Minggu, 07 Januari 2024

Pengantar Siwa Sidanta

Oleh :

Ni Nyoman Gandu Ningsih 
(Ida Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manuaba)

Nim : 2112101045.

1.  Jelaskan apa yang dimaksud dengan Siwa Siddhanta dan apa yang menjadi dasar dari ajarannya! (20)

Jawaban:

Saiva Siddhanta adalah paham yang berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India selatan. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Saiva, walaupun tidak identik.


2.   Jelaskan bukti-bukti sejarah pengaruh Siwa Siddhanta di Nusantara! (20)

Jawaban:

Siddhanta sampai di Bali yang merupakan kelanjutan dari Jawa Timur. Pada saat kerajaan Majapahit mengalami kehancuran, banyak masyarakatnya berdatangan ke Bali guna menyelamatkan diri dari Kerajaan-kerajaan Islam. Penyebaran Siwa Siddhanta ini sampai ke Bali tentunya berkat jasa para orang suci dari Jawa Timur, karena awalnya di Bali pada jaman prasejarah hanya memiliki kepercayaan kepada roh yang berstana di gunung terutama kepercayaan kepada roh nenek moyang, juga ada kepoercayaan terhadap alam nyata dan tidak nyata. Penyebaran Siwa Siddhanta ini di Bali untuk pertama kalinya dilakukan oleh Rsi Markandeya sebagai orang suci dan yogi dari India yang memiliki pasraman di lereng gunung Raung Jawa Timur. Bertempat di kaki gunung Agung ( di Besakih ) Rsi Markandeya menanam Panca Datu berupa perak, tembaga, emas, besi, dan campuran keempat logam. Menurut ND Pandit bahwa Rsi Markandeya adalah orang yang pertama- tama mengajarkan agama Siwa di Bali dan mendirikan Pura Wasuki di lereng Gunung Agung. Perkiraan masuknya Siwa Siddhanta dikuatkan dengan adanta temuan berupa pecahan fragmen prasasti di Pejeng yang berbahasa Sansekerta yang memuat mantra Buddha (Yete Mantra) yang diperkirakan dari tahun 778 M, awal prasasti ada berbunyi “Siwas ddh” dan menurut R. Goris bahwa itu berbunyi “Siwa Siddhanta”. Pada abad ke 11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yaitu Mpu Kuturan, dimana pada awal kedatangannya di Bali sudah melihat banyak kenyataan bahwa banyak sekte-sekte telah berkembang. Beliau sangat berperan dalam proses menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Tri Murti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat. Paham tri Murti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widi dalam posisi horizontal (pangider-ider).


3.   Dalam ajaran Siwa Siddhanta dikenal konsep Tri Purusa. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Tri Purusa dan apa melatar belakangi pembagiannya! (20)

Jawaban:

Tri Purusa adalah tiga nama Siwa dalam konsep vertical. Adapun bagian-bagian dari Tri Purusa yakni:

1. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan tampa aktifitas, ada dimana-mana dan maha tahu.

2. Sada Siwa adalah tuhan yang sudah memiliki fungsi, sifat, aktifitas dan sudah menunjukan kemahakuasaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan ini dipersonifikasikan dalam wujud dewa-dewa, seperti: Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai fungsinya pemelihara dan Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai dewa pelebur alam beserta isinya.

3. Siwa atau Siwatman adalah tuhan yang sudah terkenah pengaruh oleh keduniaan, yang member hidup (jiwa) pada semua mahluk di dunia ini.

Secara etimologi Tri Purusa Berasal dari Kata "Tri" yang artinya tiga dan "Purusa" yang berarti sang penyebab adanya sesuatu, yang menghapus kekosongan, mewujudkan sesuatu, atau yang menghapus ketidaktahuan. Purusa juga dapat diartikan sebagai jiwa atau atman yang berasal dari paramaatma atau Tuhan yang Maha Esa.


4.   Jelaskan tentang maya tattwa dalam ajaran Siwa Siddhanta! (20)

Jawaban: 

Maya Tattwa disebutkan,

Maya berarti semu,

sedangkan istilah Tattwa dalam hubungan ini berarti filsafat. 

Maya Tattwa berarti filsafat tentang segala sesuatu yang bersifat semu. Maya adalah segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan selalu mengalami perubahan.


Alam semesta beserta isinya inipun dapat juga dikatakan bersifat maya, maka itu selalu mengalami perubahan. 

Misalnya dalam hidup ini kita selalu mengalami siang dan malam, panas dan dingin, hidup dan mati, susah senang. 

Hanya Tuhanlah yang bersifat abadi, selain daripada itu, semuanya bersifat maya. Kedua sifat cetana dan acetana ini dalam Wrhaspati Tattwa dikatakan bahwa Cetana bersifat kekal dan Acetana bersifat maya.

Maya Tattwa itulah yang menyebabkan semua mahluk menjadi Awidya dan selalu mengalami Punarbhawa. Disamping itu maya juga merupakan Sadhana atau alat bagi orang beriman untuk mencapai kelepasan atau moksa, ketentraman rohani sebagai dasar kebahagiaan abadi.


5.   Jelaskan ajaran yoga dalam Siwa Siddanta Nusantara! (20) 

Jawaban:

Ajaran Yoga dalam Siwa Siddanta Nusantara merupakan ajaran terpenting dalam agama Hindu. Dalam sejarah Agama Hindu di Nusantara telah ditemui istilah Yogiswara dalam peradaban pra-Weda, yaitu dalam peradaban Harappa. Dan istilah Yogiswara menjadi istilah sangat penting dalam ajaran Siwa-Agama maupun Budha-Agama, yang juga diwarisi di Indonesia. Dalam sejarah kesusastraan Hindu di Indonesia misalnya, Kakawin Ramayana sebagai karya sastra tertua yang ditulis di Indonesia, pengarangnya disebut sebagai Sang Yogiswara.

Tiga istilah yaitu YogiswaraMuniswara dan Kawiswara, adalah istilah-istilah yang begitu produktif dipakai dalam khasanah kesusastraan Kawi. Ketiga istilah tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya, dan diikat oleh benang merah ajaran yoga. Seorang Yogiswara atau seorang Mahayogi jelas adalah orang yang melakukan praktik yoga dan telah mencapai puncak tujuan praktik tersebut; seorang Muniswara atau seorang Mahapandita yang juga disebut seorang Mahasadhaka, adalah juga orang yang melaksanakan praktik yoga, karena sadhaka artinya Ia yang melaksanakan sadhana yoga; sementara itu seorang Kawiswara atau seorang Mahakawi atau pujangga besar diketahui melaksanakan Yogasastra, yaitu melaksanakan praktik yoga dalam proses penciptaan karya sastra, dan menjadikan karya sastranya sebagai Candi bahasa atau Candi Sastra. Demikianlah ketiga istilah tersebut dihubungkan oleh satu kata yaitu praktik yoga atau yoga-sadhana, dengan menampilkan diri berbeda dalam pandangan umum. Hal ini juga menyebabkan timbulnya istilah kawi-wiku.

Oleh karena itu sudah dapat dipastikan seorang Yogiswara, Muniswara, maupun seorang Kawiswara kiranya memiliki acuan pokok yang sama, berupa ajaran yoga. Kakawin Dharma Sunya menyuratkan pada awalnya sebagai berikut:

ambek san kawi siddha suddha kadi sagara gumawana teka nirmala, iccha nispriya sara nin kalenenan yatika pasamudaya nin rasa, tatwajnana wekas nikan paramasastra sira ta pinakadipandita, saksat linga nikan sarat pinaka dipa yasa nira huwus prakasita// say sampun kretatattwa mankana wenan mijilakena kawitwa rin sabha, saksat hyan paramesthi labdha mananugraha ri sira rikan kasatwikan, lawan yukti nikan saraswati huwus ri hidep ira wisesa tan kasah, naha hetu nira n prasiddha sawuwus nira ya", manaran kawiswara//.

Di sini ditegaskan seorang kawi yang telah sempurna suci bagaikan samudra; Beliau bebas dari keinginan, Beliau menjadi sarinya keindahan dan kumpulan rasa. Beliau memahami hakikat Tattwajnana (pengetahuan tentang kenyataan tertinggi), Paramasastra (Pustaka-pustaka utama), sehingga Beliau disebut sebagai Pandita Utama. Beliau benar-benar bagaikan Lingganya dunia, Beliau adalah penerangnya dunia dan karya-karyanya menyebar luas. Beliau yang telah mencapai tingkat seperti itu patut menghadirkan karya sastra kepada masyarakat kias. Beiau benar-benar bagaikan telah mendapat anugerah dari Hyang Paramesti berupa ajaran kebenaran. Serta Hyang Saraswati bersatu dengan-Nya. Itulah sebabnya segala kata-katanya berhasil sehingga Beliau disebut seorang Kawiswara.

Petikan di atas telah menegaskan bahwa ada sumber pokok yang menjadi bacaan utama baik seorang Kawi maupun seorang Pandita, yaitu antara lain berupa Tattwajnana dan Parama-sastra. Itulah sebabnya dapat kita duga bahwa kitab-kitab Tattwa mengandung ajaran Yoga, dan kitab-kitab tersebut terwariskan sampai sekarang. Di samping itu karya-karya sastra jelas merupakan tuangan ajaran yoga itu sendiri, malah memuat bagaimana ajaran itu dipraktekkan, diwujudkan dalam proses bersastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar