Menjaga Ucapan
Wacika Parisudha: Membangun Hita melalui Kata
Kalau ucapan kita selalu dijaga maka imej tentang diri kita juga akan terjaga. Tidak ada ketakutan dari orang lain terhadap kita. Orang lain akan mempercayai kita ketika akan berbicara atau bermusyawarah. Dimanapun kita berada orang lain akan merasa aman dan nyaman.
Sebaliknya kalau ucapan kita tidak terjaga, sering mengatakan hal hal yang buruk, sering menyakiti orang lain dengan ucapannya, maka orang akan menghindari kita apabila akan berbicara atau bermusyawarah. Dan kalau imej itu sudah melekat pada diri kita akan sulit untuk mengubahnya.
Keutamaan Menjaga Ucapan
Menjaga ucapan sangat dianjurkan dalam kehidupan sehari-hari kita.
Kesadaran diri untuk melakukan “filter” terhadap perkataan merupakan aspek mendasar yang perlu diupayakan. Perlu diketahui bahwa ketika berkecimpung dalam sebuah interaksi, atau pun menjalin sebuah proses komunikasi, kita harus mampu memilah perkataan yang akan kita lontarkan. Resapi kata-kata dari dalam diri, sebelum jatuh dan didengar oleh telinga orang lain. Kita harus mampu menghindari perkataan kasar, menghardik, jahat dan sebagainya. Sebab perkataan seperti demikian tidak sewajarnya diucapkan didalam membangun tutur kata maupun berkomunikasi dengan orang lain.
Hal tersebut sesuai dengan sebuah petikan dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 75 yang menyatakan bahwa: “Nyang tanpa prawrttyaning wak, pat kwehnya, pratyekanya, ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna, ujar mithya, nahan tang pat singgahaning wak, tan ujarakena, tan angina-ngenan, kojarnya”.
Artinya: “Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong (tak dapat di percaya); itulah keempatnya harus di singkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan di pikir-pikir akan di ucapkan”.
Oleh sebab itu, dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 120 perakataan jahat dianalogikan sebagai berikut: “Ikang ujar ahala-tan pahi lawan hru, songkabnya sakatempuhan denya juga alara, resep ri hati, tatankenengpanhan turu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyat, tan inujaraken ika de sang dhira purusa, sang ahning maneb manah nira”.
Artinya: “Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah, yang di lepaskan; setiap yang di tempuhnya merasa sakit; perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak di ucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wiraperkasa, pun oleh orang yang tetap suci hatinya”.
Analogi perkataan ibarat sebuah pedang atau senjata juga memiliki keterkaitan dengan salah satu petikan yang terdapat dalam Kakawin Nitisastra (V.3) yang berbunyi :
“Wasista nimittanta manemu laksmi. Wasista nimittanta pati kapangguh. Wasista nimittanta manemu duhka. Wasista nimittanta manemu mitra.”
Artinya: “Karena kata-kata engkau mendapat Bahagia. Karena kata-kata engkau akan mendapat kematian. Karena kata-kata engkau akan mendapat kesusahan. Karena kata-kata engkau akan mendapat sahabat”
Membiasakan diri berkata baik adalah aspek etika yang harus dibudayakan. Bangunlah kesadaran dalam benak masing-masing untuk selalu berlatih secara konsisten membangun perkataan atau berbicara yang selalu diselimuti oleh unsur kebaikan.
Terkait dengan hal tersebut Sarasamuscaya Sloka 118 kembali memberikan penegasan bahwa “Ika tang ujarakena, rahayu ta ya, haywa ta winistaraken haywa hyun-hyun kawarjana angucap, apan ikang ujar yan, jambat, hanang haras, hana ililik pinuharanya , tan rahayu tan ngaranika”.
Artinya: “Yang patut di katakan itu hendaklah sesuatu yang membawa kebaikan, hal itu janganlah di gembar-gemborkan; berkeinginan di sebut pandai bicara; sebebkata-kata itu jika berkepanjangan, ada yang menyebebkan senang ada yang menimbulkan kebencian; tak baik hal serupa itu”.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam wujudkan hita (kebahagiaan) melalui kata maka kita harus mampu mengevaluasi perkataan yang akan diucapkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari perkataan jahat (negatif), sebagai tutur kata yang tidak bisa dilupakan dan mampu melahirkan dendam. Potensi munculnya perkataan jahat dapat dilebur, dengan konsisten membiasakan diri bertutur kata yang baik.
Kesadaran diri untuk membiasakan diri bertutur kata yang baik dalam setiap pergaulan dan perjalanan hidup, tentunya akan mampu menjadi salah satu aspek yang berkontribusi untuk mewujudkan kedamaian setiap saat. Ini sebagimana untaian Atharvaveda XIX.9.2 bahwa: “Santam bhutam ca bhavyam ca. Sarvam eva sam astu nah”
Artinya: “Semoga masa lalu, masa kini, dan masa datang penuh kedamaian dan amat ramah pada kami”