Membongkar Mitos: Antara Skeptisisme terhadap Medis dan Ilusi Kemandirian Kesehatan
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
“Jangan percaya dokter.”
“Farmasi itu bisnis.”
“Obat cuma bikin ketergantungan.”
Kalimat-kalimat seperti ini tidak lagi asing terdengar, terutama di era digital yang memungkinkan arus informasi—dan disinformasi—mengalir bebas tanpa filter. Skeptisisme terhadap dunia medis semakin menguat, didorong oleh narasi-narasi alternatif yang menawarkan ‘jalan keluar’ tanpa obat, tanpa resep, tanpa rumah sakit. Tapi, benarkah semua itu? Apakah pengobatan modern benar-benar seburuk yang dituduhkan?
Sumber Skeptisisme: Psikologi dan Kekecewaan
Munculnya ketidakpercayaan terhadap profesi dokter dan dunia farmasi seringkali bukan semata-mata karena data, melainkan karena pengalaman pribadi, trauma, atau informasi yang disalahpahami. Sebuah studi dari Journal of Health Psychology menyatakan bahwa kepercayaan pada sistem kesehatan sangat dipengaruhi oleh persepsi subjektif, bukan hanya hasil medis objektif.
Farmasi dan Industri: Bisnis atau Layanan Kemanusiaan?
Ya, industri farmasi adalah bisnis. Tapi tidak semua bisnis bersifat eksploitatif. Banyak obat yang telah menyelamatkan jutaan nyawa, dari antibiotik pertama hingga kemoterapi. Ketergantungan? Itu benar dalam konteks obat-obatan tertentu, seperti antidepresan atau penghilang nyeri opioid. Namun, tidak semua obat menimbulkan ketergantungan. Penggunaan yang diawasi secara medis tidak sama dengan penyalahgunaan.
Sloka Reflektif dari Tradisi Timur:
Untuk menyeimbangkan pandangan modern, mari kita kutip kebijaksanaan lama:
Sloka (Sansakerta):
“yuktāhāra-vihārasya yukta-ceṣṭasya karmasu |
yukta-svapnāvabodhasya yoga bhavati duḥkha-hā ||”
(Bhagavad Gītā VI.17)
Transliterasi:
yuktāhāra-vihārasya yukta-ceṣṭasya karmasu |
yukta-svapnāvabodhasya yoga bhavati duḥkha-hā ||
Makna:
Bagi mereka yang seimbang dalam makan, aktivitas, tindakan, tidur, dan terjaga, praktik spiritual menjadi penghancur penderitaan.
Sloka ini mengajarkan keseimbangan—bukan ekstrem. Mengabaikan medis sepenuhnya sama buruknya dengan ketergantungan total tanpa berpikir kritis. Kesehatan tidak bisa berdiri pada satu kaki saja.
Solusi: Kritis, Bukan Sinis
Alih-alih menelan mentah-mentah semua opini, masyarakat perlu membangun literasi kesehatan.
Konsultasikan sumber yang valid.
Diskusikan dengan dokter, bukan hanya Google atau influencer.
Cari tahu lebih dalam sebelum menolak atau menerima suatu terapi.
Penutup: Jalan Tengah adalah Kesehatan Sejati
Membenci dokter dan menolak dunia farmasi tidak akan membuat kita lebih sehat, sama seperti menelan obat sembarangan tidak akan menyelesaikan akar penyakit. Dunia kesehatan perlu kolaborasi antara ilmu, empati, dan kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar