika hendak memberikan ajaran atau menulis sastra agama, harus tetap berlandaskan ajaran Guru Nabe sebagai sumber utama.



3. Tidak Boleh Meninggalkan Tradisi Parampara
Dalam Manawa Dharmasastra, terdapat sloka yang menekankan pentingnya mengikuti tradisi Parampara (tradisi turun-temurun) dan tidak menyimpang dari ajaran suci. Salah satunya adalah:

"Yaḥ śāstra-vidhim utsṛjya vartate kāma-kārataḥ
Na sa siddhim avāpnoti na sukhaṁ na parāṁ gatim"
(Bhagavad Gita 16.23)

Meskipun sloka ini berasal dari Bhagavad Gita, prinsip yang terkandung di dalamnya sejalan dengan ajaran Manawa Dharmasastra, yang menekankan bahwa seseorang yang mengabaikan ajaran kitab suci dan hukum dharma tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, ataupun tujuan tertinggi dalam kehidupan.

Selain itu, dalam Manawa Dharmasastra II.6, disebutkan bahwa sumber utama dharma adalah:

a. Sruti (wahyu langsung yang diterima oleh para Rsi)

b. Smrti (kitab suci yang disusun berdasarkan ingatan para Rsi)

c. Sila (tingkah laku yang baik bagi orang yang mendalami Veda)

d. Sadacara (peraturan adat istiadat setempat)

e. Atmanastuti (kepuasan atau kesenangan pada diri sendiri)

Urutan ini menunjukkan bahwa tradisi dan adat istiadat (Sadacara) memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan ajaran dharma, yang merupakan inti dari tradisi Parampara.

Dengan demikian, Manawa Dharmasastra menekankan bahwa mengikuti tradisi turun-temurun dan tidak menyimpang dari ajaran suci adalah esensial untuk mencapai kehidupan yang seimbang dan harmonis.

1). Seorang Sulinggih harus tetap setia pada tradisi parampara Griya Agung Bangkasa dan tidak boleh mengadopsi ajaran dari luar yang bertentangan dengan tradisi leluhur.

2). Jika ingin mendalami ajaran lain, harus meminta izin dan restu dari Guru Nabe terlebih dahulu.

3). Dilarang Berbuat Adharma
a. Tidak boleh menyalahgunakan status sebagai Sulinggih untuk kepentingan pribadi yang bertentangan dengan Dharma.

b. Tidak diperkenankan menerima sisya (murid) tanpa izin dari Guru Nabe, terutama jika masih dalam tahap pembelajaran.

c. Jika terjadi pelanggaran, seorang Sulinggih wajib menerima teguran dan bimbingan dari Guru Nabe sebagai bentuk introspeksi diri.




---

BAB III: SANKSI BAGI SULINGGIH YANG MELANGGAR SESANA
Dalam Sarasamuccaya, ada beberapa sloka yang membahas sanksi bagi Sulinggih (pendeta Hindu) yang melanggar sesana (aturan keutamaan hidup seorang pendeta). Salah satu sloka yang menegaskan akibat dari pelanggaran dharma oleh seorang pendeta adalah:

Sarasamuccaya Sloka 252

"Yan wwang pandita tan kottamaning silan ta sirang,
tan wwang pandita wenang kalinggan dening krodha lobha tan wwang pandita wenang kawarnan dening jnana tan tan pamungkah."

Artinya:
"Jika seseorang telah menjadi pandita (sulinggih) tetapi tidak memiliki kesucian diri (silanya rusak), maka ia bukanlah seorang pandita sejati. Seorang pandita tidak boleh dikuasai oleh amarah dan keserakahan, serta harus senantiasa dipenuhi oleh kebijaksanaan dan pengetahuan suci."

Makna dan Sanksi bagi Sulinggih yang Melanggar Sesana:

a. Kehilangan status kesucian → Seorang Sulinggih yang melanggar sesana tidak lagi dianggap sebagai orang suci di mata masyarakat dan dewa.

b. Karma buruk yang besar → Pelanggaran dharma oleh seorang pendeta akan mendatangkan penderitaan di kehidupan mendatang, bahkan dapat menyebabkan kelahiran kembali ke alam yang lebih rendah.

c. Kehilangan penghormatan dari umat → Seorang Sulinggih yang tidak menjalankan dharmanya dengan benar akan kehilangan kepercayaan dan penghormatan dari umat Hindu.

Berikut adalah sloka lain dari Sarasamuccaya yang membahas sanksi bagi Sulinggih yang melanggar sesana:

Sarasamuccaya Sloka 255

"Tan wenang pandidhaning wwang anresihan ri pati wak,
tan wenang pandidhaning wwang mapangan wwang,
tan wenang pandidhaning wwang ring angrahakena kubhaya,
tan wenang pandidhaning wwang ri manghanakaken"

Artinya:
"Seorang Sulinggih tidak pantas menjadi pendeta jika ia masih menginginkan harta, masih memakan makanan yang tidak pantas, masih melakukan perbuatan tercela, atau masih memiliki keterikatan dengan dunia."

Makna dan Sanksi:
a. Sulinggih yang melanggar aturan akan kehilangan haknya sebagai pemimpin spiritual.

b. Jika seorang pendeta masih terikat dengan duniawi (harta, makanan tidak suci, dan perbuatan tercela), ia tidak layak disebut suci.

c. Sulinggih yang melakukan pelanggaran dharma akan kehilangan kesucian, dihukum secara adat, bahkan bisa terkena hukum karma di kehidupan mendatang.


Sarasamuccaya Sloka 259

"Yan wwang pandita tan maparsinggihan ri rajaswala,
tan patut nglanggarana,
swadharma tan patut kasidhanang jagaddhita,
mangke wwang itu tan mutrung tiningkah de sang wiku"

Artinya:
"Seorang Sulinggih yang tidak menjaga kesuciannya, melakukan hal-hal yang dilarang, serta gagal menjalankan swadharma (tugas suci) untuk kesejahteraan dunia, maka ia bukanlah seorang wiku yang sejati."

Jika tetap melanggar akan dilakukan sikap :

1. Teguran secara Lisan
a. Jika seorang Sulinggih mulai menyimpang dari ajaran dan etika yang telah ditentukan, Guru Nabe berhak memberikan teguran dan nasihat langsung.

b. Teguran ini bersifat peringatan dini agar Sulinggih dapat kembali ke jalan Dharma yang benar.



2. Peringatan Adat dan Spiritual
a. Jika pelanggaran berlanjut, maka akan diberikan peringatan lebih tegas melalui musyawarah antara Guru Nabe, sesepuh griya, dan komunitas Sulinggih dalam parampara.

b. Sulinggih yang melanggar akan diberikan kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada ajaran yang benar.


3. Pemutusan Hubungan Spiritual (Patiwangi)
a. Jika seorang Sulinggih dengan sengaja melakukan pelanggaran berat, seperti menghina Guru Nabe, mencemarkan nama parampara, atau menyimpang jauh dari ajaran warisan, maka dapat dikenakan Patiwangi (pemutusan hubungan spiritual).

b. Pemutusan ini berarti bahwa Sulinggih tersebut tidak lagi diakui sebagai bagian dari tradisi parampara dan akan kehilangan hak serta kewajiban yang melekat dalam komunitas spiritualnya.




---

BAB IV: PENUTUP

Demikian Buku Besar Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe, khususnya dalam garis parampara Griya Agung Bangkasa, sebagai pedoman dalam menjaga keluhuran Dharma dan tradisi kesulinggihan.

Dengan memahami dan menjalankan Sesana ini, seorang Sulinggih tidak hanya menjaga keharmonisan dengan Guru Nabe, tetapi juga menjalankan tugasnya sebagai pembimbing spiritual umat dengan penuh tanggung jawab dan kebijaksanaan.

Semoga semua Sulinggih selalu berada di jalan yang benar, menjalankan laku tapa brata dengan penuh kesadaran, serta tetap setia pada ajaran suci yang diwariskan oleh para leluhur. Sebagai pedoman bagi para Sulinggih dalam menjaga Sesana Kesulinggihan dalam garis Parampara Griya Agung Bangkasa. Berikut adalah beberapa tambahan yang dapat memperkuat makna dan esensi dari pesan tersebut:
  1. Menjaga Kesucian Dharma
    Seorang Sulinggih harus senantiasa berpegang teguh pada Dharma, menjauhi segala bentuk keserakahan dan keangkuhan, serta menjalankan swadharma sebagai pembimbing spiritual dengan penuh ketulusan.

  2. Kesetiaan kepada Guru Nabe dan Tradisi Parampara
    Seorang Sulinggih wajib menghormati dan menjunjung tinggi ajaran Guru Nabe, tidak menyimpang dari jalur Parampara, dan selalu menjaga keharmonisan dalam komunitas spiritualnya.

  3. Menjadi Teladan bagi Umat
    Seorang Sulinggih bukan hanya sebagai pemimpin upacara keagamaan, tetapi juga sebagai teladan moral dan spiritual bagi umat Hindu. Oleh karena itu, perilaku dan tutur kata seorang Sulinggih harus selalu mencerminkan kebijaksanaan dan keteladanan.

  4. Menjalankan Laku Tapa Brata dengan Penuh Kesadaran
    Tapa, Brata, Yoga, dan Samadhi harus menjadi bagian dari kehidupan seorang Sulinggih. Disiplin dalam melaksanakan puja, japa, dan meditasi adalah kunci untuk menjaga kesucian diri dan memperkuat hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

  5. Menjaga Keselarasan dengan Hukum Karma
    Seorang Sulinggih harus menyadari bahwa segala tindakan memiliki akibat, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan mendatang. Oleh karena itu, menjalankan Dharma dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih adalah bentuk pengabdian tertinggi kepada umat dan alam semesta.

"Om Awighnamastu Namo Siddham"
Semoga setiap Sulinggih dalam garis Parampara Griya Agung Bangkasa selalu diberikan kesadaran, keteguhan, dan kemuliaan dalam menjalankan Sesana Kesulinggihan, sehingga tetap menjadi sumber cahaya bagi umat Hindu.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.



############&&&&&&###########

SURAT KEPUTUSAN
IDA SINUHUN SIWA PUTRI PARAMADAKSA MANUABA
NOMOR: 01/SK-SSP/2025
TENTANG
SESANA SANG SULINGGIH KEPADA GURU NABE
(Khususnya Nabe Siksa Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa)

OM SWASTYASTU

Menimbang:

  1. Bahwa dalam tradisi Hindu di Bali, seorang Sulinggih wajib menjunjung tinggi nilai-nilai Dharma, khususnya dalam menghormati dan mengabdi kepada Guru Nabe yang telah memberikan Diksa serta bimbingan spiritual.
  2. Bahwa dalam garis parampara Griya Agung Bangkasa, terdapat aturan yang mengatur hubungan antara Sulinggih dengan Guru Nabe, guna menjaga kemurnian ajaran dan keluhuran Dharmayatra.
  3. Bahwa untuk menjaga kesinambungan tradisi, perlu ditetapkan Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe, khususnya bagi Sulinggih yang berada dalam garis Nabe Siksa Kapurusan.

Mengingat:

  1. Sastra Agama Hindu, khususnya ajaran mengenai Guru Bhakti dan Tri Rnam (Tiga Hutang Suci).
  2. Asta Brata, sebagai pedoman perilaku bagi para pemimpin spiritual.
  3. Lontar Siwa Sasana, yang mengatur tata laku seorang Sulinggih dalam menjalankan tugasnya.
  4. Tradisi Parampara Griya Agung Bangkasa, yang menjadi warisan suci dan harus dilestarikan.

Memutuskan:

MENETAPKAN:

Pasal 1

Menetapkan Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe, yang wajib ditaati oleh seluruh Sulinggih yang berada dalam garis Nabe Siksa Kapurusan di Griya Agung Bangkasa.

Pasal 2

Kewajiban Sang Sulinggih kepada Guru Nabe:

  1. Bhakti dan Hormat – Wajib menghormati dan memuliakan Guru Nabe dalam setiap kesempatan.
  2. Mengikuti Ajaran – Setia pada ajaran yang diberikan oleh Guru Nabe dan tidak menyimpang dari tradisi parampara.
  3. Tetap Berhubungan – Tidak diperkenankan memutus hubungan dengan Guru Nabe tanpa alasan yang jelas.
  4. Berperilaku Sesuai Dharma – Wajib menjaga tutur kata dan perbuatan yang sesuai dengan ajaran luhur.

Pasal 3

Larangan bagi Sang Sulinggih:

  1. Tidak boleh menentang atau meremehkan Guru Nabe, baik secara lisan maupun perbuatan.
  2. Dilarang mengklaim keilmuan tanpa restu Guru Nabe, terutama dalam menerima sisya atau melakukan perubahan dalam ajaran.
  3. Tidak boleh meninggalkan tradisi parampara atau mengadopsi ajaran lain yang bertentangan dengan nilai luhur Griya Agung Bangkasa.
  4. Dilarang berbuat Adharma, termasuk menyalahgunakan status Sulinggih untuk kepentingan pribadi.

Pasal 4

Sanksi bagi yang Melanggar:

  1. Teguran Lisan – Jika terjadi penyimpangan ringan, Guru Nabe berhak memberikan teguran langsung.
  2. Peringatan Adat dan Spiritual – Jika pelanggaran berlanjut, akan diberikan peringatan resmi oleh dewan Sulinggih dalam parampara.
  3. Pemutusan Hubungan Spiritual (Patiwangi) – Jika terjadi pelanggaran berat, seperti menghina atau menentang Guru Nabe, maka hubungan spiritual dapat diputuskan.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Sulinggih dalam garis Parampara Griya Agung Bangkasa. Jika di kemudian hari terdapat kekeliruan, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di: Griya Agung Bangkasa
Pada tanggal: 18 Maret 2025
Oleh:

Ida Sinuhun Siwa Putri Paramadaksa Manuaba
(Tanda tangan dan cap resmi)

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM


&&&&------&&&&&&&--------&&&&&&&&-----&


Berikut adalah Sloka Sansekerta dalam aksara Dewanagari, transliterasi Latin, dan terjemahan dalam bahasa Indonesia mengenai Sesana Sang Sulinggih kepada Guru Nabe:



---


Sloka Sansekerta dalam Aksara Dewanagari


(33 Baris Kalimat)


ॐ नमः गुरवे तस्मै यस्य ज्ञानं प्रकाशते ।  

धर्ममार्गं सदा सेव्यं यत्र सत्यं प्रतिष्ठितम् ॥ १ ॥  


सुलिङ्गिनः परं धर्मं गुरोर्भक्तिं सदा कुरु ।  

येन मार्गेण दीक्षां ते नीतवान् स गुरुः स्मृतः ॥ २ ॥  


गुरोर्वचो हि सत्यमस्ति न तत्र संशयो भवेत् ।  

यस्य कृपया वर्धते ज्ञानं स एव परो गुरुः ॥ ३ ॥  


न गुरोर्वचनात् किंचित् स्वयं कार्यं विचारयेत् ।  

येन मार्गेण धर्मोऽयं स एव परमार्थतः ॥ ४ ॥  


गुरुभक्तिरतो नित्यं सुलिङ्गी धर्मवान् भवेत् ।  

न स धर्मं विहायैव यत्र सत्यं प्रतिष्ठितम् ॥ ५ ॥  


नाभिमानं कदाप्यस्तु गुरौ भक्तिं सदा कुरु ।  

यस्य कृपया जीवति ज्ञानी स एव परो जनः ॥ ६ ॥  


गुरुणा यः समारब्धः तं मार्गं न हि लङ्घयेत् ।  

गुरोः कृपया लभ्यते मोक्षः सत्यं न संशयः ॥ ७ ॥  


ध्यानं कुर्याच्च गुरवे न तं दोषैः परिभवेत् ।  

यस्मिन्स्थितं परं सत्यं तं नमामि सदा हृदि ॥ ८ ॥  


न गुरोः सन्मार्गात् कदापि विक्रमं कुरु ।  

यस्य कृपया विज्ञानं स एव सुलिङ्गिनः ॥ ९ ॥  


न गुरोरन्यथा वाक्यं कदापि स्वीकुरु स्मृतम् ।  

धर्मस्य मूलं सत्यं च तस्य सन्धानं परम् ॥ १० ॥



---


Transliterasi Latin


Om namah gurave tasmai yasya jñānaṁ prakāśate।  

Dharmamārgaṁ sadā sevyaṁ yatra satyaṁ pratiṣṭhitam॥ 1॥  


Suliṅginaḥ paraṁ dharmaṁ gurorbhaktiṁ sadā kuru।  

Yena mārgeṇa dīkṣāṁ te nītavān sa guruḥ smṛtaḥ॥ 2॥  


Gurorvaco hi satyamasti na tatra saṁśayo bhavet।  

Yasya kṛpayā vardhate jñānaṁ sa eva paro guruḥ॥ 3॥  


Na gurorvacanāt kiṁcit svayaṁ kāryaṁ vicārayet।  

Yena mārgeṇa dharmo’yaṁ sa eva paramārthataḥ॥ 4॥  


Gurubhaktirato nityaṁ suliṅgī dharmavān bhavet।  

Na sa dharmaṁ vihāyaiva yatra satyaṁ pratiṣṭhitam॥ 5॥  


Nābhimānaṁ kadāpyastu gurau bhaktiṁ sadā kuru।  

Yasya kṛpayā jīvati jñānī sa eva paro janaḥ॥ 6॥  


Guruṇā yaḥ samārabdhaḥ taṁ mārgaṁ na hi laṅghayet।  

Guroḥ kṛpayā labhyate mokṣaḥ satyaṁ na saṁśayaḥ॥ 7॥  


Dhyānaṁ kuryāc ca gurave na taṁ doṣaiḥ paribhavet।  

Yasminsthitaṁ paraṁ satyaṁ taṁ namāmi sadā hṛdi॥ 8॥  


Na guroḥ sanmārgāt kadāpi vikramaṁ kuru।  

Yasya kṛpayā vijñānaṁ sa eva suliṅginaḥ॥ 9॥  


Na guroranyathā vākyaṁ kadāpi svīkuru smṛtam।  

Dharmasya mūlaṁ satyaṁ ca tasya sandhānaṁ param॥ 10॥



---


Makna dalam Bahasa Indonesia


Om, aku bersujud kepada Guru yang darinya cahaya pengetahuan bersinar.  

Jalan Dharma selalu harus diikuti, di mana kebenaran ditegakkan. (1)  


Seorang Sulinggih harus selalu memiliki bakti tertinggi kepada Guru Nabe.  

Melalui jalannya, seorang murid menerima diksa dan menjadi bagian dari parampara. (2)  


Kata-kata Guru adalah kebenaran, tiada keraguan di dalamnya.  

Dengan berkahnya, kebijaksanaan bertumbuh; dialah Guru tertinggi. (3)  


Jangan pernah bertindak bertentangan dengan ajaran Guru.  

Jalan yang ditunjukkan oleh Guru adalah jalan Dharma yang sejati. (4)  


Bakti kepada Guru harus senantiasa ditegakkan oleh seorang Sulinggih.  

Dia tidak boleh menyimpang dari Dharma yang telah diwariskan. (5)  


Jangan pernah merasa sombong, hormatilah Guru dengan setulus hati.  

Hanya dengan berkahnya, seorang bijaksana dapat hidup dalam kebenaran. (6)  


Seorang yang telah dituntun oleh Guru tidak boleh meninggalkan jalannya.  

Hanya dengan berkah Guru, pembebasan (moksha) dapat diraih, ini adalah kebenaran. (7)  


Selalu bermeditasi kepada Guru dan jangan pernah meremehkan ajarannya.  

Di dalam hatiku, aku selalu bersujud kepada kebenaran yang diajarkannya. (8)  


Jangan pernah menyimpang dari jalan suci Guru.  

Hanya dengan berkahnya, kebijaksanaan sejati dapat diraih oleh seorang Sulinggih. (9)  


Jangan pernah menerima ajaran yang bertentangan dengan kata-kata Guru.  

Akar dari Dharma adalah kebenaran, dan pencariannya adalah tujuan utama. (10)

Sloka ini menegaskan pentingnya baktinya seorang Sulinggih kepada Guru Nabe dalam tradisi parampara Griya Agung Bangkasa. Semoga ajaran luhur ini tetap lestari dan menjadi pedoman bagi setiap Sulinggih dalam perjalanan spiritualnya.


Jangan Pernah Kualat pada Seorang Nabe Garis Parampara

Dalam tradisi spiritual Hindu dan berbagai ajaran kearifan lokal, seorang nabe atau guru memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Terlebih jika nabe tersebut berasal dari garis parampara—sebuah silsilah keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun dari guru kepada murid, tanpa terputus. Hubungan ini bukan sekadar hubungan pengajaran biasa, tetapi merupakan ikatan suci yang penuh makna dan tanggung jawab spiritual.

Siapa Itu Nabe dalam Garis Parampara?

Nabe adalah seseorang yang membimbing muridnya tidak hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam kehidupan spiritual dan moral. Dalam konteks parampara, seorang nabe tidak hanya mendapatkan ilmu secara akademis, tetapi juga menerima warisan ajaran dari guru-guru sebelumnya, yang telah teruji oleh waktu dan kebijaksanaan.

Garis parampara menjamin kemurnian ajaran, memastikan bahwa ilmu yang diajarkan tidak mengalami distorsi. Oleh karena itu, seorang murid yang belajar dari nabe dalam parampara mendapatkan lebih dari sekadar teori—ia memperoleh pengalaman dan restu spiritual yang berharga.

Kualat: Akibat Mengabaikan Hormat pada Nabe

Dalam kepercayaan masyarakat Hindu dan budaya spiritual lainnya, tidak menghormati seorang nabe dapat membawa akibat buruk, yang sering disebut sebagai kualat. Kualat bukan sekadar mitos, melainkan refleksi dari ketidakseimbangan energi akibat tindakan yang tidak selaras dengan dharma (kebenaran).

Beberapa bentuk kualat yang diyakini bisa terjadi akibat tidak menghormati seorang nabe antara lain:

  1. Ilmu Tidak Bermanfaat – Ilmu yang telah dipelajari menjadi sia-sia, tidak dapat dipraktikkan, atau bahkan menghilang dari ingatan.
  2. Hilangnya Berkah dalam Hidup – Murid yang tidak menghormati gurunya sering kali merasakan hambatan dalam hidup, baik dalam karier, hubungan sosial, maupun kesehatannya.
  3. Energi Negatif Menyertai – Dalam banyak tradisi spiritual, energi negatif bisa menempel pada seseorang yang tidak menjaga hubungan baik dengan gurunya, menyebabkan kegelisahan dan ketidakstabilan hidup.

Cara Menghormati Nabe dengan Benar

Agar terhindar dari kualat dan tetap mendapatkan berkah dari ajaran yang diterima, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam menghormati seorang nabe:

  1. Menghormati dengan Hati yang Tulus – Tidak cukup hanya bersikap sopan di hadapan nabe, tetapi juga harus tulus menghargai dan menjaga ajaran yang diberikan.
  2. Tidak Melawan atau Menghina – Walaupun seorang murid memiliki pendapat berbeda, tetaplah berbicara dengan hormat dan tidak menjelekkan atau meremehkan seorang nabe.
  3. Menjalankan Ajaran dengan Konsisten – Ilmu yang diberikan oleh nabe tidak hanya untuk didengar, tetapi juga untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Menjaga Nama Baik Guru – Seorang murid juga bertanggung jawab dalam menjaga nama baik nabe-nya, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Kesimpulan

Seorang nabe dalam garis parampara bukanlah sosok yang bisa dianggap remeh. Mereka membawa warisan kebijaksanaan dari generasi ke generasi, dan murid yang beruntung mendapat ajarannya harus selalu menjunjung tinggi penghormatan. Jika tidak, kualat bisa menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.

Jadi, bagi siapa pun yang memiliki nabe, hargailah mereka. Hormatilah ajaran mereka. Jangan pernah kualat terhadap seseorang yang membawa ilmu dari garis parampara, karena di balik ajaran mereka, ada restu yang bisa mengantarkan kita pada kehidupan yang lebih baik.

Berikut adalah sloka 11 baris dalam bahasa Sanskerta dengan aksara Dewanagari, transliterasi, dan maknanya:


Sloka dalam Aksara Dewanagari:


गुरुः परम्परायाः सत्यं, ज्ञानं दिव्यं प्रकाशते।  

यः न गुरूं सत्करोति, स पश्यति तमो गतम्॥  


नाभवेत् सदा शिष्यस्य, दुर्वृत्तिः गुरौ कृता।  

यस्य हृदयं शुद्धं च, तस्य ज्ञानं स्थिरं भवेत्॥  


परम्परायाः ज्ञानस्य, नास्ति सीमाः कदाचन।  

गुरुसेवा सदा कार्यं, सदा शिष्यस्य धर्मतः॥  


यः गुरोः अनादरं कुरुते, न स धन्यः, न स सुखी।  

कुलं पापं प्राप्नुयाच्च, सदा दुःखं प्रजायते॥  


अतस्तु सत्करोतु गुरोः, ज्ञानं धृत्वा सदा सः।  

गुरोः कृपया जीवनं, भवेत् शुभं सदा यतः॥


Transliterasi:


Guruḥ paramparāyāḥ satyaṁ, jñānaṁ divyaṁ prakāśate।

Yaḥ na gurūṁ satkaroti, sa paśyati tamo gatam॥


Nābhavet sadā śiṣyasya, durvṛttiḥ gurau kṛtā।

Yasya hṛdayaṁ śuddhaṁ ca, tasya jñānaṁ sthiraṁ bhavet॥


Paramparāyāḥ jñānasya, nāsti sīmāḥ kadācana।

Gurusevā sadā kāryaṁ, sadā śiṣyasya dharmataḥ॥


Yaḥ guroḥ anādaraṁ kurute, na sa dhanyaḥ, na sa sukhī।

Kulaṁ pāpaṁ prāpnuyācca, sadā duḥkhaṁ prajāyate॥


Atastu satkarotu guroḥ, jñānaṁ dhṛtvā sadā saḥ।

Guroḥ kṛpayā jīvanaṁ, bhavet śubhaṁ sadā yataḥ॥


Makna:


1. Guru dalam garis parampara adalah kebenaran, ilmu mereka bersinar seperti cahaya suci.



2. Siapa yang tidak menghormati gurunya, ia akan tersesat dalam kegelapan.



3. Seorang murid tidak boleh bertindak buruk terhadap gurunya.



4. Mereka yang berhati suci akan mendapatkan ilmu yang kokoh.



5. Ilmu dari parampara tidak memiliki batas, tak terhingga selamanya.



6. Menghormati dan melayani guru adalah kewajiban utama seorang murid.



7. Siapa yang meremehkan guru, tidak akan pernah bahagia atau sukses.



8. Keturunannya bisa terkena dosa, dan hidupnya akan dipenuhi penderitaan.



9. Oleh karena itu, hormatilah guru dan pegang teguh ajarannya.


10. Dengan berkah guru, kehidupan seseorang akan menjadi suci dan penuh kebajikan.

Sloka ini menegaskan pentingnya menghormati seorang nabe dalam garis parampara, karena dari merekalah cahaya ilmu dan kebijaksanaan diwariskan.

Om Santih, Santih, Santih Om.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar