Ada beberapa alasan mengapa Weda, meskipun secara resmi diakui sebagai kitab suci Hindu, jarang secara eksplisit disebut-sebut oleh umat (terutama di tingkat akar rumput) sebagai sumber ajaran dalam penyampaian atau praktik sehari-hari:
1. Tradisi Lisan dan Turun-Temurun
Sebagian besar ajaran Hindu di Indonesia, khususnya di Bali, diwariskan secara lisan dan berbasis tradisi, bukan dari pembacaan langsung terhadap kitab suci. Banyak nilai Weda telah “dihidupkan” dalam bentuk tatwa, susila, dan upacara yang diajarkan secara praktis, bukan teoretis.
2. Bahasa Weda Tidak Familiar
Weda ditulis dalam bahasa Sanskerta, dan kebanyakan umat tidak memahami bahasa ini. Bahkan terjemahan atau tafsir resmi juga terbatas. Karena itu, umat lebih mengandalkan penjelasan para sulinggih, pemangku, dan tokoh adat yang menguraikan ajaran agama melalui cerita, simbol, dan contoh-contoh lokal.
3. Peran Lontar dan Kitab Sekunder
Di Bali, banyak ajaran agama Hindu bersumber dari lontar-lontar seperti Tuturan, Bhagawan Garga, Sarasamuscaya, dll. Lontar-lontar ini merupakan penjabaran atau tafsir ajaran Weda dalam konteks lokal, sehingga lebih mudah dipahami dan diakses. Akibatnya, masyarakat lebih familiar dengan lontar dibanding Weda itu sendiri.
4. Pengaruh Budaya dan Konteks Lokal
Hindu di India dan Hindu di Bali berkembang dalam konteks budaya yang berbeda. Di Bali, agama Hindu sangat terintegrasi dengan adat dan tradisi. Jadi, ketika seseorang berbicara tentang ajaran agama, yang dikedepankan seringkali adalah ajaran hidup yang membumi dan relevan, tanpa menyebut sumber tertulisnya secara eksplisit.
5. Ajaran Weda Sudah Melebur dalam Kehidupan Sehari-hari
Nilai-nilai seperti dharma (kebenaran), karma (sebab-akibat), samsara (kelahiran kembali), moksha (pembebasan) adalah inti dari Weda dan sudah menjadi bagian dari cara hidup umat Hindu — walau mereka tidak selalu sadar bahwa itu berasal dari Weda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar