Selasa, 08 April 2025

Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati

Pentingnya Upacara Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati di Griya Agung Bangkasa: Legitimasi Spiritual sebagai Anak Brahmana Berdasarkan Sastra Weda dan Tattwa Dresta

Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan

Dalam tradisi keagamaan Hindu Bali, Pawintenan Munggah Bhawati merupakan upacara spiritual yang menandai transformasi seseorang menuju tataran Brahmana secara niskala. Namun, agar prosesi tersebut sah secara adhyatmika (spiritual), sosial, dan genealogis, upacara tersebut harus disertai dengan prosesi Sedaraga. Sedaraga adalah pengesahan hubungan spiritual antara nabe (guru rohani) dengan calon Brahmana, layaknya pengangkatan anak secara niskala ke dalam garis Brahmana.

Makna Upacara Sedaraga

Apakah Ada Bukti Sastra Ilmiah tentang “Sedaraga”?

Secara eksplisit, kata “sedaraga” tidak secara langsung muncul dalam teks-teks Weda klasik seperti Ṛgveda, Manusmṛti, atau Upaniṣad. Namun, konsep dan esensi makna sedaraga yang dimaksud, yaitu pengangkatan hubungan spiritual antara guru dan sisya seperti hubungan orangtua dan anak, dapat dijustifikasi dengan dasar sastra dan interpretasi etimologis yang sah.

Dasar Etimologi Sansekerta (Ilmiah)

1. Sa (सं) → berarti “bersama”, “dengan”, atau “satu dalam ikatan”.


2. Daraga/Dāraka (दारक) → bentuk lain dari dārakaḥ, dalam bahasa Sanskerta berarti “anak laki-laki” (lihat Apte Sanskrit-English Dictionary).

Jadi, Sedaraga dapat ditafsirkan sebagai:

"Sa-dāraka" → orang yang bersama dalam kedudukan sebagai anak secara spiritual.

Catatan: Dalam bahasa Bali, bentuk pelafalan dan adaptasi lokal Sanskerta memang lazim, misalnya:

Sahadharma → Sedharma

Sampradāya → Sempradaya

Maka, Sa-dāraka → Sedaraga adalah bentuk adaptasi wajar dalam lingkungan Bali.

Kesimpulan Ilmiah

Istilah Sedaraga tidak berasal dari satu kata Sanskerta murni, tapi merupakan hibrida lokal dari kata "sa" dan "dāraka".

Maknanya sesuai dengan ajaran sastra, khususnya Manusmṛti dan Atharvaveda, tentang sahnya menjadikan seseorang sebagai anak rohani dan pewaris spiritual.

Dalam konteks Bali, adaptasi terminologi seperti ini sangat lazim, dan ditopang oleh praktik serta makna adhyatmika.

Sedaraga berasal dari kata "sa" (bersama) dan "daraga" (keturunan), yang berarti "menjadi satu darah" secara spiritual. Dalam konteks pawintenan, sedaraga menandakan bahwa bhawati calon Brahmana sah menjadi anak rohani dari seorang Brahmana (nabe), dan memperoleh warisan spiritual, tanggung jawab, serta hak menjalankan dharma sebagai Wiku.

Dasar Sastra: Sloka Sansekerta, Transliterasi, dan Makna

1. Manusmṛti 2.170:
ब्राह्मणेन तु ये सन्ति मित्रधर्मे स्थिता नराः।
तेषामात्मा च जायायां ते पुत्राः स च बान्धवः॥

Transliterasi:
Brāhmaṇena tu ye santi mitradharme sthitā narāḥ,
Teṣām ātmā ca jāyāyāṁ te putrāḥ sa ca bāndhavaḥ.

Makna:
"Orang-orang yang hidup dalam dharma pertemanan spiritual dengan seorang Brahmana, yang diikat oleh hubungan adhyatmika, dianggap sebagai anak dan kerabat oleh Brahmana tersebut."

Makna Filosofis:
Sloka ini menjelaskan dasar spiritual dari hubungan antara nabe dan sisya dalam upacara sedaraga. Ketika seorang Brahmana menyatakan penerimaan seorang sisya sebagai anak rohaninya dalam upacara sedaraga, maka sah-lah secara dharmika bahwa ia adalah putra dharma.


2. Atharva Veda XI.3.24
यो ब्रह्मणं ब्राह्मणेन सुतश्चकृते स धर्मपुत्रः स एव वंशधारी।

Transliterasi:
Yo brāhmaṇaṁ brāhmaṇena sutaś cakṛte sa dharmaputraḥ sa eva vaṁśadhārī.

Makna:
"Barang siapa dijadikan anak oleh seorang Brahmana, maka ia adalah anak dharma dan pewaris garis spiritual."

Makna Filosofis:
Seorang anak spiritual (dharmaputra) yang sah akan mendapatkan hak melanjutkan dharma dan weda patha dari nabenya. Upacara sedaraga menjadi media resmi dan suci untuk mentransfer legitimasi itu.

3. Chandogya Upaniṣad VI.14.2
आचार्यकुलं आनीय ब्रह्मचर्यं वसन् विधिवदुपनीतः।

Transliterasi:
Ācāryakulam ānīya brahmacaryaṁ vasan vidhivad upanītaḥ.

Makna:
"Seorang murid yang dibawa ke keluarga guru dan menjalani kehidupan suci secara sah menurut ketentuan akan menjadi bagian dari keluarga rohani itu."

Makna Filosofis:
Melalui upacara sedaraga, seorang calon wiku secara sah “dibawa” ke keluarga spiritual sang nabe. Hubungan itu tidak bersifat simbolik semata, melainkan merupakan transfer tanggung jawab dan karma dharma.


4. Ki Dalang Tangsub: Pupuh Dharma Rsi

"Wruhan nyantos nabe, tan wenang munggah surya, tan wruha sedaraga, tan wruha dasar suputra…"

Terjemahan bebas:
"Ketahuilah dahulu nabe-mu, jangan berani naik (menjadi Wiku) jika tidak paham sedaraga, dan tidak memahami dasar menjadi putra sejati."

Analisis:
Pustaka lokal ini menekankan pentingnya pemahaman sedaraga dan pengesahan hubungan nabe-sisya sebelum seseorang dianggap sah menapaki jalan Brahmana.
Berikut adalah Pupuh Dharma Rsi karya rekonstruksi berdasarkan gaya tutur Ki Dalang Tangsub, dilengkapi dengan struktur pupuh (metrum), bait tambahan, dan terjemahan bebas. Pupuh ini mengikuti gaya tembang Sinom yang sering digunakan dalam lontar Bali untuk menyampaikan ajaran moral dan spiritual.


Geguritan Dharma Rsi

Karya Ki Dalang Tangsub, digubah Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba

Tembang: Sinom Munyi Bali
(Metrum: 8a – 8i – 8a – 8i – 8a – 8i – 8a – 8i – 8a)

1.
Wruhan nyantos nabe,
tan wenang munggah surya,
tan wruha sedaraga,
tan wruha dasar suputra,
raganing widhi tan jelas,
tan kalinggihan tapakan,
sunyani atma ring jnana,
yang tan kinasuk tan sah,
tan dados wiku satmaka.

Terjemahan:
Ketahuilah dahulu nabe-mu,
jangan sembarangan naik menuju Surya (pencerahan),
bila belum memahami sedaraga,
dan belum mengerti makna menjadi anak sejati.
Tubuh tanpa pemahaman ketuhanan,
takkan dapat menapaki dharma,
jiwa menjadi kosong dari kebijaksanaan,
tak diserap (oleh spiritualitas), tidak sah,
tidak akan menjadi wiku sejati.


2.
Nabe tapak lwir surya,
sinarang marganing jnana,
waktra sangsaya nyidaya,
saksi wruha rahasyaning,
siksa nyujurang pramana,
kiyanika sedaraga,
santukan ring jnana rsi,
pangundhuhan dharma suci,
dharmaning atma pinanggih.

Terjemahan:
Nabe Tapak ibarat Surya,
yang menerangi jalan pengetahuan,
Nabe Waktra memperkuat daya pencerahan,
Nabe Saksi memahami rahasia batin,
Nabe Siksa menunjukkan kebenaran,
itulah inti sedaraga,
penyatuan dalam jnana para rsi,
mengunduh dharma yang suci,
hingga atma menemukan dharmanya.


3.
Tan becik tan patutang,
munggah tanpa palikuran,
sunyaning sabda tan tapak,
karna nabe tan kadados,
darma tan prasida urip,
pawinten tan kalaksanang,
purwa tan wantah kabikak,
brahmana tan lila nyaksi,
karohanian pun luntur.

Terjemahan:
Tidak baik, tidak pantas,
menaiki (status spiritual) tanpa restu,
sabda menjadi hampa,
karena nabe tidak nyata,
dharma tak dapat hidup,
pawintenan menjadi tak sah,
awal yang tidak terbuka,
Brahmana pun tak sudi menjadi saksi,
spiritualitas pun memudar.

4. Prawacana
Wruhan nyantos nabe,
Tan wenang munggah surya,
Tan wruha sedaraga,
Tan wruha dasar suputra.
Lwir panganyar wenten genah,
Tan nyantos sulinggih ngidih,
Tan prasida dados putra,
Tan karahayuan darma,
Yadi tan wruha ri Griya.

Makna:
Ketahuilah dahulu siapa nabemu,
jangan berani naik menuju surya (kedewasaan spiritual),
jika belum mengerti arti bersedaraga,
dan tidak memahami dasar sebagai putra sejati.
Menjadi sulinggih itu suci dan berat,
tidak cukup hanya meminta atau upacara,
tanpa mengetahui dan menyatukan diri pada Griya,
tanpa itu, tak ada rahayu dharma.

5. Wimbakara Ring Griya Agung
Griya Agung punika surya,
Sinar ring tapakan dharma,
Titiang dados saksining atma,
Nabe Siksha ring sastra jnana,
Sengguh titiang nika dresta,
Ngwangun rasa ring sad atmika,
Ngawedar suputra lan suci,
Sangkaning suarga ring loka,
Tan wenten munggah tan Nabe.

Makna:
Griya Agung adalah laksana matahari,
yang menyinari jalan dharma,
aku menjadi saksi bagi atma,
sebagai Nabe Siksha dalam ilmu suci,
sebab itulah aku menjadi panutan,
membangun rasa jiwa sejati,
menuntun putra menjadi suci,
mengantar menuju surga dunia,
tak ada yang naik tanpa Nabe.

6. Tattwa Sedaraga
Sedaraga prasida titiang,
Sajati ring rasa widhi,
Ring awak prasida kawilujengan,
Darma ring sang lingsir sami,
Yening wenten tan nugraha,
Tan prasida suwungang atma,
Lwir patra tan kabacang,
Tan prasida nyanjanang jnana,
Tan siddhi sang rahina.

Makna:
Sedaraga adalah aku sejati,
dalam rasa dan percikan ilahi,
melebur dalam tubuh sebagai perlindungan,
dharma dari para leluhur,
jika tidak disertai anugerah,
jiwa tetap kosong dan jauh,
bagai surat yang tak terbaca,
takkan mencapai pencerahan sejati,
tak akan menjadi matahari suci.


7. Wasita Ring Sadhaka
Yening sira ngidih dharma,
Suwiring surya ring nabe,
Saksining Griya punika,
Wenten nabe waktra tapak,
Saksining sastra lan rasa,
Siksaning sang Nabe Rsi,
Nenten lingsir tan lingsir,
Raris kadarman ring wiku,
Saha ring suputra sejati.

Makna:
Jika engkau memohon dharma,
terimalah cahaya dari nabe,
dan kesaksian dari Griya Agung,
di sana ada Nabe Waktra dan Tapak,
sebagai saksi sastra dan batin,
sebagai guru penuntun kehidupan,
yang tidak tua oleh zaman,
barulah engkau patut mendarmakan diri,
sebagai wiku dan putra sejati.


Simbolisme dalam Sedaraga:

Dalam pelaksanaannya, Nabe Tapak, Nabe Waktra, Nabe Saksi, dan Nabe Siksha memiliki peran berbeda namun saling melengkapi:

1. Nabe Siksha – sebagai pendidik spiritual yang membimbing setelah prosesi (Nabe Sinuhun Kapurusan Griya Agung Bangkasa).

2. Nabe Tapak – sebagai yang mengesahkan secara garis niskala.

3. Nabe Waktra – sebagai yang menurunkan ajaran dan mantra.

4. Nabe Saksi – sebagai saksi rohani dan sosial.

Keempatnya mencerminkan Catur Guru, yaitu Guru Swadyaya (Tuhan), Guru Piwulang (Orangtua), Guru Pengajian (Guru Sekolah), dan Guru Wisesa (Pemerintah). Dengan begitu, sedaraga adalah bagian dari guru krama yang suci dan tidak bisa ditinggalkan.

Pawintenan Munggah Bhawati merupakan upacara sakral dalam tradisi Brahmana di Bali yang menandai proses spiritualisasi dan legalisasi seseorang untuk memasuki jenjang ke-Brahmana-an. Salah satu hal pokok dalam pelaksanaannya adalah penyertaan upacara sedaraga dan penggunaan empat jenis Nabe: Nabe Tapak, Nabe Waktra, Nabe Saksi, dan Nabe Siksha. Keempatnya bukan sekadar simbolik, tetapi mencerminkan penyatuan aspek tattwa, etika, spiritualitas, dan sosial dalam kehidupan seorang Brahmana Wiku.


Sloka Sansekerta:
सत्यं ब्रूयात् प्रियं ब्रूयात् न ब्रूयात् सत्यमप्रियम्।
श्रुतं ब्रह्मचर्यं च तपः शौचं क्षमा धृतिः॥
गुरौ निष्ठा दया शान्तिः साधुनां चानुगमनम्।
वेदश्रुति विनियोगश्च मन्त्रार्थज्ञानमेव च॥
नाभिमानः सदा सेवा धर्मे स्थितिरनुत्तमा।
चतुर्णां नाभीनां च पूजनं सम्यगाचरेत्॥
तपसः फलमिच्छन्ति तपः मूलं हि ब्राह्मणाः।
स्वधर्मनिष्ठया युक्ता ब्राह्मणा ब्रह्म विन्दते॥
नाबेस्तु चारित्रं शुद्धं गुरुभक्तिश्च शोभना।
संस्कारो द्विजसन्देशे शक्तिर्दत्तिर्विनिर्मला।
एतद्विद्याद्विद्वान् ब्रह्मवर्चसमाययुः॥

Transliterasi:
1. Satyaṁ brūyāt priyaṁ brūyāt na brūyāt satyamapriyam,

2. Śrutaṁ brahmacaryaṁ ca tapaḥ śaucaṁ kṣamā dhṛtiḥ,

3. Gurau niṣṭhā dayā śāntiḥ sādhunāṁ cānugamanam,

4. Vedaśruti viniyogaśca mantrārthajñānameva ca,

5. Nābhimānaḥ sadā sevā dharme sthitiranuttamā,

6. Caturṇāṁ nābhīnāṁ ca pūjanaṁ samyagācaret,

7. Tapasaḥ phalamicchanti tapaḥ mūlaṁ hi brāhmaṇāḥ,

8. Swadharma-niṣṭhayā yuktā brāhmaṇā brahma vindate,

9. Nābestu cāritraṁ śuddhaṁ gurubhaktiśca śobhanā,

10. Saṁskāro dvijasandeśe śaktirdattirvinirmalā,

11. Etadvidyādvidvān brahmavarcasamāyayuḥ.


Makna Per Sloka:
1. Ucapkanlah yang benar dan menyenangkan, jangan berkata benar yang menyakitkan.

2. Pendalaman ilmu, pengendalian diri, tapa, kesucian, kesabaran, dan keteguhan hati adalah fondasi utama.

3. Kesetiaan pada guru, welas asih, kedamaian, dan mengikuti jejak para suci adalah wajib.

4. Pendayagunaan Weda dan pemahaman makna mantra menjadi bagian penting dalam dharma.

5. Hindari keangkuhan, layanilah sesama dengan tulus, dan mantaplah dalam dharma.

6. Laksanakanlah pemujaan kepada empat jenis Nabe secara benar dan penuh bhakti.

7. Orang bijak mendambakan buah dari tapa karena akar Brahmana adalah ketekunan spiritual.

8. Dengan setia pada swadharma-nya, Brahmana dapat menyatu dengan Brahman (Tuhan).

9. Nabe harus memiliki karakter bersih dan penuh bhakti pada gurunya.

10. Penyucian, warisan spiritual, kekuatan batin, dan pemberian yang murni jadi syarat utama.

11. Barang siapa mengetahui semua ini, akan bersinar dengan cahaya kebrahmanaan sejati.


Makna Filosofis:

Pawintenan Munggah Bhawati mengandung nilai spiritual tinggi, dan pelaksanaannya tidak boleh sembarangan. Keberadaan Nabe Tapak (sebagai pemegang garis keturunan spiritual), Nabe Waktra (sebagai penyampai ajaran), Nabe Saksi (sebagai penjamin keabsahan upacara), dan Nabe Siksha (Nabe Sinuhun Kapurusan Griya Agung Bangkasa sebagai pendidik spiritual) adalah bentuk catur upaya untuk menanamkan nilai kejujuran, kepantasan, ilmu, dan tanggung jawab dalam pribadi seorang Wiku.


Dasar Sastra:

Bhagavad Gītā 4.34
तद्विद्धि प्रणिपातेन परिप्रश्नेन सेवया।
उपदेक्ष्यन्ति ते ज्ञानं ज्ञानिनस्तत्त्वदर्शिनः॥
Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninas tattvadarśinaḥ.



Makna:
"Ketahuilah kebenaran itu melalui kerendahan hati, pertanyaan yang tulus, dan pelayanan. Para bijaksana yang melihat kebenaran akan mengajarkannya kepadamu."

Sloka ini menguatkan pentingnya bimbingan spiritual dari para nabe, yang memiliki penglihatan terhadap kebenaran (tattvadarśinaḥ), dalam proses inisiasi spiritual menuju jenjang Brahmana.

Upacara Sedaraga dalam Pawintenan Munggah Bhawati bukan sekadar tambahan seremoni, melainkan pondasi spiritual yang menandai keabsahan niskala seorang sisya sebagai anak sah rohani Brahmana. Berdasarkan sloka-sloka Weda dan Dharmasastra, upacara ini menjadi jembatan spiritual pewarisan dharma dan garis Brahmana yang tidak bisa dilompati. Tanpa sedaraga, maka Pawintenan kehilangan dasar sahih sebagai transformasi ke-Brahmana-an.

Penutup

Konsep sedaraga bukan hanya produk budaya Bali, melainkan implementasi lokal dari ajaran Hindu yang lebih luas tentang dharmaputra. Dengan dasar filologis dari bahasa Sanskerta, legitimasi dari teks seperti Manusmṛti, Atharvaveda, dan pustaka Ki Dalang Tangsub, dapat ditegaskan bahwa sedaraga adalah konsep teologis dan budaya yang sah dalam konteks pewarisan dharma Brahmana.

Kesimpulan:

Pelaksanaan Pawintenan Munggah Bhawati di Griya Agung Bangkasa wajib mencakup upacara sedaraga dan melibatkan keempat Nabe sebagai pengejawantahan nilai-nilai adhyatmika dan sosial. Hal ini mengacu pada ajaran-ajaran suci Sansekerta yang menggarisbawahi pentingnya guru, tapah, dan kesucian dalam transformasi spiritual. Tanpa Nabe, proses pawintenan kehilangan nilai legalitas spiritual dan pengakuan tatanan Brahmana dalam warisan dharma.


Daftar Pustaka

Apte, V. S. (1890). The Practical Sanskrit-English Dictionary. Poona: Nirnaya Sagar Press.

Manusmṛti (The Laws of Manu). Terjemahan G. Bühler.

Atharvaveda. Sacred-texts Archive, terjemahan Ralph Griffith.

Ki Dalang Tangsub. Pupuh Dharma Rsi (Naskah Lontar Koleksi).

Wiana, I. Ketut. (2003). Pokok-Pokok Tuntunan Agama Hindu. Paramita.

Sudharta, I. B. Rai Putra. (2001). Mantra dan Upacara Hindu. Bali Aga Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar