Kamis, 06 Maret 2025

Puisi & Cerpen

Puisi
Catatan Hidup

Seratus tahun yang akan datang,
kita tak lagi berdiri di bawah langit yang sama.
Nama-nama kita hanya bayang-bayang,
terukir di nisan atau lenyap bersama debu udara.

Tanah akan menelan sisa-sisa tubuh,
merangkul kita dalam sunyi yang abadi.
Tak ada suara, tak ada langkah,
hanya waktu yang terus berlari.

Namun, apa yang kita tinggalkan?
Apakah jejak kita sekadar debu?
Atau ada cahaya kecil dalam gelap,
kenangan yang tumbuh di hati yang baru?

Seratus tahun yang akan datang,
kita telah pergi, namun kisah tetap hidup.
Bukan tentang lamanya napas di dunia,
tapi makna yang kita ukir di setiap detiknya.



Cerpen
Catatan Hidup

Tahun 2125. Dunia tak lagi sama. Gedung-gedung menjulang lebih tinggi dari awan, manusia dan mesin hidup berdampingan, dan langit malam dihiasi cahaya neon yang tak pernah padam. Namun, satu hal yang pasti: mereka yang hidup di abad sebelumnya telah pergi, termasuk aku.

Aku tak tahu bagaimana rasanya mati. Yang aku tahu, suatu hari aku tertidur dan tak pernah bangun lagi. Kini aku menjadi kenangan, mungkin hanya sebatas nama yang terukir di batu nisan. Tapi anehnya, aku masih bisa "melihat". Bukan dengan mata, tapi dengan cara yang tak bisa dijelaskan.

Kuburan tempatku berbaring sudah berubah. Dulu, ia hanyalah tanah dan batu, tempat peziarah datang membawa bunga. Sekarang, nisan-nisan dipenuhi kode-kode digital. Cukup pindai dengan perangkat canggih, dan kisah hidup seseorang bisa ditampilkan dalam bentuk hologram.

Seorang anak kecil berdiri di hadapanku. Tangannya menggenggam sebuah perangkat kecil berbentuk lingkaran. Ia menyentuhkan alat itu ke nisanku. Seketika, udara di atas tanahku bergetar, dan sebuah cahaya berbentuk wajahku muncul.

"Siapa dia, Ayah?" tanya si bocah.

Sang ayah tersenyum. "Dia adalah kakek buyut kita. Dulu dia hidup di zaman yang berbeda, sebelum dunia menjadi seperti sekarang."

Aku terkejut. Jadi mereka adalah keturunanku? Bocah itu menatap hologram wajahku dengan kagum, seolah ingin mengenalku lebih jauh.

"Apa yang dia lakukan saat masih hidup?" lanjut si bocah.

Sang ayah menekan tombol lain, dan seketika berbagai potongan kenangan muncul. Aku melihat diriku sendiri—tertawa bersama teman-teman, menulis di atas meja kayu, membantu orang lain, merasakan cinta dan kehilangan. Semua yang pernah kulakukan, terekam dalam catatan digital yang kini menjadi sejarah bagi mereka.

"Dia adalah orang yang baik," ujar sang ayah. "Dia mungkin sudah tiada, tapi jejaknya masih ada di sini, dalam cerita-cerita yang ia tinggalkan."

Bocah itu tersenyum. "Aku ingin menjadi sepertinya."

Aku ingin menangis, jika saja arwah bisa menangis.

Seratus tahun telah berlalu. Aku telah mati, terkubur di dalam tanah. Tapi nyatanya, aku belum benar-benar hilang. Aku masih ada, dalam ingatan mereka, dalam jejak yang kutinggalkan.

Dan itu cukup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar