Jumat, 14 Juni 2024

Wacika Parisudha

Wacika Parisudha
Membangun Hita melalui Kata

Judul ini dilatarbelakangi berbagai konflik seputar komunikasi di era global. 

Globalisasi identik dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan teknologi komunikasi di era global pada dasarnya sangat bermanfaat dalam hidup. 

Teknologi komunikasi menyajikan berbagai kemudahan dan efisiensi dalam kehidupan umat. Melalui kemajuan teknologi komunikasi, umat dapat dengan cepat menambah wawasan dan pengatahuan. Melalui teknologi komunikasi, umat dengan sigap mampu mengetahui perkembangan peristiwa yang terjadi disekitar. Bahkan, melalui teknologi komunikasi, umat dapat menggalang jalinan persahabatan, pertemanan yang lebih luas. 

Teknologi komunikasi, pada dasarnya dapat dijadikan media untuk saling bertukar pikiran, saling memberikan dukungan positif antar insan, membangun komunikasi yang baik, yang nantinya menjurus pada integrasi atau kesatuan.

Namun, realita dilapangan menunjukkan bahwa banyak pula disharmoni yang bersumber dari degradasi moral dalam berkomunikasi. Salah satunya adalah aktivitas komunikasi yang mengandung ujaran kebencian (penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong) baik secara langsung maupun via media sosial.

Ujaran kebencian tersebut ditujukan pada seseorang, kelompok atau komunitas. Semua permasalahan itu, menjerumuskan umat manusia dalam lingkaran konflik dan diisintegrasi. Sehingga, harapan adanya kehidupan damai (santih) sebagai dasar membangun hita (kebahagiaan), sulit untuk ditemui.

Permasalahan ini memerlukan perenungan kembali terhadap ajaran agama Hindu, yang dapat dijadikan pijakan moral dalam membangun kedamaian di era perkembangan teknologi komunikasi saat ini. Salah satu yang dapat diupayakan adalah meningkatkan kesadaran untuk melatih diri, dalam membangun tutur kata atau tata krama berbicara yang baik, melalui pendalaman konsep wacika pariudha. Mengingat, konsep wacika parisudha sebagai bagian dari tri kaya parisudha, memberikan tuntunan secara spesifik tentang membangun pembicaraan atau perkataan yang baik.

Kesadaran diri untuk melakukan “filter” terhadap perkataan merupakan aspek mendasar yang perlu diupayakan. Perlu diketahui bahwa ketika berkecimpung dalam sebuah interaksi, atau pun menjalin sebuah proses komunikasi, kita harus mampu memilah perkataan yang akan kita lontarkan. Resapi kata-kata dari dalam diri, sebelum jatuh dan didengar oleh telinga orang lain. Kita harus mampu menghindari perkataan kasar, menghardik, jahat dan sebagainya. Sebab perkataan seperti demikian tidak sewajarnya diucapkan didalam membangun tutur kata maupun berkomunikasi dengan orang lain.

Hal tersebut sesuai dengan sebuah petikan dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 75 yang menyatakan bahwa: 
“Nyang tanpa prawrttyaning wak, pat kwehnya, pratyekanya, ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna, ujar mithya, nahan tang pat singgahaning wak, tan ujarakena, tan angina-ngenan, kojarnya”.

Artinya: 
“Inilah yang tidak patut timbul dari kata-kata, empat banyaknya, yaitu perkataan jahat, perkataan kasar menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong (tak dapat di percaya); itulah keempatnya harus di singkirkan dari perkataan, jangan diucapkan, jangan di pikir-pikir akan di ucapkan”.

Kesadaran untuk memilah kata yang akan diucapkan, menghindarkan diri pada perkataan jahat. Perkataan yang mengandung maksud jahat, sangat lama diingat oleh orang yang mendengar. Perkataan jahat akan selalu terngiang, dan susah dilupakan oleh yang terlanjur mendengar perkataan jahat itu sendiri. Perkataan jahat inilah yang dapat tumbuh menjadi dendam. Dendam yang bahkan tidak dapat dihilangkan dalam sekejap, namun selalu terkubur dan sesekali timbul kepermukaan.

Oleh sebab itu, dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 120 perakataan jahat dianalogikan sebagai berikut: 
“Ikang ujar ahala-tan pahi lawan hru, songkabnya sakatempuhan denya juga alara, resep ri hati, tatankenengpanhan turu ring rahina wengi ikang wwang denya, matangnyat, tan inujaraken ika de sang dhira purusa, sang ahning maneb manah nira”.

Artinya: 
“Perkataan yang mengandung maksud jahat tiada beda dengan anak panah, yang di lepaskan; setiap yang di tempuhnya merasa sakit; perkataan itu meresap ke dalam hati, sehingga menyebabkan tidak bisa makan dan tidur pada siang dan malam hari, oleh sebab itu tidak di ucapkan perkataan itu oleh orang yang budiman dan wiraperkasa, pun oleh orang yang tetap suci hatinya”.

Jika di analogikan secara lebih mendalam, dapat dikatakan bahwa setiap perkataan yang terlontar atau terucap dari mulut kita tidak ada bedanya dengan sebuah pedang atau senjata. Apabila kita mampu mempergunakkan atau memanaj senjata tersebut dengan baik, maka niscaya kita akan mendapatkan hasil atau pahala yang baik. Akan tetapi sebaliknya, apabila pedang atau senjata itu sendiri di manajemen dengan pola yang salah, maka tidak menutup kemungkinan akan mampu melukai diri sendiri.

Analogi itu sesuai dengan epos mahabaratha pada bagian sabha parwa yang salah satunya mengisahkan tentang terbunuhnya Prabu Cedi Sisupala. Kronologi terbunuhnya Prabu Cedi Sisupala bermula atau dikarenakan oleh ketidaksetujuannya terhadap pihak Pandawa begitu juga Guru Bhisma. Dalam kisah tersebut dikatakan bahwa, pihak Pandawa serta Guru Bhisma mengintruksikan agar orang pertama yang memberikan doa restu terhadap air suci yang merupakan hasil dari basuhan kaki para Brahmana (toya wasuh cokor) yang akan dipergunakan sebagai sarana dalam pelaksanaan Upacara Rajasunya, adalah Prabu Sri Kresna. Seketika hal tersebut ditolak oleh Prabu Cedi Sisupala sembari melontarkan perkataan yang bersifat menghardik serta mencela yang ditujukan pada pihak Pandawa, Guru Bhisma, termasuk Prabhu Sri Kresna. Pada akhirnya, kelalaian dari Prabu Cedi Sisupala di dalam berbicara, menyulut api amarah dari Prabu Sri Kresna. Seketika Prabu Sri Kresna mengeluarkan Cakra Sudharsana, kemudian memenggal kepala Prabu Cedi Sisupala.

Selain memiliki kesesuaian dengan cerita tersebut, analogi perkataan ibarat sebuah pedang atau senjata juga memiliki keterkaitan dengan salah satu petikan yang terdapat dalam Kakawin Nitisastra (V.3) yang berbunyi :

“Wasista nimittanta manemu laksmi. 
Wasista nimittanta pati kapangguh. 
Wasista nimittanta manemu duhka. 
Wasista nimittanta manemu mitra.”

Artinya: 
“Karena kata-kata engkau mendapat Bahagia. 
Karena kata-kata engkau akan mendapat kematian. 
Karena kata-kata engkau akan mendapat kesusahan. 
Karena kata-kata engkau akan mendapat sahabat”

Membiasakan diri berkata baik adalah aspek etika yang harus dibudayakan. Bangunlah kesadaran dalam benak masing-masing untuk selalu berlatih secara konsisten membangun perkataan atau berbicara yang selalu diselimuti oleh unsur kebaikan.

Terkait dengan hal tersebut Sarasamuscaya Sloka 118 kembali memberikan penegasan bahwa: 
“Ika tang ujarakena, rahayu ta ya, haywa ta winistaraken haywa hyun-hyun kawarjana angucap, apan ikang ujar yan, jambat, hanang haras, hana ililik pinuharanya , tan rahayu tan ngaranika”.

Artinya: 
“Yang patut di katakan itu hendaklah sesuatu yang membawa kebaikan, hal itu janganlah di gembar-gemborkan; berkeinginan di sebut pandai bicara; sebebkata-kata itu jika berkepanjangan, ada yang menyebebkan senang ada yang menimbulkan kebencian; tak baik hal serupa itu”.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam wujudkan hita (kebahagiaan) melalui kata maka kita harus mampu mengevaluasi perkataan yang akan diucapkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari perkataan jahat (negatif), sebagai tutur kata yang tidak bisa dilupakan dan mampu melahirkan dendam. Potensi munculnya perkataan jahat dapat dilebur, dengan konsisten membiasakan diri bertutur kata yang baik.

Marilah bersama-sama menguatkan tekad dan tujuan untuk membangun asas persatuan atau integrasi berlandaskan konsepsi luhur ajaran agama Hindu yang kita miliki. Berusahalah untuk selalu melebur segala bentuk perbuatan menyimpang termasuk dalam etika berbicara, menuju perbuatan serta etika berbicara yang sesuai deangan kaidah atau fakem yang semestinya.

Dalam Kitab Sarasamuscaya Sloka 2 dijelaskan: 
“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken subhasubhakarma, kuneng panetasakena ring subhakarma juga ikangasubhakarma phalaning dadi wwang”.

Artinya: 
“Di antara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahala-nya) menjadi manusia”.

Kesadaran diri untuk membiasakan diri bertutur kata yang baik dalam setiap pergaulan dan perjalanan hidup, tentunya akan mampu menjadi salah satu aspek yang berkontribusi untuk mewujudkan kedamaian setiap saat. Ini sebagimana untaian Atharvaveda XIX.9.2 bahwa: 
“Santam bhutam ca bhavyam ca. Sarvam eva sam astu nah”

Artinya: 
“Semoga masa lalu, masa kini, dan masa datang penuh kedamaian dan amat ramah pada kami”

#tubaba@griyangbang//semoga ini dapat menjadi siraman rohani bagi kita semua//dalam mewujudkan kehidupan yang damai (santih) berdasarkan kata, sehingga berujung pada kebahagiaan atau hita#

Om Santih, Santih, Santih, Om


Tidak ada komentar:

Posting Komentar