MUDAHNYA BERAGAMA HINDU
Ada banyak opini yang tersebar diberbagai media maupun dalam percakapan sehari-hari, bahwa menjadi orang bali yang beragama Hindu sangat berat, penuh dengan upacara, banyak larangannya, banyak kewajibannya. Khusus untuk upacara, bahkan ada persepsi bahwa resepsi itu terlalu berat secara ekonomi bahkan sampai menyebabkan kemiskinan. Akhirnya sampai pada kesimpulan takut menjadi orang Bali, takut menjadi orang Hindu. Jauh lebih enak dan praktis pada agama lain. Padahal sesungguhnya, kalau kita pahami dengan baik dan bisa kita lakukan intepretasi terhadap ajaran agama, sebenarnya menjadi orang Hindu itu sangat mudah dan simple. Tidak ribet.
Mengapa dikatakan tidak ribet, berikut diantaranya alasannya.
Agama Hindu sangat fleksibel. Tidak ada kekakuan bahwa melaksanakan agama Hindu harus seperti ini dan harus seperti itu. Tidak ada kewajiban mutlak untuk berpuasa sekian hari; tidak ada kewajiban mutlak untuk sembahyang sekian kali sehari sampai meninggalkan pekerjaan; tidak ada ancaman hukuman neraka kalau kita tidak melakukan sesuatu; tidak ada ancaman neraka kalau kita makan daging hewan tertentu dan seterusnya.
Agama Hindu sangat bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Agama Hindu ibaratnya air jernih yang mengalir, yang tanpa warna. Warna air kita lihat akan terantung dari warna tempat yang dilalui. Pelaksanaan agama Hindu bukan saja boleh di sesuaikan dengan kondisi local, melainkan harus di sesuaikan. Prinsip ini secara umum dikenal dengan Desa-Kala-Patra (menyesuaikan diri dengan tempat, waktu, dan kondisi objektif yang ada).
Agama Hindu mengajarkan untuk menghargai budaya lokal. Penganut agama Hindu dimanapun berada tidak harus sama dengan penganut di India. Budaya local harus dipertahankan dann dijadikan pembungkus atau kulit luar dari pelaksanaan Agama Hindu. Sebagai contoh, orang Hindu dari etnis Jawa silakan menggunakan pakaian tradisional Jawa, Umat Hinndu di Kaharingan Kalimantan juga dipersilahkan menggunakan pakaian tradisional Dayak Kaharingan, tidak harus memakai sorban atau memakai Dotti seperti orang India.
Pelaksanaan upacara keagamaan di dalam agama Hindu juga sangat fleksibel. Ukurannya bisa di sesuaikan, waktunya bisa disesuaikan, tempat juga bisa menyesuaikan. Untuk ukuran upakara misalnya, sudah diberikan pedoman mulai dari yang paling kecil (Kanista), yang menengah (Madya), sampai yang paling mewah (Utama). Dan perlu ditegaskan bahwa Knista, Madya dan Utama bukanlah merupakkann indicator atau penentu kualitas sebuah upacara, melainkan hanya merupakan ukuran besar kecilnya serta kompleksitas upacara yang sedang dilakukan. Kanista artinya Inti, pokok, yang utama, bukan rendah atau hina. Upacara yang besar belum tentu berkualitas dbandingkan upacara yang kecil atau sederhana. Bahkan upacara yang besar bisa kualitasnya rendah, kalau pelaksanaanya sangat dipengaruhi oleh sifat Rajasika atau Tamasika, seperti keinginan pamer, adu gengsi, bersaing dengan orang lain. Ini tergolong Rajasika Yadnya, bukan Satwika Yadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar