Kamis, 22 Juni 2023

Raja Marga Yoga


Hakikat Raja Marga

1. Pendahuluan. 
Dalam ajaran Agama Hindu, Catur Marga adalah sebuah konsep ajaran yang termasuk bagian dari aspek Tattwa dalam kerangka dasar agama Hindu. Catur Marga berasal dari kata "catur" yang berarti empat dan "marga" yang berarti jalan. Catur Marga juga sering dikenal dengan sebutan Catur Marga Yoga. Catur Marga umumnya didefinisikan sebagai empat jalan untuk mencapai moksa dan membangun jagaddhita. Catur Marga adalah empat tahapan berjenjang dalam mencapai pemahaman akan hakikat Tuhan, hakikat kesemestaan, hakikat bertingkah laku, ritual, dan pemahaman-pemahaman tentang pengetahuan hakiki lainnya.

Bagian-Bagian Catur Marga Yoga
Catur Marga terdiri dari empat bagian, yakni:"
1. Bhakti Marga Yoga
2. Karma Marga Yoga
3. Jnana Marga Yoga
4. Raja Marga Yoga

Raja Marga Yoga adalah jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan Tuhan melalui jalan melakukan Yoga. Raja Marga memerlukan pengendalian diri, disiplin diri, pengekangan dan penyangkalan terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian. Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui jalan ini seseorang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah tersebut.

2. Pembahasan
Jalan Mistik (Raja Marga) merupakan lelakon yang sifatnya mencari kebenaran lebih jauh tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Rahasia dan berusaha dengan ilmu pengetahuan (Jnana) yang dimiliki untuk menguak tabir misteri dari Sang Maha Misteri. Dalam Karma dan Bhakti Marga, kegiatannya masih lebih banyak memakai jasmani, maka dalam Raja Marga yang bekerja lebih banyak hati dan pikiran. Melaksanakan upacara, beryadnya, dharma yatra dan sebagainya, adalah merupakan ruang lingkup dari jalan kerja (Karma) dan jalan Bhakti yang merupakan perwujudan dari sedikit Jnana yang dikuasai. Ketika manusia memperdalam ilmu pengetahuannya tentang hakekat ketuhanan, hakekat kehidupan, berpikir jauh tentang keberadaan alam kelanggengan yaitu alam kehidupan setelah kematian yang serba tidak kasat mata (gaib), maka yang banyak berperan adalah hati dan pikiran. Pikiran sangatlah berperan dalam menentukan arah dari perjalanan kehidupan manusia dan pikiran sangatlah sulit untuk dikendalikan. Kitab Saracamuscaya Sloka 80 mengatakan :
Apan ikang manah ngaranya,

ya ika witning indriya,
maprawati ta ya ring cubhacubhakarma,
matangnyan ikang manah juga prihen kahrtanya sakareng.
Terjemahannya :
Sebab yang disebut pikiran itu, adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik ataupun yang buruk; oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya/pengendaliannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, pikiran akan selalu dipengaruhi oleh nafsu yaitu nafsu untuk berbuat baik (satwam), nafsu marah (amarah), nafsu birahi (kama), nafsu loba (lobha) dan nafsu iri hati (matsarya). Kelima nafsu ini, akan selalu menimbulkan dualisme (rwa bineda) dalam kehidupan manusia.

Dalam Bhagawad Gita Bab VII Sloka (27) dikatakan :
ichchhadvesha samutthena
dvandvamohena bharata
sarvabhutani sammoham
sarge yanti paramtapa

Artinya : 
semua mahkluk sejak lahir, oh Barata telah disesatkan oleh dualisme pertentangan yang lahir dari hawanafsu (birahi), ketamakan, amarah dan dengaki, wahai Parantapa. 
Sloka ini mengandung makna yang sangat dalam apabila dilengkapi lagi dengan nafsu berbuat baik. Karena di dalam diri setiap manusia apapun agamanya, apapun warna kulitnya, apapun suku bangsanya, kelima sifat ini sudah ada sejak lahir. 

Dalam perjalanan hidupnya kedepan, masing-masing orang akan tampak jelas sifat mana yang lebih dominan dalam kesehariannya. Musuh manusia yang paling utama adalah nafsu itu sendiri yang memang sudah disatukan oleh sang Maha Pencipta di dalam diri manusia. Maka dari itu, mengalahkan diri sendiri tidak lain adalah menekan hawanafsu sampai mati, setelah itu barulah dihidupkan, akan tetapi hawanafsu tersebut sudah dalam kendali intelek manusia.

Dalam Bab III Sloka (38) kitab Bhagawad Gita dikatakan :
dhumena ’vriyate vahnir
yatha ’darso malena cha
yatho ‘lbena ‘vrito garbhas
tatha tene ‘dam avritam

Artinya: 
bagaikan api diselubungi asap, bagaikan cermin diliputi debu, bagaikan bayi dibungkus dalam kandungan, demikian pula Dia diselimuti olehnya (nafsu).

Perumpamaan di atas menjelaskan kepada kita, bahwa bila ingin melihat api, maka asap haruslah dihilangkan, bila ingin melihat cermin, maka debu haruslah disapu bersih, bila ingin melihat bayi, maka kandungannya harus pecah (lahir) dan apabila ingin melihat Dia (Atman) maka segala nafsu haruslah dilenyapkan. Hawa nafsu dapat menyebabkan seseorang yang sudah memiliki ilmu pengetahuan, arif bijaksana menjadi gelap dalam bertindak manakala mereka lengah terhadap pertehanan dirinya yaitu eling lan waspodo (selalu ingat kepada Tuhan dan waspada terhadap godaan setan). Memang, untuk mengalahkan hawanafsu bukanlah persoalan mudah bagi manusia yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan kenikmatan akan tetapi semuanya semu.

Selanjutnya Bab III sloka (41) mengatakan :
tasmat tvam indriyany adau
niyamya bharatarshabha
papmanam prajahi hy enam
jnana vijnana nasanam

Artinya : 
dari itu, oh Barata yang terbaik, kendalikanlah pancaidriamu pertama dan basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak segala ilmu pengetahuan dan kebajikan.


Jadi tugas kita yang pertama adalah mengendalikan panca indria. Yang dimaksud adalah mengendalikan pikiran dari nafsu berbuat baik akan tetapi tidak ihklas (masih mengharapkan pahala), mengendalikan telinga (niatnya supaya tidak mudah tersinggung dan marah), mengendalikan mulut (niatnya supaya tidak menjadi orang yang mendewakan sifat loba), mengendalikan mata (niatnya supaya tidak menjadi orang yang mengumbar nafsu birahi), mengendalikan hidung (niatnya supaya tidak menjadi orang yang sirik kepaada orang lain). Setelah panca indria terkendali dan pikiran sudah terbebas dari pengaruhnya, maka secara otomatis pengaruh nafsu juga akan musnah dan terkendali. Untuk mencapai keadaan seperti ini, maka kita harus sering melakukan introspeksi kedalam diri, sering melakukan perenungan atau mengheningkan pikiran dan hati, sehingga antara pikiran dan hati selalu terjadi dialog tentang kebenaran yang hakiki yaitu Tuhan Yang Mahabenar. Hal ini dijelaskan dalam Bab VI Kitab Bhagawad Gita yang mengajarkan tentang Dhyana Yoga.

Dalam sloka (11), (12), (13), dan (14) disebutkan :
suchau dese pratishthapya
sthiram asanam atmanah
na ’tyuchchhritam na ’tinicham
chaila jina kusottaram
tatrai ’kagram manah kritva

yata chittendriya kriyah
upavisya ‘sane yunjyad
yogam atma visuddhaye
samam kayasirogrivam

dharayann achalam sthirah
samprekshya nasikagram svam
disas cha ‘navalokayan
prasantatma vigatabhir

brahmacharivrate sthitah
manah samyamya machchitto
yukta asita matparah

Artinya :
dengan teguh duduk di tempat yang bersih, tidak tinggi dan juga tidak rendah, ditumbuhi oleh rumput suci kosa, di atasnya kulit rusa dan kain silih bertindih.
Disana, dengan menyatupasukan hatinya, mengendalikan pikiran dan gerak pancaindria, ia bersila di atas tempat duduknya, melaksanakan yoga, menyucikan jiwa.
Dengan badan, kepala dan leher tegak, duduk diam tiada bergerak-gerak, tetap memandang ke ujung hidungnya, dan tanpa menoleh-noleh sekitarnya.
Dengan tenteram damai tiada gentar, teguh sebagai cantrik, menaklukkan hatinya dengan harmonis memikirkan Aku belaka, biarlah ia duduk, Aku jadi tujuannya.

Demikianlah Bhagawad Gita mengajarkan kita tentang konsep dasar dalam melakukan perenungan atau lebih dikenal dengan semadhi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan semadhi antara lain : 

Tempat yang nyaman, kalau di luar sebaiknya yang ada rumputnya dan di atasnya diletakkan suatu alas duduk yang empuk dan tidak tembus air, supaya duduknya nyaman, kalau di dalam kamar suci, sebaiknya pakai alas karpet dan bantalan dari busa yang empuk. 
Suhu udara tidak panas atau terlalu dingin. 
Posisi badan ketika semadhi tegak kokoh, mata setengah memejam memandang ke ujung hidung dengan muka tetap menghadap kedepan. 
Pikiran harus dikendalikan dengan selalu memikirkan Tuhan yang ada di dalam diri kita. 

Dengan pikiran kita melakukan dharma yatra ke tempat yang paling rahasia yang ada di dalam diri kita yaitu singgasananya Sang Saksi Agung atau Roh yang menghidupi kita.

Ditegaskan dalam Bab VI sloka (20), (21) berbunyi :
yatro ‘paramate chittam

niruddham yogasevaya
yatra chai ‘va ‘tmana ‘tmanam
pasyam atmani tushyati
sukham atyantikam yat tad

buddhigrahyam atindriyam
vetti yatra na chai ‘va ‘yam
sthitas chalati tattvatah

artinya:
disana dimana pikiran telah tenteram terkendalikan oleh konsentrasi yoga, menyaksikan Jiwa dengan jiwa, dan jiwa merasa dalam bahagia.
Dimana dijumpai kebahagiaan terrtinggi dengan intelek di luar kemampuan pancaidria, disana ia mencapai tujuan dan tiada lagi jatuh dari kebenaran.
Dalam sloka di atas, merupakan gambaran dari seseorang yang telah berhasil mencapai tingkatan seorang yogi, dimana dia sudah mempertemukan antara jiwa pribadinya (kawula) dengan Jiwa yang agung (Gusti) atau dengan kata lain "manunggaling kawula lan Gusti". Orang yang sudah mencapai tingkat kesadaran seperti ini, sudah terbebas dari hukum reinkarnasi, kecuali Tuhan menghendaki dia harus turun lagi kedunia dengan membawa misi tertentu.

Dalam Bab VIII sloka (10), (12) dan (13) kitab Bhagawad Gita dikatakan :
prayanakale manasa ‘chalena
bhaktya yukto yogabalena chai ‘va
bhruvor madhye pranam avesya samyak
sa tam param purusham upaiti divyam
sarvadvarani samyamya

mano hridi nirudhya cha
murdhny adhaya ‘tmanah pranam
asthito yogadharanam
aum ity ekaksharambrahma

vyaharan mam anusmaram
yah prayati tyajan deham
sa yati paranam gatim

artinya:
Dengan bermeditasi pada saat ajal tiba, pikiran tenang, tetap berbakti dengan kekuatan yoga dan nafas hidup tepat ada diantara kedua kening, ia mencapai Dia Yang Maha Suci.
Semua pintu gerbang dikuasai, pikiran dibatasi oleh hati, nafas hidup di kepala, tegak dalam konsentrasi yoga.
Dia yang mengucapkan aksara tunggal AUM yaitu Brahman, dan mengenangkan Aku sewaktu ajal telah memanggil kembali meninggalkan jasmani, pergi ke tujuan tertinggi.

Oleh karena Raja Marga atau jalan mistik lebih banyak mempergunakan sarana pikiran dan hati dalam tujuan berkomunikasi dengan alam gaib yang sifatnya halus, maka mereka yang menempuh jalan ini haruslah senantiasa berusaha membersihkan pikiran dan hati dengan sesering mungkin melakukan japa, melepaskan keterikatan nafsu terhadap duniawi yang semu dan cendrung menjebak serta membebani pikiran manusia untuk kembali ke sangkan paraning dumadi. Dunia gaib adalah dunia halus, semakin keatas semakin halus. Dengan tekad yang kuat, teguh iman dalam menghadapi godaan dan cobaan dengan mengunci pikiran agar setiap saat menuju kepada Tuhan, sehingga ketika kita berbicara dan bekerja, semata-mata hanya karena Dia. Semua nafsu pribadi (ego) dilenyapkan, bebaskan pikiran dari dualisme baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, kaya dan miskin, panas dan dingin, berdiri tegak dalam kebijaksanaan Tuhan, serahkan semuanya kepada Yang Maha Pencipta (Iswara prani dhana), maka atas restu-Nya, tujuan tertinggi Aham Brahman Asmi akan dapat tercapai. Orang dapat mencapai tingkatan ini adalah betul-betul merupakan manusia pilihan dari sekian banyak manusia yang sudah mencapai kesempurnaan. Diibaratkan, seperti tepung yang sudah halus, masih diayak lagi sehingga keluar yang terhalus. Disini, faktor kehendak yang sangat menentukan, siapa-siapa yang dipilih diantara mereka yang sudah mencapai tingkatan yang sempurna dalam kehidupan.

Bab VII sloka (3) kitab Bhagawad Gita menyebutkan :
manushyanam sahasreshu

kaschid yatai siddhaye
yatatam api siddhanam
kaschin mam vetti tattvatah
Artinya:
Diantara beribu-ribu manusia, hampir tak seorang mengejar kesempurnaan, dan diantara mereka yang berhasil, hampir tak seorang mengenal Aku dalam kebenaran.

Selanjutnya Bab VI sloka (47) mengatakan :
yoginam api sarvesham

madgatena ’ntaratmana
sraddhavan bhajate yo mam
sa me yuktatamo matah

Artinya:
Dan juga diantara semua yogi, dengan penuh kepercayaan menyembah Aku, dengan inti jiwa bersatu pada-Ku, ia adalah yogi terbaik bagi-Ku.

Raja Marga Yoga merupakan Puncak dari Bhakti Marga
Mari kita simak pertanyaan Arjuna kepada Kresna yang ditulis dalam kitab Bhagavad Gita Bab XII sloka (1) yang bunyinya :
Evam satatayukta ye
Bhaktas tvam paryupasate
Ye cha ‘py aksharam avyaktam
Tesham ke yogavittamah

artinya:
Jadi, penganut yang tawakal senantiasa menyembah Engkau, dan yang lain lagi menyembah Yang Abstrak, Yang Kekal abadi. Yang manakah lebih mahir dalam yoga?  
Ada keraguan dalam diri Arjuna tentang cara menyembah Tuhan. Mana yang lebih baik apakah menyembah Tuhan Yang Maha Abstrak yang jauh tak terbatas atau menyembah Kresna sebagai sang awatara Wisnu yang dapat dilihat dan diajak berbicara langsung oleh manusia.
Pertanyaan Arjuna tersebut dijawab oleh Kresna dalam Bhagavad Gita Bab XII sloka (2) yang berbunyi :
Mayy avesya mano ye mam
Nityayukta upasate
Sraddhaya parayo ‘petas
Te me yuktatama matah

Artinya:
Yang menyatukan pikiran berbakti pada-Ku menyembah Aku, dan tawakal selalu, memiliki kepercayaan yang sempurna, merekalah Ku-pandang terbaik dalam yoga.
Bhagavad Gita Bab XII sloka (3) dan (4) yang berbunyi :
Ye tv aksharam anirdesyam
Avyaktam paryupasate
Sarvatragam achintyam cha
Kutastham achalam dhruvam
Samniyamye ‘ndriyagraman
Savatra samabuddhayah
Te prapnuvanti mam eva
Sarvabhutahite ratah

Artinya:
Tetapi mereka yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak terumuskan, Yang Tak nyata, Yang Melingkupi segala, Yang Tak terpikirkan, Yang Tak berubah, Yang Tak bergerak, Yang Konstan, dengan menahan pancaindria, hawanafsu selalu seimbang dalam segala situasi, berusaha guna kesejahteraan semua insani, mereka juga datang kepada-Ku.
Dalam medalami makna dari sloka di atas, yang harus dikaji lebih teliti adalah terhadap obyek bhakti dan sembah, yaitu Tuhan Yang Kekal abadi dan Aku. Aku yang dijadikan tujuan dari sembah menurut sloka di atas bukan Sang Kresna yang berwujud manusia. Yang dimaksudkan dengan Aku adalah ATMA (bagian dari Roh Suci Tuhan) yang berdiam dalam diri manusia.

Banyak ayat-ayat weda dan sloka yang menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa berdiam di dalam diri manusia, Tuhan ada di dalam dan di luar diri manusia. Oleh karena itu, manusia dalam mencari Tuhan tidaklah perlu jauh-jauh dan tidak perlu melalui perantara makhluk lain, sebab Tuhan itu sangatlah dekat dengan kita. Pemahaman dan keyakinan inilah yang sangat penting untuk ditanamkan kepada diri kita dan generasi umat hindu kedepan, bahwa dalam mencari Tuhan Yang Maha Agung carilah terlebih dahulu bagian dari Roh Tuhan yang ada di dalam diri kita. Apabila kita sudah ketemu dengan Roh yang memberi kehidupan kepada kita, maka kita akan ketemu dengan Tuhan Yang Maha Agung.

Kesukaran pada orang yang pikirannya terpusat pada Yang Tak termanifestasikan jauh lebih besar, dibandingkan dengan yang memusatkan pikirannya kepada bagian Tuhan yang berdiam di jantung hati kita.

Sebagai bakta (orang yang senang berbakti), seharusnya mengerti betul tentang konsep bakti seperti apa yang dikehendaki sesuai dengan ajaran kitab suci. Apakah dengan membuat beraneka ragam sesaji, memotong berbagai macam binatang atau dengan mengasingkan diri ketengah hutan, itukah bakti yang dikehendaki oleh kitab suci?
Mari kita renungkan sloka (17), (18) dan (19) yang tercantum dalam kitab Bhagavad Gita Bab XII berbunyi sebagai berikut :
yo na hrishyati na dveshti
na sochati na kankshati
subhasubha parityagi
bhajtiman yah sa me priyah
samah satrau cha mitre cha
tatha manapamanayoh
sitoshna sukhaduhkheshu
samah sangavivarjitah
tulyanindastutir mauni
amtushto yena kenachit
aniketah sthiramatir
bhaktiman me priyo narah

Artinya:
dia yang tiada bersenang dan membenci, tiada berduka dan bernafsu apa-apa, membebaskan diri dari kebaikan dan kebatilan, penuh dengan kebaktian, dialah yang Ku kasihi. Dia yang sama terhadap kawan dan lawan, juga sama dalam kehormatan dan kecemaran, sama dalam panas dan dingin, suka dan duka, bebas dari belenggu keinginan semua, Sama terhadap puji dan maki, pendiam, prihatin pada apa adanya, tiada tempat tinggal, teguh imannya, yang berbakti begini inilah yang Ku kasihi.

Dari yang tersirat pada sloka-sloka di atas, dapat kita ketahui, bahwa pengertian bakti ternyata sangatlah dalam sekali yaitu menjadikan manusia pada posisi titik nol. Manusia yang sudah mencapai tingkatan nol (mati dalam kehidupan dan hidup dalam kematian), dia akan merasakan antara senang dan duka, kaya dan miskin, bagus dan jelek, tinggi dan rendah, segumpal tanah dan emas, pintar dan bodoh, semuanya sama. Dia sudah bisa melepaskan diri dari sifat dualisme. Inilah kebaktian puncak yang seharusnya dicapai oleh manusia. Namun demikian, untuk mencapai tingkatan bakti seperti yang dimaksudkan di atas bukanlah persoalan mudah, karena diperlukan tekad yang sangat kuat dalam mejalankan tapa, brata, yoga dan semadhi setiap hari. Janganlah konsep tapa, brata, yoga dan semadhi hanya dijadikan sebagai teori dan disimpan dalam otak sebagai perpustakaan maya, digembar-gemborkan ke segala penjuru arah, sebagai pemanis dharma wacana, akan tetapi harus dipraktekan, dilaksanakan, sehingga kita bisa merasakan dan menemukan sendiri hakiki dari tapa, brata, yoga dan semadhi tersebut. Bukan berdasarkan kata orang, kata penceramah atau kata Pendeta/Sulinggih, akan tetapi karena menemukan langsung didalam diri sendiri.

Bagaimana dengan pelaksanaan bakti dari umat hindu yang lebih menonjolkan symbol-simbol keagamaan, aneka ragam sesaji seolah-olah para gaib (bhatara dan dewa) perutnya sama besarnya dengan manusia, memotong hewan korban (caru) karena rasa takut terhadap para bhuta kala? 
Apakah itu bisa dikatakan salah? 
atau tidak sesuai dengan ajaran kitab suci? 
Lalu siapa yang berani mengatakan bahwa hal itu salah atau benar? 

Menjelaskan hal tersebut di atas, orang haruslah bisa seperti lautan yaitu mempunyai wawasan yang sangat luas dan mendalam secara hakiki (jembar nalar jero dalem).

Pelaksanaan bakti yang ada sekarang, dimana orang hindu (umumnya di Bali) cendrung memilih jalan material yang lebih ditonjolkan, tidaklah salah bagi mereka yang tingkatan jnananya baru pada tingkatan agama (sabda) pramana. Artinya, pelaksanaan bakti mereka baru pada tingkat pemahaman sebatas apa yang tersurat dalam kitab suci terutama lontar-lontar purana yang ada atau sebatas apa yang sudah diterima dari para guru, atau leluhur mereka. Apabila ada orang lain yang mengatakan hal tersebut salah, mereka pasti akan membantah dengan perasaan murka. Mereka yang dalam tingkatan ini, menjalankan bakti dan sembahyang masih pada tingkat sembahyang raga.

Lain lagi bagi mereka yang sudah melaksanakan anumana pramana (analisa, pencarian lebih dalam tentang sesuatu), mungkin jawabannya akan lain. Mereka ini sudah berada pada tingkat bakti dan sembahyang rasa dan sudah mendekati pada tingkat sembahyang cipta.
Bagi mereka yang sudah sampai pada tingkatan pratyaksa pramana, juga jawabannya akan sangat berbeda dan bahkan kontradiktif (berlawanan) dengan fakta yang ada, karena mereka sudah menyaksikan langsung kenyataan yang ada di alam gaib. Mereka yang sudah sampai pada tingkatan ini, bakti dan cara sembahyangnya sudah sampai pada tingkatan cipta dan sukma. Mereka menyaksikan bagaimana cara bhatara dan bhuta kala makan sesaji, apa sebenarnya kesukaan dari para gaib. Mereka sudah bisa berkomunikasi langsung dengan gaib dengan memakai bahasa bathin (bahasa rahasia). Pertanyaan yang patut kita jawab,
tidakkah ada niat dari kita untuk meningkatkan derajat kita sebagai manusia di mata Tuhan sehingga Roh kita bisa kembali kepada-Nya?
Bagi yang menjawab “ada niat”, disarankan cepat-cepatlah selesaikan dahulu 3 bagian dari catur Asrama, jadilah Murid yang baik (brahmacari) belajarlah berbagai pengetahuan (Veda), bangunlah keluarga yang bahagia dengan mempraktekan pengetahuan yang sudah dipelajari, selesaikan tugas-tugas sebagai orang tua dan anggota masyarakat (Grahasta) agar tiada lagi yang menggangu/terikat duniawi dan kemudian mulailah bijaksana dalam menjalankan dhrama (Wanaprasta) dan setelah masuklah Sanyasin. dengan memasuki Tahap Sanyasin ini, barulah Jalan Bhakti Murni dapat terlaksana saat itu janganlah menyembah kepada dewa, bhatara dan para leluhur, apalagi kepada bhuta kala. Menyembahlah hanya kepada Yang Maha Absolut yang menciptakan kita dan berada di dalam diri kita. Jangan menyembah selain Dia. Kepada para dewa, bethare, leluhur kita cukup hanya sebatas saling menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan (Tat Twam Asi). Inilah amanat suci dari kitab weda, apabila kita ingin dekat dengan Tuhan yang menciptakan kita.

Konsep pemahaman menyembah Tuhan melalui dewa, bhatara dan leluhur harus dihilangkan dengan alasan bahwa : pertama Tuhan ada di dalam diri kita dan kedua dewa, bhatara dan leluhur belum sampai pada tingkatan mengenal Tuhan yang sebenarnya, atau belum sempurna yang sejati. Sebaliknya, malahan kita yang harus mendoakan para bhatara dan leluhur yang dulunya adalah manusia dan masih membawa dosa ketika pulang ke alam kehidupan, agar segala dosanya diampuni dan dianugrahkan kesempurnaan kepada mereka.

Bagi saudara-saudara yang dalam proses mencari jati diri yang sejati, ini akan merupakan bahan renungan yang dalam ketika sedang berjalan mencari Yang Maha Rahasia. Akan tetapi, bagi saudara-saudara yang masih terkungkung dalam pola pikir sabda pramana, begitu kata lontar, begitu kata orang, anak sube keto dapet uling pidan (sudah begitu diwariskan dari dulu), saran ini akan dianggap racun yang akan merusak tatanan yang sudah ada sejak dulu. Hal demikian itu sangatlah wajar, karena sangat tidak mudah untuk merubah kebiasaan seseorang apalagi sesuatu yang menyangkut keyakinan dan kita semua haruslah sepakat, bahwa dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang menciptakannya (vertikal) adalah sangat individu, orang lain tidak bisa ikut campur. Namun demikian, sebagai manusia kita juga tidak baik terlalu egois hanya mementingkan hubungan vertikal saja, akan tetapi jauh lebih penting apabila kita bisa memelihara hubungan yang harmonis berdasarkan kasih diantara sesama manusia. Masyarakat di Bali sangat mencintai ajaran kasih yaitu Tat Twam Asi yang diwujudkan dengan menghaturkan sesaji kepada para bhatara dan bhuta kala. Akan tetapi, dalam mengimplementasikan ajaran kasih terhadap sesama manusia sangat berbeda dibandingkan terhadap para bhatara dan bhuta kala. Sesama manusia masih banyak yang saling iri hati, saling menghina, saling menjelekan, berebut warisan dan sebagainya, merupakan suatu fenomena tentang masih dangkalnya pengetahuan agama yang dimilikinya karena terselimuti rasa ego, sifat merasa bisa, loba, sirik, nafsu dan marah. Dalam perjalanan mencari jati diri yang sejati, hal-hal seperti di atas harus direnungkan secara mendalam. Pusatkanlah sembah dan bhaktimu hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa kalau kamu ingin bertemu Tuhan, tanpa perlu perantara siapapun.
Dalam Bab XII sloka (20) kitab Bhagavad Gita ditegaskan :
ye tu dharmyamritam idamyathoktam paryupasatesradhadhana matparamabhaktas te ’tiva me priyah

artinya:
Tetapi mereka yang dengan kepercayaan mengikuti ajaran dharma yang kekal abadi seperti tersebut tadi, dan menjadikan Aku sebagai tujuan mereka tertinggi, penganut yang begini inilah yang paling Ku-kasihi.
Dalam Rgveda X.121.8, dikatakan :
Yasvidapo mahima paryapasyadDiksam dadhana ganayantir yajnam,Yo devesvadhi deva eka asitKasmai devaya havisa vidhema.
Maksudnya:
Dewata yang manakah yang kita puja dengan persembahan ini?
Dewata yang dalam kemuliaan-Nya melihat air, memberikan kekuatan spiritual dan mendorong kita agar melakukan pemujaan, Tuhan Yang Maha Esa di atas para dewata. 

Kalau kita meyakini, bahwa tujuan utama dari ajaran Weda yang merupakan kitab suci bagi umat Hindu yaitu Aham Brahman Asmi, menyatunya roh yang ada di dalam diri kita kepada Roh Yang Agung (Parama Atman), maka ketika kita melakukan sembah, peikiran dan ucapan kita haruslah tertuju langsung kepada Tuhan, tidak lagi melalui perantara siapapun.
ini adalah tingkat Bakti terakhir yang dijalankan oleh umat yang menjalankan tahap kehidupan Sanyasin, yang sudah melepas keduniawian, melupakan keluarga dan materi yang ada.

3. Kesimpulan
Dari sloka-sloka di atas, makna yang terkandung adalah, betapa sulitnya perjalanan manusia dalam usahanya ketemu dengan yang menciptakan dia, yaitu Yang Maha Rahasia dan Maha Misteri, walaupun sudah diturunkan kitab-kitab suci yang dapat dijadikan sebagai penuntun mereka. Yang Maha Misteri tetap misteri bagi ciptaan-Nya.

Sebagai manusia, wajib berusaha untuk bisa merobah kodrat Tuhan, karena Tuhan tidak akan merubah keadaan seseorang tanpa ada usaha yang keras dari yang bersangkutan. demikianlah tentang Raja Marga Yoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar