Tumpek Landep Moment Tajamkan Pikiran Realisasikan Bhukti dan Mukti
Perayaan Tumpek Landep di Bali, sesungguhnya sudah menjadi piodalan gumi. Artinya, semua warga merayakan, hari bertuah mengamet Sang Hyang Pasupati. Shiva sebagai penguasa Pasu/ Makluk, sejatinya memberi anugerah “Shiva Agni” dalam upaya pemberikan anugerah bhukti(kesejahteraan) dan juga mukti (kebebasan).
Pada pujawali Tumpek Landep ini, juga menjadi keniscayaan, diaplikasi warga untuk menyucikan “kekuatan niskala yang inmanen – melekat yang ada di segala benda , pusaka bertuah, termasuk wahana zaman now, kendaraan, sepeda motor, senjata, tombak, keris, benda benda pusaka lainnya.
Sejati terkait piodalan gumi , Tumpek Landep ini apa yang mestinya nya ditajamkan,
atau dilandepkan, tiada lain melakukan ekagrata pada manah, pikiran agar terus dijaga kesuciannya, kemruniannya, sehingga menyadari jati diri ini adalah Atman.
Ekagrata sudah pasti melalui astanggayoga, delapan tangga yoga, “yama, nyama, asana, pranayama, prathihara, dharana, dyana lan samadhi” Dengan dominan melakukan Dharana – konsentrasi manah / pikiran, dalam kontemplasi – dyana – mewujudkan samadi -, mewujudkan unifikasi, Kesatuan atma – paramatma.
Dengan laku shadana strike, ekstra keras seperti itu, maka diyakini secara gradual/ evolusi , kesadaran diri, bertahap pasti akan lebih cepat bisa diwujudkan tujuan utama perjalanan suci – pilgrims kita, yakni jagadhita – kesejahteraan duniawi sekaligus moksah – terbebasnya atma dari kungkungan badan stula sarira, sukma sarira atau lingga sarira , untuk menyadari karana sasira agar bisa bersatu dengan mahakarana sasira/ Hyang Adi Kodrati/ Paramashiva / Brahman.
Karena itu, jadikanlah pujawali yang hadir setiap 210 hari itu bukan saja menjadi bagian seremonial sebatas perayaan rutinitas, tanpa upaya optimal menyelam lebih dalam pada substansi hakiki “Tumpek Landep” itu sendiri.
Melainkan jadikan moment strategis dalam upaya transformasi yang idealnya sesuai kehadiran perayaan Tumpek Landep, itu yang benar benar dapat diaplikasikan secara all out mewujudkan “ladep” ketajaman Jnana Agni.
Sesungguhnya, Api Jnana — terus digelindingkan, dikawal secara disiplin, digulirkan menjadi suatu abyasa – tradisi sehingga pengetahuan kesunyataan — semakin disadari, disadari, sehingga perjalanan kita menemui tujuan yang sesungguhnya, terealisasinya Atwa Widya/ Brahma Widya.
Semoga dibalik semaraknya “ceremonial perayaan “tumpek landep ini, ada implikasi berkah konstruktif, bahwa yang perlu ditajamkan/ dilandepkan tiada lain dengan senantiasa menjaga pikiran, atau manah tetep hening, selalu difokuskan pada Atma/ Brahma/ Paramatma, sehingga mauna — damai , anandam bersatu pada hakekat kesadaran Sangkan Paraning Dumadi.
Keterikatan dengan Pecipta
Ya , sejatinya keterikatan yang kita desain, adalah keterikatan kepada Hyang Pencipta, bukan senantiasa melekat dengan segenap ciptaannya.
Kita bisa belajar dari laku total surrender, Hanoman yang dengan penuh bhakti berjuang demi Sri Rama. Demikian juga Garuda yang merupakan Garutman, dalam Weda, mengabdi kepada Hyang Wisnu, hal sama Nandi Keswara, yang memiliki yoga, keterikatan hanya kepada Sang Hyang Siwa.
Mengutip Lontar Sunarigama, “Kunang ring wara landep saniscara kliwon pujawalin Bhatara Siwa Sambada,muang yoganira Sang Hyang Pasupati, pujawalin nira Bhatara Siwa”
Artinya, mengacu daging, isi Lontar Sunarigama itu, pada perayaan Tumpek Landep itu, sesungguhnya yang dipuja Sang Hyang Siwa sebagai Hyang Pasupati.
Menurut Lontar Sunarigama, yang diupacarai saat Tumpek Landep itu adalah sarwa senjata lelandeping perang lan kalingania ikang wong apasupati lelandeping idep.
Nah .. dalam kontek kekinian senjata mesti dimaknai sebagai segala sarana yang digunakan untuk menunjang profesi dan mencapai tujuan.
Adapun banten yg digunakan
Sayut pasupati,untuk mengasah ketajaman
Sayut Jayeng Prang,niyasa kesiapan berperang melawan hawa nafsu dan siap mengarungi dinamika kehidupan ini.
Sayut kusumayudha,menandakan,jika kalah harus tetap jadi pahlawan,bukan penghianat,alias diperbudak nafsu.
Dalam siklus waktu kita ketemu enam kali Tumpek, yang dirayakan setiap Sabtu Kliwon, . Sabtu memrupakan hari terakkhir dalam saptawara. Sedangkan Kliwon, merupakan hari terakhir dari pancawara. Maka bisa disiplukan, hari Tumpek itu, merupakan hari spesial,keramat.
Tumpek Landep untuk memuja Sanghyang Siwa Pasupati.
Tumpek Wariga Sanghyang Sangkara Penganugrah kebahagiaan
Tumpek Kuningan,Siwa Mahadewa
Tumpek Krulut,hari kasih sayang,sebagai Siwa Nataraja
Tumpek Uye Siwa selaku Sanghyang Rareangon
Tumpek Wayang,Sanghyang Ishwara
Disini juga dikutipkan, ajaran Jnyana Siddhanta dari Lontar Kadyatmikan, Bhuwana Kosa, VI, 3., yang bisa dijadikan sesuluh, apa sejatinya substansi, sang manawa utama sebagai Pandita itu.
Ong gire’svaryya ya namaha.
“Hetu ning sinanggah matuhaa, haywa tan prayatna rikeng Siddhanta ‘saastra, rapwan tan kapaataka.
Kimpunah janma moha’sca,
Naa jnyaanah naa kreto dhanaha,
Naa silo naa vayastapaha.
Nguni yuni tekang wwang moha, tan pajnyaana, tan ‘sila, tan gumawayaken dhaana, tan ing wayah, tan ing tapa, naywa rakwa tan panemwang paapa.
Artinya,
Apa sesungguhnya dasar sang manawa berpredikat tua itu, janganlah kurang waspada kepada ajaran Sidhanta, supaya jangan menderita. Apalagi bagi orang yang bingung, tanpa ilmu pengetahuan, tidak mempunyai etika, tidak beramal sedekah, yang belum berpengalaman, yang tidak pernah bertapa. Jangan diberikan, memungkinkan ia akan menemukan papa.
Tena jnyaane naheskaanda
Vreddha vreddha tara smretaha,
Naa diirggha naa ‘subhih ke’sa,
Naa ‘svetah ruupa jaatibhihi.
Sangsiptan ikaa sang widhwan,
saprayatnya ring Sang Hyang Siddhanta jnyaana sira,
sira ta matuha temen, apan matuha dening jnyaana nira, mangkanaanaku Sang Kumara, tan ikaang madawa kumisnya tan ikaang ati’saya tuhanya, tan ikaang madawa rambutnya, tan ikaang maparas alengis kesanya, tan ikaang mwang aruhur jaatinya, ikaang matuha, nga.
Artinya.
Jelasnya Para Pandita, orang yang memahami ajaran Sidhanta, mereka itu baru sesungguhnya dikatakan tua. Sebab, tua karena ilmu pengetahuan. Demikianlah anakku Sang Kumara. Bukan orang yang kumisnya panjang, bukan orang tua renta, bukan orang yang berambut panjang, bukan orang yang rambutnya digundul bersih, bukan keturunan bangsawan dikatakan tua.
Sarvva ‘saastram adhiyita,
Tyjanti jnyaanam uttamam,
Jnyaana vyaapi naa windeta,
Aho mayaa vimohitaha.
Hana sira sadhaka mangaji sarwwa ‘saastra, ikaa Sang Hyang Siddhanta uttama inaryyaken ira. Jnyaana vyapi naa cindeta.Ikaa ta sang sadhaka mankana, tar wruh ring jnyaanangku ikaa. Aho mayaa vimohitah.Apan kawenang dening banycanangku, Sarvva ‘saastrasya yat param. Hana karih ‘saastra lewih sangke rikang ‘saastra kabeh.
Siddhanta Jnyaana uttamam. Sang Hyang Jnyaana Siddhanta sira wisanya. Aditya manava loke. Hana pwa mwang mangaji Sang Hyang Siddhanta jnyaana irikang loka. Saphalan tasya jivitam. Ya ta saphala huripnya haneng loka Bhataara mangkana pwa ya. *
Ihatraca mahaa devii. Ring iharta kaala pwa ya, kapangguh tang suka magoong denya, Paraatra ‘Sivasam brajet.
Irika ng dlaha pwa ya, sayojya pwa sira laawan Bhataara ‘Siwa saduga. Evam etani yuktani. Ikaa ta hinghaning warah warahku ri kita Bhataari, atyanta yukti temen. Naa sandeho varaanane. Tan sangsaara ikaang kumawruhi ring jnyaana mangkana, mangkana ta kita Bhataari, haywa sang’saya irika ng warah warah.
Evam etani sarvvani, vacanaani suputrakaha.Mangkana ta kitaanaku Sang Kumara, haywa ta kita sang’saya ri warah warahku kabeh ri kita.
Artinya,
Bila ada Pandita mengajarkan ilmu pengetahuan dengan melupakan ajaran suci Sidhanta. Pandita yang demikian itu, tidak mengetahui ajaranku karena ia dikuasai oleh mayaku. Sarvva ‘saastrasya yat param,konon ada ajaran yang melebihi semua ajaran. Siddhanta jnyaanam uttamam, itu dia) ajaran Sidhanta yang paling utama.
Aditya manava loke, bila di dunia ini ada orang yang mendalami ajaran Sidhanta. Saphalan tasya jivìtam, maka hidupnya akan bersih, demikian sabda Bhatara.
Ihatraca mahaa devii, dalam masa hidupnya ia akan menemukan kesenangan yang besar olehnya. Paratra ‘Sivasam brajet, kelak kemudian, benar – benar ia akan menyatu dengan Sang Hyang ‘Siwa. Evam etani yuktani, itulah penjelasanku kepadamu, Bhatari, sangat amat benar orang yang menguasai pengetahuan demikian.
Naa sandeho varanane, ia tidak akan menderita.
Demikian pula halnya engkau Bhatari, jangan ragu – ragu akan ajaran itu. Evam etani sarvvani, vacanani suputrakaha.
Demikian pula anakku Sang Kumara, jangan engkau ragu-ragu akan seluruh ajaran yang telah keberikan kepadamu.
Dalam kaitan dengan pikiran dan nafsu,jika tidak dapat dikendalikan,maka ia akan menjadi musuh yang dapat menyesatkan sang jiwa.Ya memang musuh musuh kita itu tidak jauh tempatnya,”Tan hana satru mengelwihaning hana geleng ri hati”.Musuh musuh itulah yang harus diwaspadai karena bisa menjerumuskan kita secara halus dan sangat tahu akan kelemahan kita.Cara menenangkan perang adalah batasi keinginan,buat standar hidup yg mendamaikan hati serta jangan biarkan mata dan telinga tanpa kontrol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar