Jumat, 04 April 2025

Penegakan Hukum

Penegakan Hukum Sekala-Niskala dalam Perspektif Kearifan Lokal Bali untuk Perlindungan Alam Berlandaskan Tri Hita Karana
Oleh : I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Pendahuluan 
Alam Bali bukan sekadar ruang hidup, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari spiritualitas, budaya, dan identitas masyarakat Bali. Prinsip Tri Hita Karana—parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan antarmanusia), dan palemahan (hubungan dengan alam)—menjadi fondasi filosofis yang menyeimbangkan hidup masyarakat Bali. Namun, realitas menunjukkan adanya degradasi ekologis akibat keserakahan dan pelanggaran terhadap tatanan alam. Oleh karena itu, perlindungan terhadap alam Bali harus ditegakkan dalam dua dimensi: sekala (nyata) dan niskala (niskala/gaib).

Penegakan Hukum di Sekala (Nyata) Dalam tataran sekala, penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan Bali wajib dilaksanakan secara tegas. Pemerintah dan masyarakat adat harus menjadikan pelestarian lingkungan sebagai prioritas hukum. Aturan yang telah dibuat perlu ditegakkan tanpa pandang bulu, dan pelanggar wajib diberi sanksi sesuai ketentuan hukum positif maupun awig-awig adat. Tegas terhadap pelaku perusakan alam adalah bentuk nyata dari implementasi Tri Hita Karana, agar tidak sekadar menjadi slogan kosong.

Sloka (Sanskerta) untuk Sekala

अक्रामा क्षयत्रा नियम् न भवेत्स्य न न कुर्यात्म् | akramā kṣayatrā niyam na bhavetsya na na kuryātam Tanpa aturan dan disiplin, kehancuran akan datang; maka jangan biarkan pelanggaran terjadi.

Penegakan Hukum di Niskala (Gaib) Dalam perspektif niskala, masyarakat Bali meyakini bahwa perusakan alam tidak hanya berdampak pada dimensi fisik, tetapi juga pada keseimbangan energi kosmis. Leluhur, alam semesta, dan para dēwatā diyakini akan memberikan karma dan hukuman spiritual kepada siapapun yang merusak keharmonisan alam. Dalam konteks ini, keyakinan masyarakat menjadi kontrol moral untuk menjaga sikap dan perilaku terhadap alam. Sloka (Sanskerta) untuk Niskala:  कर्मण्ये जगतिं पापीम् न जानन्ति भविष्यताम् | karmaṇye jagatiṁ pāpīṁ na jānanti bhaviṣyatām Orang yang berbuat dosa pada alam tak menyadari, hukum semesta akan menanti.

Kesimpulan 
Perlindungan terhadap alam Bali tidak dapat dilakukan setengah hati. Di sekala, aturan dan sanksi harus ditegakkan. Di niskala, biarlah alam dan kekuatan adikodrati memberikan hukuman setimpal. Dengan keseimbangan ini, Tri Hita Karana benar-benar menjadi laku hidup, bukan sekadar retorika.

Penutup 
Menjaga alam Bali bukan hanya tugas pemerintah atau desa adat, melainkan tugas seluruh umat. Karena dari tanah inilah, lahir kehidupan, tumbuh budaya, dan diwariskan kearifan.

Sloka Penutup 
या पृथिव्यां पृथिव्यानां कुर्याण्येन च कारणिकाम् |पापीनां च प्रकृतिनां न हिंस्सन्ति यथाप्यताम् || भूतां भूतानि न क्षिणानां च औचित्तान्ति करणम् | प्रकृतिं औचित्तानं पीडा न सेवयम् पापम् || काल्ये काल्ये ये च पापीनां प्रतिक्राम् | या पृथिव्या क्षयात्म् भावम् यान्त्र पापम् || जीवन्ती प्रकृतिं न नश्चेता पाप्यताम् ||

Transliterasi Sloka Penutup:
Yā pṛthivyāṁ pṛthivyānāṁ kuryāṇyena cāraṇikām; Pāpīnāṁ ca prakṛtināṁ na hiṁsanti yathāpyatām; Bhūtāṁ bhūtāni na kṣiṇānāṁ ca aucittānti karaṇam; Prakṛtiṁ aucittānaṁ pīḍā na sevayam pāpam; Kālye kālye ye ca pāpīnāṁ pratikrām; Yā pṛthivyā kṣayātma bhāvam yāntra pāpam; Jīvanti prakṛtiṁ na naścetā pāpyatām

Makna Sloka Penutup
Barang siapa di bumi ini melakukan tindakan yang merusak bumi; Dan orang berdosa yang menindas alam, meski tak terlihat oleh manusia; Makhluk-makhluk dan unsur alam yang tidak hancur, mencatat semuanya secara tepat; Ketika alam disakiti, penderitaan yang datang adalah karma dari dosa itu sendiri; Di setiap waktu, pelaku dosa akan mendapat balasan dari waktu itu sendiri; Karena bumi yang rusak akan memunculkan energi penghancur kepada pelakunya; Yang hidup bertentangan dengan alam, tak akan selamat dari akibat dosanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar