Sakralitas Upacara Telung Bulanan dalam Perspektif Filosofis dan Sosiologis: Meruwat Sang Mpu Bajang 108 dan Pengukuhan Nama sebagai Identitas Spiritual Manusia
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Abstrak
Upacara Telung Bulanan (Tiga Bulanan) dalam tradisi Bali merupakan sebuah ritual penting yang hanya dilaksanakan sekali dalam hidup seseorang, sebagai bentuk pemuliaan terhadap kelahiran manusia. Upacara ini menjadi sarana penyucian lahir-batin, peruwatan terhadap entitas metafisis Sang Mpu Bajang 108, serta pengukuhan nama sebagai simbol identitas spiritual dan sosial. Artikel ini menggali aspek sosiologis, filosofis, dan niskala dari upacara tersebut, dilengkapi dengan kutipan sloka dan lontar suci yang memperkuat pemahaman makna sakralitas dalam proses memanusiakan manusia sejak awal kehidupannya.
---
Pendahuluan
Dalam kosmologi Hindu Bali, kelahiran bukan hanya proses biologis, melainkan juga peristiwa sakral yang menandai turunnya atma (roh) ke alam nyata. Kelahiran membawa serta 108 unsur pengiring atau kekuatan niskala yang dikenal sebagai Sang Mpu Bajang 108. Unsur ini, jika tidak disucikan melalui upacara, dapat menjadi beban atau penghalang dalam perkembangan spiritual dan sosial seseorang. Maka dari itu, upacara Telung Bulanan hadir sebagai bentuk harmonisasi antara manusia, alam, dan kekuatan niskala.
---
Kutipan Sloka
जन्मना जायते शूद्रः संस्काराद् भवेत् द्विजः। वेद-पाठाद् भवेत् विप्रः ब्रह्म जानाति इति ब्राह्मणः॥ आत्मनं सततं शुद्धं स्मरन् कर्मसु साधयेत्। नाम्ना सह जीवो जातः धर्मो नाम्नि प्रतिष्ठितः॥ एक एव जन्म योगः साक्षात् संस्कारो हि जातकः॥ रक्षां कुर्याद् सदा पूतः नृणां जन्मनि बन्धनम्॥
Transliterasi:
Janmanā jāyate śūdraḥ saṁskārād bhavet dvijaḥ | Veda-pāṭhād bhavet vipraḥ brahma jānāti iti brāhmaṇaḥ ||Ātmanaṁ satataṁ śuddhaṁ smaran karmasu sādhayet | Nāmnā saha jīvo jātaḥ dharmo nāmni pratiṣṭhitaḥ ||
Eka eva janma yogaḥ sākṣāt saṁskāro hi jātakaḥ || Rakṣāṁ kuryād sadā pūtaḥ nṛṇāṁ janmani bandhanam ||
Makna:
Manusia lahir sebagai makhluk biasa, dan menjadi suci melalui penyucian (saṁskāra). Pengetahuan Veda menjadikannya bijak, dan dengan mengetahui Brahman, ia menjadi sejati. Jiwa harus selalu disucikan melalui tindakan benar. Nama hadir bersamaan dengan kehidupan dan menjadi tempat berpijaknya dharma. Kelahiran adalah momen sakral yang harus dikukuhkan dengan upacara penyucian. Maka dari itu, perlindungan dan kesucian adalah ikatan awal dalam hidup manusia.
---
Aspek Filosofis Ruwatan dan Nama
Dalam filsafat Hindu-Bali, konsep ruwatan berarti proses membebaskan dari kekotoran atau karma buruk masa lampau, baik yang bersifat pribadi maupun leluhur. Sang Mpu Bajang 108 diyakini sebagai simbol dari segala potensi sekaligus beban karma yang menyertai kelahiran seseorang. Ruwatan bukan sekadar "membersihkan," tetapi sebuah transformasi spiritual agar jiwa anak mampu menjalani laku hidupnya dengan ringan dan terang.
Lontar Kutipan – Lontar Sundarigama
"Yen ana yowana pinaka janma, tan wenang tan ngasiki sasampun telung sasih, kadulurin Sang Mpu Bajang sewana tur ping 108. Nika durmanggala."
Terjemahan:
"Apabila ada bayi lahir sebagai manusia, maka sebelum tiga bulan tidak boleh diberi sesajen karena ia masih ditemani oleh Mpu Bajang berjumlah 108. Itu adalah durmanggala (tidak harmonis)."
Filosofi dari kutipan ini mempertegas bahwa ruwatan dalam Telung Bulanan bukan hanya pembersihan simbolik, tetapi bentuk harmoni antara mikrokosmos (diri manusia) dengan makrokosmos (alam semesta), agar manusia dapat hidup selaras dengan dharma dan takdirnya.
---
Aspek Sosiologis Pengukuhan Nama
Dalam masyarakat Bali, nama adalah identitas spiritual sekaligus sosial. Penamaan dalam upacara Telung Bulanan bukan sekadar formalitas, tetapi deklarasi bahwa manusia telah diakui secara sakral dan sosial. Ritual linting (penyalaan dupa) menjadi media penghubung antara roh, leluhur, dan semesta, menyampaikan nama ke jagat niskala sebagai energi yang akan terus menyertai sang anak.
Nama bukan sekadar label, melainkan doa, harapan, dan pengingat akan peran serta tujuan hidup. Dalam konteks sosial, nama menentukan relasi sosial, struktur kasta, dan tanggung jawab budaya seseorang. Dalam konteks spiritual, nama adalah mantra kehidupan.
Berikut sloka dalam
उपचारस्त्रयः मासः केवलं न परम्परा। स बन्धो दिव्यशक्तीनां, पितृभिः सह संगतः॥ संस्कारो मुपबन्धाय, आत्मनो कर्मबंधनात्। नामधारणसंयुक्तं, समाजे चात्मबोधनम्॥ स्मृतिः श्लोकैः च लोन्तरैः, संस्कारेण प्रतिष्ठितम्। मानवत्वस्य मार्गः स, द्वयेन - बाह्यभ्यन्तरम्॥ प्रथमं भूमितो तुङ्गं, पादस्पर्शेन पूजितम्। मातृभूमेः आशीर्वादं, जीवनस्य समत्वकम्॥
न केवलं जातमात्रं, संसारे प्रतिष्ठा च। जीवस्य विकासाय, संस्कारो हि दीयते॥
Transliterasi Latin:
Upacārastrayaḥ māsaḥ kevalaṁ na paramparā; Sa bandho divyaśaktīnāṁ, pitṛbhiḥ saha saṅgataḥ; Saṁskāro mupabandhāya, ātmano karmabandhanāt; Nāmadhāraṇasaṁyuktaṁ, samāje cātmabodhanam; Smṛtiḥ ślokaiḥ ca lontaraiḥ, saṁskāreṇa pratiṣṭhitam; Mānavatvasya mārgaḥ sa, dvayena - bāhyabhyantaram; Prathamaṁ bhūmito tuṅgaṁ, pādasparśena pūjitam; Mātṛbhūmeḥ āśīrvādaṁ, jīvanasya samatvakam; Na kevalaṁ jātamātraṁ, saṁsāre pratiṣṭhā ca. Jīvasya vikāsāya, saṁskāro hi dīyate.
Maknanya
Upacara tiga bulanan bukan sekadar tradisi turun-temurun; Ia adalah ikatan dengan kekuatan ilahi dan leluhur; Ruwatan merupakan jalan pembebasan dari belenggu karma; Pengukuhan nama menyatukan jiwa dalam kesadaran sosial dan spiritual; Dengan sloka, lontar, dan tata laku budaya, warisan ini diteguhkan; Inilah jalan untuk menjadi manusia seutuhnya, lahir dan batin; Saat kaki pertama kali menapak tanah, bumi dipuja; Restu ibu pertiwi dipohonkan demi keseimbangan hidup; Bukan sekadar peristiwa kelahiran, tapi awal pertumbuhan jiwa—itulah makna sejati upacara ini.
Kesimpulan
Upacara Telung Bulanan bukan hanya bagian dari ritus tradisional Bali, tetapi proses transformatif yang menghubungkan manusia dengan kekuatan ilahiah, leluhur, dan masyarakat. Ruwatan terhadap Sang Mpu Bajang 108 membuka jalan bagi jiwa untuk tumbuh bebas dari beban karma, sementara pengukuhan nama menyatukan eksistensi spiritual dan sosial individu. Melalui sloka, lontar, dan praktik budaya, masyarakat Bali menjaga warisan luhur ini sebagai sarana memanusiakan manusia secara utuh—lahir dan batin.
Berikut kata penutup yang bisa kamu pakai untuk mengakhiri disertasi, naskah akademik, atau lembaran estetis dari sloka tersebut:
---
Kata Penutup
Upacara Telung Bulanan bukan hanya jejak ritual, melainkan jembatan spiritual antara manusia, alam, leluhur, dan kekuatan ilahi. Melalui ruwatan Sang Mpu Bajang 108, pengukuhan nama, dan tuwun tanah, manusia Bali diajak menyadari hakikat eksistensinya secara utuh: sebagai makhluk spiritual, sosial, dan ekologis. Sloka ini adalah nyanyian suci yang tidak sekadar didaraskan, tetapi dihayati—menjadi pengingat bahwa menjadi manusia bukan sekadar dilahirkan, tetapi dimanusiakan.
Semoga warisan luhur ini senantiasa lestari, tak sekadar diucapkan, namun dihidupi.
Om Śānti Śānti Śāntiḥ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar