Rabu, 20 April 2022

Karya Ngenteg Linggih

Di dalam pelaksanaan suatu Yadnya, berdasarkan Pustaka Lontar yang dipakai pedoman dalam pelaksanaan suatu Yadnya, disebutkan sebagai berikut :

Lontar Dewa Tattwa :

“Anakku para Mpu Danghyang, yan mahyun tuhwa janma, luputing sangsara papa, kramanya sang kuminkin akarya, kanistha madhya uttama, manah lega dadi hayu1), haywa angalem drewya2), mwang kumagutaning kaliliraning wang atuha3), haywa angambekaken krodha4), mwang ujar gangsul5), ujar menak juga kawedar de nira6), mangkana kramaning angarepaken karya, haywa simpangning budhi7), mwang rodra8), yan kadya mangkana patut pagawennya, sawidhi widhananya tekeng taledanya mwang ring sesayutnya, maraga dewa sami, tekeng wewangunannya sami”.

(Anakku para Mpu Danghyang (Pendeta), jika berkeinginan menjadi orang utama, agar supaya bebas dari neraka, inilah prilaku melaksanakan yadnya, baik yang tingkatan sederhana, menengah ataupun utama, hendaknya berpegang pada; 1) berdasarkan pikiran yang suci dan tulus ihlas, 2) jangan terlalu sayang pada harta benda, 3) jangan menentang nasihat orang-orang tua, 4) jangan marah, 5) jangan berkata ngawur, 6) berkatalah yang lemah lembut, 7) jangan tidak mempunyai keyakinan, 8) jangan berkata kasar, demikianlah yang harus menjadi pegangan, apapun yang dipersembahkan, baik berupa sesayut, diterima oleh Hyang Widdhi, termasuk peralatannya semua).

Lontar Yadnya Prakerti :

“Ling Bhatara : Uduh sira sang umara yajna, sang parama kerti, sang akinkin akertiyasa, nguniweh ta kita sang anggaduh gaman-gaman, rengo lingku mangke, daksun warah ri kita parikramaning bhakti, astiti ring gama tirtha, haja sira tan mamituhu ring linging sastra, tan tinuta ring ujar sang brahmana pandita, apan sira wenang tinut, wenang pituhu denta, apan sira maweh titah sira wenang. Kumwa lingku nguni, bhakti astithi pwa kita ring bhatara, haja tan pasodhana, tan pajamuga, tan pasloka sruti mwang samreti, ikang widhi widhana ngaran ikang sarwa bebanten, haja sira abanten tan diniksan de sang brahmana pandita, haja tan sinirati tirtha saka ring brahmana pandita, apan sira brahmana pandita kewalya putusing sarwa yajna sarwa puja”

(Sabda Bhatara : siapa saja yang akan melaksanakan yadnya, berbuat jasa berprilaku yang baik, lebih-lebih yang berpegang teguh pada agama, dengarkanlah baik-baik titah Ku, Aku berpesan kepada orang-orang yang melaksanakan yadnya, lebih-lebih yang beragama Hindu, berpegang teguh kepada Sastra, janganlan menentang perintah pendeta, beliaulah yang patut dipercaya, karena beliau memahami hakekat yadnya. Hendaknya anakku selalu bakti kepada Hyang Widdhi, jangan berperasaan iri, jangan gegabah, jangan tanpa Sloka, Sruti dan Smreti, upakara bebanten hendaknya dipersembahkan kepada Beliau. Widhi Widhana artinya bebanten, janganlah mempersembahkan bebanten tanpa disucikan oleh pendeta, hendaknya mendapat percikan tirtha pendeta, karena beliau (pendeta) memahami sastra baik bebanten maupun puja mantranya).

Lontar Panca Walikrama :

“Kayatnakena haywa sulah-ulah lumaku, ngulah subal, yan tan hana bener, anut ling ning aji, nirgawe pwaranya, kawalik purihnya ika, amrih hayu abyakta matemahan hala. Mangkana wenang ika kapratyaksa de sang adruwe karya, sang anukangi, sang andiksani, ika katiga wenang atunggalan panglaksana nira among saraja karya. Haywa kasingsal, apan ring yajna tan wenang kacacaban, kacampuhan manah weci, ambek bhranta, sabda parusya. Ikang manah sthiti jati nirmala juga maka siddhaning karya, margining amanggih sadhya rahayu, kasiddhaning panuju, mangkana kengetakna, estu phalanya”.

(Hendaknya waspada, janganlah salah jalan, jangan cepat-cepat selesai, jangan berbuat yang tidak wajar, hendaknya berpegang teguh dengan Sastra, jika tidak, akan tidak berpahala yadnya itu, terbalik hasilnya, bertujuan keselamatan tapi neraka dijumpai. Demikianlah yang hendaknya dipegang teguh oleh Sang Adruwe Karya, Sang Anukangi dan Sang Andiksani, ketiganya itu harus menyatu dalam pelaksanaan suatu yadnya. Janganlah bertengkar,, karena yadnya itu tidak boleh dikotori, oleh pikiran jahat, pikiran bingung, kata-kata yang tidak menentu. Hanya pikiran yang suci, yadnya itu akan berhasil mencapai keselamatan, berhasil sesuai dengan tujuan, itulah yang harus diingat, pasti berpahala kebaikan).

Tri Manggalaning Yadnya

Sesuai dengan petunjuk pustaka di atas, bahwa ada tiga yang penting agar yadnya itu dapat berjalan dengan baik. Adanya Sang Adruwe Karya (Pangrajeg), adanya Tukang Banten (Tapeni saha Sarati), adanya Sang Andiksani (Yajamana/Sadhaka). Ketiganya itulah yang disebut Tri Manggalaning Yadnya.

Sang Sadhaka/Yajamana/Sang Andiksani, adalah Sulinggih (Pendeta), yang mempunyai wewenang sebagai pimpinan Yadnya. Beliaulah yang memberikan tuntunan dalam pelaksanaan yadnya.
Sang Tapeni, adalah sulinggih wanita, yang bertugas memimpin dalam pembuatan upakara bebanten. Beliau ini dibantu oleh Sarati Upakara/Tukang Banten, Tukang Wewangunan, Tukang Olah (Dharma Caruban),Tukang Rerajahan/Gambar dan Sekaa Gegitan/Kidung Kekawin, Pragina, Juru Tabuh. Kelima ini disebut dengan Panca Agra (Pancagra).
Sang Adruwe Karya, adalah orang yang melakukan yadnya.
Upacara Dewa Yadnya

Proses pelaksanaan Dewa Yadnya disebut dengan Upacara Yadnya, di Bali lebih dikenal dengan sebutan Eedan Yadnya. Dalam Upacara Dewa Yadnya, ada prosesnya atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan, seperti :

Upacara Matur Piuning.
Upacara Nyukat/Mabhumisudha.
Negtegang – Pangalang Sasih – Magurudadi – Mapasang Sunari – Ngadegang Bhatari Tapeni – Rare Angon.
Ngingsah/Nyangling/Nyuciang beras
Nuhur Tirtha Pakuluh (Ida Bhatara Maraga Tirtha)
Mlaspas, Mapadagingan, Bagia Pulakerti
Mendak ring Marga Tiga
Malasti
Mapepada
Tawur dan Padanan
Ngenteg Linggih
Panyenukan
Mangun hayu, Ngremek, Makebat Daun, Ngebek
Nyegara Gunung
Rsi Bhojana
Upacara Matur Piuning

Maksudnya : para penyiwi/umat, mulai berjanji dan berketetapan hati untuk melaksanakan yadnya. Umat penyiwi telah siap lahir bathin untuk melaksanakan upacara yadnya dan mohon anugrah tuntunan kepada Ida Sanghyang Widhi (niskala) dan kepada Sang Yajamana, agar upacara dapat berjalan dengan mulus tanpa rintangan. Pada saat ini juga dilakukan persembahan yaitu Guru Piduka dan Bendu Piduka

Upacara Nyukat/Mabhumisudha

Maksudnya : mensucikan tempat areal upacara dengan Caru, agar para bhuta kala yang ada di tempat tersebut tidak menghalangi dan somya, sehingga dapat membantu jalannya upacara. Setelah itu melaksanakan Nyukat atau mengukur tata letak bangunan-bangunan, seperti : Sanggar Tawang, Panggungan, Bale Padanan dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini Undagi/Tukang Wewangunan, dapat mengerjakan dengan baik dan mulai melaksanakan pengendalian diri (bebratan), sesuai petunjuk sastra.

Negtegang – Pangalang Sasih – Magurudadi – Mapasang Sunari – Ngadegang Bhatari Tapeni – Rare Angon

Mulai hari ini masing-masing umat penyiwi, Sang Adruwe Karya, Sang Tapeni, Sarati Upakara, agar melaksanakan kewajibannya masing-masing, agar upacara sesuai dengan perencanaan. Mengenai hal ini dalam Lontar/Pustaka Ngekadasarudra, sebagai pegangan untuk menjadi tuntunan, seperti :

“……….. saka riki wwit swakaryane kawastanin tenget, yan tan anut ring lingning aji, haywa papeka, yan iwang antuk ngamargiang ling ning Dewa Tattwa, lwirnya dukun tukang banten, ngaran sang sagama mwah sang mangamong swakaryane mwang sang wiku muputang, kabhaksa de Sanghyang Kala Sunya, mapwara karyane tan sidha, kengetakna, haywa papeka ….”.

( …… Mulai saat ini upacara yadnya sudah dianggap angker, jika tidak mengikuti ajaran-ajaran sastra, jangan gegabah, jika salah melaksanakan, dimangsa oleh Sanghyang Kala Sunya akan tidak sesuai dengan yang disebutkan dalam Dewa Tattwa, seperti dukun tukang upakara, yang menjalankan petunjuk agama, dan yang mengatur/memimpin jalannya upacara, serta Wiku Yajamana (pamuput), dimangsa oleh Sanghyang Kala Sunya, yang menyebabkan kerja yadnya tidak berhasil, hendaknya diingat, jangan gegabah ….).

Mulai hari itu umat penyiwi melaksanakan aturan-aturan bebratan, seperti : cuntaka, menguburkan mayat (ngaben), agar dicarikan jalan keluar, sehingga sama-sama dapat berjalan.

Demikian juga pada hari itu ada pemujaan kepada Sanghyang Panca Korsika, Hyang Gana, Bhatari Sri, Bhatara Rare Angon, agar supaya beliau perkenan memberi tuntunan untuk suksesnya yadnya.

Ngingsah/Nyangling/Nyuciang Beras

Menyucikan beras, ketan, injin, beras merah dan mohon Tirtha Pamuket, di Pura Sidhakarya (Denpasar), Pura Tirtha Empul (Tampaksiring, Gianyar) dan Toya Tabah (Beji).

Nuwur Tirtha Pakuluh (Ida Bhatara Maraga Tirtha)

Tirtha-tirtha yang semestinya katuwur, yakni Tirtha Pura Kahyangan Jagat, seperti : Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang Luhur, Pura Andakasa, Pura Goalawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Batukaru, Pura Pucak Mangu, Pura Bratan, dan lain-lainnya sesuai dengan dresta yang berlaku.

Mlaspas, Mapadagingan, Bagia Pulakerti

Pada saat ini, semua Pralingga, Pratima-Pratima Ida Bhatara, dihias dan kadegang, yakni memohon agar Beliau Ista Dewata diundang agar berkenan berstana pada Pralingga dan Pratima, yang disebut Dewa Pratistha.

Demikian juga bangunan-bangunan yang berupa Palinggih dan perlengkapan upacara, seperti Bagia Pulakerti, disucikan dengan upacara Mamakuh dan Mlaspas, sedangkan Palinggih-Palinggih diisi dengan Mapadagingan (Panca Dhatu), agar dapat sebagai sthana Hyang Widhi atau Ista Dewata yang lainnya.

Mendak Ring Marga Tiga/Mendak Siwi

Pada umumnya yang disebut dengan Marga Tiga adalah jalan utara selatan dan bertemu dengan jalan dari Timur. Utara lambang sthana Dewa Wisnu, Selatan lambang sthana Dewa Brahma dan Timur adalah lambang Dewa Iswara.

Pratima dan Pralingga yang merupakan pralambang Hyang Widdhi atau Ista Dewata, mohon persaksian kepada Sanghyang Tiga Sakti, yakni Dewa Tri Murti.

Malasti

“Anganyuti lara wighna, angamet tirtha amreta”.

Setelah upacara di Marga Tiga, dilanjutkan dengan Malasti ke laut atau ke tempat sumber air, dengan tujuan menghilangkan segala kekotoran alam dan memohon Tirtha Amreta, yang nantinya dipergunakan pada saat Puncak Karya.

Setelah datang dari Malasti, sesampainya di Jaba Pura ada upacara Pamendak Agung, semua Pralingga, Pratima dan Ida Bhatara Maraga Tirtha, diusung dan dipersembahkan upakara, disebut dengan Pamendak Agung.

Pepada

Mensucikan wewalungan atau patikawenang, yakni binatang-binatang yang akan dipakai dalam upacara, disebut Ngelepas Patikawenang, dengan harapan semoga nantinya rohnya mendapat tempat yang semestinya.

Demikian juga Pralingga Rare Angon diusung mengelilingi tempat upacara, karena Sanghyang Rare Angon adalah merupakan penguasa dari Patikawenang.

Tawur dan Padanan

Jika upacara Tawur itu merupakan Tawur Agung dan sejenisnya, dipimpin oleh Tri Sadhaka. Upacara Tawur menggunakan binatang seperti kerbau, banteng, kambing, menjangan, lubak, petu, celeng plen, banyak, angsa, asu bang bungkem dan ayam manca warna. Dalam upacara Tawur bermaksud mensucikan Asta Murti Siwa, agar kembali ke Siwa. Dalam Aji Eta Etu, saat upacara Tawur, sang Pendeta yang memimpin upacara menghadap ke selatan, sehingga letak Sanggah Surya/Tawang menghadap ke utara, ini disebut dengan Ambhutayadnya.

Suksman Tawur punika, nyuciang Panca Maha Bhuta, Prethiwi, Apah, Teja, Bayu dan Akasa; untuk hal ini dilakukan oleh Pendeta Waisnawa (Bhujangga), maka itu beliau mempunyai pegangan senjata antara lain : genta, genta uter, katipluk, sunghu dan gentorag, yang disebut dengan Panca Sara Wisara. Dua unsur alam Purusa Pradhana (Surya Candra) disucikan oleh pendeta Buddha, dengan dua senjata, yakni genta dan wajra, disebut dengan Dwi Sara Wisara. Setelah ke tujuh unsur itu suci, kembali ke Siwa, untuk mengembalikan ke Sangkan Paraning Sarat, dilakukan oleh pendeta Siwa, dengan pegangan senjata genta, yang disebur Eka Sara Wisara. Ke delapan unsur itulah yang disebut dengan Asta Murti Siwa.

Dalam Pustaka Rare Angon, disebutkan bahwa pelaksanaan Padanan sebaiknya pada hari pelaksanaan Tawur, itu disebut utama. Karena telah siap untuk melakukan dana (punya), sebelum puncak karya. Demikian juga lontar Widdhi Sastra dan Dewa Tattwa, menyebutkan “Mwah tingkahing madana-dana ring karya ayu, yan linging sastra Kusumadewa, yan nista karyane, wenang ring Pangremekan madana-dana.Yan linging Widdhi Sastra lan Dewa Tattwa, yan madhya mwang uttama swakaryane, sabanen karya wenang madana-dana, ika ring Bhuta Yadnya”

Pada saat Padanan Ida Bhatara, turun dari sthananya untuk menyaksikan upacara itu.

Ngenteg Linggih

Setelah Ida Bhatara mendapatkan persembahan upacara Mamungkah, Mapadudusan Agung, para penyiwi melakukan persembahyangan. Setelah itu Ida Bhatara turun ke Bale Paselang dengan lantaran kain putih, dengan melalui atau menginjak lantaran Kebo Yosbrana dan menaiki tangga dari Teburatu. Setelah mendapatkan persembahan di Bale Paselang, Ida Bhatara ke Jaba dengan menyaksikan Upacara Mapepasaran, setelah itu Ida Bhatara lagi ke Jeroan dan munggah di Bale Paruman/Pelik, kapendak/disambut dengan Rejang Dewa dan Jero Mangku mempersembahkan Upakara Madatengan.

Makna dari Upacara Mamungkah adalah seperti awal mendirikan Pura, dengan menyucikan Palinggih, Pratima, Arca dan sebagainya, sehingga Ida Bhatara dapat bersthana di tempat itu.

Maksud dari Upacara Ngenteg Linggih, yakni mensthanakan Ida Bhatara, terutama Sanghyang Ista Dewata, agar perkenan bersthana, memberi tuntunan, pengayoman kepada umat semuanya. Dalam Upakara Ngenteg Linggih, ada suatu Tebasan, yakni Tebasan Panca Lingga, yang merupakan lambang kawisesan/kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Wasa, yaitu : Para Sakti, Adi Sakti, Icca Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti.

Upacara Mapaselang ini adalah turunnya Ida Bhatara ke Bale Paselang, dengan lantaran (jembatan)/matitimamah dengan kerbau, melalui tangga yang dibuat dari “tebu ratu“. Kerbau adalah lambang wahana Dewa Siwa, utamanya Sakti Siwa, tatkala berwujud Cunda dengan gelar Mahisasuramardhini, dengan maksud menghilangkan semua mala pataka, dari pengaruh Maya dan Karma, supaya mendapatkan kerahayuan. Tebu Ratu adalah lambang Utpeti, yakni lambang penciptaan. Maka itu Ida Bhatara di Paselang dilambang dengan “Smara Ratih“. Surya Candra Wangkawa, perlambang pertemuan Purusa Pradhana, maka terjadilah Adi Sresti yaitu penciptaan alam semesta dengan isinya.

Hal ini dilengkapi dengan Putru Paselang, yang disebut “Majejiwan”.

Kutipan Putru Paselang :

     OM AWIGHNAMASTU

Ih, saking ndi pakanira wawu dateng ?

Manira wong Keling.

Paran dera karya ?

Manira akarya bhumi, gunung.

Paran isining bhumi, isining gunung ?

Isining bhumi : Brahmana, Ksatriya, Wesya, Sudra, Pandita, Ratu, Bhujangga, maka nguni : Prethiwi, Apah, Teja, Bayu, Akasa, Aditya, Wulan, Tranggana, Dete, Detya, Dhanawa, Raksasa, Pisaca, Bhuta, Manusa Sakti, Kumlap-kumlip, Mambekan, Muni, Kece-Kece, Keci-Keci, Purwa, Ghneya, Daksina, Nairiti, Pascima, Bayabya, Uttara, Airsanya, Madhya, Sor, Luhur, kasangga dening Prethiwi, saka ungkulan dening Akasa.

Isining Gunung : Trena, Taru, Lata, Gulma, Janggama, Burwan, Paksi, Sarpa, Krimi.

Sapa kang adrewe ?

Drewenira sang Apaselang, yan tan sang Apaselang, tan prasidha punang karya.

Ih, saking ndi pakanira wawu dateng ?

Manira wong Majapahit.

Paran dera karya ?

Manira akarya Gedong, Pasih.

Isining Gedong : Mirah, Winten, Komala, Sphatika,, Kancana, Rajata, Artha, makadi Leluwes, Raja mulya.

Isining Pasih : Tirtha Agung, Mina, Jukung, Prahu.

Isining Prahu : Leluwes, Basan Ubad.

Sapa kang adrewe ?

Drewenira sang Apaselang, yan tan sang Apaselang, tan prasidha punang karya.

Ih, sapasira angindang-indang ing kene ?

Manira bibi, iringanira Bhatara Smara, Bhatari Ratih, olih ida sakeng Smara Bhawana.

Paran de nira indang ?

Manira angindang mas, mirah, winten, olih ida sakeng Smara Bhawana.

Ih, sapasira angampuh-ampuhan ing kene ?

Manira bibi, iringanira Bhatara Smara, Bhatari Ratih, olih ida sakeng Smara Bhawana.

Paran dera angampuh-ampuhan ?

Manira angampuhang lara wighna, lara rogha, papa klesanira sang Piniselang, wastu amangguh sadhya rahayu, dirghayusa, paripurna, kayowanan mwang tungtungana anugraha. Ayu wreddhi …… .

Jika Upacara Padanan, dilaksanakan pada Puncak Karya, anugrah Hyang Widhi, terhadap para dewa, melalui sresti atau penciptaan dan dilanjutkan dengan Mapepasaran. Di dalam Pustaka Rare Angon, disebutkan Padanan sebaiknya dilaksanakan pada Upacara Tawur, karena mengandung maksud bahwa telah ada kesiapan dalam melaksanakan yadnya.

Panyenukan, Mangunhayu, Ngremek, Makebat Daun, Ngebek

Upacara Panyenukan, dilaksanakan tiga hari setelah Puncak Karya. Pada umumnya proses pelaksanaannya, dilakukan di jaba sisi, dengan iringan-iringan beberapa orang, yang dibagi menjadi 5 bagian : ada yang memakai pakaian putih, dengan perlengkapan upakaranya (timur/Iswara); berpakaian merah, dengan perlengkapan upakaranya (selatan/Brahma); berpakaian kuning, dengan perlengkapan upakaranya (barat/Mahadewa); berpakaian hitam, dengan perlengkapan upakaranya (utara/Wisnu) dan berpakaian poleng, dengan perlengkapan upakaranya (tengah/Siwa). Pelaksanaannya ini dituntun oleh Topeng Siddhakarya (dengan sesapan/ucapan Siddhakarya).

Iringan-iringan ini bergilir masuk ke Pura dan menaruh upakara bawaannya, serta mereka diberi hidangan kopi, jajan dan rujak.

Upacara Mangunhayu

Upacara Mangunhayu, adalah lambang untuk menumbuhkan pikiran suci, rasa tolong-menolong terhadap sesama.

Upacara Ngremek

Mempertebal rasa saling menghormati dan memupuk pikiran yang suci, agar dapat memberi pengaruh kesucian bagi orang lain.

Makebat Daun

Segala usaha yang telah dilakukan yang berlandaskan kepatutan, semoga berhasil dengan baik.

Ngebek

Jika pikiran suci telah tumbuh dan berkembang, serta dapat memberi pengaruh kepada yang lain, maka kesejahtraan dan kebahagiaan akan tercapai.

Upacara Nyegara Gunung.

Maksud dari upacara Nyegara Gunung, adalah perwujudan rasa terimakasih, kehadapan Beliau bersthana di gunung maupun yang bersthana di laut, karena bahan-bahan upakara juga berasal dari gunung dan dari laut.

Sedangkan secara filosofis (tattwa), merupak perlambang pertemuan gunung dan laut, yang merupakan simbolis perpaduan Lingga (Gunung/Linggacala) denga Yoni (laut), jika pertemuan itu terjadi akan timbul kesejahteraan, kebahagiaan yang sempurna. Maka itu jelaslah konsep ini merupakan Konsepsi Siwaistis.

Rsi Bhojana

Upacara ini diwujudkan dalam bentuk pemberian hidangan (makanan), yang dilengkapi dengan upakara tertentu, seperti : sesayut Dharma Wiku, sesayut Siddhakarya, Rsi Bhojana Sakottama, Punya Sakottama, sesuai dengan banyaknya Sulinggih yang muput.

Sulinggih adalah pemimpin upacara, pemberi tuntunan dalam proses pelaksanaan yadnya, maka wajarlah umat menyampaikan terimakasihnya kepada para Sulinggih. Tetapi ingat Yadnya itu disebut berhasil jika berlandaskan dengan pikiran yang suci dan tulus ikhlas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar