Diksa Dwijati
Atharvaveda XII.I.I dan Yajurveda XIX, 36 dinyatakan:
“Satyam brhad rtam ugram diksa ya tapo brahma Yajna prithivim dharyanti”
Artinya:
Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma dan yajna itulah yang menyangga dunia.
“Vratena diksam apnoti, diksayapnoti daksinam, daksinam sraddham apnoti sraddhaya satyam apyate”
Artinya:
Dengan melaksanakan brata, seseorang mencapai diksa, dengan diksa seseorang
memperoleh daksina dan dengan daksina seseorang mencapai sraddha, melalui sraddha
seseorang mencapai satya.
Melalui proses diksa akan mengantarkan seseorang memiliki kewenangan belajar dan
mengajarkan Veda. Melalui pelaksanaan diksa seseorang menjadi Brahmana. “janmana jayate sudrah samskara irdvija ucyate” semua orang lahir sebagai Sudra , melalui diksa/dwijati seseorang menjadi Brahmana.
Pandita adalah orang yang telah mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan. Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih”
(su = utama; linggih = kedudukan).
Srutyuktah paramo dharmastatha smrtigato parah, sista carah parah proktas trayo dharmah sanatanah (Sarasamuscaya sloka ke-40)
Artinya: Maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali; kelahiran pertama dari rahim Ibu,
sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra. Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari. Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
1. Jnanabhyudreka (mengerti ajaran tattwa),
2. Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
3. Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).
Di Bali seorang Pandita di sebut Sulinggih yang artinya Iya yang sudah tercerahkan " jenek ring sarira " yang memiliki pandangan terang , yang pikirannya sudah terkondisi tidak terbang kemana mana.
Oleh karena itu di dalam proses mediksa ada proses Seda Raga yang artinya meninggalkan badan Jasmani dan lahir di badan Rohani .
Badan Rohani berwujud pengetahuan ( tubuh aksara ) karena itu lahir dari Guru Pengajian yang lumbrah di sebut Nabe.
Karena berbentuk Tubuh Pengetahuan maka dalam runutan Upacara Padiksan ada yang namanya Ngelinggihang Weda yang memiliki tujuan agar sang pandita nantinya memiliki pengetahuan tanpa batas .
Pengetahuan tanpa batas terdiri dari tertulis dan tanpa tulis sehingga memahami akan sekala dan Niskala yaitu alam wujud dan tanpa wujud.
Selanjutnya di lanjutkan dengan ritual mapulang lingga dan Negtegang lingga yang memiliki tujuan agar jenek ring sarira yaitu tegteg / enteg lingga ring sarira .
Tegteg , enteg , jenek ring sarira ini ke baos Su - Linggih.
MAPULANG / MAPASANG LINGGA
Ritual ini sudah umum kita ketahui ketika sepasang welaka memutuskan untuk mebersih, melakukan prosesi sedaraga, apodgala dwijati.
Karena itu marilah kita menghadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.
Maka setelah di upacara mejaya-jaya dan katapak oleh nabe, sang diksita wajib ngelinggihang weda. Upacara Ngalinggihang Weda bermakna ngalinggihang Sang Hyang Weda ke dalam angga sarira sang sulinggih. Dengan upacara tersebut, maka diharapkan puja weda mantra yang diucapkan sang sulinggih memiliki taksu atau kekuatan.
Proses Ngalinggihang Weda dapat juga dilihat sebagai evaluasi bagi sang sulinggih yang baru melinggih, atas kemampuannya dalam melaksanakan kewajiban melafalkan puja weda mantra, sikap, dan perilaku lainnya, yang mencerminkan kasulinggihannya. Prosesi tersebut diakhiri dengan penyampaian pesan-pesan tertentu oleh guru nabe, guru waktra, guru saksi kepada sang sulinggih yang bersangkutan.
Setelah ngelinggihang weda dilanjutkan metirta yatra dan kemudian Ida Pandita boleh ngeloka palasraya. Tetapi belum diperkenankan untuk melaksanakan upakara angentas. Ida Pandita 'wnang angentas' apabila Beliau sudah mapulang lingga.
~ Arga Patra ~
"Kunañ yan pasañ liñga kita; katiga sthānanya wnañ:
Yan riñ arp, wusniñ Gañga Dewi; Nista;
Yan turuñābushana, huwusiñ Dirghayūr; Mādhya;
Yan huwusiñ sañkèpi bhusana, Manandañ - Yajña - Sutra ña,
Lwirnya: mabhasma, mesampèt, maganitri; manandañ yajña - sutra ñaran: Lawe sawita, tkeñ ambuluñan, ika uttama yan APASAÑ LIÑGA."
Dalam Pustaka Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba juga disebutkan :
"Payoganira Sang Hyang Prmesti Guru; iniring dening prawaték Dewata kabeh, mredyaken uriping sarwa tumitah ring bhwana kabeh. Sang Purohita kabeh; ANGĀRGHĀ - APASAN LINGĀ saprakaranya, ........."
Selain itu, juga disebutkan:
"Wnanga Sang Purohita kabeh ma Ngarga Puja; ma Pasang Lingga sakramaniya".
Oleh sebab itu, Ida Pandita sebagai Purohita wajib mapasang lingga setiap Hari Raya Pagerwesi (Sang Hyang Pramesti Guru) dan Rahina Purnama Kapat (Bethara Prameswara, Sang Hyang Purusankara; Sad Gana beserta saktinya).
Sehingga setiap hari Ida Pandita wajib melakukan Surya Sewana dan jika boleh dianalogikan seperti Hp yang tidak hanya di charged ketika baru dibeli. Tetapi Hp tersebut juga harus di charged secara rutin agar daya hidupnya terus kuat.
Sebab demikian telah dituliskan dalam sastra Pustaka Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, maka itu merupakan kewajiban yang mesti dilaksanakan. Namun entah apa sebabnya, tidak semua Purohita / Ida Pandita melaksanakan Mapasang Lingga ini sesuai dengan Yang Diwajibkan.
Merujuk kepada cerita Chandra Bairawa, dimana Dharmawangsa diberi petunjuk oleh Bthara Siwa, letak Chandra Bairawa bersembunyi. Bagaimanakah Ida Pandita dapat melaksanakan upakara angentas, apabila Ida Pandita tidak mengetahui letak atma? Apabila tidak mengetahui letak atma, mampukah Ida Pandita mengantarkan atma tersebut bersatu dengan Brahman?
Sastra Pustaka Ida Bhatara Hyang Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba bagaikan undang-undang dasar bagi seluruh garis param para kapurusan, keturunan Griya Agung Bangkasa. Mari renungkan bersama. Sudahkah undang-undang dasar ini dilaksanakan dengan baik penuh kedisplinan? Karena dalam hukum apapun, setiap pelanggaran, selalu diikuti oleh sanki.
TANTANGAN PERUBAHAN YANG AKAN DIHADAPI SEORANG SULINGGIH DI
MASA DEPAN
Trend perubahan dunia yang akan melanda Bali dan khususnya sulinggih sebagai pendidik
masyarakat.
1. Persaingan kehidupan ke depan bukan lagi persaingan menggunakan kekuatan fisik,
melainkan persaingan menggunakan otak (logika dan rasional). Sulinggih harus siap
dengan pikiran-pikiran logika dan cendrung praktis. Orang akan mudah sekali
membanding-bandingkan dengan budaya luar yang sangat mudah diketahuinya melalui
media global seperti TV, internet dan sebagainya.
2. Kebutuhan kompetensi ke depan adalah kompetensi mencari, memilah dan mengolah
informasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan. Siapa yang mampu dengan
cepat mencari informasi dan mengolah informasi tersebut akan memenangkan persaingan menguasai dunia. Oleh karena itu sulinggih harus siap dengan banjir informasi saat ini.
Jangan salahkan sulinggih-sulinggih Hindu dari India akan membanjiri Bali, karena
mereka akrab sekali dengan IT.
3. Dalam persaingan dunia ke depan kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh seorang sulinggih adalah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan komputer atau media elektronik untuk segala keperluan. Jika terlambat maka Bali akan dibanjiri dengan
paham-paham Sampradaya dari India yang mendunia.
4. Dalam kehidupan global ke depan maka ketrampilan lain yang sangat penting harus
dimiliki oleh seorang sulinggih adalah keterampilan yang berkaitan dengan spiritual yang dibungkus dengan moral, sosial. Tanpa moral sangat sulit untuk menarik simpati
masyarakat, tanpa memiliki ketrampilan sosial sulit memperoleh kawan atau membentuk
link atau jaringan, dan tanpa ketrampilan spiritual sulit untuk bertindak jujur.
5. Kecerdasan emosi akan sangat menentukan keberhasilan orang dalam karir hidupnya
nanti di masyarakat. Penguasaan ilmu hanya menentukan 20% keberhasilan dalam karir
kehidupannya. Kecerdasan emosi dan ketrampilan spiritual justru akan menentukan 80% keberhasilan orang dalam karir kehidupannya. Oleh karena itu sulinggih harus memiliki ketrampilan mengendalikan emosi dalam menghadapi problematik kehidupan
bermasyarakat.
#tubaba@griyangbang//suluhhurip#
#matiraga//yoganindra#
Tityang dengan senang hati mengikuti setiap unggahan Jro Mangku Gde
BalasHapusMtr suksma