Kamis, 03 April 2025

Menghindari Cacat Perjalanan Spiritual

Cacatnya Perjalanan Spiritual: Analisis Etika Visual dan Nilai Kesucian di Pura Panataran Agung Besakih

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan
Perjalanan spiritual dalam konteks Hindu Bali tidak hanya berkaitan dengan ritual yang dijalankan, tetapi juga kesucian niat, simbol, dan tindakan yang tercermin secara lahir dan batin. Baru-baru ini, sebuah foto viral yang memperlihatkan seorang pemangku tengah ngayah memasang wastra dalam posisi duduk di padmāsana tiga (padmatiga) di pelinggih Pura Panataran Agung Besakih, memantik perbincangan publik. Pro dan kontra pun mengemuka, mulai dari pembelaan atas ketulusan ngayah hingga kecaman karena dianggap mencemari nilai-nilai kesucian pura. Di tengah wacana ini, kita perlu merenungi kembali esensi laku spiritual berdasarkan ajaran śāstra.

Kutipan Sloka
Sloka berikut memberikan pijakan filosofis terhadap pentingnya kesucian batin dan kebijaksanaan dalam bertindak:

Sloka (dalam Sanskerta):
“śuddhaḥ satvaṁ sadā bhāvyaṁ, yatra karma pravartate |
na hi dharmaḥ vilīyeta, pāpeṇa manasāpi ca ||”

Transliterasi:
śuddhaḥ satvaṁ sadā bhāvyaṁ, yatra karma pravartate |
na hi dharmaḥ vilīyeta, pāpeṇa manasāpi ca ||

Makna:
Kesucian hati harus senantiasa dijaga dalam setiap perbuatan.
Sebab dharma akan luntur, bahkan oleh pikiran yang kotor sekalipun.

Sloka ini menekankan bahwa tindakan lahiriah yang tampak religius atau penuh pengabdian akan kehilangan nilai spiritualnya jika disertai oleh niat atau konteks yang tidak mencerminkan kesucian sejati.

Analisis Kasus Foto Viral
Tindakan pemangku duduk di atas padmatiga untuk memasang wastra sejatinya bisa ditafsir sebagai bagian dari tanggung jawab ngayah tulus. Namun, ketika tindakan tersebut terekam dalam bentuk visual dan tersebar luas tanpa penjelasan konteks spiritual, publik terpecah antara pemahaman tekstual dan simbolik.

Beberapa pihak menganggap ini sebagai "pelecehan simbolik" terhadap kesakralan pelinggih. Sementara lainnya melihat bahwa sebagai pelayan suci, pemangku tentu tahu batas-batas etis ritual. Tetapi dalam dunia visual yang viral, persepsi lebih kuat dari realita. Di sinilah muncul leteh pikiran (kekotoran batin) yang membuat perjalanan spiritual justru kehilangan arah.

Konsekuensi Sosial-Religius
Dalam suasana yang demikian, perdebatan publik bisa memperkeruh niat luhur dari kegiatan sakral. Ketika wicara bertebaran tanpa landasan kasih sayang dan pemahaman utuh, maka:

Kesucian kolektif terganggu, karena yang tersebar adalah keraguan, bukan keheningan.

Pemaknaan dharma terpecah, sebab publik sibuk menilai tampilan, bukan merenung substansi.


Penutup: Menghindari Cacat Perjalanan Spiritual
Perjalanan spiritual adalah jalan sunyi yang harus dijalani dengan pikiran jernih. Sekalipun niat ngayah itu suci, jika publikasi dan reaksi terhadapnya tidak terkawal dengan bijak, maka nilai luhur bisa ternoda. Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh ajaran tri kaya parisudha – menyucikan pikiran, perkataan, dan perbuatan – sebagai kunci agar perjalanan spiritual tidak cacat oleh kebisingan dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar