Jumat, 31 Mei 2024

Sedaraga

SEDA RAGA
Mulih Ka Jati Mulang Ka Asal
BELAJAR PULANG SEBELUM DIPANGGIL PULANG
Mati dalam Hidup, Hidup dalam Mati

“Pati SaJeroning Urip, Urip SaJeroning Pati”

Falsafah sedaraga tentang “Mati dalam Hidup, Hidup dalam Mati” sepertinya merupakan falsafah yang menurut saya pribadi sangat dalam maknanya, bukan tentang peristiwa hidup atau matinya, namun bagaimana hidup menyadari segala yang ada hanyalah fana belaka, dan menyadari bahwa kematian adalah gerbang menuju kehidupan sesungguhnya.

SEDARAGA/Mati dalam Hidup memiliki makna bahwa segala peristiwa yang terjadi di dalam hidup ini ada baiknya disikapi dengan sikap seorang yang ‘mati’, ‘mati’ disini adalah ungkapan bagi seseorang yang mampu memisahkan antara ego-nya dengan DIRI SEJATI-nya selayaknya memisahkan raga-nya dengan jiwa-nya; raga yang mewakili keduniaan (rasa sakit, rasa sedih, keinginan, pengharapan, ketakutan, rasa rindu, rasa dendam, rasa senang, rasa heran, rasa kagum, dan segala sesuatu yang terdefinisikan) dengan jiwa yang mewakili keabadian (rasa cukup dalam ketiadaan, rasa ikhlas di pusaran keterikatan, rasa syukur dalam penghabisan, rasa tulus di tengah pengharapan, dan berbagai ungkapan di ambang batas kata-kata hingga yang tak mampu terdefinisikan), Sehingga seorang Jawa dalam melihat segala sesuatu yang terjadi kepadanya; ia tidak terombang-ambing dalam penghakiman dan perasaan, dalam riuh-rendahnya manipulasi pikiran, ia menerima segala sesuatu apa adanya, nrimo… demikian istilah sarat makna yang bagi sebagian orang disalahartikan sebagai menyerah. Padahal nrimo adalah puncak keaktifan kesadaran melepaskan diri dari ego duniawi yang senantiasa menggoyang ketenangan.

Hidup dalam Mati bermakna bahwa segala sesuatu sejatinya adalah milik Sang Maha Kuasa, tiada daya upaya kecuali dengan seijin-NYA, tiada peristiwa yang terjadi kecuali telah diatur dalam ketentuannya. Termasuk dengan seluruh kesadaran, ketidaksadaran, serta tubuh fisik yang melekat pada DIRI SEJATI kita telah pula digariskan kodrat dan suratan-NYA. Sehingga menghayati hidup sejatinya juga menjalani kematian yang abadi, sehingga apa-apa yang dipikirkan, diucapkan, dituliskan, dan dilakukan senantiasa mencerminkan suara DIRI SEJATI di atas pikiran, perasaan, dan ego diri yang kecil; memaknai persembahan, penyembahan, dan persembahyangan lebih dari sekedar aktivitas fisik atau ritual semata, namun dilandasi dengan kesadaran tertinggi bahwa DIRI (jiwa/ruh yang ditiupkan) dan diri (raga, pikiran, dan perasaan yang dititipkan) adalah semata milik Tuhan Yang Maha Esa, yang akan diambil kembali pada waktunya.

Seorang yang melakukan proses sedaraga ketika menghayati falsafah ini, maka ia akan SADAR dalam KETIDAKSADARAN, INGAT dalam KEALPAAN, dan KEMBALI dari PENGEMBARAAN pencarian makna kehidupan yang sesungguhnya selalu terjadi dan tersaji disini, di saat ini, begini, memahami segala sesuatu terjadi bukan pada dirinya namun segala sesuatu terjadi untuk dirinya.
#tubaba@griyangbang//sedaraga//ngerogasukma#


Tidak ada komentar:

Posting Komentar