Rabu, 23 April 2025

Restitusi Sakralitas Leluhur

Restitusi Sakralitas Leluhur: Telaah Kritis atas Relasi Pura Dasar Buana Gelgel dan Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa Menurut Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba

Oleh: I Gede Sugata Yadnya Manuaba

Abstrak:
Artikel ini mengkaji dinamika spiritual dan konflik simbolik antara Pura Dasar Buana Gelgel dan Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek, khususnya berkaitan dengan posisi Ida Bhatara Mpu Gana sebagai bagian dari Catur Parhyangan. Pemikiran Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba menjadi dasar kajian, termasuk sejarah pemendakan awal pratima Ida Bhatara Mpu Gana di Dasar Buana Gelgel oleh Ida Sinuhun Paramadaksa pada tahun 1962 dan distanakan di Meru Tumpang Tiga Griya Agung Bangkasa. Permasalahan simbolik yang menciderai kehormatan kawitan Pasek menjadi titik balik revitalisasi kesucian leluhur melalui Pura Panataran Agung sebagai pusat pemuliaan Catur Parhyangan dalam konteks pretisentana Ida Bhatara Hyang Gni Jaya.


1. Pendahuluan

Dalam ranah spiritual Hindu Bali, Catur Parhyangan adalah sistem pengultusan empat Mpu suci yang dianggap penyebar utama Dharma di Bali: Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan, dan Mpu Gana. Keempatnya menjadi poros spiritual utama yang disucikan dan dilinggihkan dalam berbagai pura kawitan dan kahyangan jagat. Namun, eksistensi simbolik dan penghormatan terhadap salah satu dari mereka, yakni Mpu Gana, menjadi sorotan penting karena adanya ketidakharmonisan spiritual di Pura Dasar Buana Gelgel.


2. Latar Masalah: Simbol yang Dikesampingkan

Menurut penuturan Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba, permasalahan di Pura Dasar Buana Gelgel tidak terjadi sekali dua kali. Salah satunya adalah pengabaian terhadap simbol-simbol kawitan Pasek dalam tatanan pemujaan. Hal paling mencolok ialah saat seorang sulinggih dari semeton Pasek melaksanakan pemujaan hanya beralaskan tikar, sementara tempat pemujaan sulinggih sebenarnya tersedia namun tidak diizinkan digunakan. Bahkan lebih jauh, seorang pemangku duduk di kursi sambil menumpukan kedua kakinya, sementara ida sulinggih yang sedang mapuja berada di bawah.

Ini menjadi bentuk pelecehan simbolik dan spiritual, yang akhirnya mendorong lahirnya refleksi dan respons spiritual dalam bentuk revitalisasi pemuliaan Mpu Gana di tempat yang lebih terhormat secara spiritual dan genealogis, yaitu dipilahlah Pura Penataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana Di Pundukdawa. 


3. Kutipan Sloka Sansekerta

Sloka:
न सम्मानितो यो गुरुस्तत्र नास्ति शुभं क्वचित्।
आचार्यं पूजयेत्साम्ये यत्र धर्मः प्रतिष्ठितः॥

Transliterasi:
Na sammāmito yo gurustatra nāsti śubhaṁ kvacit।
Ācāryaṁ pūjayet sāmye yatra dharmaḥ pratiṣṭhitaḥ॥

Makna:
"Di mana guru tidak dihormati, tidak akan pernah ada kebaikan. Hormatilah sang acarya dalam keseimbangan, di situlah Dharma ditegakkan."

Sloka ini menegaskan bahwa ketidakhormatan terhadap rohaniwan dan guru leluhur adalah penyebab kemunduran Dharma, dan hanya melalui pemulihan kehormatan itulah keseimbangan spiritual dapat ditegakkan.


4. Sejarah Pemuliaan Mpu Gana di Griya Agung Bangkasa

Ida Bhatara Mpu Gana pertama kali dipendak, dituntun, dan kelinggihang di Meru Tumpang 3
Ti di Griya Agung Bangkasa oleh Ida Sinuhun Paramadaksa (nabe dari Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba) pada tahun 1962. Ini menjadi titik awal perwujudan pratima sebagai manifestasi spiritual yang disakralkan dalam konteks Catur Parhyangan, yang sekarang telah di buatkan duplikasinya / archa di Griya Agung Bangkasa telah di sulam dan ke linggihang di Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana di Pundukdawa. 


5. Revitalisasi Sakral: Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek

Sebagai respons terhadap ketidakhormatan simbolik, Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa didirikan sebagai poros spiritual baru bagi semeton Pasek untuk memuliakan kembali Catur Parhyangan, khususnya Ida Bhatara Mpu Gana. Pratima yang dilinggihkan di sini adalah replika dari Griya Agung Bangkasa, sebagai upaya menjaga kontinuitas spiritual dan keaslian garis leluhur.

Pemikiran luhur Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba tidak semata simbolik, tetapi menegaskan pentingnya kebangkitan spiritual melalui kesadaran genealogis dan tanggung jawab kawitan.

6. Penutup

Kisah ini mencerminkan pentingnya restorasi spiritualitas dan penghormatan terhadap warisan leluhur, terutama dalam menjaga martabat rohaniwan dan simbol-simbol kawitan. Melalui pendekatan filosofis dan praksis, Ida Sinuhun Siwa Putra Paramadaksa Manuaba (Griya Agung Bangkasa) telah membangun jembatan kesadaran antara yang sakral dan yang historis. Pura Panataran Agung kini bukan hanya pusat pemujaan, tetapi juga monumen spiritual akan perjuangan identitas dan kehormatan semeton Pasek dalam naungan Dharma dan Bhakti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar