Rabu, 05 Februari 2025

Patung Simbolisasi dan Roh yang Dipuja

Tipologi bangunan suci dan patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba di Pura Kahyangan Dharma Smerti
Pura Kahyangan Dharma Smerti memiliki arsitektur yang khas, terutama pada bangunan suci dan perwujudan patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba. Salah satu bangunan utamanya adalah Padmasana Lingga, yang merupakan perpaduan antara konsep Padmasana dan Lingga. Bangunan ini terdiri dari beberapa tingkat (palih) dan dilengkapi dengan ornamen seperti Bedawang Nala (kura-kura raksasa) yang dililit oleh naga pada bagian dasar, serta patung Astadikpalaka (dewa penguasa delapan penjuru mata angin) pada setiap sudutnya. Pada puncaknya terdapat Lingga yang melambangkan Siwa, dengan hiasan Sang Hyang Acintya di atasnya. Di belakangnya terdapat lukisan burung Garuda, yang menambah kekayaan simbolik bangunan ini. 

Selain itu, terdapat pelinggih Gedong Dalem yang merupakan tempat pemujaan utama di pura ini. Bangunan ini memiliki arsitektur khas dengan atap bertingkat dan ukiran-ukiran yang rumit, mencerminkan keagungan dan kesucian tempat tersebut.

Secara keseluruhan, arsitektur dan elemen-elemen simbolik di Pura Kahyangan Dharma Smerti mencerminkan filosofi Hindu yang mendalam, dengan perpaduan antara konsep Siwa dan Buddha, serta penekanan pada harmoni antara manusia dan alam.

Pembangunan Archa di Pura Kahyangan Dharma Smerti bagaikan Wiracarita Bangbang Ekalawya: Berguru pada Patung, Simbolisasi, dan Roh yang Dipuja

Kisah Bangbang Ekalawya berasal dari wiracarita Mahabharata, khususnya dalam bagian Adiparwa. Ekalawya adalah seorang pemuda dari kasta Nishada (kaum pemburu) yang memiliki tekad kuat untuk menjadi pemanah terbaik. Ia ingin berguru kepada Drona, guru besar yang mengajarkan ilmu perang kepada para Pandawa dan Kurawa.

Namun, Drona menolak Ekalawya karena statusnya sebagai kaum Nishada. Tidak patah semangat, Ekalawya membuat patung Drona dari tanah liat dan berlatih dengan penuh keyakinan serta disiplin, seolah-olah patung tersebut adalah gurunya yang nyata. Hasilnya, ia menjadi seorang pemanah yang luar biasa, bahkan lebih unggul dari Arjuna, murid kesayangan Drona.

Makna Patung sebagai Simbolisasi Roh yang Dipuja

Mengenai patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, secara umum, patung dewa-dewa dalam tradisi Hindu Bali sering digambarkan dengan atribut dan simbol yang mencerminkan karakteristik dan peran mereka dalam kosmologi Hindu.
Di pura ini, patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba bukan sekadar benda mati, tetapi menjadi media simbolik yang merepresentasikan roh atau esensi sang guru. Ini mencerminkan konsep pemujaan dalam ajaran Hindu, di mana patung bukanlah sekadar objek fisik, melainkan sarana untuk menghubungkan diri dengan energi atau roh yang lebih tinggi.

Dalam tradisi Hindu dan banyak kepercayaan spiritual lainnya, ada keyakinan bahwa roh seseorang bisa dihadirkan melalui pemujaan atau keyakinan yang kuat. Patung atau simbol Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba hanya sebagai perantara yang membantu konsentrasi dan keyakinan spiritual seseorang.

Relevansi dalam Kehidupan Spiritual dan Keagamaan

Konsep ini memiliki makna mendalam dalam ajaran Hindu dan kepercayaan lainnya:

1. Keyakinan dan Kesungguhan Lebih Penting daripada Fisik Guru

Dalam cerita Ekalawya tidak memiliki guru secara langsung, tetapi dengan keyakinannya yang kuat, ia tetap bisa menjadi pemanah ulung.

Dalam kehidupan nyata, seseorang yang memiliki tekad kuat dan belajar dengan disiplin bisa mencapai keberhasilan, meskipun tanpa bimbingan langsung dari seorang guru.



2. Patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba Sebagai Simbol, Bukan Sekadar Benda Mati

Dalam Hindu, patung dewa bukan sekadar benda, tetapi simbol dari keberadaan roh suci yang dipuja.

Pemujaan bukan pada patungnya, tetapi pada esensi atau roh suci yang dihadirkannya.



3. Kesetiaan dan Pengorbanan dalam Berguru

Dalam cerita Ekalawya sangat menghormati Drona meskipun hanya lewat patungnya.

Ia bahkan rela memberikan ibu jarinya sebagai bentuk bakti ketika Drona meminta gurudakshina (hadiah bagi guru).



Kesimpulan

Patung dalam tradisi keagamaan sering kali berfungsi sebagai simbolisasi dari roh atau entitas suci yang dipuja. Dalam konteks Hindu Bali, patung-patung dewa dan leluhur tidak hanya berperan sebagai representasi visual, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada yang ilahi. Patung tersebut menjadi media yang membantu umat dalam memfokuskan pikiran dan sembahyang mereka, menciptakan hubungan spiritual yang mendalam.

Mengenai Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba,  gelar tersebut menunjukkan kedudukan spiritual yang tinggi dalam tradisi Hindu Bali. Ida Bhatara Hyang merujuk pada dewa atau leluhur yang dihormati, sementara "Siwa Putra" menunjukkan hubungan dengan Dewa Siwa. "Paramadaksa" dapat diartikan sebagai yang memiliki penglihatan tertinggi atau yang tercerahkan, dan "Manuaba" kemungkinan merujuk pada nama keluarga atau tempat asal.
Secara umum, dalam tradisi Hindu Bali, patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba diletakan di pura Kahyangan Dharma Smerti sebagai simbol kehadiran dewa atau leluhur yang dihormati. Umat Hindu Bali meyakini bahwa melalui patung ini, mereka dapat menyampaikan doa dan persembahan mereka kepada yang ilahi, serta menerima berkah dan perlindungan. Patung tersebut menjadi fokus dalam ritual dan upacara keagamaan, membantu umat dalam mengarahkan devosi dan meditasi mereka.

Dengan demikian, patung Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba dalam konteks ini bukan sekadar karya seni, tetapi memiliki makna spiritual yang mendalam sebagai perwujudan dari roh atau entitas suci yang dipuja, serta sebagai jembatan antara dunia material dan spiritual.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar