Kamis, 07 April 2022

UJIAN TENGAH SEMESTER

UTS TAHUN AKADEMIK 2021-2022


NAMA MAHASISWA : 
NI NYOMAN GANDU NINGSIH 
(IDA SINUHUN SIWA PUTRI PARAMA DAKSA MANUABA) 

MATA KULIAH : ANTROPOLOGI AGAMA

HARI / TANGGAL : KAMIS, 7 APRIL 2022

BRAHMA WIDYA JURUSAN : TEOLOGI

PRODI : TEOLOGI HINDU

JENJANG : S1

SEMESTER : DUA (II) SORE B DAN DPS

JAWABAN

1. Yang menjadi dasar kajian dalam ilmu antropogi agama adalah “pengkajian agama berdasarkan pendekatan budaya”,”mengkaji manusia yang beragama”. Sekalipun, kajian antropologis tentang agama, terutama menurut pandangan-pandangan normatif (teologis), memunculkan persoalan, sebab dari satu sisi (teologi-keyakinan agama), agama bukan merupakan produka budaya, tetapi ia datang dan bersumber wahyu (Tuhan), semantara dari sisi lain (kajian antropoligis dan kaijan-kajian sejenisnya) menyatakan bahwa agama bisa berkembang dan dikembangkan oleh manusia yang “berbudaya”. Oleh karena itu, bagaimana agama dikaji berdasarkan pendekatan budaya tanpa mempersoalkan “benar” dan “salah”nya beragama. Jadi, bukan kebenaran ideologis atau keyakinan tertentu yang menjadi titik perhatian studi ini, melainkan kenyataan empiris yang nampak berlaku dalam kehidupan manusia.

Di dalam konteks masyarakat Indonesia secara keseluruhan, antropologi agama sebagai sebuah disipli ilmu masih kurang dikenal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, di antaranya yang terutama adalah kurangnya minat masyarakat terhada kajian-kajian agama dalam hubunganya dengan budaya, padahal perilaku-perilaku keagamaan, disadari atau tidak telah menjadi salah satu sumber terbentuknya kebudayaan; begitu pula sebaliknya, bahwa kebudayaan asal suatu daerah sedikait banyak telah mempengaruhi perilaku keagamaan manusia. Dalam konteks yang demikian, hadirnya antropologi agama tidak bertujuan untuk mendikotomi agama dan budaya, justeru hadirmnya antrpologi agam adalah untuk mengsinergiskan keduanya karena dapat menjelaskan perilaku-perilaku keagamaan manusia yang notabne membentuk manusia sebagai makhluk berbudaya dan beradab.

2. Antropologi sebagai ilmu, secara etimologi (bahasa) antropologi berasal dari kata anthropos yang bermakna manusia dan logos yang bermakna ilmu pengetahuan atau wacana. Sederhananya, antropologi adalah ilmu yang mempelajari segala macam seluk beluk, unsur-unsur, kebudayaan yang dihasilkan dalam kehidupan manusia. Ekonomi masyarakat, agama dan keyakinan, politik pemerintahan, fisik manusia, kesehatan, perkembangan teknologi dan sebagainya adalah ruang studi bagi Ilmu Antropologi. sehingga apabila kita cermati lebih dalam, kajian dan studi mengenai antropologi memang cukup luas cakupannya dan sangat dinamis.Ilmu Antropologi dibagi ke dalam dua sub yaitu antropologi fisik dan antropologi budaya. Antropologi fisik terbagi lagi menjadi paleoantropologi dan antropologi ragawi. Sedangkan antropologi budaya terdiri dari prehistori, etnolinguistik, dan etnologi. Sang maestro antropolog Indonesia mendefinisikan antropologi sebagai ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkannya.

3.Secara umum, antropologi dibedakan menjadi antropologi biologi, dan antropologi budaya.

#Antropologi biologi atau disebut juga antropologi fisik dalam arti khusus merupakan ilmu yang mencoba mencapai suatu pengertian tentang sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari ciri-ciri tubuh.

Bahan penelitian antropologi biologi terdiri dari ciri-ciri tubuh, seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi dan bentuk tubuh.

Selain itu, bahan penelitian antropologi biologi juga terdiri dari ciri-ciri tubuh bagian dalam, seperti frekuensi golongan darah.

#Antropologi budaya adalah cabang dari ilmu antropologi yang mempelajari kebudayaan pada umumnya.

Antropologi budaya juga mempelajari tentang berbagai kebudayaan pada bangsa di muka bumi, mempelajari bagaimana manusia berkebudayaan dan mengembangkan kebudayaannya sepanjang zaman.

4. Maksud dari agama tidak berada dalam realitas yang vakum dan selalu original yaitu agama yang menjadi bagian terpenting dalam hidup manusia merupakan pijakan sebuah landasan berangkatnya suatu keyakinan terhadap tuhan sang pencipta yang menciptakan sesuatu  dari yang tiada menjadi ada serta dari yang ada menjadi tiada begitulah fenomena yang bersifat universal serta  berlaku bagi ummat manusia. walaupun pada hakikatnya tidak ada sebuah masyarakat itu yang tidak mempunyai konsep tentang agama, dengan suatu perubahan sosial yang terus berkembang mengakibatkan eksistensi agama dalam masyarakat cenderung berubah. Sehingga menjadikan kajian tentang agama yang terus berkembang menjadi kajian yang penting untuk mengkajinya. Di karenakan sifat universalitas tentang agama itulah yang ada pada masyarakat maka masyarakatlah yang menjadi salah satu unsur pelengkap sebagai pemeran dalam kajian agama pada sektor faktor terpenting yang mengelilinginya. Seringkali juga kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan.  Sehingga tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat mendeskripsikan bagaimana bentuk realitas sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam agama Hindu, misalnya saja perayaan Galungan di Bali yang dirayakan dengan tradisi meaturan ke merajan wed-serambi bersilaturahmi kepada sanak keluarga-ini sebagai sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Sehingga pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan dengan tetap mengutamakan palsapah Tri Hita Karana. 

Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya.  

5. Durkheim menganggap agama hanya sebagai salah satu elemin konstruksi nilai yang menjiwai kehidupan masyarakat, atau dengan kata lain bisa agama bagi durkheim sebenarnya hanyalah entitas yang diperlukan dalam rangka menjaga keutuhan masyarakat, karena itu bagi Durkheim agama bisa saja digantikan eleh entitas lain sesuai keinginan masyarakat, bagi Durkheim hal penting dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya keharmonisan dan keutuhan masyarakat, dan dalam rangka itu maka diperlukan entitas-entitas untuk menupangnya yang salah satunya adalah agama.

Dari pemikiran-pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa ide-ide pokok 
Durkheim terhadap agama, yakni : (1) bahwa agama primitif adalah ”kultus klan, (2)
kultus adalah totemis, di mana totemis dan klan adalah merupakan bagian yang secara 
alamiah saling terkait, (3) bahwa Tuhan marga adalah marga itu sendiri, dan 
(4])totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif serta merupakan bentuk 
yang asli dari agama yang dikenal manusia, dengan maksud bahwa totemisme terdapat 
dalam masyarakat dengan kultur material dan struktur sosial yang paling sederhana yang 
harus dijelaskan tanpa meminjam elemen agama terdahulu. 

Pandangan Durkheim tersebut terpusat pada klaimnya bahwa ”agama adalah 
sesuatu yang benar-benar bersifat sosial”. Menurut Durkheim, bahwa ”fungsi sosial 
agama” tersebut ditemukannya melalui observasi terhadap bentuk-bentuk kepercayaan yang paling awal yaitu ”totemisme”. Dalam kepercayaan totemik tersebut terdapat ”ide-ide sosial dan keagamaan hanya hidup dalam kesadaran individu dan ide-ide tersebut 
perlu ditegaskan kembali melalui berbagai ritual agama agar hidup sosial terus berlanjut. 
Peristiwa-peristiwa ritual yang dicermati oleh Durkheim, bukan sebagai peristiwa yang 
melahirkan ide-ide tentang ”yang sakral”, tetapi sebagai suatu cara untuk mengukuhkan 
kembali fakta sosial dan khususnya ide-ide tentang klan yang telah ada sebelumnya serta 
semua simbol-simbol yang menyertainya. 
Dari pandangan Durkheim ini, dapat diketahui bahwa ritual-ritual keagamaan tidak 
lain adalah merupakan ”suatu mekanisme primer” untuk mengekspresikan dan 
menguatkan kembali sentimen dan solidaritas kelompok. 

Jadi seluruh pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya bahwa ”agama adalah sesuatu yang amat bersifat sosial”. Artinya, bahwa dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dengan mengikuti pola profan dan sacral, agama melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar