Kata kawitan dalam budaya Bali berasal dari kata witan, yang berarti "asal" atau "sumber". Dalam konteks sosial dan keagamaan, kawitan mengacu pada leluhur atau asal-usul keturunan seseorang, terutama dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan dan tradisi keagamaan Hindu di Bali.
Aspek-Aspek Kawitan di Bali
1. Asal-usul Keturunan (Genealogi)
Kawitan merujuk pada leluhur awal suatu garis keturunan yang biasanya ditelusuri dari seorang pendiri atau tokoh leluhur yang dihormati.
Dalam sistem kekerabatan Bali, kawitan sering dikaitkan dengan soroh (kelompok keturunan) atau dadia (kelompok keluarga besar yang memiliki hubungan darah).
2. Aspek Keagamaan dan Upacara
Konsep kawitan berkaitan erat dengan sistem kepercayaan Hindu di Bali, terutama dalam pemujaan leluhur.
Setiap keluarga atau kelompok keturunan biasanya memiliki pura kawitan (Pura Dadia atau Pura Kawitan), tempat persembahyangan bagi leluhur mereka.
Upacara yang berkaitan dengan kawitan antara lain:
Pitra Yadnya: Upacara yang dilakukan untuk menghormati dan menyucikan roh leluhur.
Ngaben: Upacara kremasi yang bertujuan mengantarkan roh leluhur menuju alam kedewataan.
Atma Wedana: Upacara penyucian roh setelah Ngaben.
3. Struktur Sosial dan Identitas
Kawitan juga berfungsi sebagai identitas sosial bagi masyarakat Bali, terutama dalam sistem kasta dan soroh.
Beberapa soroh atau wangsa di Bali yang memiliki kawitan yang jelas, misalnya:
Wangsa Brahmana: Keturunan pendeta yang biasanya berasal dari kawitan Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Astapaka.
Wangsa Ksatria: Keturunan raja atau bangsawan, seperti keturunan Dalem Waturenggong atau Arya Kepakisan.
Wangsa Wesya dan Sudra: Keturunan pekerja, pedagang, atau rakyat umum dengan berbagai kawitan yang berbeda-beda.
4. Pewarisan Tradisi dan Budaya
Konsep kawitan juga melibatkan pewarisan nilai, adat, dan tradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Nilai-nilai ini mencakup tata cara persembahyangan, hubungan kekerabatan, serta kewajiban dalam upacara adat.
Kesimpulan
Kawitan di Bali bukan sekadar konsep genealogi, tetapi juga mencakup aspek keagamaan, sosial, dan budaya yang sangat mendalam. Pemahaman tentang kawitan membantu masyarakat Bali menjaga identitas, tradisi, dan keterikatan spiritual dengan leluhur mereka.
Konsep Pura Panataran Agung Catur Parhyangan yang menjadi linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Punduk Dawa berkaitan erat dengan Pasemetonan Tunggal Kawitan ring Ida Sanghyang Pasupati, Panca Tirtha, dan Sapta Rsi. Konsep ini mencerminkan sistem keyakinan dan struktur spiritual dalam tradisi Hindu Bali, terutama yang berkaitan dengan pemujaan leluhur suci (kawitan) dan hubungan dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Konsep Utama dalam Pura Panataran Agung Catur Parhyangan
1. Pasemetonan Tunggal Kawitan ring Ida Sanghyang Pasupati
Mengacu pada keyakinan bahwa semua keturunan spiritual yang berhubungan dengan Ida Sanghyang Pasupati berasal dari satu kawitan tunggal.
Ida Sanghyang Pasupati adalah manifestasi dari Siwa sebagai penguasa roh dan pemimpin para pendeta suci.
Dalam konteks ini, para pemuja di Pura Panataran Agung merasa memiliki ikatan spiritual dengan leluhur utama yang bersumber dari Ida Sanghyang Pasupati.
2. Panca Tirtha
Panca Tirtha merujuk pada lima tokoh suci atau resi yang memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Hindu di Nusantara, khususnya di Bali.
Mereka adalah pemimpin spiritual yang membawa ajaran Dharma, melestarikan sistem keagamaan, dan mendirikan berbagai pura suci.
Dalam kaitannya dengan Pura Panataran Agung, konsep Panca Tirtha menegaskan peran para leluhur suci yang menjadi bagian dari sistem kepercayaan dan pemujaan dalam pura ini.
3. Sapta Rsi
Sapta Rsi adalah tujuh resi agung dalam ajaran Hindu yang diyakini sebagai tokoh suci penyebar Dharma.
Dalam konteks Bali, Sapta Rsi sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh suci yang membawa dan mengajarkan nilai-nilai Hindu sejak zaman kuno.
Pemujaan di Pura Panataran Agung juga mengandung penghormatan terhadap Sapta Rsi sebagai bagian dari kawitan spiritual yang membimbing umat dalam kehidupan keagamaan.
Kesimpulan
Konsep Pura Panataran Agung Catur Parhyangan di Punduk Dawa menegaskan hubungan spiritual antara pemuja dengan leluhur suci mereka yang berasal dari Ida Sanghyang Pasupati, Panca Tirtha, dan Sapta Rsi. Hal ini mencerminkan sistem Pasemetonan Tunggal Kawitan, di mana setiap umat merasa memiliki satu asal-usul spiritual yang sama dan memuliakan para leluhur suci yang telah membimbing perjalanan Dharma di Bali.
Pertanyaan ini sangat berkaitan dengan konsep spiritual dan filosofi Hindu di Bali, terutama dalam kaitannya dengan ajaran kosmologi dan keseimbangan alam. Mari kita bahas satu per satu.
1. Sapta Resi
Dalam ajaran Hindu, Sapta Resi (Tujuh Resi) merujuk pada tujuh resi agung yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dunia dan menyebarkan ajaran dharma. Nama dan peran Sapta Resi dapat bervariasi tergantung pada teks atau tradisi yang digunakan. Namun, secara umum, mereka dianggap sebagai orang suci yang mencapai kesadaran tertinggi dan berfungsi sebagai pembimbing spiritual.
2. Pura Pusering Jagat Agung Besakih
Pura ini merupakan salah satu bagian penting dari kompleks Pura Besakih, yang merupakan pura terbesar di Bali. Pura Pusering Jagat memiliki makna sebagai pusat atau pusar dari dunia (jagat), yang melambangkan keseimbangan dan sumber kekuatan spiritual.
Fungsinya antara lain:
Sebagai pusat pemujaan kepada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Widhi Wasa, terutama dalam aspek-Nya sebagai pencipta dan pengendali alam semesta.
Melambangkan hubungan antara makrokosmos (jagat raya) dan mikrokosmos (manusia).
Sebagai tempat pemujaan leluhur dan sumber kekuatan spiritual utama di Bali.
3. Kaitannya dengan Dasar Bhuwana Gelgel
Dasar Bhuwana Gelgel merupakan konsep kosmologi yang berhubungan dengan keberadaan pusat spiritual di Bali, khususnya di Gelgel, yang dahulu menjadi pusat kerajaan Hindu di Bali.
Konsep Dasar Bhuwana sering dikaitkan dengan ajaran keseimbangan antara unsur-unsur dunia, baik secara spiritual maupun fisik. Gelgel menjadi simbol pusat kekuasaan dan keseimbangan spiritual di Bali sebelum akhirnya linggih Ida Bhatara Mpu Gana berpindah ke Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa.
4. Kenapa Disebut Dasar Bhuwana?
Dasar berarti pondasi atau landasan.
Bhuwana berarti dunia atau alam semesta.
Jadi, Dasar Bhuwana merujuk pada pondasi utama dunia, baik secara fisik maupun spiritual. Di Bali, konsep ini sering dikaitkan dengan titik pusat keseimbangan dan kesucian yang menjadi tempat pemujaan utama.
5. Tri Jhate Jhiwe Mhandhale dan Panca Jhate Jhiwe Mhandhale
Konsep ini berkaitan dengan unsur-unsur kehidupan dalam filsafat Hindu Bali, terutama yang berhubungan dengan keselarasan antara unsur tubuh manusia (mikrokosmos) dengan unsur alam semesta (makrokosmos).
Tri Jhate Jhiwe Mhandhale mengacu pada tiga aspek utama dalam kehidupan manusia yang harus dijaga keseimbangannya, seperti pikiran (manah), ucapan (wacika), dan perbuatan (kayika).
Panca Jhate Jhiwe Mhandhale merujuk pada lima elemen utama yang menyusun kehidupan, yang sering dikaitkan dengan Panca Mahabhuta (tanah, air, api, udara, dan ether).
Konsep ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia seharusnya hidup dalam keseimbangan dengan alam dan semesta.
Kesimpulan
Keterkaitan antara Pura Pusering Jagat Agung Besakih, Dasar Bhuwana Gelgel, serta konsep Tri Jhate Jhiwe Mhandhale dan Panca Jhate Jhiwe Mhandhale menunjukkan bahwa dalam ajaran Hindu di Bali, keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan sangat penting.
Pura Pusering Jagat di Besakih berfungsi sebagai pusat spiritual dunia, yang menjadi tempat pemujaan utama bagi masyarakat Bali. Gelgel pernah menjadi pusat keseimbangan spiritual di masa lampau, dan konsep Tri serta Panca Jhate Jhiwe Mhandhale menekankan pentingnya keseimbangan dalam kehidupan manusia, baik secara spiritual maupun fisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar