Jumat, 29 Maret 2024

Makna Sang Hyang Widhi

Sang Hyang Widhi (disebut juga sebagai Acintya atau Sang Hyang Tunggal) adalah sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali. Dalam bahasa Sanskerta, 'Acintya' memiliki arti 'Dia yang tak terpikirkan,' 'Dia yang tak dapat dipahami,' atau 'Dia yang tak dapat dibayangkan.'

Sang Hyang Widhi adalah Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Sang Hyang Widhi, bersumber dari akar kata "Sang", "Hyang", dan "Widhi".

Sang, memiliki makna personalisasi atau identifikasi. Contoh penggunaan kata lainnya: sang bayu, sang Nyoman, sang Raja, dsb-nya.

Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan susunan personal yang bercahaya dan suci.

Widhi, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Vidhi (dalam bahasa Jawa Kuno ditulis Widhi) sebagai pencipta, aturan atau perintah tertinggi, tertib (aturan) alam semesta, nasib, penguasa tertinggi. Widhi dapat berupa: cahaya, suara, susunan tersentuh, sensasi tersensori, memori akal, rasa emosional, radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dsb-nya.

Secara deskriptif, makna Sang Hyang Widhi tidak cukup untuk diungkapkan dengan beberapa kalimat. Namun, dengan beradanya dharma, semua orang dapat memahami makna sang hyang widhi ini secara utuh.


Pengertian Hyang Widhi Wasa dalam Agama. 

Pengertian Hyang Widhi Wasa adalah nama yang diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu, khususnya di Bali dan Jawa. Nama ini memiliki arti Sang Kekuatan yang Maha Mengetahui dan Maha Suci.

Istilah ini merujuk pada sumber dari segala kekuatan dan energi yang ada di alam semesta, serta pencipta dari semua makhluk hidup dan benda mati.

Pengertian Hyang Widhi Wasa

Dikutip dari buku Handbook Hindu Dharma di Nusantara, Tim Penulis, (2021), dalam agama Hindu, pengertian Hyang Widhi Wasa dikaitkan dengan konsep Brahman, yaitu realitas tertinggi yang meliputi segala sesuatu.

Istilah untuk menyebut nama Tuhan dalam agama Hindu juga memiliki beberapa nama lain, seperti Acintya dan Sang Hyang Tunggal. Acintya berarti Dia yang Tak Terpikirkan, Tak Dapat Dibayangkan, atau Tak Dapat Dipahami.

Nama ini menunjukkan bahwa Hyang Widhi Wasa melampaui batas-batas akal dan indera manusia. Sang Hyang Tunggal berarti Dia yang Satu-satunya, yang tidak memiliki bandingan atau persamaan.

Dalam ajaran Hindu, Tuhan atau Sang Pencipta digambarkan tidak memiliki wujud fisik atau gambaran tertentu. Hal ini karena Dia adalah sifat-sifat murni yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Oleh karena itu, Tuhan tidak dapat digambarkan atau dipuja dengan bentuk apapun. Namun, sebagai sarana untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan, umat Hindu menggunakan simbol-simbol yang menggambarkan aspek-aspek atau manifestasi dari Tuhan.

Salah satu simbol yang paling umum digunakan adalah padmasana, yaitu sebuah bangunan berbentuk singgasana dengan hiasan bunga teratai.

Padmasana melambangkan tempat duduk Hyang Widhi Wasa di tengah-tengah alam semesta. Bunga teratai melambangkan kemurnian dan kesucian Hyang Widhi Wasa, yang tidak tercemar oleh dunia fana.

Selain padmasana, umat Hindu juga menggunakan berbagai dewa-dewi sebagai perwujudan dari Hyang Widhi Wasa. Dewa-dewi ini bukanlah Tuhan yang berbeda-beda, melainkan manifestasi dari satu Tuhan yang sama, yaitu Hyang Widhi Wasa.

Dewa-dewi ini memiliki fungsi dan peran tertentu dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Beberapa dewa-dewi yang paling dikenal adalah Trimurti, yaitu tiga dewa utama yang melambangkan siklus penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan alam semesta.

Ketiga dewa ini adalah Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (pemusnah). Selain Trimurti, ada juga dewa-dewi lain, seperti Ganesha (dewa kebijaksanaan), Saraswati (dewi ilmu pengetahuan), Laksmi (dewi kemakmuran), Parwati (dewi cinta), Durga (dewi kekuatan), Hanoman (dewa kesetiaan), dan lain-lain.


Sang Hyang Widi Wasa Tidak Dikenal Di India

Tuhan dalam Agama Hindu di Bali disebut Sang Hyang Widhi Wasa Tidak dikenal di India
    

Pendahuluan 

Agama Hindu pertama kali lahir di tanah India. Lahirnya Agama Hindu terjadi akibat percampuran antara dua kepercayaan yakni kepercayaan Arya dan kepercayaan Dravida. Nama “Hindu” sendiri di India kurang populer. Hal ini dikarenakan Agama Hindu di India lebih dikenal dengan nama Sanatana Dharma atau Waidika Dharma. 

Sanatana Dharma memiliki arti agama yang kekal, sedangkan Waidika Dharma memiliki arti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Dalam proses penyebarannya, Agama Hindu tersebar ke seluruh dunia dan salah satunya adalah Nusantara atau Indonesia. 

Pembasan

Penyebaran Agama Hindu di Indonesia dibawa oleh seorang Rsi Bernama Rsi Agastya. Beliau menyebarkan ajaran Agama Hindu dimulai dari pulau Jawa, Lombok, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan lain sebagainya. Penyebaran Agama Hindu di Bali sendiri dibawa oleh seorang Rsi Bernama Rsi Agastya.

Dalam proses penyebaran Agama Hindu di Indonesia (khususnya Bali), terdapat berbagai penolakan akibat perbedaan sudut pandang terhadap ajaran Agama Hindu. Agama Hindu di India menganut filsafat asli dari Weda, sedangkan Agama Hindu di Bali menganut perpaduan dua filsafat yakni filsafat Weda dan filsafat Buddha yang disesuaikan dengan upacara dan kultur khas nusantara. 

Ajaran Agama Hindu di India merupakan ajaran-ajaran asli atau sumber dari ajaran-ajaran Agama Hindu yang ada di seluruh dunia. Hal ini bisa terjadi akibat sifat Agama Hindu yang fleksibel dan tidak memaksakan pengikutnya. Akulturasi yang dialami ajaran-ajaran Agama Hindu terjadi dengan tidak menghilangkan makna sebenarnya dari Agama Hindu itu sendiri. 

Persamaan yang paling menonjol antara Agama Hindu di Bali dengan Agama Hindu di India ialah Weda merupakan sumber dari segala sumber. 

Perbedaan Agama Hindu di India dengan Agama Hindu di Bali terlihat dari berbagai aspek yang diantaranya pola makan, perayaan hari suci keagamaan, tata cara beribadah, kultur, tempat ibadah, adat istiadat, hingga penyebutan Tuhan. Agama Hindu di India cenderung menggambarkan Tuhan dengan banyak nama Dewa. Pernyataan tersebut benar adanya tercantum dalam filsafat Vedanta yang mengenal adanya 33 juta dewa. Dalam Manawa Dharmasastra 1. 22 disebutkan bahwa “Tuhan yang menciptakan tingkatan Dewa-Dewa yang memiliki sifat hidup dan sifat gerak”, sehingga Agama Hindu di India mengenal konsep ketuhanan yakni konsep politeisme. 

Konsep ketuhanan politeisme adalah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan dengan menyembah nama-nama Dewa. Keadaan ini berbanding terbalik dengan Agama Hindu di Bali yang menganut konsep ketuhanan monoteisme yang dimana tetap menyebutkan nama-nama Dewa dalam proses penyembahannya, namun maksud yang dituju ialah Tuhan itu sendiri atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Tunggal. Monoteisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah, pencipta seluruh alam semesta, dan merupakan satu entitas tertinggi.

Penyembahan Tuhan dengan berbagai nama diakibatkan oleh bentuk perwujudan Tuhan yang bersifat “Saguna Brahman”. Saguna Brahman merupakan bentuk perwujudan Tuhan dalam wujud para Dewa yang banyak ditemukan pada tempat-tempat suci dalam bentuk simbol-simbol keagamaan. Saguna Brahman diperuntukkan bagi para Ajnani (orang yang masih diliputi oleh kesadaran fisik). Tuhan dalam Agama Hindu sejatinya satu. 

Munculnya beragam nama Dewa dalam Agama Hindu dikarenkan dalam Agama Hindu nama dan bentuk Tuhan yang mampu dicapai oleh panca indria sangat beragam. Menurut Ṛgveda Saṁhitā I.139.11 dan Rgveda Saṁhitā I.34.11, dewa dibagi dalam tiga kelompok yakni mereka yang tinggal di surga (dyu-loka), mereka yang tinggal di wilayah pertengahan (antariksa), dan mereka yang tinggal di bumi (pritivī). Dewa yang terbagi menjadi tiga kelompok besar tersebut sejatinya berasal dari satu sumber atau Sang Tunggal. 

Dalam Rgveda Mandala I Sukta 164, mantra 46 dinyatakan “Ekam sat wiprah bahuda wadanti, agnim yaman matariswanam”. 

Artinya :
“Tuhan itu satu, oleh para Rsi disebutkan dengan Agni, Yama, Matariswanam”. Semua yang ada di dunia ini adalah Tuhan. Tuhan berada di dalam ciptaan-Nya (Imanen) dalam bentuk jiwa dan di luar ciptaan-Nya. Sifat Tuhan yang berada dimana saja dikenal dengan sebutan “Wyapi Wyapaka”. 

Dalam Upanisad juga disebutkan bahwa semua ini adalah Brahman (Sarwam khalu idam Brahman). Tuhan juga dikenal dengan sebutan “Neti-Neti” yang memiliki arti bukan ini, bukan itu. Tuhan sejatinya tidak terdefinisikan dan tidak terbatas. Tuhan merupakan Yang Tertinggi sebagai sesuatu yang tidak mampu dilukiskan dengan nama tertentu. Semua nama menyatu dalam keesaan viśvam ekam.

Salah satu bukti Agama Hindu menganut konsep politeisme ialah berdirinya ajaran Hare Krishna. Hare Krishna merupakan lembaga atau gerakan keagamaan yang bergerak di bidang Pendidikan non formal. Hare Krishna merupakan salah satu aliran Agama Hindu yang lebih mendedikasikan hidupnya pada Tuhan Krishna. Tujuan ajaran Hare Krishna adalah membimbing manusia pada zaman penuh kejahatan yakni zaman Kaliyuga untuk mencapai pembebasan dalam bentuk kesadaran Khrisna yang abadi melalui Bhakti Yoga. Ajaran Hare Krishna diperkirakan sudah ada sejak 500 tahun yang lalu oleh Sri Caitanya Mahaprabu di India. 

Ajaran Hare Krishna dengan ajaran Agama Hindu pada dasarnya sama yakni menjadikan Weda sebagai landasan dan sumber dari ajaran. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan pemahaman atau penerimaan dari ajaran-ajaran yang terkandung dalam Weda. Perbedaan ajaran Hare Krishna dengan ajaran Agama Hindu terlihat pada konsep ketuhanan dan ritual keagamaannya. 

Konsep ketuhanan dalam ajaran Hare Krishna mempercayai bahwa Krishna adalah Tuhan yang tunggal dan Tuhan yang utama. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep ketuhanan dalam Agama Hindu yang menganggap bahwa Brahman adalah Tuhan yang utama. Mantra-mantra yang digunakan ajaran Hare Khrisna berbeda dengan mantra Agama Hindu yang memiliki beragam jenis. Dalam ajaran Hare Krishna hanya terdapat satu mantra yang selalu dipergunakan dalam upacara apapun. 

Mantra ini diambil dari kesusastraan Weda yang menyebut terdapat dua mantra yang secara khusus direkomendasikan. Mantra yang pertama ialah “omkara” dan mantra yang kedua ialah maha mantra Hare Krishna. Ajaran Hare Krishna menyimpulkan bahwa mantra merupakan doa yang ditujukan pertama kepada Radharani kemudian kepada Krishna, sehingga Radharani merupakan pasangan abadi dari lelaki personalitas tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna. Perbedaan juga terlihat dalam korban suci yang dipersembahkan dalam ritual. 

Agama Hindu memperbolehkan penggunaan binatang sebagai persembahan dalam ritual. Hal ini berlawanan dengan ajaran Hare Krishna yang menekankan pada konsep ahimsa dan mengajarkan cinta kasih, sehingga mengganti korban suci tersebut dengan mengucapkan japamala atau nama Krishna dalam ritual.

Simpulan

Perbedaan konsep Tuhan dalam Agama Hindu di Bali dengan konsep Tuhan di India terjadi akibat perbedaan pandangan masyarakat setempat memahami ajaran-ajaran Weda. 

Weda sebagai sumber dari sumber dalam ajaran Agama Hindu bersifat fleksibel dan tidak dipaksakan. Ajaran Agama Hindu sejatinya satu, namun akibat proses penyesuaian dan akulturasi yang terjadi menimbulkan perbedaan antara ajaran Agama Hindu di tempat yang satu dengan tempat lainnya. 

Konsep ketuhanan politeisme di India dengan konsep ketuhanan monoteisme di Bali dalam kacamata Agama Hindu sah-sah saja keberadaannya. Ajaran Hare Krishna sebagai salah satu contoh dari banyaknya kepercayaan lain yang berlandaskan pada kepercayaan Hindu menunjukkan bahwa Agama Hindu dapat dimodifikasi sesuai dengan kepercayaan penganutnya. 

Guna mencegah terjadinya konflik antar kepercayaan yang berlandaskan pada ajaran Weda, maka penting bagi umat Hindu di seluruh dunia (khususnya Bali) memaknai fleksibilitas ajaran-ajaran yang terkandung dalam Weda.


Yoga Mudra Siwa


Meditasi Yoga Mudra Siwa Solusi Praktis Menuju Kedamaian


Meditasi dan yoga banyak berkembang saat ini. Di samping untuk kesehatan jasmani, meditasi dan yoga sangat baik untuk memelihara rohani. Tentu tata caranya harus benar.

Salah satu yang tengah berkembang kini adalah Meditasi Yoga Mudra Siwa. Meditasi Yoga Mudra Siwa pada awalnya dikembangkan Ida Maha Rsi Bali Nila Kantha Satya Natha Daksa Manuaba bersama Bhakta Siwa Sejati dengan nama Meditasi Yoga Siwa. Pada 23 Juni lalu, anak biologis mendiang Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd, yang juga seorang pemangku ini, melengkapi nama Meditasi Yoga Siwa menjadi Meditasi Yoga Mudra Siwa.


Pada hari itu juga, Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba dari Griya Agung Bangkasa, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Abiansemal, Badung, memberikan anugerah supaya Meditasi Yoga Mudra Siwa tersebut disebarkan bagi umat Hindu dimana pun berada. "Bagi sulinggih kapurusan harus mampu mengombinasikan dengan Argha Patra, yaitu mudra yang telah digunakan sulinggih,” ungkap pria yang lekat dengan nama Jro Mangku Sugata, pekan kemarin.

Dikatakannya, secara umum, orang memandang Dewa Siwa dari gambar atau rupa cipta manusia. Dari gambaran yang ada, kata Jro Mangku Sugata, mungkin banyak orang beranggapan sekiranya begitulah aslinya sosok pribadi Dewa Siwa yang sebenarnya. “Karena menganggap rupa Dewa Siwa demikian, maka ada kemungkinan dalam doa umat ada yang berhayal agar kehadiran Dewa siwa dalam wujud yang digambarkan,” ujarnya.



Kalaupun seandainya Beliau datang dalam doa, lanjutnya, gambarannya bisa muncul mungkin dalam sekejap saja. Bisa juga hadir dalam bayangan saat pikiran lagi tak banyak pikir atau blank.
Selebihnya secara nyata, mungkin hampir sebagian besar orang tidak pernah menemukan sosok Dewa Siwa. Tetapi dibalik wujud Dewa Siwa dengan berbagai atributnya tersebut, setelah diamati, semuanya itu merupakan gambaran atau simbolisasi.

Namun lebih dari sekadar gambar, setiap atribut di gambar Dewa Siwa, semuanya memiliki nilai filsafat. “Pada nilai filsafat dari atributnya tersebut terkandung ajaran Meditasi Yoga Mudra Siwa sebagai petunjuk ajaran kerohanian yang murni,” ucapnya.

Ajaran kerohanian yang murni tersebut, kata guru SMPN 4 Abiansemal ini, langsung mengarahkan pikiran manusia agar berpulang pada roh yang ada di hatinya. Membawa pikiran menuju roh di hati itu, lanjutnya, merupakan sebuah usaha untuk memurnikan pikiran dan akal budi. "Pikiran yang tercemar oleh dorongan hawa nafsu akan murni kembali bila dibawa pada roh di hati saja," urainya.
Perkara membawa pikiran menuju roh di hati, menurutnya bukan perkara enteng. Pikiran manusia yang bersekutu dengan panca indranya membuat pikiran susah berpulang menuju roh. Hawa nafsu cenderung mendorong pikiran mengikuti panca indra agar arahnya kebduniawi melulu. “Lewat ajaran kerohanian murni, arah pikiran dibawa balik pulang menuju roh di hatinya,” jelasnya.

Ada 18 gerakan tarian atau tangan Siwa dalam meditasi Yoga Mudra Siwa. Jumlah tersebut menunjukkan sebuah Meditasi Yoga Mudra Siwa sebagai jalan kerohanian yang murni. Ajaran Siwa yang murni ini pula sebagai ajaran Siwa yang ilmiah, modern dan bersifat universal. Dewa Siwa selalu dilukiskan duduk bersila. Sikap duduk bersila dalam praktek kerohanian secara umum merupakan sikap utama dalam bermeditasi. Dalam hal ini, sikap duduk bermeditasi merupakan cara utama menekuni ajaran kerohanian.

Sikap duduk yang tenang, tubuh tegak lurus setegak-tegaknya, merupakan syarat utama dalam menekuni dan menemukan alam rohani. Setelah sikap duduk yang tegak tak bergoyang, mata perlahan-lahan dipejamkan. Setelah terpejam, kemudian pikiran dikontrol dan ikut dibuat tenang, setenang mungkin. Tubuh yang tenang dan tegak sangat menentukan tenangnya pikiran. “Karena itu, dalam meditasi, posisi tubuh harus tegak dan tenang terlebih dulu, maka perlahan-lahan pikiran ikut tenang,” katanya.

Bagaikan menenangkan air dalam sebuah wadah, maka wadahnya perlu dibuat tenang, sehingga air dalam wadah ikut jadi tenang. Setelah tenang barulah cahaya kebajikan memancar. Cahaya kebajikan itu datang dari cahaya roh atau Atma di hati. Cahaya Atma atau roh memancar pada pikiran yang tenang. Pada pikiran yang penuh ambisi, cahaya roh tak memancar.

Dikatakannya, cahaya roh bagaikan api lilin tertiup angin pada orang yang pikirannya goncang. Tidak ada cahaya kebajikan memancar pada pribadi yang pikirannya bergejolak. “Melalui duduk meditasi menenangkan pikiran, membuat cahaya kebajikan memancar perlahan-lahan,” jelas Jro Mangku Sugata.

Selanjutnya, hakikat praktik kerohanian atau spiritual, intinya membuat pikiran terpusat di sela alis. Setelah terpusat di sela alis, pikiran lalu didiamkan atau diheningkan. Proses mendiamkan pikiran dan mengheningkan pikiran inilah ajaran meditasi.
Karena itu, saat berjapa mantra, latihan meditasi harus diupayakan dengan sengaja memusatkan pikiran atau konsentrasi di sela alis.
“Dipusatkan di sela alis, lalu dibuat hening, tidak berpikir, tidak menghayal, pokoknya diam, diam, dan diam. Jika hanya melulu berjapa sebanyak mungkin dan pikiran sekali-kali tidak dipusatkan di sela alis untuk hening, maka cahaya roh tentu agak lambat memancar,” ucapnya.

Kemudian japa mantra merupakan alat bantu dalam meditasi dalam upaya untuk membuat pikiran hening atau diam. Karena itu, di saat pikiran tak stabil, penting kiranya japa mantra diperbanyak. “Ucapkan mantra Om Nama Siwa Ya saat duduk bermeditasi, akan membantu pikiran mudah dipusatkan lalu sampai hening atau diam,” jelasnya.

Meditasi Yoga Mudra Siwa, menurutnya, menjadi bantuan yang sangat diperlukan dalam hidup. “Saya menggunakannya kapan saja, dan di mana saja, untuk semuanya. Sebagai hasilnya, saya membawa kejelasan, cahaya, dan cahaya ke dalam hidup saya," urainya. Jro Mangku Sugata mengaku mengisi ulang baterai batinnya, memecahkan masalah, membuat keputusan, mendapatkan saran dan kenyamanan. Juga memperbaiki karakter, memobilisasi kekuatan kekebalan tubuh, mengembangkan visi untuk masa depan dan mencari hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Siwa itu sendiri, dengan Meditasi Yoga Mudra Siwa.

"Seseorang dapat menggunakan meditasi Yoga Mudra Siwa untuk segala sesuatu, termasuk melarutkan apapun yang mengganggu dan membebani, serta mencapai kekayaan dalam dan luar. Bahkan secara alami juga untuk mencapai tujuan spiritual," urainya.

Praktisi-praktisi penyembuhan Hindu, lanjytnya, telah menemukan sejak lama bahwa terlalu banyak atau terlalu sedikit unsur bumi, air, udara, api, dan ether, menyebabkan tubuh menjadi tidak seimbang atau bahkan sakit parah. Sama seperti setiap elemen dapat memiliki pengaruh positif pada tubuh manusia, itu juga dapat menghancurkan tubuh yang bersangkutan.

Sebab, kata Sugata, masing-masing elemen secara alami saling memengaruhi. Setiap elemen memiliki kebutuhan khusus yang dapat dengan mudah dipenuhi dalam keadaan dinamis yang seimbang dan tenang. “Tetapi seberapa sering kita stres, istirahat dan olahraga terlalu sedikit, makan terlalu banyak, atau membiarkan diri kita diganggu oleh kekhawatiran? Semua ini membuat kita kehilangan keseimbangan. Ketika tubuh tidak lagi mampu mencapai keselarasan, kita tidak seimbang dan kita menjadi rentan terhadap penyakit,” pungkasnya. 


Kamis, 28 Maret 2024

Metatah

Mepandes, Metatah dan Mesangih
Sebuah Tradisi Potong Gigi Masyarakat Hindu Bali

 
 
 
Mesangih merupakan salah satu tradisi potong gigi masyarakat Hindu Bali yang sangat sakral karena tradisi ini merupakan upacara yang menandakan bahwa seorang remaja telah dewasa dan dapat mengendalikan hawa nafsunya. Tradisi ini dilakukan dengan empat gigi seri dan dua gigi taring kanan dan kiri rahang atas, dilakukan pemahatan sebanyak tiga kali, pengasahan, dan perataan.

Mesangih memiliki beragam makna dan arti. Pertama, sebagai symbol adanya peningkatan status dari anak berubah dewasa. Hal ini berarti anak telah memiliki nilai-nilai budi pekerti yang diperlukan di masa remaja sebagai sarana pembentukan kepribadian. Kedua, memenuhi kewajiban orangtua karena telah mendapatkan kesempatan utnuk beryadnya (menumbuhkembangkan kepribadian anak) sehingga menjadi anak yang berbakti dan menurut. Ketiga, seseorang yang telah diupacarai menjadi suci akan lebih mudah menghubungkan dirinya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga saat terlah dewasa, Atma (roh suci) akan bertemu dengan leluhurkan di alam leluhur (Pitraloka). Arti dan tujuan tradisi potong gigi merupakan hal yang sangat mulia dan bermanfaat bagi umat Hindu. Agar pelaksanaannya dapat sesuai dengan kebutuhan zaman, perlu ditingkatkannya suatu pemahaman terkait kaidah kesehatan bagi sanggih sebagai tokoh agama yang melakukan pemotongan gigi dan bersentuhan langsung dengan peserta potong gigi.

Pada dunia kedokteran gigi, tindakan medis serupa dengan tradisi mesangih disebut dengan occlusal adjustment dengan teknik selective grinding. Prosedur ini dilakukan untuk mengurangi atau mengilangkan kontak gigi yang mengganggu dan menimbulkan ketidakharmonisan pada saat terjadi oklusi sentris. Proses ini dialkukan untuk memperbaiki bentuk agar dapat berfungsi dengan baik. Setelah dilakukan proses ini, dilakukan polishing untuk mengindari retensi plak dan menghaluskan anatomi permukaan gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Widayanti pada tahun 2010 menunjukan bahwa terdapat 85% responden yang memiliki keluhan setelah melakukan tradisi potong gigi di mana seluruh responden mengeluhkan lebih dari satu keluhan.

Secara anatomis, gigi memiliki struktur yang terdiri atas enamel, dentin, pulpa, dan sementum. Enamel merupakan salah satu jaringan terkuat dalam tubuh manusia. Sayangnya, tradisi potong gigi berpeluang untuk memberikan dampak kerusakan pada enamel gigi. Enamel memiliki dua lapisan yaitu lapisan luar dan lapisan dalam. Apabila sanggih mengasah menggunakan kikir mengenai lapisan yang dalam, peserta pasti akan merasakan ngilu yang hebat. Oleh karena itu, proses mesangih harus juga memperhatikan ketebalan enamel. Dianjurkan untuk mengasah gigi tidak lebih dr 2 mm. Memotong atau mengikir gigi dapat mempercepat pengikisan lapisan enamel sehingga dentin terbuka dan menyebabkan gigi menjadi lebih sensitif.

Pada saat proses pengikiran, terjadi pergesekan gigi dengan benda keras (kikir) yang juga menyebabkan getaran. Apabila gigi tidak disokong oleh jaringan penyangga atau gusi yang sehat dan kuat, maka gigi dapat berotasi bahkan menjadi goyang. Oleh karena itu, sanggih dapat melakukan gerakan yang tidak terlalu menekan dan menggerakan kikir dengan satu arah agar terhindar dari gerakan yang merusak gusi.

Tradisi mesangih dilakukan dengan mengikir empat gigi seri dan dua gigi taring kanan dan kiri rahang atas. Apabila gigi seri dikikir terlalu banyak, fungsinya untuk memorong makanan bisa berkurang dan menjadi tidak tajam lagi sedangkan apabila gigi taring dikikir terlalu banyak, fungsinya untuk mengiris makanan juga dapat berkurang.

Penting untuk menjaga kondisi jaringan gigi tetap sehat sebelum dilakukan acara potong gigi. Sebelum mesanggih disarankan untuk menggosok gigi secara rutin menggosok gigi dengan waktu dan teknik yang benar dan membersihkan karang gigi. Setelah mesangih juga tidak dianjurkan untuk minum dan makan yang terlalu panas atau dingin karena setelah pengikiran, dentin akan terbuka dan gigi menjadi sensitif. Hal ini menyebabkan rasa ngilu atau nyeri.


Rabu, 27 Maret 2024

Makna Puh Ginada Eda ngaden awak bisa

Kepandaian itu seperti celana dalam, 
Kita perlu memakainya, 
Tapi tak perlu memamerkan nya. 

Kata ini sangat simpel/sederhana bahkan terkesan melucu tapi benar. Bagaimana bisa sebuah kepandaian yang tinggi derajatnya lalu dianalogikan dengan celana dalam yang secara etika berfungsi untuk menutup sesuatu yang bila dipertontonkan bakal menjadi sesuatu yang memalukan.

Bagi pembuatnya atau perangkai kalimat ini, jelas dia sedang menyajikan kalimat yang sarkas dan satir. Dia sedang menertawakan mereka yang mengaku pandai tapi suka sekali memamerkannya. Jelas ini kalimat protes juga kritik yang lumayan pedas dan kasar. Tapi tetap lucu. Satu kata untuk pembuat kalimat ini: Cerdas. Sama halnya seperti pupuh dibawah ini:

PUPUH GINADA 
KARYA KI DALANG TANGSUB

De ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu buka katah
Yadin ririh liu nu peplajahan

Yang kira-kira artinya (dari berbagai sumber):

Jangan mengira dirimu sudah pintar
Biarlah orang lain yang menilai diri kita/menyebutnya demikian
Ibarat kita menyapu
Sampah akan ada terus menerus
Kalaupun sudah habis, masih banyak debu
Biarpun kamu sudah pintar, masih banyak hal (yang harus dipelajari)

Dalam pandangan saya, lagu ini begitu polos, lugu, apa adanya, namun penuh makna. Oleh dongeng budaya, lagu ini diterjemahkan sebagai berikut:

1. Jangan sombong, mengatakan diri pintar, diri baik, serba tahu dan seterusnya, juga hindari memuji diri sendiri. Orang lainlah yang menilai dan mengatakan bukan diri anda. Dalam hal agama juga sama saja, mengatakan agama sendiri paling bagus, damai dan seterusnya adalah tidak dianjurkan.

2. Belajar ataupun tindakan baik apapun yang kita lakukan harus kontinyu dan terus menerus. Ibarat orang menyapu, tidak cukup hanya dilakukan sekali saja.

3. Tidak ada manusia yang sempurna. Seseorang mungkin pintar dalam ilmu tertentu tapi bisa jadi bodoh dalam ilmu lain. Jadi walau sudah pintar, masih tetap perlu belajar.

Kentara sekali di sini, konsep berpikir dan bertindak orang Bali secara umum. Oleh Bhagawan Dwija, sifat perilaku agar tidak suka menonjolkan kelebihan, dan menjadi sombong sebenarnya berimplikasi pada keyakinan apapun yang dimiliki dan diketahui manusia sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan keagungan Tuhan. Saya yakin, ini banyak didasari oleh rasa bakti transendental kepada sang pencipta. Ini bukan berarti saya terlalu mendasarkan diri pada satu keyakinan saja. Saya hanya tertarik betapa hebatnya para orang tua dulu yang mampu mengkomposisi lagu ini. Menurut saya, hal penting yang bisa diambil dari lagu ini adalah “jangan sombong (ketika tahu akan sesuatu); rendah hati, tapi bukan rendah diri; dan selalu belajar (karena akan selalu ada hal baru – di atas langit masih ada langit).” Inti utamanya adalah pada “yadin ririh liu nu peplajahan – masih banyak yang harus dipelajari.”

Sekali lagi penting ditekankan, kita harus bisa menampilkan sisi terbaik kita di konteks yang relevan, namun kita harus tetap rendah hati dan tidak berhenti belajar. Seperti kutipan-kutipan berikut:

“Develop a passion for learning. If you do, you will never cease to grow.” ~ Anthony J. D’Angelo

Artinya:
Mengembangkan gairah untuk belajar. Jika Anda melakukannya, Anda tidak akan pernah berhenti bertumbuh.


“When we blindly adopt a religion, a political system, a dogma, we become automatons. We cease to grow.” ~Anais Nin

Artinya;

Ketika kita secara membabi buta mengadopsi suatu agama, sistem politik, dogma, kita menjadi robot. Kami berhenti tumbuh.

Karenanya, sangat cocok dipakai pengantar tidur anak-anak kita agar nilai baiknya bisa tertanam sejak dini. Harus diakui, jaman sekarang, rasanya sudah jarang sekali ada orang tua yang meninabobokan putera-puterinya dengan lagu ini. Generasi saya sudah jarang sekali mendengarnya, apalagi generasi di bawah saya. Sekali lagi, penting untuk selalu belajar namun tidak arogan.

Saya yakin, teman-teman punya juga lagu di daerahnya yang sarat nilai yang bisa dipakai sebagai acuan sehari-hari. 

Senin, 25 Maret 2024

Pura KDS Ida Bhatara Sinuhun

PURA KAHYANGAN DHARMA SMRTI LINGGIH IDA BHATARA SINUHUN

Merupaka  salah satu pura yang ada di Pundukdawa, Dawan - Klungkung.

Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah gerbang, misal, angkasapura berarti Gerbang angkasa. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.

Kahyangan atau Hyang atau Pura merupakan salah satu bentuk “tempat suci” yang didirikan berdasarkan konsep teologi-filosofis tertentu untuk menjadi tempat sekaligus pusat orientasi pemujaan. Secara konsepsional tata ruang pura yang terdiri atas tiga mandala suci.

Akar kata dharma adalah "dhri", yang berarti "menopang, menahan, atau menanggung". Ini adalah hal yang mengatur jalannya perubahan dengan tidak berpartisipasi dalam perubahan, tetapi prinsip yang tetap konstan.[24] Monier-Williams, sumber yang banyak dikutip untuk definisi dan penjelasan kata-kata Sansekerta dan konsep Hinduisme, menawarkan[25] banyak definisi kata dharma, seperti yang ditetapkan atau tegas, ketetapan yang teguh, ketetapan, hukum, praktik, adat tugas, hak, keadilan, kebajikan, moralitas, etika, agama, pahala agama, perbuatan baik, alam, karakter, kualitas, properti. Namun, masing-masing definisi ini tidak lengkap, sementara kombinasi terjemahan ini tidak menyampaikan arti kata secara keseluruhan. Dalam bahasa umum, dharma berarti "cara hidup yang benar" dan "jalan kebenaran".

Smrti berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata smrta yang berarti ingatan lalu menjadi smrti yang berarti ingatan, kenangan, tradisi yang berwenang.

Makna kata Linggih merupakan tempat kediaman, stana, tempat diam. 

 Ida Bhatara Sinuhun merupakan 


Mantra Mapepada

Mantra Upacara Mapepadan (memotong hewan) 

Oṁ pasu pasāya wimahe sirascadaya dhimahi
tano jiwah pracodayat.

Mapepada

Mapepada artinya penyucian hewan kurban sebagai rangkaian dari upacara Bhuta Yadnya.

Mapepada berasal dari kata “pada” dalam bahasa Bali.

Pada sendiri pada dasarnya memiliki dua makna, “sama” dan “kaki”. 
"Pada" dapat diartikan sebagai penyamaan terhadap roh hewan yang akan digunakan untuk sarana upakara.

Menurut budayawan I Gede Anom Ranuara dalam salah satu kajian Kurban Hewan dalam jurnal filsafat Universitas Gajah Mada disebutkan bahwa, 
 Dengan diadakannya upacara Mapepada, diharapkan arwah dari hewan yang digunakan untuk upakara, ketika lahir kembali mengalami kenaikan tingkat atau tidak menjadi hewan kembali (Suyatra, 2018) .
Lebih lanjut disebutkan, Mapepada dilaksanakan beberapa hari sebelum dilakukan pemotongan hewan untuk upacara. 
 Biasanya, upacara ini menggunakan banten (sesajen) dengan tingkatan bebangkit dan dipuput (diselesaikan) oleh seorang sulinggih (pendeta Hindu).
Upacara ini bertujuan untuk mendoakan dan memohon kepada Dewa Siwa agar hewan yang digunakan untuk upacara mengalami kenaikan derajat. Sulinggih (pendeta Hindu) pun merupakan simbol Siwa Sekala yang erat berkaitan dengan peleburan dosa (Suyatra, 2018)

Setelah semua upakara lengkap, upacara dilanjutkan dengan menuntun hewan yang akan dikurbankan mengitari tempat upacara sebanyak tiga kali. Konsep yang digunakan adalah Murwa Daksina yang artinya bergerak menuju ke atas atau menuju tingkat yang lebih tinggi.

Setelah upacara Mapedada selesai sehingga semua hewan kurban telah disucikan, maka beberapa hari kemudian hewan tersebut akan dikurbankan dengan cara dipotong sebagai unsur dari upakara (Ranuara dalam Suyatra (Suyatra, 2018)

Diketahui dari kitab suci Manawa Dharmasastra V.42, dicantumkan bahwa Tuhan menciptakan binatang dan tumbuhan untuk tujuan upacara - upacara kurban, dengan maksud untuk kebaikan bumi:
 "Eesvarthesu pacunhimsan veda, tattvarthavid dvijah,atmanam ca pacum caiva ga,mayatyutanam gatim" 
Arti dari sloka ini adalah, dikutip dari Pudja dan Sudantra (Pudja, I G., & Sudantra, 1973) , 
 “Seorang yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama - sama hewan itu masuk ke dalam keadaan yang sangat membahagiakan.” 
Sloka di atas menjadi latar belakang dan acuan umat Hindu Bali dalam menggunakan hewan sebagai salah satu unsur dalam upakara Yadnya. Menjadikan hewan sebagai kurban suci diharapkan dapat membuat manusia lebih mampu mendekatkan diri dengan Tuhan dan akhirnya dapat menyatu dengan-Nya.

Umat Hindu Bali pun percaya bahwa hewan yang dikurbankan tidaklah semata-mata “digunakan” sebagai keperluan manusia.

Dengan pengorbanan, hewan yang dikurbankan sendiri akan mendapatkan tempat yang lebih baik setelah kematiannya. Kitab Manawa Dharmasastra V.40 menguraikan bahwa:
 "Osadyah pasavo vriksastir, yancah paksinastatha, yajnyartham nidhanam praptah, prapnu vantyutsritih punah" 
Arti dari sloka ini adalah, dikutip dari Pudja dan Sudantra (Pudja, I G., & Sudantra, 1973), 
 “Tumbuh-tumbuhan semak-semak, pohon-pohonan, ternak, beburon seperti burung-burung lainnya yang telah digunakan sebagai sarana upakara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang.” 
Umat Hindu mempercayai punarbhawa, yaitu reinkarnasi atau kelahiran kembali. Maka, setelah makhluk hidup mati, ia akan terlahir kembali sesuai dengan karma wesana (bekas-bekas perbuatan)-nya.

Punarbhawa akan terus berlanjut sesuai dengan perbuatan manusia, hingga ia akhirnya menyatu dengan Tuhan (moksa), yang merupakan tujuan utama dari umat Hindu. 
 Jika manusia membawa karma (perbuatan) baik, maka ia dapat terlahir kembali sebagai manusia yang lebih baik daripada sebelumnya.
 Akan tetapi,
 Jika ia banyak membawa karma yang tidak baik, besar kemungkinan ia akan terlahir kembali dengan keadaan yang lebih buruk, bahkan menjadi hewan dan tumbuhan.
Keistimewaan manusia, dalam kepercayaan Hindu, adalah ia mampu untuk membedakan baik dan buruk, sehingga ia bisa menentukan sendiri perbuatan seperti apa yang akan dia lakukan.

Maka, kelahiran kembali adalah kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri sehingga ia bisa membawa dirinya ke nirbanapadam (alam kelepasan), atau moksa.

Dalam kitab Sarasamuscaya 4 disebutkan bahwa:
 “Iyam hi yonih prathamā
Iyām prapya jagatipate
Ātmanam sakyate tratum karmabhih
Subhalaksanaih” 
Arti dari sloka ini adalah, dikutip dari Tim Penyusun (Tim Penyusun, 1996), “Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama.
Sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari samsara dengan jalan berbuat baik. Demikian keunggulan menjadi manusia.”. 

Maka dari itu, dengan mengorbankan hewan, manusia telah membantu hewan tersebut untuk “naik tingkat” agar ia dapat menjelma sebagai manusia di kelahiran setelahnya. 

Dengan menjadi manusia, ia akan dapat memperbaiki diri dengan melakukan karma baik, sehingga jalan menuju moksa akan semakin dekat.

𝗪𝗜𝗦𝗔𝗧𝗔 SPIRITUAL

𝗪𝗜𝗦𝗔𝗧𝗔 SPIRITUAL GRIYA AGUNG BANGKASA : 𝗣𝗔𝗥𝗔𝗗𝗜𝗚𝗠𝗔 𝗣𝗘𝗠𝗕𝗔𝗡𝗚𝗨𝗡𝗔𝗡 𝗔𝗟𝗧𝗘𝗥𝗡𝗔𝗧𝗜𝗙 𝗨𝗡𝗧𝗨𝗞 𝗣𝗔𝗥𝗜𝗪𝗜𝗦𝗔𝗧𝗔 𝗕𝗘𝗥𝗞𝗘𝗟𝗔𝗡𝗝𝗨𝗧𝗔𝗡 DI DESA BONGKASA

Apakah Anda pernah membayangkan sebuah Griya/rumah di desa tidak hanya sebagai tempat tinggal, tapi sebagai pusat inovasi dan perubahan? Di mana setiap sudutnya berbicara tentang kemandirian, keberdayaan, dan keberlanjutan?

Wisa spiritual Griya Agung Bangkasa membuka mata kita pada sebuah dunia di mana desa Bongkasa bertransformasi menjadi lebih dari sekedar tempat tinggal. Dengan mengunjungi langsung dan berdiskusi secara kritis, Wisata Spiritual Griya Agung Bangkasa membawa kita ke dalam perjalanan menemukan bagaimana desa Bongkasa ini meredefinisi diri mereka sebagai pusat pariwisata alternatif.

Bayangkan wisata spiritual Griya Agung Bangkasa di desa wisata Bongkasa yang tidak hanya menawarkan keindahan alam semata, tapi juga kisah perjuangan, kemandirian, dan keberdayaan komunitasnya. Dari petani, komunitas Masyarakat Adat, hingga kelompok minoritas lainnya, semua bergerak bersama merajut asa untuk kesejahteraan bersama. "Wisata Spiritual Griya Agung Bangkasa" memaparkan langkah demi langkah strategis dari perencanaan, pengorganisasian, peningkatan kapasitas kewirausahaan, hingga branding, semuanya diuraikan dengan jelas dan mendalam.

Wisata spiritual Griya Agung Bangkasa merupakan kumpulan kisah nyata dari wisata desa Bongkasa yang telah mengubah tantangan menjadi peluang, menempatkan diri pada peta wisata dunia tanpa kehilangan jiwa mereka. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak?

#tubaba@griyangbang//Jangan lewatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari perubahan ini#

https://youtu.be/-xAgf9R49uQ?si=tHdJ9ccfHjcPYtlE

https://youtu.be/4C_dL8yhsDY?si=rKt4Mw_1Qmjhmjr6

https://youtu.be/Ww5JA3Ec6Eo?si=6T5S406vN8e_n-lr

https://youtu.be/V8jyC_B8d6E?si=zARfJ1FAT5b1ymxH

https://youtube.com/shorts/TpE242fKs5s?si=BtG1zQ6bw1XEL54Y

https://youtu.be/vy_t0Cf3jk0?si=LQhJ1r2tS4DVKSpC

https://youtu.be/g1oe5OEuJNo?si=keDHSUbkA_fGpRLf

https://youtu.be/Rqe7kGUK8Bw?si=Oax4u5Y-p-g0dVbZ

https://harianrakyatbali.com/pasangan-wna-langsungkan-pernikahan-adat-bali-di-griya-agung-bangkasa/

Mebayuh, Mengentaskan Kelahiran


Mebayuh, Mengentaskan Kelahiran Dari Musibah Kehidupan

Bayuh oton adalah upacara yang diyakini dapat mengentaskan hukum dengan kelahiran/menetralisir derita bawaan akibat pawetuan (kelahiran). Sebelum melaksanakan prosesi mebayuh, alangkah baiknya melakukan pewacakan pawetuan lebih dahulu. 

Pewacakan merupakan ramalan sifat bawaan menurut hari kelahiran baik itu yang mencakupi wuku dan wewaran, hal ini biasanya dilakukan oleh pinandita atau sang meraga brahmana, hal ini berfungsi sebagai pemahaman watak dan karakter serta hal-hal yg baik atau tidak dilakukan dimasa mendatang oleh sang yajamana dalam menjalani kehidupan dan darma.

Konsep mebayuh adalah implementasi sebuah pelaksanaan yadnya di buana alit karena di buana agung dan buana alit adalah ‘patuh palakuania’ (sama)/hendaknya diharmoniskan.

Dalam lontar pewacakan pamayu pawetuan kang rare berasal dari kata ayu=cantik, baik, sehat. Kata ayu mendapat awalan pa+ma = pamayu yang memiliki arti cara menjadikan kelahiran ini cantik/baik/selalu dalam keadaan sehat. 

Dari kata pamayu lama kelamaan menjadi proses perubahan kata bilabial/huruf bibir yang bisa saling menggantikan (p, b, m, w). Pa+ma+ayu menjadi pa+ba+ayu+h (mendapat aspirat 'h') = pabayuh. 

Kata bayuh yang berarti dayuh kenyamanan atau keseimbangan. Konsep mebayuh menjadi suatu kesatuan dalam konsep tri hita karana antara buana agung dan buana alit yakni hubungan manusia dengan tuhan (parhyangan), hubungan manusia dengan manusia (pawongan), hubungan manusia dengan alam (palemahan). sesungguhnya, atman yang terdapat dalam diri adalah transformasi antara hubungan manusia dengan tuhan (parhyangan), sehingga atma pinaka parhyangania. Parhyangan dalam buana alit adalah sang paraning dumadi. 

Sang sangkaning dumadi, melakukan swadarma punarbawa di dunia berdasarkan atas karma. Pawongan dalam tubuh itu adalah ‘Trikaya Parisuda pinaka pawongania’ (pikiran, perkataan, perbuatan), sebagai stula sarira panca mahabuta adalah palemahan.

Mebayuh didasari oleh kelahiran dan kelahiran didasarkan atas karma dari sana terlahir catur bekel suka, duka, lara, pati. Hal ini bermuara dalam konsep catur bekel agar selalu seimbang dengan menetralisir buana alit.

Penting sekali untuk mebayuh karna dapat membentuk sebuah keseimbangan, banyak orang yang belum mengetahui tentang betapa penting pelaksanaan upacara mebayuh. 

Dalam hubungannya dengan buana agung umat hindu memiliki parhyangan kemulan, paibon melaksanakan piodalan, karya ngenteg linggih, hal ini juga disetarakan dalam tubuh manusia dengan melaksanakan upacara odalan yang disebut otonan disertakan dengan mebayuh sehingga dapat memberikan keseimbangan ketiga unsur tersebut.

Dalam sastra tersurat istilah petiti samut pada, ketika orang baru lahir datanglah masa – masa transisi tersebut apabila tidak melaksanakan upacara mebayuh. 

Menurut Ida Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa) masing – masing hari memiliki pancawara, saptawara, wuku dan dauh semua memiliki dewanya, dalam sodiak bintang bahwa gravitasi bumi akan mempengaruhi karakter manusia.

Karakter yang terlahir berdasarkan hari, bulan, wuku, dan sasih akan menampakkan secara langsung sesuai dedauhan tersebut. Dalam konsep hindu tidak ada kata buntu, semua bisa dilaksanakan dengan yadnya.

Dikatakan penyakit yang sifatnya non medis ada empat yakni penyakit yang disebabkan parhyang, pawetuan, wong akriya ala, dan palemahan. Ketika bencana yang disebabkan oleh pawetuan (kelahiran) itu kemana-mana dibawa tidak akan kunjung baik hal yang dapat menyelamatkan adalah upacara mebayuh. Secara tidak langsung, diri diberikan signal-signal untuk menjaga keseimbangan dalam bhuana alit.

Selain itu, ketika belum bisa melakukan upacara pebayuhan hal terpenting dilakukan adalah proses pengruatan atau penglukatan yang berfungsi untuk membersihkan diri melalui kekuatan mantra dan jantra, lain halnya dengan bayuh tampelbolong. Bayuh tampelbolong adalah bayuh pawetuan yang paling utama dan bisa dilaksanakan secara bersama-sama (masal) sehingga ada proses kebersamaan dan subsidi silang. 

Kepercayaan umat hindu ketika mengalami kesakitan disanalah mempercayai hal tersebut, seharusnya sebelum terjadinya musibah- musibah yang menimpa diri alangkah baiknya lebih awal melakukan upacara mebayuh. 

Sabtu, 23 Maret 2024

Dudonan Upacara Matatah



UPACARA METATAH ATAU TRADISI POTONG GIGI DI GRIYA AGUNG PASEK MANUABA LUMINTANG
(Minggu, 24 Maret 2024) 

Dalam tradisi agama Hindu di Bali pada khususnya, ketika seorang anak mulai menginjak usia remaja atau sudah dewasa wajib melaksanakan Upacara Potong Gigi. Upacara Potong Gigi atau yang biasanya juga disebut dengan istilah Mepandes, Metatah atau Mesangih merupakan upacara yang bermakna untuk menemukan hakekat manusia sejati yang terlepas dari belenggu kegelapan dari pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.

Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat asubha karma atau perbuatan yang tidak baik dalam diri manusia itu sendiri, yaitu :

1. Kama,sifat penuh nafsu indriya.
2. Lobha,sifat loba dan serakah.
3. Krodha,sifat kejam dan pemarah.
4. Mada,sifat mabuk dan kegila-gilaan
5. Moha,sifat bingung dan angkuh.
6. Matsarya,sifat dengki dan irihati.
 
Ciri-ciri Fisik Siap Metatah

Upacara Potong Gigi merupakan bagian dari Manusa Yadnya, yang pada hakikatnya jika ciri-cirinya secara fisik sudah menginjak remaja dapat melaksanakan Upacara Potong Gigi. 

Ciri- cirinya adalah sebagai berikut:

Pada wanita dapat dilakukan setelah mendapatkan menstruasi yang pertama.
Pada pria dapat dilakukan setelah mengalami perubahan suara.
Ciri-ciri tersebut dapat dijadikan landasan awal bahwa si anak sudah siap untuk Metatah akan tetapi tidak diharuskan pada saat itu juga, karena harus ditunjang dari kesiapan finansial juga.

Tujuan Upacara Potong Gigi
Ada beberapa tujuan dari Upacara Potong Gigi yang tidak kalah penting untuk diketahui, yaitu sebagai berikut:

a. Menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca dan raksasa dalam arti jiwa dan raga diliputi oleh watak Sad Ripu sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang sejati.

b. Untuk dapat bertemu kembali dengan bapak dan ibu yang telah berwujud suci.

c. Untuk menghindari hukuman didalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Bhatara Yamadipati berupa mengigit pangkal bambu petung. Hal ini tertera dalam Lontar Atmaprasangsa.

d. Memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sejati.
Susunan Upacara Potong Gigi
Berdasarkan ketentuan dalam lontar Dharma Kahuripan dan lontar Puja Kalapati, bahwa tahapan upacara potong gigi disebutkan sebagai berikut :
1) Dane Jro Mangku memulai melaksanakan tatalungguh, Ngajum tirta pangresikan. 
2) Ngemargiang Pengresikan Ke Upacara rauh Ke Pelinggih, Bale Gading, sekalian Ngucapin Sarana Upacara Metatah. 
3) Nekeb, Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong
4) Ngemargiayang Pangresikan ke peserta matatah, Ini dilakukan di depan meten atau gedong.
5) Dane Jro Mangku Ngastawa Surya, Akasa, Pratiwi, Brahma, Wisnu, Ida Bhatara Smara Ratih. 
6) Magumi padangan, Upacara ini juga di sebut mesakapan kepawon (nunas panglukatan ring Brahma dan Wisnu). 
7) Ngayab Upakara Pangekeban, Upakara ring Bale Gading, Upakara/Pejati Surya Natah/Surya upasaksi upacara matatah. 
8) Ngayab segehan di depan upakara pangekeban, depan gedong pengekeban (muka lawang), di bale gading. 
9) Muspa dari tempat Pengekeban. Urut – urutan upacara Pangekeban yaitu : 
- Puyung
- Sekarang (upasaksi) 
- Kwangen (Mohon penugrahan kepada Bhatara Hyang Guru, sepisan Ida Bhatara Smara Ratih) 
- Kwangen (Samodaya sepisan ngelungsur panuhrahan) 
- Nunas tirta (air suci) kepada Bhatara Hyang Guru. 

10) Natab banten Menek Kelih (Tebasan Ngeraja Singha dan Ngeraja Swala) 

11) Ngerajah Peserta Metatah. 
12) Ida Sulinggih mulai munggah mapuja, ngarga tirta, Ngastawa, ngemargiayang Padudsan, ngayab upakara sami. 
13) Proses Metatah dimulai, peserta menuju tempat potong gigi secara bergantian, Urut – urutan upacaranya :
- Pembacaan Putru Matatah dilantunkan. 
- Kelungah yang sudah di rajah, di kasturi, airnya dituangkan pada gelas plastik sebagai air kumur saat Metatah. 
- Peserta Metatah keluar dari gedong pengekeban seraya membawa ponjen masing-masing. 
- Naik di Bale matatah, mengucapkan pangastungkara ke pada sangging,
- Sembahyang dengan kwangen kepada Bhatara Surya dan kepada Bhatara Sang Hyang Semara Ratih 
- Ponjen di Taruh di Bale Gading
- Mohon tirtha di Bale Gading.
- Kwangen yang dipakai muspa di selipkan pada dada. 
- Sang Metatah tidur dan di rurub dengan rerajahan. 
- Proses Metatah atau memotong / mengasah dua buah taring dan empat buah gigi seri pada rahang atas 
- Turun dari tempat potong gigi, jalannya ke hilir dengan menginjak banten paningkeb.
- Kembali ke meten / gedong tempat ngekeb (dengan menyerahkan ponjen pada peserta berikutnya). 
14) Setelah selesai metatah, Ida Sang Sulinggih melakukan panglukat kepada semua peserta matatah. 

15) Ida Sulinggih Melakukan Pepetikan kepada peserta Metatah. Jika diikuti upacara pawintenan Ida Sulinggih ngemargiyang upacara pawintenan pada peserta. 

16) Ida Sulinggih melakukan proses mejaya – jaya di merajan pada peserta.

17) Sembahyang 

18) Ngayab banten otonan, Ngayab banten pawinten-digunakan dan Mapadamel

19) Kembali ke meten/gedong tempat ngekeb.

20) Sungkeman/Ucapan terimakasih pada kedua orang tua. 
21) Ngelungsur Prasadam. 

22) Mapinton ke Pura Kahyangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang menjadi pujaannya.

Hal penting yang dapat disimpulkan dan perlu diingat adalah tujuan dari upacara ini untuk meminimalkan sifat negatif dari orang yang bersangkutan, akan tetapi tidak berarti bahwa setelah upacara ini dilakukan orang itu sifatnya akan menjadi sepenuhnya baik. Semua kembali kepada pribadi masing-masing setiap orang. Apakah mempunyai dasar dan keinginan yang kuat dalam merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik.
#tubaba@griyangbang//salamrahayu#

 

Rabu, 20 Maret 2024

Nama Anak Perempuan

Nama Ayah: Rai Gunadi
Nama Ibu : Eka Sari ni

Lahir : 20 Maret 2024 (Budha Umanis Medangsia); 7+5 = 12

Nama depan orang Bali : 
NI KOMANG = Anak perempuan ketiga

Felicia artinya bayi perempuan yang selalu bahagia di kehidupannya/selalu beruntung

Adhi=utama
Paramitha=kesempurnaan


Ni Komang Felicia Adhi Paramitha Putri
Anak perempuan yang selalu bahagia di kehidupannya/selalu mendapatkan beruntung yang utama dan kesempurnaan bagi seorang anak wanita/putri


VANYA 
Nama Vanya memiliki makna perempuan seperti dewi yang mencintai hutan dan alam. Anak ini diharap memiliki sifat sabar, lembut, dan keibuan.

RAI (nama ayah) 
Rai bisa berarti adik, bangsawan, kepercauaan; Ia adalah orang yang setia, welas asih, dan penyayang. Ia menyukai tantangan dan memiliki kepribadian yang luwes.
Ia ingin hidup dalam damai dan menginginkan kesepadanan intelektual dengan pasangannya.

SUNARI (gabungan nama ayah-ibu) 
Sunari melambangkan pesona dan karisma. Ia adalah seorang yang glamor dan ingin menjadi pusat perhatian.
Ia mengutarakan gagasan dan acara, serta bekerja keras untuk mewujudkannya.
Ia adalah seorang yang perasa, pemimpi, tulus, semangat, dan mudah jatuh cinta.
Orang seperti ini akan menjadi politisi, aktor atau model profesional yang hebat.

Vanya Rai Sunari (urip 7; meruat ala wetuning kelahiran budha) 

NI LUH NYOMAN VANYA RAI SUNARI

  • Ahilya: tanpa kekurangan, wanita yang diselamatkan oleh Dewa Rama, istri Gautam Rishi
  • Aishani: Dewi Durga
  • Akshata: beras, abadi, sempurna
  • Akshita: abadi, tidak mudah rusak, aman, selamat, dilindungi
  • Belinda: cantik, sangat cantik
  • Gianna: kemurah hati Tuhan
  • Elfreda: kekuatan
  • Gianna: kemurah hati Tuhan
  • Keisha: kebahagiaan yang luar biasa
  • Eni: sungai, air mengalir
  • Eva: hidup dan bernapas
  • Esha: kesucian, kesenangan, dewi
  • Eleena: cahaya terang, obor, bulan
  • Eleigh: wanita pintar
  • Erisha: ucapan
  • Eshita: diberkahi, dewi
    1. Alindya Isvara Maharani: Perempuan yang penuh dengan keindahan, mampu memegang kekuasaan, dan cantik seperti permaisuri.
    2. Alka Santika Lakshita: Sebuah nama bunga harus yang memberikan ketenangan dan keberlimpahan hidup.
    3. Allya Liyana Nagina: Menggambarkan seorang pribadi yang mulia, lembut, dan elok seperti permata.
    4. Arindra Nafasya Saraswati: Perempuan penguasa yang berperilaku luhur, penuh semangat, dan cerdas.
    5. Arumi Maharani Yumna: Menunjukkan kebaikan seorang seornag permaisuri yang membuatnya hidup pernuh berkah.
    6. Caliana Sadya Nisquita: Sebuah kecantikan yang diperlihatkan secara sederhana dan tersembunyi.
    7. Dafina Safa Paramita: Perempuan yang hidup makmur, selalu menjaga kesucian, dan memiliki sifat bijaksan.
    8. Dhira Sheza Santika: perempuan yang bijaksana yang memiliki karakter anggun dan tenang.
    9. Diansra Biandra Maharani: Menggambarkan sebuah sinar terang, memiliki kekuasaan, dan cantik seperti seorang permaisuri raja.
    10. Fida Nahla Saraswati: Perempuan yang setia, indah seperti bulan purnama, dan berpengetahuan luas.
    11. Fidelia Santika Zanneta: Perempuan yang memiliki karakter Setia, penuh ketenangan, dan cantik.
    12. Finna Biandra Lavanya: Perempuan suci yang mampu menjadi seorang penguasa dan diberkahi dengan kecantikan.
    13. Freya Maharani Nagina: Perempuan yang penuh dengan cinta, cantik seperti permaisuri, dan indah seperti permata.
    14. Ihza Nafasya Lakshita: Sebuah bunga yang mampu memberikan semangat hidup dan mendatangkan keberlimpahan.
    15. Ilma Nararsya Yumna: Seorang perempuan yang berpengetahuan luas, selalu menjadi pilihan, dan penuh keberkahan.
    16. Indira Putri Maharani: Menggambarkan sebuah keindahan dan kecantikan seperti seorang putri dan permaisuri.
    17. Ishana Sadya Santika: Perempuan yang punya impian tinggi, tangguh, dan memiliki karakter tenang.
    18. Biandra Aishwarya Maharani: Menggambarkan seorang penguasa yang diberkati dengan banyak keberuntungan, dan kecantikan seperti permaisuri.
    19. Isvara Biandra Lakshita: Perempuan yang mampu menjadi penguasa, memberikan cahaya terang untuk sekitar, dan hidup penuh berkecukupan.
    20. Santika Dahayu Saraswati: Perempuan yang memiliki sifat tenang, panjang umur, dan berpengetahuan.
    21. Liyana Faradisa Nagina: Perempuan yang punya sifat lembut, menjaga kesucian, dan indah seperti permata.
    22. Lodya Hanurasmi Nisquita: Perempuan yang senantiasa bahagia, penuh dengan semangat hidup, dan suci.
    23. Maharani Lakshita Paramita: Seorang permaisuri yang hidup berkecukupan, dan memiliki rasa kebijaksanaan.
    24. Mahya Lavanya Santika: Sebuah cahaya yang memancarkan kecantikan dan ketenangan.
    25. Nafasya Maharani Yumna: Perempuan yang penuh dengan semangat, cantik seperti permaisuri, dan hidup dikelilingi keberkahan.
    26. Nagina Nisquita Zanneta: Sebuah permata cantik yang tersembunyi dan memancarkan keindahan.
    27. Nahla Paramita Maharani: Perempuan yang mempesona seperti bulan purnama, penuh kebijaksanaan, dan cantik seperti permaisuri.
    28. Nararsya Santika Saraswati: Perempuan mulia yang memiliki sifat tenang dan pintar.
    29. Putri Yumna Aishwarya: Seorang putri yang membawa keberkahan dan keberuntungan.
    30. Sadya Zanneta Lakshita: Perempuan cantik berkarakter mulia dan hidup berkecukupan.

Selasa, 19 Maret 2024


Literasi Berbahasa Bali Melalui Pidarta Bali SMP Negeri 4 Abiansemal. 

Rabu Literasi Berbahasa Bali Melalui Pidarta Bali SMP Negeri 4 Abiansemal ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui bagaimana bentuk literasi berbahasa Bali yang sudah dilaksanakan di SMP Negeri 4 Abiansemal dan mengetahui hasil dari literasi berbahasa Bali yang telah dilaksanakan tersebut berkaitan dengan pembelajaran bahasa Bali pada siswa di SMP Negeri 4 Abiansemal. Busi kali ini merupakan literasi berbahasa Bali dilaksanakan dengan penyampaian Pidarta bahasa Bali untuk uji coba pekan seni pelajar 2024. 

Literasi berbahasa Bali yang sudah dilaksanakan, dari mendengar, membaca, menyimak, diharapkan kemampuan siswa berbahasa Bali semakin meningkat. Siswa bisa menambah kosa kata atau meningkatkan kemampuan berbahasa Bali agar tidak salah pada saat berbahasa Bali. Kegiatan literasi Pidarta Bahasa Bali tersebut sudah berhasil karena sudah mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran bahasa Bali. Namun menurut Bapak I Nyoman Podiarta, S.Pd, mengatakan bahwa Dewa Ringgo sebagai penyaji Pidarta Bahasa Bali kali ini, masih ada beberapa kata yang terlupakan salam penyampaiannya dan masih perlu latihan. 

Selanjutnya sesi Rabu literasi di isi oleh Ibu Dra. Ni Putu Sriyati dengan memberikan makta tentang tepuk 👏 literasi. 

Sad Rasa

SAD RASA

Sad Rasa adalah 6 (enam) unsur rasa enam rasa yang hanya dapat dirasakan di dalam mulut yang berasal dari sari - sari panca maha butha sebagaimana disebutkan tattwa darsana dalam artikel konsep penciptaan teja surya meditation, Sad Rasa terdiri dari :

1. Manis | Simbol tercapainya kebahagiaan sesuai dengan cita-cita.
2. Pahit, sebagai simbol proses kedewasaan.
3. Asam | simbol ketabahan hati.
4. Asin seperti halnya penggunaan uyah sebagai penyedap masakan.
5. Pedas, ibaratnya bagaimana menghadapi hal-hal yang menjengkelkan?
6. Sepat, Apa yg kita lewati adalah bagian dari karma kita.

Penyatuan keenam unsur sad rasa ini dengan unsur Citta, Buddhi, Manah, Ahangkara, Dasendria, Panca Tan Matra dan unsur dari Panca Maha Bhuta itu sendiri akan membentuk dua benih kehidupan purusa pradana atau sukla dan swanita yang akhirnya penyatuan sukla dan swanita itu maka timbullah penciptaan mahluk hidup yang telah memiliki atman sebagai bagian terkecil dari brahman atau parama atman.

Dan dengan adanya penyatuan unsur - unsur tersebut dengan keberadaan atman yang menjiwai setiap mahluk hidup maka terciptalah manusia yang memiliki jiwa, pikiran, perasaan dan organ tubuh yang sempurna daripada mahluk lainya.

Sehingga manusia dengan jiwa dan pikiran yang suci dalam melakukan yadnya dengan tetandingan banten yang dibuat seperti penggunaan gegantusan sebagai lambang perpaduan dari isi daratan dan lautan.
Seperti dalam hal upacara metatah atau mepandes oleh khrisna putra dalam makalah acara agama II disebutkan bahwa dengan mencicipi keenam sad rasa tersebut dijelaskan beberapa pengengertiannya yaitu :

a. Rasa pahit dan asam sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang kadang-kadang tidak menyenangkan.

b. Rasa pedas sebagai simbol agar tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang menjengkelkan, 

c. Rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau norma-norma yang berlaku, 
Rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan, selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, 

d. Rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan adanya sad ripu dalam diri manusia. 

Seperti halnya dalam filosofi upacara pawintenan saraswati, mapedamel, diberikan “Sad Rasa”, yang bertujuan merepresentasikan enam rasa yang ada dalam dunia ini, yaitu manis, asam, asin, pahit, sepat, dan pedas.

Dan sebagai tambahan disebutkan bahwa :
Seorang Belawa wajib mengetahui rasanya olahan atau masakan yang didasari kecaping rasa (Sad Rasa) ini seperti halnya : Rasa Asin / Dharma wiku, Rasa Pedas / Bhima Kroda, Rasa Sepat / Jayeng Satru dan lain-lain. 

Minggu, 17 Maret 2024

UPACARA ANTA SAPA SEMAYA PATI PEGAT SOT

UPACARA ANTA SAPA SEMAYA PATI PEGAT SOT RING PURA DADIA PASEK GELGEL AAN KLUNGKUNG

Anta Sapa metu saking basa Sansekerta, wit kata “Anta” lan “Sapa“. Anta mapiteges maka Pemuput lan Sapa mapiteges Pastu. Dadosnyane Anta Sapa mapiteges mapralina/muputang/mucekang/nyirnayang pastu.
SEMAYA PATI
Semaya=Janji
Pati=kematian
Samaya Pati tegesnyane Janji sane kabakta rauh mati olih para panglingsire duke nguni
Pegat Sot mawiwit sakeng kruna Pegat lan Sot. Pegat mapiteges putus, puput. Sot mapiteges sumpah, sesangi, dosa, pastu. Dadosnyane Pegat Sot mapikenoh memutus sumpah, sesangi, dosa, pastu. Raris wenten basa “Megat Sot” mapiteges naur sesangi, ngelepasang sumpah/pastu.
Japa saa:
Atur nghulun I Anu (wasta sane mesosot) ring paduka bhatara, bhatara ring Pura Dadia PASEK GELGEL AAN (Nganutin genah soang-soang), Bhatara Siwa Ditya, Bhatara Giri Jagatnatha makadi Sanghyang Tri Purusa Saksi, kasaksinanya de nira Sang Hyang Trayo Dasa Saksi, Nini Citra Gotra, Kaki Citra Gotra, Tumut Sang Bhuta Galungan, Sang Lumanglang rahina wengi, sira amukti ujar-ujaring manusa.
Hana sauh atur leluhur nghulun I Anu ring paduka Bhatara ring Pura Dadia........ duk sira kari maurip, wenten atur semaya pati sira duke nguni ring paduka Bhatara, irika sauh atur leluhur nghulun ring paduka Bhatara, nghulun sanggup maturan warga sari awengi kantos maka rahina, mangke nghulun sampun dados Bhatara kawitan, mangkin nghulun anaur upakara anta sapa semaya pati pegat sot ring jeng paduka bhatara. I Dewa tan kari miutangang, nghulun tan kari mautang, pegat saprantasan tan kinucap malih. Mogi pasemetonan warih PASEK GELGEL AAN setata pada guyub kawekas, tur sida Ida Pandita Mpu warih Ida Bhatara kawitan munggah sinarengan ngaturang puja weda ri tepeng piodalan Ida Bhatara, nyabran rahina wengi. 
Turmaning sida Ngaturang Karya Agung Tri Bhuwana - mabalik sumpah ring manah soang-soang, 
Anggen astra mantra dahating sakti, 
Pacang warisin oka-putune ungkuran, 
Budaya guyub kasarengin kasucian leluhur wantah katuju. 
 
Mangkin tembenya ring rahina Soma Wage Medangsia, titi tanggal 18 Maret 2024
Sangkaning tulus-dulur
kaduluran doning kaledangan
dangan makardi
ngardi ayuning galang pada

pada ayu mulaning sarat
sarat kayun
sarat bakti
bakti siniwi apan punika.

Jumat, 15 Maret 2024

Wiku Rakawi Sapta Rsi

KI DALANG TANGSUB
Wiku Rakawi Pertama Generasi Emas Sang Sapta Rsi

Sugra Pekulun
Ki Dalang Tangsub adalah Seorang Dalang yang kesohor sejak dulu. Disamping seorang dalang yang mumpuni, Beliau juga Seorang Pujangga atau Sastrawan Bali yang mana karya karya Beliau begitu fenomenal hingga sekarang. Salah satu karya Beliau yang terkenal sepanjang zaman yaitu Geguritan Basur, sehingga beliau disiksa sebagai wiku rakawi pertama. Griya Agung Bangkasa sebagai tempat kediaman beliau selamanya dan beliaulah sebagai kawitan Pasek Manuaba di Bali, dari pretisentanan beliaulah lahir berbagai sulinggih lintas pasemetonan. 

Siapakah Ki Dalang Tangsub ? 

Berawal dari Putra Ida Mpu Gnijaya yang ke empat yaitu Ida Mpu Withadarma yang dikenal juga Pasek Sanak Sapta Rsi. Dimana setelah beberapa grnerasi menurunkan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.

Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dari Istri di Desa Gelgel menurunkan 6 Putra yang dikenal juga dengan Pasek Sanak Enem. Putra yang tertua adalah I Gusti Pasek Gelgel Aan. Setelah beberapa generasi lahirlah Ketut Gde Tangsub.

Selanjutnya ngiring disimak dalam Buku Babad Pasek yang disusun oleh Jro Mangku Gde Ketut Sorbandi halaman 189 - 190 : 

........ Kemudian Pasek Bhawa di Desa Manuaba disebut Gde Bhawa, menurunkan Gde Harsa kemudian disebut Gde Gianyar. Lalu kawin dengan Ni Made Sukerthi. Yang kedua bernama Gde Tanggu dan kawin dengan Ni Ketut Gebro. Yang ketiga Nyoman Gde kawin dengan Ni Wayan Rasmin. Yang keempat bernama Ketut Gde Tangsub, lalu kawin dengan Ni Luh Putu Pasti. Sedang yang bungsu bernama Gde Geredegan, lalu kawin dengan Ni Luh Mekir.
                  Seterusnya Ketut Gde Tangsub kawin lagi dengan Ni Luh Wayan Kenderi dari Desa Bintangkuning, Daerah Gianyar, lalu menurunkan seorang anak laki-laki bernama Gde Kanda. Ketut Gde Tangsub sebagai Kepala Desa Manuaba pandai dan bijaksana, menguasai banyak ilmu pengetahuan, termasuk ajaran kelepasan, ajaran Rwa Bhinedha (baik-buruk ), ilmu gaib dan tidak terikat oleh rajah tamah ( nafsu kegelapan ), serta paham dengan situasi dan kondisi (keadaan ). Kepandaian dan kebijaksanaannya tidak ada yang menyamai, termasyur di dalam masyarakat dan telah terbukti kepandaiannya di dalam berbagai ilmu. Pada sekitar tahun Caka 1743 (1821 M) telah berhasil menyusun beberapa buah geguritan ( nyanyian ) antara lain Ketut Bagus, Ni Soka, Gowok dan lain-lainnya. Pada hari Jumat Umanis, Wara Manail bertepatan dengan Purnama sasih Kapat

Limang paletan gaguritan punika. Gaguritan I Ketut Bagus, Gaguritan Siwa Tiga, Gaguritan Basur, Gaguritan I Ketut Bungkling, Gaguritan Cowak. Daging kidung perémbon puniki, indik tatwa jnana, indik kiwa tengen, indik kawikanan miwah katambetan jatma, indik aab jagat, indik cecangkitan sané kawetuang antuk sang sadu sané mapi-mapi tambet.

Yéning pinaka dalang dados ranjingang, soroh anak wikan macarita, wawu titiang uning, Ki Dalang Tangsub sang wikan macarita. Carita sané madaging pikenoh teleb. Carita sané sakéng silib madaging pitutur. Pitutur sané mapakéling, sumangdéna dados jatma setata ngardi rahayu. Sumangdéna pakardiné sané kaon kalebur. Kalebur dados pakardi becik. Pitutur sané ngélingang, sumangdéna pinaka jatma iraga setata éling.

Mangkin, ngiring baosang unteng pupuh ginada inucap sané kaunggahang ring gaguritan Basuré. Sadurungné, jagi kawitin titiang nyurat. Eda ngadén awak bisa, depang anaké ngadanin, gaginané buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu ebuk katah, yadin ririh, liu enu palajahang.

Risampuné teleb titiang ngwacén, sinambil ngendingang ring keneh, sané dados unteng pupuhé inucap: nyampat. Nyampat punika, pakaryan sané sadina-dina ambil. Sané kasampatang luhu. Luhuné ten naen telas. Araina wénten kémanten luhu. Riantukan luhuné magenah ring betén, sinah luhuné madampingan sareng buk. Ring telasé nyampatang luhu, buké kari katah wénten. Buké, tan mari wénten. Kawéntenan buké tan pegat-pegat. Rupané kadi tepung. Alus kawentenané. Yadiastun alus yén polih nyipenin panyingakan, pedih antuka.

Ki Dalang Tangsub, ring tepengan puniki, teleb pisan marna anak nyampat. Teleb pisan mikayunin napi sané kasampatang. Napi timpalné sané kasampatang. Manawi, sinambi nyambat, dané taler mapikayun: kéné anaké nyampat. Luhuné tetep dogen ada. Kéné anaké nyampat, telah luhuné buké nu katah ada. Pantes, yén keto, pagaé nyampaté selid sanja bakat jemak. Di kenkéné peteng bakat jemak. Manawi té dané mapikayun malih, nyampat yén kéto patuh tekén malajah. Ané palajahin waluya kahanan luhu miwah buké. Sing telah-telah palajahin. Yén kéto, ngalih duegé ketil gati. Amul encén ja duegé, ada dogén ané tondén palajahin. Ada dogén kecag dadi paplajahan.

Sakéng sané telatarang titiang wawu, nénten iwang yén nikaang, Ki Dalang Tangsub nganirgamayang: anaké malajah nénten araina, nénten awuku, nénten asasih, nénten awarsa, nénten taler roras warsa kantos duang dasa warsa. Anaké malajah auripan. Riantukan sakantun atma wénten ring anggané, sakari kénak, iraga tan mari nyampat.

Duaning malajah ten pegat-pegat, nenten patut iraga ngangken dueg. Riantukan sané mawasta anak dueg, anak sampun jangkep malajahin paplajahan. Ngrereh mangda jangkep méweh pisah. Napi mawinan? Sané palajahin sayan sué sayan ngakéhang. Usan malajahin niki, metu malih palajahan sios. Metunné nénten asiki, nanging akéh. Yéning dados aturang, antuk akéhé wénten sané palajahin, sépanan kantos malajah. Mancan dados dueg, sepanan taler. Sané ngranayang sané palajahin sayan maweweh tan péndah gebiuran ombak ritatkala segarané kebek. Pitaenang ragané sampun dueg, belogé kantun kémanten nyantolin. Riantukan kari akéh sané nénten uningin.

Siosan ring luhu miwah buké kanirgamayang sané ruruh pinaka palajahan, taler kanirgamayang sané ngawinang belog. Punika awinan sampatang.

Kemudian Ketut Gde Tangsub pindah dari Desa Manuaba ke Teguhwana dan selanjutnya Teguhwana berubah menjadi Desa Bongkasa, Daerah Badung. Sedang anaknya yaitu Gde Kanda tinggal di Desa Calo, Daerah Gianyar, dan di Desa Calo Gde Kanda lalu membangun pamarajan sebagai persimpangan Ratu Gede Pasek. Sebab itu Ketut Gde Pasek selalu pulang pergi dari Teguhwana ke Desa Calo untuk menemui anaknya. Oleh Ketut Gde Tangsub kepada Gde Kanda diberitahukan, apabila Gde Kanda tidak bersedia ikut ke Teguhwana agar Gde Kanda tidak melupakan pamarajan Kapurusan di Teguhwana dan Pura Griya Sakti yang ada di Teguhwana Bangkasa. ........ ( dan seterusnya, panjang kalau dilanjutkan ).

Dalam Sejarah Berdirinya Desa Bongkasa sampai berdirinya Pura Griya Sakti Manuaba Bongkasa, banyak terdapat cacatan tentang Beliau.

Dalam isi lontar Tatwa Purana Ki Dalang Tangsub, khususnya lembar 10 yang berkaitan dengan penyebutan Pura Griya Sakti Manuba antara lain disebutkan :

“………. Samalih sapamadeg Ketut Tangsub maring Teguh Wana, Bangkasa, mangwangun pasraman lawan pura parhyangan saluwire : Pura Griya Sakti Manuaba, Pura Dadia Pasek Gelgel Aan Manuaba Bangkasa, Merajan Kapurusan, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, maduluran pujaning sira Hyang Agni, pinaka pgating sarwa leteh”.

Terjemahan bebasnya:

“………. Dan lagi semasa hidup I Ketut Tangsub di Teguh Wana, Bangkasa, membangun pasraman dan pura pemujaan antara lain : Pura Griya Sakti Manuaba, Pura Dadia Pasek Gelgel Aan Manuaba Bangkasa, Merajan Kapurusan, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, seraya melakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Agni, sebagai pegat/ penghapus ketidaksucian (leteh)”.

Disamping itu, Beliau juga yang mencetuskan Ungkapan yang sangat populer sampai saat ini yaitu : “ Eda Ngaden Awak Bisa “.
Dan atas keberhasilan Beliau menyembuhkan Istri Raja, Beliau diberi gelar “ Kyayi I Gusti Agung Jro Ketut Tangsub “. 

Cukup dulu sekian karena Kisah Petualangan Beliau sangatlah panjang

Keterangan Gambar :
Arca Ida Ki Dalang Tangsub


Sumber : 
- Pustaka Lelintihan Pasek Manusia Bangkasa
- Sejarah Griya Agung Bangkasa dan Berdirinya Pura Griya Sakti Manuaba Bongkasa.



YUMU PAKATAHU

YUMU PAKATAHU 
Ketahuilah Oleh Kamu Sekalian 

OM SWASTYASTU

Sugra Pekulun

Ucapan “ Om Swastyastu “ begitu populer di Bali untuk Ucapan Pembuka secara lisan maupun tertulis. Tetapi Ucapan ini mungkin sesuatu yang baru di Bali, karena di Jaman Bali Kuna, Bali punya ucapan pembuka resmi Kerajaan Bali Kuna yang berbeda dan unik. 

Mari kita tengok, apa Kata Pembuka yang digunakan Pada Jaman Bali Kuna. 

“ YUMU PAKATAHU “ 

Yumu Pakatahu adalah Kata Pembuka yang paling lawas yang digunakan dalam penulisan Prasasti Bali Kuna. Yumu Pakatahu tercatat pertama kali dalam Prasasti Tertua di Bali yaitu Prasasti Sukawana AI Lempeng I.b. Berangka tahun Saka 804, yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ yumu pakatahu sarbwa kiha, dinganga prajuna, nāyakan makarun kumpi anan mañuratang ājñā danañjaya, pircintayangku mān tua ulan di bukit cintamani …….. “.

Yumu Pakatahu adalah Bahasa Bali Kuno yang unik, kapan diciptakan ? siapa yang menciptakan ?. Apa mungkin bahasa Orang Bali Kuna yang pertama mendiami Pulau Bali, atau dibawa Ras pertama yang mendarat di Bali ? tapi aneh nya Kata ini sulit dan bahkan tidak ditemukan dalam bahasa Daerah lain dan Negeri lain di Luar Nusantara. Begitu juga, kalau kita cek Prasasti Sebelum, Semasa dan Setelah Tahun Saka 804 di Jawadwipa, seperti Prasasti Dinoyo Saka 683, Prasasti Ramwi Saka 804 dan Prasasti Masahar Saka 852, Kata Pembuka “ Yumu Pakatahu “ juga tidak ditemukan

Yumu Pakatahu terakhir digunakan oleh Ratu Sri Ugrasena sekitar tahun Saka 888 ( ? ) pada Prasasti Serai A 

Apa arti Yumu Pakatahu ? 

Terdiri dari 2 Kata, Yumu dan Pakatahu

Dalam Kamus Bahasa Bali Kuno dijelaskan : 

Kata Ganti orang I : aku (ku),
Kata Ganti orang II : yumu (mu), dan 
Kata Ganti orang Ill : ya. ida (nya, da).
Jadi Yumu artinya Kamu

Awalan ( Pengater ) dalam Kamus Bahasa Bali Kuna rberbeda dengan awalan di Tata Bahasa Bali Kekinian. 

Awalan pada Bahasa Bali Kekinian diantaranya: N-, ma-, ka-, pa-, pi-, sa-, a-, pra-, pari-, pati-, maka-, saka-, kuma-. Sedangkan pada bahasa Bali Kuno ada Awalan unik, yaitu “ Paka “, yang mana kata “ Paka “ dalam Bahasa Bali Kekinian digolongkan ke Kata Ulang ( Kruna Dwi Lingga ) kelompok “ Kruna Dwi Wesana “.
Contohnya : 
Kecos = Pakacoscos / Pakecoscos
Ketel = Pakateltel / Paketeltel 
Dan lain - lain.
Jadi “ Paka “ disini untuk menyatakan Lebih Dari Satu ( Berbanyak ). 

Tahu = Tahu

Pakatahu = Tahu ( Sekalian / Umum / banyak Orang ). 

Jadi Yumu Pakatu artinya Hendaknya Kamu Tahu atau Katahuilah Oleh Kamu Sekalian. 

“ SWASTI “

Swasti berasal dari bahasa Sansekerta, mulai digunakan sebagai Kata Pembuka di Prasasti Bali Kuna tahun Saka 882 saat Raja Indrajayasingha Warmmadewa bertahta di Balidwipa. Seperti tertulis dalam Prasasti Manukaya ( Air Hampul ) Recto A ( Sisi Depan ). Yang mana kutipannya sebagai berikut ;
“ (// O //) ҫwast(i ҫa)kawarṣatīta 882 wulán krtika ҫukla(pakśa) (tra)yodaҫi rěgaspasar wijayapura tatkālan sang ratu …… (e)..ndrajayasingha warmmadewa makamahin tīrtha di (e)r (ha)mpul …….. “.
Swasti berarti Selamat, yang biasanya diikuti oleh Kata “ i sakwarsita “, seperti kutipan diatas “ Swasti I Sakawarsatita 882 yang berarti “ Selamat Pada Tahun Saka 882 “.

Setelah Swasti, hampir tidak ada kata Pembuka dalam Penulisan Prasasti Bali Kuna, dan yang digunakan adalah ing Saka, di Saka, i Saka dan dilanjutkan dengan Angka Tahun. Tetapi, Swasti muncul lagi saat Pemerintahan Paduka Sri Maharaja Haji Ekajaya Lancana yang memerintah bersama Ibu Beliau yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjayya Deng Jayakethana tahun Saka 1116. Begitu juga saat Pemerintahan Raja Patih Kbo Parud Tahun Saka 1222.

Jadi
Sejak kapan muncul Salam Pembuka “ Om Swastyastu “, siapa pencetus nya. Salut buat Sang Pencetus. Apakah muncul saat Jaman Keemasan Kesusastraan Bali di Jaman Gelgel atau setelah nya. Tentu perlu diteliti lagi.

SWASTI WARSA ANYAR SAKA 1946

Jukut kangkung misi sambel sera
Kirang langkung titiang nunas grngrena sinempura

Dumogi Makasami ngemanggihin kerahayuan

“ OM SHANTI SHANTI SHANTI OM “

Puisi Pundukdawa


Catur Parahyangan Pundukdawa

Gita wirama, Tabuh lan solah-sesolahan Baris Rejang Gana masikian driki ring Pundukdawa, 
Hidup kahidupang antuk dasar manah suci nirmala,
Suara gentha Ida Pandita ngiringan puja, mantra, weda-weda, 
Sekha gita kidung matimpuh ngidungang wargasari nuhur Ida Bhatara Kawitan, 
Waluya kadi mayunan ring muncuk umbul-umbul kalawan penjore, 
Oncer canang sari sarasa magejeran, 
Guyub lebur masikian tur dahating ngulangunin
sajroning manah pretisentana Ida Bhatara Kawitan. 

Malih pidan tiang liang
Mangdane liang i riki ring Catur Parahyangan Pundukdawa,
Ring telengin parahyangan Ida Bhatara Kawitan. 

Ngiring sikiang pikayune mulet sarira, 
Ngrajegang warisan Ida Hyang Sinuhun pinaka perintis pasemetonan sami ring Pundukdawa, 
Ngaturang Karya Agung Tri Bhuwana - mabalik sumpah ring manah soang-soang, 
Anggen astra mantra dahating sakti, 
Pacang warisin oka-putune ungkuran, 
Budaya guyub kasarengin kasucian leluhur wantah katuju. 

Wentenke, bacikan ring pasemetonan hidup pasuka-dukan, selunglung sabayantaka
ngulangunin ring Pura Panataran Agung Catur Parahyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana Pundukdawa, 
Para pangubhakti pretisentana Ida Bhatara Kawitan nembang nunas icha, mangda tetep guyub iriki, wentenke ?

Malih pidan tiang mati, 
Mangdane mati kapuput tur katibakin tirtha de ning Ida Pandita Mpu warih Ida Bhatara Kawitan, kaanterang kakawin prihantemen.

Selasa, 12 Maret 2024

Sang Pelopor

Lagu:
SANG PELOPOR-SEBUAH EPISODE DI PUNDUKDAWA

Oleh: Tu Baba/I Gede Sugata Yadnya Manusia, S.S., M.Pd/Griyangbang

Meniti dari awal
Dengan peluh dan juang
Dengan air mata gapai asa
Canda tawa iringi cita

Ida Sinuhun Siwa Putra Prama Daksa Manuaba
Sebagai Sang Pelopor sebuah episode pasemetonan di Pundukdawa

Bermula tiada jadikan ada
Buka tabir di pagi buta
Penuh semangat penuh cinta

Sang Pelopor
Akan tinggalkan episode
Perjuangan tuntut ilmu
Kejar marwah dengan wibawa
Menyongsong fajar yang kan tersenyum

Sang Pelopor
Pergi..menyebarlah…
Bawa nama harum..gapai asa
Dengan harapan
Muncul bangunan kokoh
Di depan mata

Pergilah Sang Pelopor... 
Kembalilah dengan karyamu... 

Usai sudah pengabdianmu
Dalam perjalanan di mercapada yang tak  bertepi
Pura Panataran Agung Catur Parahyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa yang berdiri tegak
Menjadi saksi bisu akan karya baktimu

Dengan bangunan di era 2018
Engkau rintis pembangunan Pura Pemersatu Pasemetonan di Pundukdawa
Meletakkan tikar pandan untuk bersujud
Menghitung isi celengan dan mencatatnya dengan rapi

Kamis malam (29/11) 2018
di RSUP Sanglah
Malaikat mencabut nyawa diiringi bidadari
Menjemputmu di ruang ICU, 

Terima kasih wahai Sang Pelopor... 
Karyamu abadi dalam lembaran sejarah

Sang Perintis pergi dengan senyum di kulum
Pertanda akhir yang sangat baik
Selamat jalan wahai Sang Pelopor..... 
Namamu abadi dalam lembaran sejarah

Terima kasih kami ucapkan
Engkau pergi dengan penuh ketenangan


Sang Pelopor Mimpi Pretisentana Ida Bhatara Kawitan


Di kala asa terlelap dalam khayal
Pekikan parau menyuarakan cita serta angan
Terpendam mimpi Pretisentana Ida Bhatara Kawitan
Hati kecil tertunduk lesu menanti malam tenggelam

Terbitnya fajar memangku harap
Harap yang telah lama dinanti Pretisentana Ida Bhatara Kawitan
Harap tuk menaungi impian yang tertanam dalam palung nan tak berujung
Kini terwujud di Pundukdawa, memberi peluang memeluk jaman

Sang Pelopor berjalan melukis warna pelangi di Pundukdawa
Dialah manggala, protagonis jagat Pretisentana Ida Bhatara Kawitan, 
Dialah sosok yang meraut wajah berseri para Pretisentana Ida Bhatara Kawitan

Masa hingga masa, waktu demi waktu
Satu persatu Pretisentana Ida Bhatara Kawitan menembus makna tak terhingga, 
Mengepakkan sayap perkasa, menebarkan harum karisma Ida Bhatara Kawitan...

Semua gambaran dari kerasnya pengorbananmu

Meski kadang sakit letih menyapa,
Seuntai senyum tak lekat menaruh sapa
Meski hidup tak selaras jasa,
Senantiasa berhati besar dengan ikhlas mengabdi demi Ida Bhatara Kawitan.