Minggu, 24 April 2022

NGENTEG LINGGIH



Upacara Ngenteg Linggih adalah upacara penobatan/mesthanakan Sang Hyang Widhi dengam segala manisfestasinya pada palinggih atau bangunan suci yang dibangun, sehingga beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan upacara di Pura yang bersangkutan. Ada dua jenis Ngenteg Linggih, yaitu :
Ngenteg Linggih Mamungkah berupa Upacara Ngenteg Linggih ketika sebuah Pura baru dibangun dan belum pernah diselenggarakan upacara tersebut.
Ngenteg Linggih Mupuk Pedagingan adalah Upacara Ngenteg Linggih yang dilaksanakan setiap 30 tahun sekali, dengan melaksanakan upacara menanam padagingan baru untuk merevitalisasi pura yang telah berdiri puluhan tahun sebelumnya
 Ngenteg Linggih Mupuk Pedagingan adalah Upacara Ngenteg Linggih yang dilaksanakansetelah selesai memperbaiki bangunan Pura

Nyukat genah : dengan banten ngeruak pejati ke luhur, beten caru brumbun

Dalam Siwatattwa yaitu dalam Lontar Jnanasiddhanta, mengatakan Ida Sanghyang Widhi dengan seluruh prabhawanya sebagai berikut :
‘Ekatwanekatwa swalaksana Bhattara. Ekatwa ngaranya kahidep makalaksana ng Siwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha. Caturdda ngaranya laksananira sthula suksma parasunya’

– sifat bhattara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya IA dibayangkan bersifat Siwatattwa, IA hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. IA bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai mahapencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah sthula suksma para sunya.


Dewa Siwa disebut juga Siwa Guru. Kata “Guru” (dalam Sansekerta Jawa Kuno) yang terdiri dari suku kata “GU” dan “RU”. GU artinya melenyapkan. RU artinya kegelapan. Sehingga kata “GURU” berarti melenyapkan kegelapan


Yadnya berasal dari kata sansekerta yaitu “YADN” yang berarti memuja, menyembah, berdoa, dan kurban suci. 
Pemujaan atau penyembahan ditujukan kepada jiwa yang lebih tinggi derajatnya seperti Tuhan dan para Dewa. Kurban suci yang ditujukan kepada spirit-spirit atau makhluk yang lebih rendah yang memiliki sifat yang baik maupun yang memiliki sifat buruk. Di samping itu yadnya bukanlah semata-mata bersifat ritual, tetapi juga tindakan atau kerja simbolis yang dipahami sebagai suatu konsep dalam rangka membuka jalan sublimasi diri.


Upacara Ngenteg Linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Upacara Ngenteg Linggih ditandai dengan membangun sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan banten suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52. jika di sanggar tawang sebagai tempat tirta, mesti dilengkapi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan rangkaian lainnya. pada undakan sanggar tawang bantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing (merah) dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. pada sanggar tawang memakai lamak 4 buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada ring paling utara. pada masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng (payung), tetunggul (umbul-umbul) empat warna : putih, kuning, merah, dan hitam. pada bangunan panggungan perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane di isi beras dan uang kepeng 225, benang setungkel dan memakai busana lengkap. perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,-, jerimpen 5 tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.
Banten dibawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. didepan lubang yang nantinya digunakan mepulang/menanam pedagingan, didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pula kerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteng, isu-isu, kwangi.
Pada sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi sang hyang widhi yang berstana di Sapta Patala (Nama pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebantenan di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. setelah semua perlengkapan upacara ini disiapkan, barulah pemujaan oleh sulinggih, kemudian di akhiri dengan persembahyangan bersama


Rangkaian upacara :
Upacara Mamangguh yaitu upacara mencari sebidang tanah yang cocok untuk dijadikan pura dengan memohon petunjuk dari sang hyang widhi. mamangguh asal katanya : "pangguh" atau "panggih" artinya menemukan. Mamangguh lebih cenderung diartikan sebagai menemukan bidang tanah secara niskala (niskala = tidak nyata).
Upacara memirak yaitu dilakukan untuk memohon ijin kepada sang hyang widhi guna membangun tempat suci dalam bentuk padmasana, sanggah, pamarajan dan pura. memirak berasal dari kata "pirak" artinya membeli.
Upacara Nyengker ini bermakna memberi batas luas tanah yang akan dijadikan bangunan tempat suci dengan cara membangun pagar keliling atau dengan menaburkan tepung beras putih. nyengker berasal dari kata  "sengker" artinya batas.
Upacara Mecaru bermakna sebagai korban suci/pengorbanan yang tulis ikhlas kehadapan Sang Hyang Widhi untuk keseimbangan dan keselarasan.
Upacara Melaspas dilakukan sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberikan alam beserta isinya untuk kebutuhan manusia berupa bahan-bahan keperluan untuk membangun tempat suci. 
Upacara mamangku bertujuan menyatukan bagian-bagian bangunan, mulai dari pondamen, tiang dan atap, sehingga berbentuk suatu bangunan, yang pada awalnya berupa tumpukan material saja. 
Upacara Ngurip bermakna untuk menghidupkan kembali segala sesuatu yang berasal dari alam, yang diguna sebagai bahan material untuk membangun tempat suci.
Upacara Masupati ini dilakukan untuk mensakralkan bangunan (Niyasa) dengan cara memohon kepada Sang Hyang Widhi agar diberikan kesucian dan nilai Magic.
Upacara Piodalan. Setelah Upacara Ngenteg Linggih dilanjutkan dengan Upacara Piodalan, yakni penyambutan yang pertama bahwa pura telah berdiri yang diikuti persembahyangan bersama. 
Upacara Nganyarin Upacara ini berlangsung sehari setelah hari Upacara Ngenteg Linggih dan Poidalan, berturut-turut setiap hari sampai upacara masineb. 
Upacara Mesineb Secara simbolis upacara telah berakhir, Sang Hyang Widhi diiringi para dewa dan roh suci para Rsi Agung dan roh suci leluhur kembali ke svarga atau kahyangan-nya yang sehati. 

Dalam Kitab Suci/Pustaka Suci Hindu di Bali, berupa Lontar-Lontar, antara lain “Pawarah Ida Bhagawan Agastya, ada tiga hal perbuatan yang akan mendapatkan/memperoleh Sorga, yaitu : Tapa, Yadnya dan Kirti. Tapa adalah mengekang hawa nafsu dasendrya. Yadnya adalah upacara-upakara, tiada lain menjalankan sraddha dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya termasuk kepada para leluhur (tarmalupeng pitra puja), dan Kirti adalah kemauan umat


Ngawit Karya
Mulai membuat jajan (mekarya sanganan), Nanceb sesalon dan mepasang Sunari serta membuat seluruh bangunan upacara seperti : sanggar tawang, surya, panggungan dan membangun tetaring. Mepasang Sunari untuk mengundang Sang Rare Angon dan para Bidadari (Widiadara-Widiadari) merupakan Dasa Nama Dewa Siwa. Mapasang Sunari erat kaitannya dengan upacara Negtegang Pedagingan, Ngingsah dan Mekarya Sanganan Suci.

Sunari, yang juga disebut Buluh Perindu, memiliki suara yang amat menarik karena enak didengar. Sunari ini juga merupakan Nyasa Wina, untuk mengundang para Widiadara-Widiadari,  atau mengundang ilmu pengetahuan baik Pengayah Lanang maupun Istri dalam kegiatan mengerjakan perlengkapan upakara agar selalu berdasarkan ilmu pengetahuan (Kepradnyanan) yang dianugerahkan para Widiadari-Widiadari. Widiadara-Widiadari ini adalah iringan Dewa Rare Angon Abhiseka salah satu Dasa Nama Dewa Siwa yang dalam hal ini abhiseka Dewa Siwa Guru yang mengajarkan semua ilmu pengetahuan kepada semua para Dewa termasuk kepada umat manusia sendiri. Rare Angon sering diterjemahkan sebagai anak penggembala yang dimaksud dalam hal ini adalah Dewa Siwa yang berwahana lembu

Nuwasen

            Pada hari ini Tukang Banten atau Ida Pedanda Istri, Wiku Tapini mulai membuat Jajan Catur yang akan dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Widhi, dalam prabawa-Nya Dewata Dewa Catur Loka Pala, yakni : Brahma, Wisnu, Mahadewa dan Iswara. Pada hari ini pengayah istri membantu (ngerombo) sesuai dengan petunjuk Ratu Pedanda Istri Tukang atau Wiku Tapini.

Ngentegang (Negtegang Pedagingan)

Negtegang Pedagingan adalah upacara untuk memohon keberhasilan dan kesuksesan, seluruh bahan atau material yang akan digunakan untuk upakara karya piodalan. Pada hari ini diselenggarakan pelaksanaan Mecaru Ayam Amanca, yang merupakan pemarisudha, agar areal upacara bebas dari gangguan kelabilan kekuatan alam yang diwujudkan sebagai pemurtian sang Panca Kala yakni : Bhuta Petak ring Purwa, Bhuta Abang ring Daksina, Bhuta Jenar ring Pascima, Bhuta Ireng ring Utara, dan Bhuta Brumbun ring Madyama.

Upacara Memungkah

Upacara Memungkah ini berkaitan dengan adanya Pemugaran Pamerajan (perbaikan secara menyeluruh) sehingga nampaknya seperti membangun peleban pamerajan baru.

Upacara Ngingkup

            Upacara Ngingkup bertujuan mempersatukan unsur Sekala dan Niskala, agar Ingkup atau Wahya dan Adiatmika, bersatu secara utuh, sehingga terwujud keselarasan, keharmonisan, keseimbangan antara unsur Hyang Widhi dengan seluruh manifestasi-Nya, yang bersthana di tempat suci bersangkutan. Upacara Ngingkup ini erat rangkaiannya dengan pelaksanaan pemugaran suatu pamerajan secara fisik selesai dibangun dilanjutkan dengan proses upacaranya dari upacara Memungkah, Melaspas, dan Makebat Daun, untuk menjadikan seluruh areal Pamerajan utuh secara spiritual sehingga pembangunan fisik areal Pamerajan menjadi ingkup, secara material dan spiritual.

 Upacara Melaspas

            Upacara Melaspas bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewata/Bhatara-Bhatari berkenan melinggih di Pura setiap saat terutama pada saat dilangsungkan upacara pujawali, sedangkan untuk membersihkan/mensucikan areal pamerajan secara niskala dilaksanakan upacara pecaruan.

            Pelaksanaan pemelaspas tergantung tingkatannya, mem-perhatikan kedudukan Pamerajan, ditentukan berdasarkan petunjuk para Pedanda sebagai Sang Yajamana, dikaitkan dengan adat setempat, yang telah berlangsung sejak dahulu agar pelaksanaan upacara menjadi lebih sempurna dan tepat.

 Upacara Mendem Pedagingan

            Upacara Mendem Pedagingan sebagai lambang singgasana Ida Bhatara-Bhatari yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu pelinggih dengan pelinggih lainnya tidak sama, tergantung jenis bangunan pelinggih, termasuk jenis bebantennya.

Upacara Memben Banten

Upacara Memben Banten sekaligus termasuk upacara pemelaspas adalah upakara sebagai sedana bhakti yang dipersembahkan pada puncak karya (murdaning karya).

Mecaru Rsi Gana (Bhuta Yadnya)


            Pengertian Caru Rsi Gana adalah Caru, dalam bahasa Sansekerta berarti manis. Sedangkan persepsi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali, caru adalah korban untuk kepentingan yang lebih besar. Dalam praktik, caru memang berupa binatang seperti ayam, itik, dan lain-lain. Suatu pengorbanan yang dilandasi itikad baik untuk kepentingan jagad, dan dapat dikatakan sebagai pengorbanan suci. Jadi, caru adalah pengorbanan suci untuk mewujudkan alam, lingkungan, serta kehidupan yang manis dalam arti harmonis, seimbang dan serasi sehingga menimbulkan rasa indah membahagiakan. Rsi Gana adalah nama Dewa yang disucikan dalam Agama Hindu. Dalam Lontar Siwa Gama diceritakan bahwa Dewa Gana juga disebut Ganesa. Mecaru Rsi Gana adalah persembahan untuk menetralisir kekuatan alam yang dapat mengganggu areal pemujaan. Gana adalah putra Siwa dengan sakti-Nya Dewi Parwati yang berfungsi sebagai Dewa Pemusnah rintangan. Dalam dasa nama, Dewa Gana disebut juga Awigneswara (Raja Pemusnah Rintangan).  Caru Rsi Gana bukan caru yang dipersembahkan kepada Dewa Gana, tetapi Bhuta kala. Dewa Gana dimohon kehadiran serta anugerah-Nya untuk mengubah kekuatan Bhuta Kala, yang cenderung merusak, menjadi kekuatan welas asih, yang melindungi serta memberikan kebahagiaan. Salah satu mantra pengastawa Sang Hyang Gana berbunyi :

 Sarva visa vinasanam, kala drngga-drnggi patyam, parani rogani murcchantam, trivistapopajivanam.

– semua racun (penyebab penyakit) menjadi netral, yang angker-angker hilang, setiap penyakit yang disentuh lenyap serta memasukkan kekuatan yang melindungi jiwa.

Demikianlah persembahan caru Rsi Gana tujuan spiritualnya untuk memusnahkan seluruh bentuk dan jenis rintangan.

Upacara Mendak Tirta

Upacara Mendak Tirta disebut juga Nuwur Ida Bhatara Tirtha, mengundang prabawa Hyang Widhi dalam wujud sebagai manifestasi (ista dewata) yang melingga di pura-pura kahyangan jagat di Bali dan Jawa.

Upacara ini bertujuan memohon tirtha di pura-pura kahyangan jagat Bali, sebagai manifestasi  (dewata) yang diundang untuk disthanakan (kajejeran ring sanggar tawang) dalam persembahan pemujaan Karya. Untuk itulah pada saat menyelesaikan seluruh eed karya seyogyanya mengadakan Tirtayatra ke tempat-tempat / pura-pura yang tirtanya dituhur / dipendak sebagai wujud rasa syukur atas terselesaikannya yadnya yang diselenggarakan.


Upacara Nedunan Ida Bhatara (Dewa Yadnya)

            Dalam pelaksanaan upacara ini secara skala (kenyataan) para pemangku merias pratima, jempana setelah dikeluarkan dari gedong penyimpenan (nedunan) untuk mempersiapkan upacara, pengawin lelontek, umbul-umbul duwen Ida Bhatara yang diperlukan untuk upacara melasti keesokan harinya.

Bagia Pula Kerthi

Pemelaspas, Pemendakkan dan Penanaman Bagia Pula Kerthi mempunyai makna setiap pekerjaan yang baik (misalnya melaksanakan yadnya ataupun perbuatan lain yang tanpa pamerih, yaitu Kerthi) pasti lambat laun atau cepat akan membuahkan kebahagiaan.

Dengan cara menanamkan di tempat suci akan memberikan kebahagiaan suci, spiritual dan material bagi lingkungannya. Ini juga mengarahkan agar mereka yang ada dalam lingkungan itu giat bekerja bersama-sama dengan hati yang tulus. Tanpa bekerja yang tulus (Kerthi) tidak mungkin akan membuahkan kebahagiaan.

Upacara Melasti (Dewa Yadnya)

Upacara Melasti juga disebut Mekiyis atau Mekekobok ke segara. Di dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa tujuan upacara ini adalah nganyudang malaning miring gumi, angemet merta ring telaning segara (menghanyutkan kekotoran dan mendapatkan air kehidupan (amertha) dari tengah laut). Pada hari ini juga dilaksanakan persembahan dan pemujaan Tawur Sapta Rsi. Wiku pamuput pemujaan dan persembahan Tawur Sapta Rsi, sesuai dengan istilah Tawur Sapta Rsi itu pemuputnya terdiri dari Tujuh Rsi atau Pedanda.

Tujuan utama upacara ini adalah  memohon “sarining amertha kamandalu” yaitu mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, sari-sari kehidupan sebagai sumber kebahagiaan lahir dan bathin.

Di samping itu upacara melasti itu melambangkan penyucian segala alat-alat perlengkapan upacara dan penyucian sepanjang jalan yang dilalui upacara Melasti itu.

Upacara ini menggunakan penawaratna yang berkaitan dengan sanggar tawang tempat ngadegang Hyang Parama Siwa dan sesuai dengan tingkat caru yang dipersembahkan, memakai sarana kerbau dan binatang lainnya.

Upacara Tawur (Bhuta Yadnya)

Upacara ini tujuannya meningkatkan dan mempermulia segala isi alam dari yang negatif agar menjadi positif untuk keseimbangan ekosistem. Sebab dalam alam yang ekosistemnya seimbang itulah manusia akan memperoleh kehidupan yang bahagia lahir bathin.

Di samping itu kekuatan-kekuatan roh yang negatif dapat dimulyakan sehingga tidak mengganggu kehidupan spiritual manusia, bahkan sebaliknya dapat membantu manusia dalam kehidupannya (bhuta ya, dewa ya). Mengorbankan binatang yang sedang disayangi adalah lambang keikhlasan manusia untuk mengabdi kepada alam, karena manusia telah banyak mendapat kehidupan dari alam ini.

Dengan mengorbankan binatang yang disayangi berarti melepaskan ikatan sifat-sifat keraksasaan, keserakahan manusia. Kalau dunia ini dihuni oleh manusia-manusia yang serakah, yang tidak pernah ikhlas berkorban, alam ini serta kehidupan manusia akan bahaya dan akhirnya  sengsara.

Melenyapkan keserakahan dengan menumbuhkan rasa ikhlas itulah arti dan makna upacara Tawur. Menggunakan binatang-binatang yang sulit didapat adalah lambang kesungguhan hati, melestarikan dan mempermulya segala unsur alam demi kehidupan manusia.

Pelaksanaannya harus dengan kesungguhan hati, baik memohon kehadapan Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam usaha-usaha konkrit seperti melindungi sumber-sumber air, menjaga kelestarian tumbuh-tumbuhan di hutan, di ladang, di sawah dan lain-lainnya. Menjaga kesuburan tanah dan memelihara binatang yang amat dibutuhkan dalam hidup ini adalah tujuan Tawur. Upacara ini juga menggunakan penawaratna, berkaitan dengan sanggar tawang tempat ngadegang Hyang Parama Siwa dan sesuai dengan caru yang dipersembahkan yang memakai sarana kerbau dan binatang lainnya.

Sate Tungguh/Sate Tegeh/Gayah

Sate Tungguh, atau yang lainnya, dipakai dalam rangkaian Bhuta Yadnya. Sate Tungguh (Tegeh) merupakan perkembangan banten Bebangkit. Bebangkit adalah simbol energi. Tetapi, Sate Tungguh adalah energi yang masih bersifat negatif, yang kemudian menjadi positif setelah diberikan puja mantra oleh Ida Pedanda dengan diberi laba caru yang ada di bawahnya. Karena masih bersifat Negatif maka sarananya dibuat dari daging babi. Daging babi dalam agama Hindu bersifat tamas, yaitu negatif. Atribut-atribut penting dalam Sate Tungguh ini antara lain berbentuk sate babi dalam berbagai hitungan menurut kiblat penguasa penjuru angin, yaitu Dewa Nawa Sanga dengan segala macam senjatanya. Ada berbentuk daging jejaring, isin jeroan babi, kober (bendera), payung dan lain-lainnya yang menggambarkan isi bhuhloka (Mayapada) yang bersifat Tamas (negatif).

Pregembal/Sarad

Pregembal, atau yang terbesar, disebut Sarad. Wujud upakara ini bersifat sattwam (positif) diletakkan berdampingan dengan Sate Tungguh, menggambarkan unsur negatif dan positif senantiasa berdampingan dalam kehidupan. Sebagaimana aliran listrik untuk menerangi lingkungan. Karena bersifat sattwam (positif), maka bahannya pun harus bersifat demikian, yaitu beras yang dijadikan tepung dengan warna-warna tertentu. Tepung berwarna itu, dibentuk kedalam bermacam-macam misalnya wujud berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia (Cili), Planet, Bidadari, dan lain-lainnya yang menggambarkan isi alam semesta. Bentuk keseluruhannya adalah bentuk gunung. Gunung adalah simbol kesucian, sekaligus pusat orientasi kerahayuan (kemakmuran). Semua isi gunung  tercermin di dalam Pragembal, sebagai simbul Bhuana Agung. Ditambah lagi dengan bentuk senjata-senjata Dewa Nawa Sanga untuk mengimbangi persenjataan Sate Tungguh.

 Sate Tungguh sampai Gayah didampingi Pragembal sampai Sarad, merupakan simbol keseimbangan kehidupan yang menciptakan kebahagiaan, yaitu Tri Hita Karana. Hal ini merupakan harapan agar manusia mengerti dan hidup seimbang spiritual dan material. Dengan hidup spiritual dan material secara seimbang maka hidup manusia akan mapan.

Upacara Mapedanan (Manusa Yadnya)

Upacara ini, dilaksanakan dengan cara berjalan beramai-ramai merebut benda-benda di “Pedanan”. Merupakan lambang untuk melepaskan diri pribadi dari sifat-sifat yang tidak baik. Segala sifat tidak baik, itu disalurkan ke dalam upacara dengan benda-benda di Pedanan, diharapkan sifat-sifat yang negatif yang melekat pada diri pribadi masing-masing hilang lenyap sehingga manusia menjadi suci ikhlas, tidak serakah. Di samping itu ada unsur “Dana Punia” yang diberikan kepada orang-orang lain diluar keluarga yang melakukan upacara Pedanan ini atau Keluarga Besar Grhya Jero Gede Sanur. Mereka dari keluarga yang bersangkutan tidak boleh ikut berebut suatu apapun. Mereka harus mementingkan orang-orang diluar lingkungannya.

 Upacara Mapepada (Bhuta Yadnya)

Tujuan utama upacara ini adalah menyucikan secara ritual binatang-binatang yang akan dijadikan kurban secara lahir bathin. Karena itu, binatang diupacarai dengan “Sesaji Biyakala”, lambang lahiriah dan “Upacara Prayascita” lambang penyucian rohaniah. Sesudah itu dilakukan upacara Mejaya-jaya, lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan agar roh hewan yang akan dijadikan kurban mendapat tempat yang layak sesuai dengan fungsinya sebagai binatang kurban untuk tujuan yang suci. Terakhir dilakukan upacara Daksina yaitu keliling tiga kali dari timur ke selatan yang melambangkan bahwa upacara ini benar-benar menuju kesucian. Berputar tiga kali ke kanan sebagai jalannya jarum jam adalah lambang menuju jalannya Tuhan

Upacara Ngenteg Linggih (Dewa Yadnya)

Ngenteg Linggih merupakan rangkaian upacara paling akhir dari pelaksanaan upacara Pamungkah. Secara etimologis, Ngenteg Linggih (Menetap Linggih) berarti menobatkan / mensthanakan. Jadi Ngenteg Linggih adalah upacara Penobatan / Mensthanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat, terutama saat segala kegiatan upacara di Pemerajan atau Pura dilangsungkan.

Upacara Makebat Daun

Persembahan dan pemujaan pada hari puncak karya ini adalah Upacara Makebat Daun. Sesuai dengan sebutan “Makebat Daun” berarti membentangkan sehelai daun. Upacara Makebat Daun ini harus dilakukan bersamaan dengan rangkaian upacara Pemelaspas dan Ngenteg Linggih. Inilah puncak proses penyucian pembangunan Pamerajan setelah pemugaran dengan unsur-unsur dan struktur pelinggih.

Untuk betah tinggal (Enteg Melinggih) setelah upacara Melaspas patut dipersiapkan sehelai tikar ataupun alas. Inilah puncak hakekat daun itu sehingga Pamerajan sebagai Isthana Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi-Nya, menjadi utuh.

Upacara Bhatara Tedun ke Peselang (Peselang = Pinjaman)

Upacara Ida Bhatara Tedun ke Peselang adalah Yasa Petemon Hyang Widhi dalam Prabawa Semara Ratih, untuk menciptakan dunia ini dengan segenap prabawa-Nya. Upacara ini sebagai wujud cinta kasih Hyang Widhi Wasa dengan segala bentuk jenis ciptaan-Nya, yang menyebabkan manusia hidup dengan makmur dan sejahtera. Dewa Semara Ratih  (Kamajaya-Kamaratih) dipujakan dengan warna yang serba Kuning sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Juga upacara ini menyimpulkan bhakti disambut asih dari Hyang Widhi Wasa sebagai jiwa seluruh alam dan sebagai sumber kehidupan di Tri Bhuana ini. Jiwa kita ini pun adalah pinjaman dari Hyang Widhi Wasa

Upacara “Mapeselang” ini adalah lambang bertemunya Hyang Widhi Wasa dengan umat manusia, melimpahkan karunia-Nya berupa cinta kasih. Cinta kasih Hyang Widhi Wasa kepada umat-Nya telah terbukti dalam bentuk Pencipta dunia beserta isinya, dengan kekuatan-kekuatan sucinya mengatur dunia ini. Beliau menciptakan : gunung, laut, danau, hutan, sawah, ladang, matahari, segala materi yang berharga serta semuanya merupakan kekuatan kehidupan manusia. Inilah bentuk cinta kasih Tuhan untuk umat manusia.

Dalam upacara “Mapeselang” Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam wujud Purusa Predana sebagai Dewa Semara Ratih, lambang dewa Cinta kasih.

Upacara Nganyarin (Penganyar)

Upacara Nganyarin adalah persembahan setiap hari (penyabran) selama Ida Bhatara-Bhatari nyejer. Persembahan bhakti penganyar merupakan persembahan yang baru (anyar).

Upacara Ngeremekin

Ngeremekin berarti menghancurkan. Upacara ngeremekin berarti  menghancurkan sisa-sisa upacara, berupa sampah (lulu), terutama sisa persembahan Tawur Agung. Biasanya dilaksanakan pada hari ketiga. Selain kegiatan itu, juga ada persembahan bhakti pengeremek selaku upacara atur piuning bahwa rangkaian upacara pokok telah berakhir.

 Upacara Nyenuk

Upacara Mendem Bagia Pula Kerthi diakhiri dengan upacara Bhatara Masineb setelah itu diadakan upacara Nyenuk, yang berarti datang melihat. Upacara ini merupakan rangkaian akhir persembahan dan pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi-Nya yang tuwur dalam persembahan dan pemujaan itu.

 Upacara Nyegara Gunung (Meajar-ajar)

Upacara Nyegara Gunung disampaikan kepada Segara dan Gunung Yasa Lingga Yoni. Gunung dalam konsep filsafat Siwa sebagai Lingga Acala (Lingga yang diam). Sedangkan Laut adalah Yasa Yoni. Gunung dan laut merupakan sumber kehidupan dan kemakmuran sehingga umat manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk mempersembahkan Yadnya, dan untuk kehidupan manusia itu sendiri.

Upacara Rsi Bhojana (Rsi Yadnya / Rsi Rna)

Upacara ini merupakan ucapan terimakasih kepada semua pendeta yang telah memimpin upacara, misalnya upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya. Bentuknya bermacam-macam, misalnya makanan, pakaian, perlengkapan sehari-hari, seperti payung lampu dan lain-lainnya.
Banten rsi bojana ala griya Penatih :
tamas, aled, raka, ceper isi nasi, 3 nasi mekelongkong ditancepi bunga jepun sampyan ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar