Jumat, 16 Juni 2023

UTS Yajur Weda

Oleh :

Ni Nyoman Gandu Ningsih 
(Ida Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manuaba)

Nim  : 2112101045.

JAWABAN:
1. Mantra Samhita adalah doa-doa, pujian-pujian, sekaligus mantra-mantra dalam suatu sloka-sloka berirama pada acara pemujaan terhadap para dewa keluarga atau umum dengan tujuan meraih kemakmuran materiil di bumi dan kebahagiaan di alam baka. Selain itu, mantra ini juga memuat doa kebaktian, ucapan syukur, petunjuk korban, dan ajaran filsafat.

2. Kaitan upacara yadnya agama Hindu di Bali dengan Yajur weda yaitu mengingat masyarakat Hindu Bali sangat meyakini banten adalah syarat mutlak yang diperlukan agar pemujaan kepada Hyang Widhi dapat dilakukan sesempurna mungkin, meskipun dalam Bagawad Gita Sloka IX.26 dinyatakan "Patram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhaktya upahrtam, asnami prayatatmanah" (siapapun yang dengan sujud bhakti kepadaKu mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah, seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci).

Untuk sarana banten dan pelaksanaan upacara itu, terlihat sekali dipengaruhi oleh seni budaya masing-masing masyarakat setempat, seperti seni rias yang dipancarkan oleh bentuk banten, seni suara berupa kidung kakawin atau lagu-lagu pujaan, seni tari berupa seni sakral dan seni wali, seni tabuh berupa gamelan, serta tata cara berbusana upacara agama yang masing-masing daerah bisa berbeda. Dengan adanya seni budaya yang menunjang upakara, maka upacara tersebut menjadi begitu meriah dan memberikan rasa bahagia (hita). Harus dipahami pula, seni budaya tersebut sesungguhnya bukannya semata-mata seni, melainkan suatu seni yang mengandung makna simbolis tertentu dan membungkus ajaran tattwa agama.

Khusus Yadnya dalam bentuk banten dalam tradisi Hindu di Bali, sesungguhnya melewati perjalanan sejarah yang panjang. Di dalam kitab Yajur Weda dapat dijelaskan adanya persembahan yang dihaturkan kepada Dewa sebagai manifestasi dari Brahman. Sesuai dengan namanya sendiri bahwa Yajur Weda artinya pengetahuan yang digunakan untuk persembahan, maka dalam perwujudannya materi persembahan tersebut bisa kita lihat sekarang dalam bentuk tetandingan banten.


3. Pandangan saya mengenai upacara yadnya agama Hindu di Bali dengan memakai kurban binatang adalah sebagai berikut  Dalam lontar Sunarigama disebutkan ada dua cara untuk melakukan ritual. Pertama dengan menghaturkan sesajen (banten), terutama bagi masyarakat umum. Yang kedua dengan  tapa brata yoga samadhi, terutama untuk mereka yang sudah mencapai tingkat kerohanian tertentu dan “wruh ring tattajnana”. Sama-sama dengan tujuan mencapai suatu kesucian, baik suci lahir dan batin maupun suci pada lingkungan.

Bagi yang menggunakan sesajen memang diperbolehkan mempersembahkan segala hasil bumi termasuk hewan peliharaan. Justru hasil bumi dan hewan yang dipakai persembahan itu akan tumbuh semakin baik dan hewan yang dibunuh akan “lahir kembali” dalam status yang lebih tinggi dari keadaan semula. Ini juga disebutkan dalam sloka Manawa Dharmasastra V.40. Bunyinya: Osadyah pasawa wriksastir, yancah pakhanam praptah, yajnartham nidhanam praptah, praapnu wantyutsritih punah. Terjemahannya: Tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, ternak, burung lainnya yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.

Karena korban itu adalah “penyucian” maka buah yang dipetik dari pohonnya untuk persembahan akan membuat pohon itu berlipat buahnya pada musim selanjutnya. Dan hewan, termasuk burung dan ikan, akan menjadi “suci” sehingga pada kelahirannya kelak, statusnya lebih baik dari semula.

Upacara yadnya agama Hindu di Bali dengan memakai kurban binatang apakah tidak sesuai dengan ajaran ahimsa? Pertanyaan ini muncul karena ada “aliran dalam Hindu” yang ketat dalam melaksanakan prinsip ahimsa (tak boleh menyakiti apalagi membunuh) yang disertai pula prinsip vegetarian yang kuat. Dengan prinsip seperti itu maka semua persembahan kepada Tuhan tidak memakai daging.

Bahkan konon ada ritual caru yang tidak memakai hewan karena bisa diganti dengan bahan lain yang bukan binatang. Nah, apakah itu yang benar atau apakah membunuh hewan untuk korban itu yang benar, ajaran Hindu tak memberikan pembenaran yang absolut. Semuanya ada rujukan dan umat silakan memilih sesuai keyakinan. Beragama itu berdasarkan “rasa hati” yang tentu saja pijakannya adalah keyakinan. Setelah itu baru keiklhasan dan ketulusan. 

Dalam sloka Manawa Dharmasastra sebelumnya (MD V.39) sudah ditegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara korban dan korban ini sudah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi dan isinya. Dengan begitu unsur ahimsa tidak berlaku di sini karena baik hewan korban maupun umat yang beryadnya sama-sama untuk mencapai kesucian dalam ritual itu.

Contohnya: 
Dalam ritual Hindu di Bali pada tingkat caru yang lebih besar dengan menggunakan banyak binatang, ada upacara yang disebut mepepada. Ini adalah ritual untuk membuat hewan itu “suci” sebelum dijadikan korban. Pendeta yang memimpin ritual akan memberikan doa-doa sesuai dengan wujud hewan itu, apakah berkaki dua atau empat, apakah burung atau ikan dan seterusnya. Inti doa adalah agar roh hewan itu “menghadap” pada dewa sesuai dengan yang telah digariskan arahnya dan jika kemudian lahir kembali akan menjadi manusia, bukan lagi binatang. Hewan itu kemudian diberikan busana (dililitkan kain) di bawa berkeliling di tempat upacara sesuai putaran jarum jam, diperciki tirta (air suci) dan seterusnya disembelih dengan “penuh kasih sayang tanpa kebencian”. Begitu aturannya, bahwa pelaksanaannya mungkin tak terasa ada “kasih sayang” saat menyembelih itu soal lain.

Bagaimana dengan pantangan makan daging? Jika hewan yang disembelih itu untuk yadnya yang berarti sudah dilaksanakan “penyucian” maka dagingnya pun tak masalah untuk disantap. Tapi untuk hal ini terjadi silang pendapat karena sumber sastra pun ada banyak. Manawa Dharmasastra sloka V.33 menyebutkan bahwa seorang dwijati (pendeta) haruslah tidak makan daging. Namun disebutkan “jika memakannya tidak bertentangan dengan aturan”. Nah ini sering dijadikan pembenar, karena hewan yang disembelih “sesuai dengan aturan” maka dagingnya bisa dimakan. Itu sebabnya pendeta Hindu di Bali tak semuanya vegetarian, ada yang masih makan daging tapi terbatas, misalnya, hanya daging bebek.

Dengan begitu marilah kita arif, tidak mencemoh orang melakukan yadnya dengan mengorbankan binatang, tetapi juga tidak menyalahkan orang yang tak mau mengorbankan binatang. Biarkan mencari jalannya sendiri sepanjang tidak ada yang dirugikan.


4. Dua mantra dari Yajur weda yaitu 
1) Mantra kurban ketika bulan baru atau waktu bulan penuh (Darsapurnamasa), di mana ada persembahan bagi nenek moyang (Pinda Ptryajna).

2) Mantra Ritual menyalakan api kurban (Agnihotra).

Adapun Maksud dan makna dari mantra Yajur weda tersebut adalah:

1. Atharvaveda XIX.63.1
Uttistha brahmanapaste,
Devan yajnena bodhaya.

Ayuh pranam prajam pasun, 
Kirtim yajamanam ca vardhaya.

 #Maksud dan maknanya:
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa pengetahuan bangkitlah dan bangunkan para devata dengan sarana pengorbanan (yajna ). Tambahkan usia, daya hidup, keturunan, kekayaan, hewan dan kemasyuran. Buatlah para pelaksana yajna menjadi makmur”.

2. Yajurveda XVII.50
Udenam uttaram naya
Agne ghrtena huta.

Rayasposena sam srja
Prajaya ca bahum krdhi.

#Maksud dan maknanya:                                      “Ya Sang Hyang Agni Yang Makmur, angkatlah pelaku yajna makin tinggi dan makin tinggi. Buatlah dia menjadi kaya dan jadikanlah dia seorang yang memiliki anak cucu yang banyak dan makmur”.

5. Ulasan makna dari mantra berikut:
a) Yajurveda XXXII.1.
Tad eva agnis tad adityas
Tad vayus tad u candramah,
Tad eva sukram tad brahma
Ta’apah sa prajapatih.

Artinya:
(Sesungguhnya Ia adalah Agni, Ia adalah Aditya, Ia adalah Vayu, Ia adalah Candrama, Ia adalah Sukra, Ia adalah Apah, Ia yang Esa adalah Prajapati)."

Dari bunyi mantra tersebut diatas, kita ketahui bahwa Tuhan memiliki wujud, bentuk dan warna yang berbeda-beda, hal itu terjadi karena ketidak mampuan kita memuja Tuhan yang Nirgunam sehingga diwujudkanlah beliau seperti mahluk hidup yang super yang memiliki kekuatan lebih daripada manusia dan mahluk hidup lainnya. Dalam konsep Nirgunam Brahman, Tuhan yang dipuja adalah Tuhan yang tanpa wujud (Acintya) yang selalu ada dimana mana. 

Dibali kita telah temukan sebuah lontar bernama Widhi Papincatan yang berisi keputusan-keputusan hukum/ pengadilan semacm Yurisprudensi. Demikian pula nama lontar Widhisastra yang berarti pengetahuan tentang widhi (theology), dan juga lontar-lontar susastra jawa kuno lainnya. Pengertian Vidhi (dalam bahasa jawa kuno ditulis widhi) sebagai pencipta, aturan atau perintah tertinggi, tertib (aturan) alam semesta, nasib, penguasa tertinggi adalah sejalan dengan pengertian yang terdapat di dalam susatra veda.

Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan sebagai pencipta alam semsta. Tuhan sebagai widhi tersebut bersthana di luhuring akasa yakni di angkasa. Dalam pengertian ini tentunya Tuhan Yang Maha Esa di gambarkan tidak berwujud (impersonal god).Kapan Sang Hyang Widhi dimohon turun hadir untuk menerimapersembahan, maka saat itu juga beliau telah terwujud dalam alam pikiran. Wujud-wujud utamanya itu disebut dengan Tri murti (Brahma, Wisu, siva)
Nama Sang Hyang Widhi ( Sang Hyang Widhi Wasa) berarti yang menakdirkan, yang maha kuasa yang dalam bahasa bali diterjemahkan dengan Sang Hyang Tuduh atau Sang Hyang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum, yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut-sebut dalam sastra-sastra lontar. Bhatara Siwalah panggilannya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra-sastra agama , seperti pada lontar-lontar BhuwanaKosa, Wrhaspatitattva, Tatwajanana, Mahajnana, Ganapatitatwa, Bhuwanasanksepa dan sebagainya. Demikian pula pada saat upacara dipuja, upakara-upakara, arca-arcca dan tempat pemujaan (Sura, 1999: 25).

Kata Siva berarti: Yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya (Monier, 1993: 1074). Sang Hyang Siva di dalam menggerakkan hukum kemahakuasaan-Nya di dukung oleh saktinya Durga atau Parvati. Hyang Siva adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau praline dari alam semesta dan segala isinya). Siva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Siva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti guna, sakti dan svabhawa) disebut paramasiva, dalam keadaan ini disebut juga Acintyarupa atau niskala dan tidak berwujud ( Impersonal God).

Kata Brahman (adalah bentuk neutrum dari Brahma) yang berarti: yang tumbuh berkembang, berevlusi, yang betambah besar, yang meluap dari dirinya, dan sejenisnya (Ibid:737). Ciptaanya muncul dari dirninya, seperti halnya Veda muncul dari nafasnya. Kemahakuasaan Hyang Brahma sebagai pencipta jagat raya di dukung oleh saktinya yang disebut sarasvati, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai brahma , maka ia adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan demikian Brahma saat ini adalah Tuhan yang Berpribadi (personal God). Brahma digambarkan berwajah empat (Caturmukha) dan lain-lain. Dengan demikian Hyang Widhi adalah Brahman, Tuhan yang tidak berwujuddalam alam pikiran manusia (Impersinal God), sedang disebut brahma, ketika ia telah mengambil wujud (personal God) dalam menciptakan alam semesta beserta segala isinya.

b) Yajur veda 32.8
Yatra wiswam bhavatyekanidam  

Aertinya:
Padanya seluruh alam semesta menjadi satu rumah. 

Maksudnya Tuhan digambarkan sebagai perwujudan yang tertinggi dan memenuhi seluruh alam dan seluruh alam menyatu pada Dia. Mantra ini mencakup monoteisme dalam arti yang murni dan filosofis. Monoteisme mengenal satu Tuhan menguadai semua. Akan tetapi diluar itu terdapat konsep, satu dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang satu. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar