OLEH:
IDA SINUHUN SIWA PUTRI
PRAMA DAKSA MANUABA
Menyikapi mengenai poin 6. Apakah dibenarkan Napak menggunakan Daksina Nabenya, dalam hal ini Sang Sulinggih sudah
Meninggal, dengan tanpa memperhatikan ketiga Nabe (Saksi, Napak, Waktra) yang secara sekala melaksanakan prosesi penapakan. Guna kemudian hari tidak menjadi rancu dalam proses diksa dan penyebutannya dan tidak membuat polemik diantara Nanak ketiga Nabenya (mohon dijelaskan)?
Jawaban
Hal tersebut tidak dibenarkan, karena seseorang nanak sulinggih wajib memiliki Nabe tapak, saksi dan waktra secara nyata/sekala.
Masalah tapakan lingga yang digunakan napak itu saat pangastawan nya sudah ngelinggihang Ida Bhatara kawitan yang lebih tinggi dari pada tapakan apapun yang digunakan, sehingga proses penapakan secara niskala (dengan tapakan Nabe yang sudah meninggal) hendaknya tidak bisa diterima lagi oleh umat sebagai Hindu yang moderenisasi.
Sk dari PHDI yang lebih sah secara De Jure dan De Facto.
Karena dalam SK dari PHDI secara nyata tertera abhiseka Nabe Tapaknya.
De jure adalah istilah bahasa Latin yang berarti menurut hukum atau berdasarkan hukum. Sementara itu, de facto adalah istilah dalam bahasa Latin yang memiliki arti pada kenyataannya, pada praktiknya, atau faktanya.
Biarpun ada kesepakatan interen yang menyetujui itu tetap tidak sah. Sehingga yg dipandang sah adalah SK dari PHDI yang dikeluarkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar