Minggu, 12 Mei 2024

Diksa Widhi Tidak Dibenarkan

*Diksa Widhi itu bukan berarti didiksa oleh Hyang Widhi*
Banyak orang yang tidak paham dan tidak mengerti apa arti daripada Diksa Widhi sebenarnya, Diksa Widhi itu artinya Upakara Diksha. Widhi juga punya arti adalah Aturan atau Regulasi. 
*Tradisi diksa Widhi memang ada, dimana menempatkan Widhi atau diwyangguru , atau Siddhangga sebagai Nabe. Dan upacaranya memang dilaksanakan yang tetap dipuput oleh sulinggih tapi tidak berposisi sebagai Nabe serta disaksikan oleh lembaga yang terkait dengan keagamaan seperti PHDI, hal ini wajib harus dipenuhi menyangkut atribut yang akan dipakai setelah inisiasi*. 

*Dalam sejarah Kawikon di Bali, baru diketahui hanya satu Sulinggih pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel melakukan Diksa Widhi. Dalam upacara Diksa Widhi tersebut hanya dipimpin oleh Wiku Guru Saksi dan disaksikan oleh Raja (pemerintahan) serta komponen lainnya. Pelaksanaan Diksa Widhi sejatinya sangat selektif dan sangat ketat sekali. Hanya dilakukan bagi calon Pandita yg sedemikian tinggi kerohaniannya sehingga sulit bahkan tidak ada Guru Nabe yg melebihi kemampuannya*

*Diksa Widhi bukan dengan diam diam yang simsalabim lalu tiba tiba kemana mana mengaku ngaku sebagai sulinggih apalagi hanya dengan modal Melukat, hal ini di sebut sulinggih memada mada (SULINGGIH NYUMUKA) ; menjadikan dirinya sendiri selaku Pendeta bagi Walaka.(Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek Aspek Agama Hindu I - XV* 

*Diksa Widhi ini dilaksanakan untuk kriteria sulinggih sebatas ngewiku raga untuk jalan kelepasan, tidak ngelokapalasraya atau muput upacara apapun dimanapun apalagi sampai jadi Nabe ngangkat nanak yang ngelokapalasraya. Mengingat Nabenya di sunia. Maka jalan yang ditempuh jalan sunia, bukan jalan ramya. Jika tidak ada saksi. Tanpa upacara, kemudian mendaulat diri sebagai sulinggih dengan kelengkapannya sesungguhnya bisa masuk ranah hukum positif , pelecehan simbol simbol agama yang bersifat sakral.*

Pemberlakuan diksa sebagai pangkal mula Pandita, pangkal mula diksa adalah mantra, pangkal mula mantra adalah guru dari kata gu; gunatita dan ru; rupawarjita , mengandung makna yang melenyapkan kegelapan. Diksa wajib dipahami sebagai institusi tidak sebatas inisiasi, semestinya meliputi; sisya-siksa-pariksa-diksa-pandita-sista-siwa-moksa.

*Kenapa Siwasasana sangat keras, karena sudah diprediksi akan sangat kacau, kalau semua bebas mediksa tanpa aturan.*

Maka posisi guru, terutama manawangga guru atau guru manusia begitu sentralnya, lembaga diksa guru tidak hanya dipandang sebagai manusia biasa, melainkan perwujudan mantra dan Brahman. Sesuai petikan lontar purwagamasasana yang sangat diyakini oleh para sulinggih Hindu Dharma Indonesia.

*Sulinggih adalah pemilik modal simbolik, modal paling tinggi yakni Dewa-sakala. Modal ini sebagai alat untuk menghegemoni umat. Syukur hegemoni konstruktif, bagaimana jika hegemoni destruktif, maka menghindari dampak yang kedua, karenanya pembangunan modal simbolik tersebut harus terstruktur dan konstruksinya wajib dilakukan dengan cara cara SUCI*.

KEPUTUSAN PARUMAN SULINGGIH PHDI PROPINSI BALI TENTANG PEDIKSAN TAHUN 2001 yang saat itu di hadiri oleh 75 orang baik dari para sulinggih, phdi pusat, dan juga unsur pemerintah terkait seperti terlampir dimana dengan jelas dikatakan bahwa "DIKSA WIDHI" TIDAK DAPAT DIBENARKAN KARENA SESEORANG YANG MELAKUKAN DIKSA, HARUS MENGGUNAKAN "NABE SEKALA" YANG AKAN "NAPAK" SANG DINIKSAN*

Dengan hasil keputusan paruman sulinggih PHDI Propinsi Bali tahun 2001 tersebut, sehingga kesimpulannya adalah : 
 
*1. Diksa Widhi, tidak dibenarkan dan harus dibatalkan.*

*2. Diksa Masal, juga tidak dibenarkan, harus dibatalkan.*

*Wacana melanggar HAM adalah suatu pengalihan isu untuk pembenaran, karena tidak ada dasar sastranya dan sesungguhnya konsep Diksa Widhi yang tidak ada saksi saksinya dan Diksa Masal adalah suatu pelanggaran yang bisa menimbulkan penipuan bagi umat (Sulinggih Nyumuka) dan membuat masyarakat resah, karena tidak sesuai dengan hasil keputusan paruman sulinggih PHDI Propinsi Bali tahun 2001.*

Walaupun PHDI bukan lembaga Yustisia, hanya bersifat normatif konsultatif, namun sebagai lembaga kesulinggihan, jika ada seseorang melanggar norma dan azas kepatutan yang berlaku umum. PHDI harus bertindak, karena ini adalah salah satu tugas pokok PHDI untuk mengatur kehidupan beragama umat Hindu Dharma Indonesia.

*Ajaran Ajaran Untuk JBS*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar