Kamis, 21 April 2022

TRI SADAKA

TRI SADAKA adalah gagelaran yang di gunakan oleh Sarwa PANDITA di Bali

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

Meskipun ada umat yang menganggap Dewa–Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:

ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam (Bhagawadgita, IX:23)

Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)

Dalam agama Hindu, Sampradaya (IAST: sampradāya) dapat diterjemahkan sebagai "tradisi" atau "sistem religius". Sampradaya berhubungan dengan pelayanan berturut-turut yang disiplin sebagai jalan spiritual dan mengandung jaringan hubungan yang rumit yang membuat stabilitas identitas religius menjadi jelas saat jaringan tersebut menjadi tidak stabil. Perbedaan utamanya adalah sebuah garis keturunan guru tertentu disebut parampara. Maka dari itu konsep sampradaya terkait erat dengan realitas yang konkrit dari guru-parampara - garis keturunan guru spiritual sebagai pembawa dan pemancar tradisi. Diksa (pelantikan) adalah sarana untuk dapat menjadi anggota suatu sampradaya, itu merupakan prosedur ritual.

Penganut Hindu di India sejak berabad-abad telah berkelompok-kelompok menjadi ratusan sekta antara lain: Siwa Sidanta, Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan lain-lain.

Maharesi Agastya seorang pemimpin sekta Siwa Sidanta menyebarkan pahamnya ke Indonesia pada abad ke-8, selanjutnya masuk ke Bali pada abad ke-10 kemudian disempurnakan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11 dan Danghyang Nirarta pada abad ke-14.

Sekta Siwa Sidanta menekankan pemujaan Lingga dengan tokoh Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) dan Tripurusa (Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa) sebagai inti.

Kitab suci Weda yang digunakan disebut Weda Sirah (pokok-pokok Weda). Setelah kedatangan Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta, mayoritas penduduk Bali adalah Sekta Siwa Sidanta.

Dr. I Made Titib (Ida Wedananda) dalam bukunya: Ketuhanan dalam Weda, Pustaka Manik Geni, 1994 di halaman 78 menyatakan bahwa sampradaya adalah sekta. Cuplikan kalimatnya sebagai berikut:

… Kitab-kitab seni sastra dalam bentuk puisi Sanskerta semakin banyak lagi setelah berkembangnya gerakan Bhakti melalui Sampradaya-sampradaya atau sekta-sekta yang berkembang pada masa sesudahnya …

Dictionary of American English, Longman, 95 Church Street, White Plains, NY 10601, 1983 menyatakan arti kata sekta sebagai berikut: Sect, agroup of people, sometimes within a larger group, having a special set of (esp. religious) beliefs.

Sampradaya-sampradaya yang ada di Bali dewasa ini dapat dikatakan suatu sekta baru (baca: lain dari Sekta Siwa Sidanta) jika mempunyai “special set of religious beliefs” yang berbeda dengan Sekta Siwa Sidanta, terutama yang menyangkut Tattwa, Susila, dan Upacara.

Sejak 1999 di Bali muncul istilah Sarwa Sadaka atau Sarwa Pandita sebagai cetusan keinginan kelompok-kelompok warga mendudukkan Sulinggih mereka sejajar dengan Pedanda (yang lebih populer sebagai Pendeta sejak zaman Dalem Waturenggong di abad ke-15). Kelompok ini menggunakan istilah Sarwa Sadaka/Sarwa Pandita sebagai counter Trisadaka pada jaman dahulu.

Istilah Trisadaka sejak berabad-abad telah ditafsirkan keliru, jika mengacu pada Lontar Eka Pratama yang menyatakan bahwa tiga kelompok Sadaka adalah: Sadaka yang berpaham Siwa, Sadaka yang berpaham Bauddha (Boddha), dan Sadaka yang berpaham Mahabrahmana (Bujangga).

Kekeliruan tafsir itu terjadi karena Sadaka yang berpaham Siwa dan Bauddha terlanjur diterjemahkan sebagai Pedanda Siwa-Boddha. Keterlanjuran itu membuat gerah para sisia Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dll. yang juga disyahkan sebagai Sulinggih yang berpaham Siwa. Yang dimaksud dengan berpaham Siwa adalah penganut Sekta Siwa Sidanta.

Menurut IDA SINUHUN SIWA PUTRA PRAMA DAKSA MANUABA, Griya Agung Bangkasa, Jalan Tangsub No.4 Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Abiansemal-Badung; menegaskan bahwa Trisadaka itu merupakan agem-ageman atau gagelaran sulinggih pada saat muput upacara.

IDA SINUHUN SIWA PUTRA PRAMA DAKSA MANUABA (keturunan langsung yang 8 dari Ki Dalang Tangsub), mebeberkan secara lugas tetang Tri Sadaka itu; menurut beliau Tri Sedaka itu sujatinya merupakan agem-ageman/tata lungguh, yaitu;

1. Sang sulinggih itu disebut menggunakan gagelaran BHUJANGGA saat beliau mulai mempersiapkan alat-alat pemujaan (siwaupakarana), membersihkan badan, tempat duduk, memakai wastra kuwuban, santog, lamak dan siap menghadapi upakara serta ngutpeti-stiti toya ring suambha, nedunan bhatara tirtha, mesirat ring angga ping tiga, ngremekin bija/bhasma dan menggunakan bija. Gagelaran BHUJANGGA=MUJA ANGGA/membersihkan/mensucikan diri.

2. Sulinggih disebut menggunakan agem-ageman Bodha saat beliau mulai  menggunakan sirowista, ngurip gentha, ngaksama bajra, waranugraha, apsudewa, pancaksaram stawa, gangga sindhu stawa, gangga dewi stawa, ngurip tirtha, sembah kuta mantra, ngastawa panca gangga panca dewata, nglukat banten, tirtha byakawon, tirtha durmangala, tirtha prayascita, tirtha pangulapan. Wawu sang sulinggih nganggen genitri, sirat bahu, anting-anting dan guduha, dilanjutkan pangastawan penuwuran bhatara bhatari. Gagelaran Bodha=ngargha tirtha

3. Sang Sulinggih disebut nganggen agem-ageman Siwa, setelah beliau ngelinggihang CATUR DASA SIWA RING ANGGA, memakai genitri dan menggunakan BHAWA sampai upacara selesai.

Penggunaan istilah Sarwa Sadaka/Sarwa Pandita sebagai counter Trisadaka (tiga kelompok pedanda di masa lalu) dalam upaya menunjukkan eksistensi Pandita Mpu, Rsi, Bhagawan, Dukuh, dan lain-lain.

Sebenarnya kurang tepat, karena pengertian Sarwa Sadaka dapat dirumuskan sebagai Semua Pendeta dari berbagai Sekta, kecuali kalau memang ada terkandung maksud di kemudian hari bila Sampradaya eksis sebagai Sekta, maka para Pendetanya mempunyai legitimasi yang sama dengan Sulinggih/ Sadaka yang ada sekarang.

Jika tidak demikian, istilah Sarwa Sadaka sebaiknya tidak digunakan, cukup dengan penegasan PHDI dalam bentuk bisama, bahwa yang dimaksud dengan Sarwa Sadaka adalah Sarwa Pandita/Sulinggih yang menggunakan tiga agem-ageman Bujangga, Boda dan Siwa setiap menyelesaiakan upacara di Bali.

Sehingga setelah sang sulinggih menggunakan ketiga gagelaran/agem-ageman (Bujangga, Boda dan Siwa) tersebut maka barulah sebuah upacara yang digelar dapat disebut selesai/puput kapuput olih sang meraga siwa.

#Tubaba@griya agung bangkasa#
#I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar