Menguak Tabir Pelaksanaan Tumpek Wariga yang bersamaan dengan Nyepi
Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba
Pelaksanaan Tumpek Wariga yang bersamaan dengan Nyepi pada 29 Maret 2025 menjadi momen unik untuk refleksi dan perayaan kearifan lokal.
Pelaksanaan Tumpek Wariga yang bertepatan dengan Hari Raya Nyepi pada tanggal 29 Maret 2025 merupakan momen unik dalam kalender keagamaan Hindu di Bali. Kedua hari suci ini memiliki esensi spiritual yang saling melengkapi, meskipun masing-masing memiliki tujuan dan tata cara pelaksanaan yang berbeda.
Makna Tumpek Wariga
Tumpek Wariga, juga dikenal sebagai Tumpek Bubuh, adalah hari suci untuk menghormati tumbuh-tumbuhan sebagai sumber kehidupan. Pada hari ini, umat Hindu melakukan persembahan kepada pohon-pohon, terutama yang menghasilkan buah dan bunga. Ritual ini melibatkan penghiasan pohon dengan kain poleng, memberikan sesajen berupa bubur (bubuh), dan doa sebagai bentuk rasa syukur serta penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, pelindung tumbuh-tumbuhan.
Makna Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi adalah momen sakral yang melambangkan penyucian diri dan alam semesta. Umat Hindu menjalani empat Catur Brata Penyepian, yaitu:
1. Amati Geni (tidak menyalakan api atau lampu),
2. Amati Karya (tidak melakukan aktivitas fisik),
3. Amati Lelungan (tidak bepergian),
4. Amati Lelanguan (tidak mencari hiburan).
Nyepi bertujuan menciptakan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan melalui keheningan dan refleksi diri.
Tabrakan Filosofis dan Harmoni Ritual
Ketika Tumpek Wariga bertepatan dengan Nyepi, umat Hindu di Bali harus menjalankan kedua hari raya dengan penuh kesadaran dan penghayatan. Meskipun Tumpek Wariga biasanya dirayakan dengan persembahyangan yang aktif, perayaan kali ini akan disesuaikan dengan spirit Nyepi yang menekankan keheningan. Beberapa poin penting yang dapat dilakukan adalah:
1. Ritual Prasada dalam Keheningan
Persembahan kepada tumbuh-tumbuhan dilakukan sehari sebelumnya, pada Saniscara Umanis Wuku Wariga pagi atau siang hari, sebelum Nyepi dimulai. Hal ini dilakukan untuk menghormati aturan Catur Brata Penyepian.
2. Refleksi terhadap Alam
Saat Nyepi, umat dapat merenungkan hubungan mereka dengan alam, termasuk penghormatan kepada tumbuhan sebagai penopang kehidupan. Ini menjadi momen untuk menyatukan spiritualitas Tumpek Wariga dengan filosofi Nyepi.
3. Penyatuan Kearifan Lokal
Keberadaan kedua perayaan ini pada hari yang sama mempertegas pentingnya menjaga harmoni dengan alam semesta. Tumpek Wariga memperingatkan manusia untuk merawat lingkungan, sedangkan Nyepi memberikan kesempatan bagi alam untuk "beristirahat."
Esensi Spiritualitas
Pelaksanaan Tumpek Wariga yang bersamaan dengan Nyepi mengajarkan bahwa penghormatan kepada alam dan refleksi diri dapat berjalan berdampingan. Momen ini memperkuat nilai Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan) serta memberikan pesan mendalam tentang pelestarian lingkungan dalam keheningan.
1. Tri Hita Karana - Ajaran tentang hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan):
> “Tat Twam Asi”
Artinya: "Engkau adalah aku, aku adalah engkau."
Maknanya, semua ciptaan Tuhan, termasuk alam dan isinya, saling terkait dan perlu dijaga keharmonisannya.
2. Sloka Weda Smrti:
> “Panca Yadnya Pratishthante, Devayajñena Bhutayañca, Manusyayañca Pitrayajñena, Brahmayajñena cha.”
Artinya: "Panca Yadnya ditegakkan melalui persembahan kepada para dewa, kepada makhluk hidup, kepada manusia, kepada leluhur, dan kepada kitab suci."
Maknanya, Tumpek Wariga mengandung unsur Bhuta Yadnya untuk menghormati alam, dan Nyepi mengandung unsur keseimbangan semesta.
Pelaksanaan Tumpek Wariga yang bertepatan dengan Nyepi mengingatkan umat Hindu untuk mempertegas sikap introspeksi diri dan pengabdian kepada alam dalam upaya menjaga harmoni universal.
Nyepi, sebagai Hari Raya Catur Brata Penyepian, mengajarkan umat untuk melakukan introspeksi, meditasi, dan harmoni dengan alam. Ketika Tumpek Wariga bersamaan dengan Nyepi, momen ini menjadi waktu istimewa untuk merenungkan hubungan manusia dengan alam serta kewajiban menjaga lingkungan sebagai bagian dari keberlanjutan hidup. Dalam keheningan Nyepi, umat dapat mempersembahkan puja dan bakti kepada tumbuh-tumbuhan secara sederhana dan mendalam, tanpa aktivitas yang berlebihan, sesuai prinsip Tri Hita Karana—harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Kombinasi ini juga mengingatkan kita bahwa merawat alam bukan hanya tugas ritualistik, tetapi bagian dari kehidupan sehari-hari yang berkelanjutan dan penuh kesadaran spiritual.
Pelaksanaan Tumpek Wariga yang bersamaan dengan Hari Raya Nyepi pada 29 Maret 2025 menciptakan momen yang sangat unik dan bermakna dalam tradisi masyarakat Bali.
Makna:
Harmoni dengan Alam: Tumpek Wariga, yang sering disebut juga sebagai Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, merupakan perayaan untuk menghormati tumbuh-tumbuhan, khususnya pohon dan tanaman yang memberikan kehidupan. Upacara ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Refleksi Spiritual: Hari Raya Nyepi adalah momen introspeksi diri melalui Catur Brata Penyepian (tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang). Keselarasan pelaksanaan kedua hari suci ini memperkuat makna spiritual, yakni mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi dan menghormati ciptaan-Nya.
Kesadaran Ekologis: Kombinasi Tumpek Wariga dan Nyepi menjadi simbol kuat akan penghormatan terhadap keberlangsungan lingkungan hidup, memberikan kesempatan untuk merefleksikan hubungan manusia dengan alam dan pentingnya pelestarian lingkungan.
Fungsional:
Membangun Kesadaran Lingkungan: Tumpek Wariga mengajarkan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Momentum ini dapat dimanfaatkan untuk kampanye kesadaran lingkungan.
Memperkuat Tradisi Lokal: Perayaan bersama ini menjadi momen penting untuk melestarikan dan memperkenalkan nilai-nilai adat dan budaya Bali, terutama kepada generasi muda.
Meningkatkan Keharmonisan Sosial: Nyepi memberikan ruang untuk kedamaian dan keheningan, sementara Tumpek Wariga mendorong interaksi positif antara masyarakat dan lingkungan. Kombinasi ini mendukung terciptanya suasana harmonis di masyarakat.
Keduanya menjadi cerminan kearifan lokal Bali yang menekankan nilai-nilai spiritual, ekologis, dan sosial yang relevan dengan tantangan global saat ini, seperti isu perubahan iklim dan pelestarian budaya.
Dalam sastra agama Hindu, khususnya lontar-lontar seperti Purana Bali, Rsi Yadnya, dan Lontar Sundarigama, dijelaskan bahwa Tumpek Wariga (juga dikenal sebagai Tumpek Uduh) adalah hari suci yang ditujukan untuk menghormati tumbuh-tumbuhan dan kekayaan alam, sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Sangkara, salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menguasai tumbuh-tumbuhan.
Jika Tumpek Wariga bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, seperti pada tahun 2025, ini menjadi momentum yang sangat istimewa dalam perspektif Hindu karena kedua hari raya ini memiliki makna spiritual yang saling melengkapi:
1. Tumpek Wariga: Mengajarkan manusia untuk menjaga keharmonisan dengan alam dan memberikan penghormatan kepada tumbuhan sebagai sumber kehidupan. Pada hari ini, umat Hindu memohon berkah agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur, memberikan hasil yang melimpah, dan bermanfaat bagi umat manusia.
2. Hari Raya Nyepi: Sebagai perayaan tahun baru Saka, Nyepi berfokus pada introspeksi diri melalui Catur Brata Penyepian (Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan) untuk mencapai harmoni dengan alam semesta, Tuhan, dan sesama makhluk hidup.
Keutamaan Kedua Perayaan:
Jika kedua hari raya ini bertepatan, umat Hindu diajak untuk semakin memperdalam hubungan spiritual dengan alam dan Sang Pencipta melalui sikap hening dan kesadaran ekologi.
Momentum ini menegaskan filosofi Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan) secara utuh, karena umat tidak hanya melakukan persembahyangan dan pemujaan, tetapi juga menjaga lingkungan dengan tidak melakukan aktivitas yang berpotensi merusak.
Ajaran Sastra:
Dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bahwa setiap ritual atau yadnya harus dilandasi oleh rasa suci dan tulus ikhlas (tattwa dan etika spiritual).
Lontar Sarasamuccaya menekankan pentingnya berbuat baik kepada alam sebagai bagian dari dharma untuk mewujudkan keseimbangan alam semesta.
Dengan perpaduan ini, perayaan Tumpek Wariga yang bertepatan dengan Nyepi menjadi simbol harmonisasi spiritual yang memperkuat nilai-nilai kearifan lokal dan pelestarian lingkungan hidup.
Puja Mantra Tumpek Wariga:
Om swastiastu
Om Ang Ung Mang Astu Namo Siddham
Om Sang Hyang Sangkara, Sang Hyang Widhi Wasa, Ida Betara Sri, Betara Rambut Sedana,
Rahina Tumpek Wariga mangkin titiang matur sembah bhakti ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ngaturang banten pengatag miwah banten dapetan ring sarwa tumuwuh, puja astungkara.
Om Swaha, Om Swaha, Om Swaha.
Puja mantra ini dipanjatkan dengan maksud memohon berkah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) melalui manifestasi-Nya sebagai Dewa Sangkara, yang berkuasa atas tumbuh-tumbuhan dan kesuburan.
Pada saat Nyepi, mantra ini dapat dilafalkan dengan khusyuk di rumah masing-masing, tanpa melakukan persembahan yang melibatkan suara atau aktivitas besar, sesuai dengan suasana hening Nyepi.
"Om Swastiastu, Om Sanghyang Sangkara, ring Panggal Buana jagat sane sujati. Titiang sareng sami, ngaturang upakara banten pinaka punia dresta bhakti hayu, ayu ayuning buana.
Om Sangkaraya namo namah.
Om Sarwa Bhawantu Sukhino, Om Swaha."
(Artinya: "Om Hyang Widhi Wasa, Sang Hyang Sangkara, yang melindungi alam semesta. Kami semua menghaturkan persembahan suci untuk memohon kebaikan dan kesejahteraan dunia. Semoga semuanya hidup berbahagia. Om Swaha.")
Doa ini dipanjatkan seraya memohon berkah untuk kelestarian alam, khususnya tumbuh-tumbuhan, sekaligus memperkuat makna perayaan Nyepi sebagai hari introspeksi diri dan keharmonisan alam semesta. Dalam suasana hening Nyepi, umat dapat menambah kekhusyukan doa ini dengan meditasi dan mempersembahkan banten secara sederhana di halaman rumah.
Mantra yang biasa digunakan pada Hari Raya Nyepi umumnya berkaitan dengan penyucian diri, permohonan keseimbangan alam semesta, dan kebersamaan dalam harmoni. Salah satu mantra yang sering dipanjatkan adalah mantra Tri Sandhya, yang mengandung doa untuk keharmonisan jiwa, pikiran, dan tindakan. Berikut adalah bagian-bagian penting dalam mantra tersebut:
1. Mantra Puja kepada Sang Hyang Widhi Wasa
Untuk memohon perlindungan, penyucian, dan ketenangan:
Om Atma Tatwa Atma Siddhi Namah Swaha.
2. Mantra Penyucian Diri (Panca Sembah)
Menghormati lima arah dan Sang Hyang Widhi dalam berbagai manifestasi-Nya:
Om Puspa Wija Ya Namah Swaha
Om Padma Wija Ya Namah Swaha
Om Kama Wija Ya Namah Swaha.
3. Mantra Keselarasan Alam
Untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam:
Om Ang Ung Mang Eka Paramasiva Atma Siddham Om.
Apakah Anda memerlukan versi lengkap atau doa khusus untuk ritual tertentu saat Nyepi, seperti Tawur Kesanga atau Catur Brata Penyepian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar