Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd
Griya Agung Bangkasa sebagai pusat spiritual dan adat memiliki peran penting dalam mempertahankan tradisi Hindu Bali, termasuk dalam ritual ngaben. Dalam konteks teologi pengabenan Nis Prateka Nir Prabhawa, Griya Agung Bangkasa tetap berpegang pada ajaran Tattwa Hindu, sambil menyesuaikan diri dengan tantangan globalisasi.
---
1. Konsep Teologis Nis Prateka Nir Prabhawa dalam Pengabenan
Dalam teologi Hindu, khususnya dalam tradisi Siwa Siddhanta, upacara ngaben bertujuan untuk mempercepat pelepasan roh (atma) dari keterikatan duniawi menuju moksa.
Nis Prateka berarti roh tidak lagi terikat oleh tubuh fisik dan hubungan duniawi.
Nir Prabhawa berarti roh tidak akan mengalami kelahiran kembali dan mencapai kebebasan spiritual (moksa).
Griya Agung Bangkasa memiliki otoritas spiritual dalam tata cara pengabenan, memastikan bahwa setiap prosesi tetap mengikuti kaidah Weda dan lontar suci, sehingga pelepasan atma benar-benar terlaksana dengan sempurna.
---
2. Tantangan Globalisasi dalam Pengabenan di Griya Agung Bangkasa
a) Modernisasi Ritual dan Teknologi dalam Ngaben
Penggunaan krematorium berbasis gas atau listrik mulai dipertimbangkan untuk efisiensi.
Beberapa keluarga lebih memilih ngaben instan dibandingkan prosesi tradisional yang panjang.
Dokumentasi ritual melalui media digital semakin meningkat.
Respon Teologis Griya Agung Bangkasa:
Ritual inti seperti mantra pangentas dan pengutangan tetap dilakukan meskipun menggunakan metode modern.
Teknologi hanya digunakan sebagai pendukung, bukan sebagai pengganti esensi spiritual ritual.
Tetap mempertahankan ritual tradisional seperti meajar-ajar dan nyekah, meskipun prosesi awal dilakukan dengan kremasi modern.
---
b) Individualisme vs. Konsep Menyama Braya
Globalisasi mendorong gaya hidup individualistik, sehingga ada kecenderungan ngaben dilakukan secara privat.
Konsep Menyama Braya, di mana warga desa saling membantu dalam upacara ngaben, mulai berkurang.
Respon Teologis Griya Agung Bangkasa:
Mengingatkan umat bahwa ngaben bukan hanya prosesi pribadi, tetapi juga tanggung jawab sosial dan spiritual bersama.
Tetap mengedepankan sistem gotong royong dalam ngaben masal, di mana masyarakat bisa berbagi biaya dan tenaga untuk upacara yang lebih efisien namun tetap sakral.
Menyesuaikan tradisi dengan mengadakan ritual kolektif setelah kremasi, seperti meajar-ajar bersama dan ngeroras massal.
---
c) Efisiensi Biaya vs. Kesakralan Upacara
Ngaben tradisional membutuhkan biaya besar untuk bade, sarana upacara, gamelan, dan sesajen.
Globalisasi mendorong masyarakat mencari opsi yang lebih sederhana, seperti ngaben privat atau kremasi murah.
Respon Teologis Griya Agung Bangkasa:
Menyadarkan umat bahwa nilai spiritual lebih penting daripada kemewahan material.
Mengutamakan esensi ritual dengan memastikan prosesi utama tetap dilakukan, meskipun bentuknya lebih sederhana.
Menganjurkan penggunaan krematorium berbasis desa adat agar lebih murah, tetapi tetap sesuai dengan lontar dan ajaran Weda.
---
3. Strategi Griya Agung Bangkasa dalam Menjaga Teologi Pengabenan
a) Adaptasi Ritual dengan Tetap Memegang Teguh Sastra
Griya Agung Bangkasa tetap mengacu pada sastra Hindu seperti Lontar Yama Purana Tattwa, Lontar Siwa Tattwa, dan Weda Smerti dalam menentukan tata cara pengabenan.
Ritual utama seperti mantra pangutangan, tirtha pangentas, dan ngeroras tetap menjadi bagian utama, meskipun ada perubahan teknis dalam pelaksanaan.
b) Membangun Kesadaran Masyarakat tentang Makna Pengabenan
Griya Agung Bangkasa aktif dalam sosialisasi tentang pentingnya pengabenan yang benar sesuai sastra melalui ceramah agama, media sosial, dan diskusi keagamaan.
Menekankan bahwa ngaben bukan hanya soal membakar jenazah, tetapi memastikan pelepasan atma berjalan dengan sempurna untuk mencapai moksa.
c) Mengembangkan Sistem Krematorium Berbasis Desa Adat
Menginisiasi krematorium yang dikelola oleh desa adat, sehingga tetap sesuai dengan ajaran Hindu dan tidak terkomersialisasi.
Memastikan bahwa dalam krematorium tetap dilakukan mantra pengentas, prosesi meajar-ajar, dan ritual lain yang diperlukan.
---
4. Kesimpulan: Keseimbangan antara Tradisi dan Globalisasi
Teologi ngaben di Griya Agung Bangkasa tetap berpegang teguh pada konsep Nis Prateka Nir Prabhawa, dengan beberapa penyesuaian agar relevan di era globalisasi.
Esensi spiritual pengabenan tetap dijaga, meskipun ada modernisasi dalam teknis pelaksanaannya.
Nilai gotong royong dalam Menyama Braya tetap ditekankan, meskipun tren individualisme meningkat.
Biaya ngaben bisa lebih efisien tanpa mengurangi makna ritual, dengan tetap memastikan semua tahap spiritual dijalankan sesuai ajaran Hindu.
Dengan pendekatan yang fleksibel tetapi tetap berlandaskan sastra Hindu, Griya Agung Bangkasa dapat menjadi model bagaimana tradisi Bali bisa beradaptasi dengan globalisasi tanpa kehilangan nilai spiritualnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar