Pendahuluan
Jaman Kaliyuga, dalam ajaran Hindu, dikenal sebagai era kegelapan, di mana nilai-nilai dharma semakin merosot dan manusia semakin jauh dari ajaran kebajikan. Tanda-tanda jaman ini telah lama dinubuatkan dalam berbagai naskah kuno seperti Bhagavata Purana dan Mahabharata. Salah satu ciri utama dari Kaliyuga adalah manusia yang semakin kehilangan penghormatan terhadap hukum alam dan ketuhanan, bahkan berani mempersamakan dirinya dengan dewa. Fenomena ini menjadi semakin nyata dalam kehidupan modern, di mana kesombongan, egoisme, dan keangkuhan manusia dianggap sebagai hal yang wajar.
Fenomena Manusia Memada-mada Dewa
Dalam berbagai teks sastra Hindu, disebutkan bahwa pada Jaman Kaliyuga, manusia akan semakin merasa berkuasa dan menganggap dirinya setara dengan Dewa. Hal ini tercermin dalam perilaku manusia yang ingin mengendalikan alam dengan teknologi, menciptakan kehidupan buatan, serta mengubah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh alam semesta. Dalam konteks sosial dan budaya, penghormatan terhadap nilai-nilai luhur semakin terkikis. Generasi muda lebih memilih mengejar kemewahan duniawi dibandingkan nilai spiritual yang sesungguhnya.
Dalam teks Mahabharata (Bhismaparwa 12.248), disebutkan bahwa pada Kaliyuga, orang-orang yang tidak memiliki kebajikan akan berkuasa, sementara orang bijak akan diabaikan. Ini adalah salah satu tanda bahwa kesetimbangan kosmik mulai goyah dan manusia semakin tersesat dalam ilusi materialisme.
Ceciren Bhuta me-Awak Dewa
Dalam filsafat Hindu, manusia dan Bhuta (makhluk halus atau energi negatif) memiliki sifat yang berlawanan. Bhuta melambangkan nafsu, keserakahan, dan kebodohan, sedangkan Dewa melambangkan kebijaksanaan, kasih sayang, dan ketulusan. Di Jaman Kaliyuga, banyak manusia justru mengadopsi sifat-sifat Bhuta, tetapi mengklaim dirinya sebagai sosok yang bijak dan suci. Fenomena ini semakin nyata dalam kehidupan sosial, di mana orang yang tidak memiliki kebajikan dihormati, sedangkan orang suci justru dicemooh dan diremehkan.
Fenomena ini bisa kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, hingga budaya. Orang-orang yang korup dan haus kekuasaan justru dipuja, sedangkan mereka yang jujur dan berpegang teguh pada dharma malah dianggap aneh dan tersingkirkan. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai moral dan etika telah bergeser drastis, sejalan dengan prediksi mengenai Kaliyuga.
Pelih Agulikan: Fenomena yang Dianggap Wajar
"Pelih agulikan niki pas sekadi gending" merupakan ungkapan yang mencerminkan bagaimana masyarakat saat ini menganggap hal-hal negatif sebagai sesuatu yang biasa. Apa yang dulu dianggap tabu kini justru menjadi tren, dan kebobrokan moral dipandang sebagai sesuatu yang normal. Misalnya, budaya pamer kekayaan di media sosial, pencitraan yang berlebihan, serta gaya hidup hedonisme yang semakin menjauhkan manusia dari nilai spiritualitasnya.
Hal ini sejalan dengan ajaran Hindu yang menyatakan bahwa di Jaman Kaliyuga, manusia akan lebih menghormati mereka yang memiliki kekayaan daripada mereka yang memiliki kebijaksanaan. Keberhasilan diukur dari materi, bukan dari nilai kebaikan yang diberikan kepada sesama. Inilah yang membuat banyak orang kehilangan arah dan semakin tersesat dalam arus duniawi yang menyesatkan.
Kesimpulan
Jaman Kaliyuga telah membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan manusia. Kesombongan dan keangkuhan semakin dianggap lumrah, sedangkan nilai-nilai luhur semakin tergerus. Fenomena manusia yang memada-mada Dewa dan perilaku Bhuta yang dikemas sebagai kebajikan menjadi tanda nyata dari kemerosotan moral di era ini.
Namun, ajaran Hindu juga mengajarkan bahwa di tengah kegelapan, selalu ada secercah cahaya. Oleh karena itu, sebagai individu yang sadar akan hakikat dharma, kita tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai-nilai kebajikan, memperkuat spiritualitas, serta membangun kesadaran kolektif agar tidak semakin terjebak dalam arus negatif Kaliyuga. Sebab, di setiap siklus kehidupan, ada harapan untuk kembali kepada kebenaran sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar