AHAM BRAHMA ASMI: AKU ADALAH BRAHMAN
Tinjauan Filsafat Vedanta dalam Konteks Kesadaran "Aku" pada Proses Sedaraga Apodgala Dwijati dalam Tradisi Hindu Bali
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pendahuluan
Dalam spiritualitas Hindu, khususnya dalam ajaran Advaita Vedanta, terdapat empat Mahāvākya atau “pernyataan agung” dari kitab Upanishad. Salah satunya adalah Aham Brahma Asmi, "Aku adalah Brahman"; Hakikat diri sejati manusia (Atman) adalah sama dengan Brahman, Sang Realitas Mutlak. Dalam tradisi Hindu Bali, pemahaman tentang "aku" mendapat penekanan tersendiri, terutama ketika dikaitkan dengan proses spiritual yang dijalani oleh seorang dwijati atau kelahiran kedua (kelahiran spiritual), yang dalam prosesinya dikenal sebagai Sedaraga Apodgala.
Kutipan Sloka dalam Bahasa Sanskerta dan Transliterasi:
Sanskerta (Devanagari):
अहं ब्रह्मास्मि
सच्चिदानन्द रूपः शिवोऽहम्
नित्यः शुद्धः बुद्धः मुक्तः
अहं आत्मा ब्रह्म विद्याम्
एकोऽहम् एव लोकेऽस्मिन्
न द्वितीयोऽस्ति कश्चन
Transliterasi Latin:
ahaṁ brahmāsmi
saccidānanda rūpaḥ śivo'ham
nityaḥ śuddhaḥ buddhaḥ muktaḥ
ahaṁ ātmā brahma vidyām
eko'ham eva loke'smin
na dvitīyo'sti kaścana
---
Makna Sloka:
1. Ahaṁ Brahmāsmi – Aku adalah Brahman.
2. Saccidānanda rūpaḥ śivo'ham – Aku adalah Śiva, wujud dari kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan abadi.
3. Nityaḥ śuddhaḥ buddhaḥ muktaḥ – Aku adalah kekal, suci, tercerahkan, dan bebas.
4. Ahaṁ ātmā brahma vidyām – Aku adalah Atma yang memahami Brahman.
5. Eko'ham eva loke'smin – Di dunia ini, hanya Aku yang sejati.
6. Na dvitīyo'sti kaścana – Tidak ada yang kedua, tidak ada yang lain.
---
Siapakah “Aku” dalam Proses Sedaraga Apodgala Dwijati?
Dalam tradisi Hindu Bali, Sedaraga Apodgala adalah salah satu tahapan spiritual penting dalam upacara upanayana menuju status dwijati, yaitu lahir kembali secara spiritual sebagai anak rohani dari guru (acarya). Proses ini menandai transisi seseorang dari kelahiran jasmani menuju kesadaran rohani, di mana pemahaman tentang “aku” mengalami transformasi signifikan.
1. “Aku” Sebelum Sedaraga (Apodgala Prakerta)
Merujuk pada kesadaran egoik atau ahamkara, yang masih melekat pada identitas duniawi: tubuh, keluarga, kasta, dan keinginan duniawi.
“Aku” di sini masih berada dalam ketidaktahuan (avidya) tentang hakikat sejati diri.
2. “Aku” dalam Proses Sedaraga
Melalui apodgala (peniadaan identitas duniawi), seseorang melepaskan keterikatan fisik dan memurnikan diri dari pengaruh māyā (ilusi).
“Aku” mulai diasah dan diarahkan menuju atman, jati diri spiritual yang bersinar melalui praktik tapa, brata, dan yoga.
Saat inilah benih pemahaman Aham Brahma Asmi mulai tumbuh, sebagai refleksi kesadaran bahwa jati diri bukanlah tubuh, tetapi kesadaran murni.
3. “Aku” Setelah Menjadi Dwijati (Apodgala Siddhi)
Setelah di-upasidhi-kan sebagai dwijati, seseorang secara simbolis dan filosofis terlahir kembali sebagai pribadi spiritual.
“Aku” telah mengalami transendensi – dari ego menjadi saksi (drashta), dari pribadi yang mencari kebenaran menjadi kebenaran itu sendiri (sat).
Kesadaran Aham Brahma Asmi menjadi nyata dalam hidupnya – ia tak lagi terikat oleh dualitas, tetapi menyatu dalam Brahman.
Kesimpulan
Mahavakya Aham Brahma Asmi adalah pernyataan puncak dari kesadaran spiritual dalam Hindu yang juga direfleksikan dalam proses Sedaraga Apodgala Dwijati di Bali. Dalam konteks ini, “Aku” bukanlah entitas individual, melainkan kesadaran ilahi yang terwujud setelah melepaskan identitas duniawi. Proses spiritual ini menunjukkan bahwa hanya melalui pembersihan diri, disiplin rohani, dan bimbingan guru sejati, seseorang dapat menyadari bahwa dirinya adalah Brahman yang kekal dan tak terpisahkan dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar