PARIKRAMANING UPACARA MANUSA YADNYA
UPACARA MAGEDONG-GEDONGAN
Upacara ini ditujukan kehadapan si bayi yang ada di dalam kandungan dan merupakan upacara yang pertama kali dialami sejak terciptanya sebagai manusia. Oleh karenanya upacara ini dilakukan setelah kehamilan berumur 5 bulan ( 6 bulan kalender ) sebelum bayi itu lahir. Kehamilan yang berumur di bawah 5 bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna, dan tidak boleh diberi upacara manusa yadnya (menurut lontar kuno dresthi).
Tujuannya adalah untuk membersihkan dan mohon keselamatan jiwa raga si bayi, agar kelak menjadi orang yang berguna dimasyarakat (kalau laki-laki menjadi pahlawan pembela negara/titundung musuh dan kalau perempuan menjadi istri yang utama).
UPAKARA YANG KECIL
Untuk pembersihan : byakala dan prayascita
Untuk tataban : sesayut, pengambyan, peras, penyeneng, dan sesayut pemahayu tuwuh
UPAKARA YANG LEBIH BESAR :
Untuk pembersihan : byakala, prayascita, dan pengelukatan
Untuk tataban : seperti diatas dilengkapi dengan banten pegedongan matah
TATA UPACARA :
Upacara dilakukan dipermandian (dirumah membuat permandian darurat) terlebih dahulu orang yang hamil mabyakala dan maprayascita. Di hadapan sanggah kemulan ditaruh perlengkapan upacara seperti benang hitam 1 (satu) tukel yang kedua ujungnya diikat pada cabang kayu dadap, bambu buluh runcing (gelanggang), daun kumbang diisi air dan ikan sawah yang hidup yaitu belut, nyalian, ketam, ceraken, dibungkus dengan kain yang baru.
Pelaksanaannya :
Kedua cabang kayu dadap yang terikat dengan benang hitam ditancapkan pada pintu gerbang (arah benang agar menuju pintu gerbang).
Si Perempuan mengusung ceraken tersebut, tangan kanan menjinjing daun kumbang yang berisi air dan ikan tadi.
Yang laki (suami) tangan kirinya memegang benang dan tangan kanannya memegang gelangang tersebut tadi.
Sudah itu sajen segehan diperciki untuk bhuta yang sering menggoda.
Setelah yang laki berjalan serta memegang benang sambil menusuk daun kumbang yang berisi air yang dijinjing oleh si perempuan sampai keluar ikan dan airnya.
Setelah itu suami istri bersembahyang agar selamat kandungannya, tidak tergoda oleh segala godaan sampai pada lahirnya selamat.
Upakara ini dilanjutkan dengan pengelukatan dan akhirnya natab.
MANTRA DARI PAGEDONGAN
Om Sanghyang paduka Ibu Pertiwi Betari Gayatri, Betari Sawitri, Betari Suparni, Betari Wastu, Batari Kedep, Betari Angukuhi, Betari Kundangkasih, Betari Kamajaya-Kamaratih, mekadi pakulun Hyang Widiadara-Widiadari, Hyang Kuranta-kuranti, sama daya iki tadah saji aturan manusa ira si anu ajakan sarowangan ira amangan anginum, manawi ana kirangan kaluputan ipun den agung ampura. Nen manusa nira, mangke ulun aminta nugraharing sira samua aja sira angedonging, angancinging muwang anyangkalen, uwakakena lawangira selacakdana uwakakena den alon sepungana nuta anak-anak andepun denapekik dirgayusayowana weta urif tan ane saminaksan ipun. Om siddhi rastu swaha.
PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN :
BANTEN PEGEDONGAN MENTAH
Sebuah bakul/paso yang berisi beras, kelapa, telur, benang putih, ketan, injin, pisang mentah, sudang (ikan teri), tingkih, pangi, bija ratus, palawa, peselan, base tampel dll seperti isi daksina masing-masing satu biji / butir.
Sesayut pemahayu tuwuh
Alasnya disebut kulit sesayut, diatasnya diisi penek/tumpeng kuning, ikan ayam satu ekor, dilengkapi dengan buah-buahan, jajan, rerasmen, sampian nagasari, dan penyenang yang berisi tetebusan benang tridatu (hitam, merah dan putih).
BRATA
Beberapa pantangan bagi orang yang sedang hamil adalah :
Wak capala
Wak Purusya
Tidak menyembah mayat (Cawa)
Tidak mendukung tirta pengentas
Sebaliknya sang suami tidak boleh membikin cemburu, terkejut. Usahakan agar selalu adanya ketenangan dengan membaca lontar dan ajaran-ajaran agama yang lainnya.
BAYI LAHIR
Upacara ini tidak mempunyai arti yang istimewa, kecuali merupakan rasa gembira dan angayu bagia atas kelahiran si bayi kedunia. Upakaranya disebut dapetan dan terdiri dari :
Dalam tingkatan yang kecil
Nasi muncuk kuskusan, dilengkapi dengan buah-buahan (raka-raka), rerasmen (kacang saur, garam, sambel dan ikan), sampian jaet, dan canang sari / canang genten, serta sebuah penyeneng. Upakara ini dihaturkan kehadapan sang Dumadi.
Upakara yang lebih besar
Seperti diatas dilengkapi dengan jerimpen di wakul yaitu sebuah wakul berisi sebuah tumpeng lengkap dengan raka-raka, rerasmen, dan sampian jaet.
PERAWATAN terhadap ARI-ARI
Setelah ari-ari itu dibersihkan lalu dimasukkan kedalam sebuah kelapa yang dibelah dua (airnya dibuang). Bagian atas dari kepala itu diisi tulisan “Ongkara”, sedangkan bagian bawahnya diisi tulisan angkara.
Selain dari pada itu kedalam kelapa tadi dimasukkan pula beberapa jenis duri seperti duri terung, mawar dsbnya, sirih lekesan selengkapnya. Lalu kedua buah kelapa itu dicakupkan kembali, dibungkus dengan ijuk dan kain putih kemudian di pendam (kalau tidak ada hijuk, cukuplah dengan kain putih saja). Tempat memendam yaitu kalau si bayi laki-laki, maka arinya dipendam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau perempuan dipendam di sebelah kiri (lihat dari dalam rumah).
Ucapan waktu memendam ari-ari adalah sebagai berikut :
Ong Sang Ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga amerta, sanjiwani angemertanin sarwa tumuwuh (nama si bayi ……………), mangda dirgayusa nutugang tuwuh.
Sebenarnya masing-masing lontar berbeda ucapannya, tetapi disini dikemukakan yang agak sederhana dan mudah dihafalkan. Setelah selesai mengucapkan kata-kata tersebut barulah ari-ari itu ditimbuni, ditindihi batu hitam (batu bulitan) ditandai dengan pohon pandan yang berduri. Secara rokhaniah, bertujuan menolak gangguan oleh hewan, dan secara rokhaniah bertujuan untuk menolak gangguan rokh-rokh jahat. Upakara yang diturunkan kepada ari-ari itu adalah nasi kepel 4 kepel, ikannya bawang jahe, garam yang dicampur dengan areng, dan dilengkapi dengan canang genten / canang burat wangi.
Banten itu dihaturkan kehadapan sang Catur Sanak dari pada bayi.
Demikianlah perawatan terhadap ari-ari dianggap selesai dan setiap ada upacara yang ditujukan kepada si bayi, hendaknya ari-arinya tidak dilupakan. Disamping itu perlu kiranya dikemukakan bahwa bila keadaan tidak mengijinkan maka ada kalanya ari-ari itu (setelah dibungkus dengan kelapa seperti di atas) lalu dibuang kelaut.
KEPUS PUSER
URAIAN UPACARA
Apabila puser si bayi sudah lepas (kepus), dibuatkan suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara rokhaniah tempat-tempat suci, dan bangunan yang ada disekitarnya, seperti sanggah kamulan, sumur, dapur, bale dsbnya.
Puser di bayi dibungkus dengan secarik kain, lalu dimasukkan kedalam sebuah tipat (tipat kukur), disertai dengan anget-anget (sejenis rempah-rempah, seperti sintok, mesui, katik tengkeh, dsbnya), kemudian digantungkan di tempat tidur si bayi agak ke tebenan (hilir). Kepada si Ibu mulai diberi makan berjenis-jenis ikan/daging dan lauk pauk lainnya. Hal ini bertujuan agar si bayi terlatih terhadap berjenis-jenis ikan/daging. Seperti diketahui banyak orang yang tidak berani (tubuhnya tidak tahan terhadap ikan laut atau daging babi misalnya.
Selain dari pada itu mulai saat itu si bayi diasuh oleh Sang Hyang Kumara dan untuk beliau dibuatkanlah sebuah tempat di atas tempat tidur si bayi yang disebut Pelangkiran (kemara).
Menurut mithologi (lontar Siwa-gama) Sang Hyang Kumara adalah salah satu Putra Bhatara Siwa dan beliau dikutuk tetap berwujud anak-anak agar tidak termakan / terbunuh oleh kakaknya (Dewa Gana). Dan untuk selanjutnya Sang Hyang Kumara ditugaskan oleh ayahnya untuk mengasuh / untuk melindungi anak-anak yang belum maketus (lepas gigi).
UPAKARA YANG PALING KECIL
Banten penelahan, banten kumara, banten labaan di ibu dan banten ari-ari
UPAKARA YANG LEBIH BESAR
Seperti di atas dilengkapi dengan banten tataban seperti waktu lahir.
Penjelasan beberapa jenis banten :
Banten Penelahan
Alasnya adalah sebuah ceper yang isinya sebagai pasucian / pabersihan dilengkapi dengan beras kuning dialasi dengan daun dadap.
Banten Labaan si ibu
Sebuah ajuman yang berisi ikan / berjenis-jenis daging
Banten Kumara (Yang kecil)
Sebuah ajuman yang nasinya berwarna putih dan kuning, ikannya telur dadar, rakanya kekiping, pisang mas, geti-geti nyahnyah gula kelapa dan canang lengewangi-buratwangi / canang sari. Kumaranya dihiasi dengan bunga yang harum-harum dan sedapat mungkin berwarna putih dan kuning.
Banten Ari-ari
Di tempat menanam ari-ari menghaturkan banten : segehan kepel 4 tanding masing-masing berwarna merah, putih, kuning dan hitam, ikannya adalah bawang jahe dan garam. Ada pula yang menyebut bahwa ikannya adalah sebagai berikut : segehan kepel yang putih ikannya jae, segeghan kepel yang merah ikannya bawang merah, segehan yang kuning ikannya kunir dan segehan yang hitam ikannya garam yang dicampur dengan areng (uyah-areng). Masing-masing segehan itu dilengkapi dengan sebuah canang buratwangi canang genten.
Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Ante Preta. Dan kalau keadaan mengijinkan maka pada tempat menanam ari-ari itu didirikan sebuah sanggah cucuk bertudung upih yang disebut Sato-Yoni. Disamping sanggah cucuk ditaruh kayu api dan pada cabang dibawah sanggah itu diisi lampu (pelita). Tiap malam lampu dinyalakan dan kayu api dibakar. Sanggah cucuk diisi dengan banten kumara dan dihaturkan kehadapan Hyang Ning Ari-ari.
UPACARA NGELEPAS HAWON
Upacara ini dilaksanakan setelah bayi berumur 12 (dua belas hari) dan disebut upakara ngelepas hawon. Upakara (banten) yang diperlukan pada saat ini sama dengan upacara pada waktu kepus udel.
UPACARA KAMBUHAN(SATU BULAN TUJUH HARI)
Uraian Upacara: Setelah si bayi berumur satu bulan tujuh hari (42 hari), diadakanlah upacara yang sering disebut “Upacara Macolongan”. Dalam upacara ini disamping pembersihan jiwa raga si bayi dari segala noda dan kotoran, juga bertujuan untuk mengembalikan Nyama Bajang si Bayi dan pembersihan si Ibu agar dapat memasuki tempat-tempat suci seperti Merajan, Pura dsbnya. Kiranya perlu dikemukakan perbedaan antara “Catur Sanak” dengan “Nyama Bajang”.
Catur sanak berarti saudara empat. Yang dimaksud dalam hal ini adalah empat unsur (benda beserta kekuatannya) yang dianggap sangat membantu pertumbuhan dan keselamatan si Bayi sejak mulai terciptanya di dalam kandungan sampai dia lahir. Wujud dari pada saudara empat itu adalah : Darah, Lamad, Yeh nyom, dan Ari-ari. Nama dari saudara empat ini akan berganti-ganti sesuai dengan pertumbuhan si bayi di dalam kandungan dan setelah lahir, sehingga akan dapat banyak nama untuk mereka. Oleh karean sang catur sanak itu dianggap sangat berjasa, maka diajurkan agar setiap orang tidak melupakan mereka baik dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka.
Kemudian yang dimaksud dengan Nyama Bajang adalah semua kekuatan-kekuatan yang membantu Sang Catur Sanak di dalam kandungan, dalam proses pertumbuhan, penyempurnaan jasmani serta keselamatan si bayi.
Menurut penjelasan beberapa sulinggih banyak Nyama Bajang ini adalah 108 misalnya : bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang tukad, bajang ambengan, bajang papah, bajang lengis, bajang dodot, dllnya.
Setelah bayi itu lahir maka nyama bajang ini dianggap tidak mempunyai tugas lagi, bahkan kadang sering mengganggu si bayi. Oleh akrena itu pada waktu si bayi berumur 42 hari dianggap sudah waktunya untuk mengembalikan mereka ketempatnya masing-masing (keasalnya).
Disamping itu untuk pertama kalinya si bayi dimohonkan pengelukatan kehadapan Bhatara Brahma (di dapur), Bhatara Wisnu (permandian), dan Bhatara Siwa / Hyang Guru (disanggah kemulan).
Upakara yang kecil
Untuk Ibu byakaonan dan prayascita lengkap dengan tirta pengelukatan dan pebersihan. Untuk si bayi banten pasuwugan, banten kumara dan dapetan seadanya.
Upakara yang lebih besar
Untuk si ibu seperti diatas
Untuk si bayi banten pasuwugan, banten kumara, jejanganan, banten pacolongan (di dapur, di permandian dan di sanggah kamulan) serta tataban seadanya.
TATA UPACARA
Terlebih dahulu si ibu dan si bayi mabyakaonan dan maprayascita lalu si bayi (beserta orang tuanya) diantar ke sanggah kamulan untuk natab / diupacarai dengan upakara-upakara yang tersebut di atas. Bila mengambil tingkatan upakara yang lebih besar, maka terlebih dahulu si bayi melukat di dapur, kemudian dipermandian dan akhirnya di Sanggah Kamulan / disertai dengan natab.
MANTERA-MANTERA / PUJA DALAM RANGKAIAN UPACARA TSB DIATAS
MANTERA PENGELUKATAN DI DAPUR
Om Indah ta kita Sang Hyang Utasana sira mesarira sarwa baksa iki manusane sianu(sebut nama ibu/bapak), aneda nugraha widhi, angeseng lara rogo wigena, mala papa petakane sianu, wastu geseng dadi awu. Om Ang rigeni Rudra Ujuala niya namah.
MANTERA PENGELUKATAN DIPERMANDIAN (SUMUR)
Om Ung Gangga Supta jiwa ya namah, Om Gangga Mili ya namah, pukulun ulun aminta atmane sianu, manwi ta atmane pun anu ketepuk ketengah olih sarwa Bhuta Kala, karem ring sumur agung daweg antukakena ring raga walunan ipun, ulun anebas ring sira Hyang Betari Gangga Pati. Om Sriyam bawantu, purnambawantu, sukanmbawantu swaha.
Panebasan Pengelukatan ring Hyang Guru Kemulan
Om pakulun Sanghyang Guru Reka, Sang Hyang kawi swara, Sang Hyang Saraswati Suksma, Sang Hyang Brahma Wisnu Iswara, mekadi Sang Hyang Surya Candra lintang teranggang, ulun anede nugraha widhi, angalukat, dasamala, papa patakane sianu, Om sidhi rastu yanama swaha.
Ring Sang Tinebasan
Om Dirgayusa awetaning raga langgeng, angapusing balung pila pilu. Angapusing atot pila pilu, angapusing atme juwitane sang tinebas-tebasan, tunggunen de nira sang Hyang Bayu Pramana, amuwuhana tuwuh ipun. Om Dirgayusa aweta urip sidhi rastu tatastu swaha.
Mantram Bajang Colong
Om Sang Kosika, Sang Garga, Sang Metri, Sang Kurusia, Sang Pretanjala, Imalipa I Malipi, mekadi bapa bajang, babu Bajang, Bajang toya, Bajang Lenga (Lengis), Bajang Dodot, Bajang sembur, Bajang Deleg, Bajang Bejulit, Bajang Sapi, Bajang Kebo, Bajang papah, mwah sakwehing ingaranan sarwa bajang-bajang susila, si bajang weking, iki tadah sajin ira dena becik menawi wenten kakirangan ipun, iki pirak satak pitu likur, benang setukel nggenatuku ring pasar agung apan kita agawe ala ayu. Mangkin ulun aminta sih nugraha ring kita sedaya, turunan atmaning rare maring rega walunan nira-malih, aja sira munah-munih, wastu pukulan sida rahayu seger oger urip waras, embanen rahina wengi. Om, sidhi rastu yanamah swaha.
Om Sang Kosala, Sang Garga, Sang Metri, Sang Kurusia, Sang Patanjala, Sang Malipa, Sang Malipi, Pinaka Bapa Bajang, yan wus sira amukti, Pamuliha kita kedesanira sowing-sowang. Om Syah, syah, ayah poma.
Mantram Jejanganan
Om Bapa Banglong, babu Benong, Babu Calungkup, Babu Gadonyah, Babu Suparni, Babu Dukut sabhumi, miwah sakwehing araning babu bajangan, iki tadah sajinira, sekul liwat, jangan kacang satingkeban, amuktia sari sira, aja sira nyumet, aja sira nyedut, asungana rare ning nghulun, anak amangan anak aturu, anak emang-emang, sahundan-hundan tekeng jejaka luputa ring lara roga, sahut bagya sangkalan ipun, asing kirang asing luput sampun ta agang sampura nira, amuktia, atuku sira ring pasar agung wus sira amuktia sarisun amintia sari sira, lan babekelan nira kabeh, iki ta pipis satak selata sih raksanen ta rare ning hulun amongan tasunu mangkana pangeraksanira ring bajang bayi, kadep sidhi pamastunku. Om sriyam ya nama namah.
PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN
BANTEN PASUWUGAN
Banten ini berfungsi sebagai pembersihan terhadap jasmani si bayi, serta terdiri dari : peras, ajuman, daksina, suci, soroan alit, pengelukatan, pengambyan, penyeneng, nasi 6 ceper, masing-masing dengan ikan yang berbeda-beda yaitu ikan ayam, itik, telur, siput, daging babi, dan kacang-kacang. Kemudian dilengkapi dengan dua buah kungkang sejenis jejahitan yang berisi nasi, lauk-pauk dan ikannya sesate, kemudian keduanya dialasi dnegan sebuah bokor yang berisi beras, sirih-tampeh, benang, telur ayam yang mentah dan uang 25 kepeng.
BANTEN PENGELUKATAN DI DAPUR
Peras dengan tumpengnya merah, ikannya ayam biying, dilengkapi dengan ajuman, daksina, pengulapan-pengambyan, penyeneng dan soroan alit, masing-masing sebuah, serta sebuah periuk yang berisi air dan bungan yang harum untuk mpengelukatan.
BANTEN DI PERMANDIAN (SUMUR)
seperti diatas hanya tumpengnya hitam dan ikannya ayam hitam.
BANTEN DI SANGGAH KEMULAN
Seperti diatas hanya tumpengnya putih, dan ikannya ayam putih dipanggang.
BANTEN PACOLONGAN
Sebuah buki (periyuk tanah yang bagian bawahnya sudah pecah) diberi kalung tapis kemudian kedalamnya dimasukkan sebuah pusuh biyu (jantung pisang) dan pelapah kelapa yang berlubang (papah nyuh bolong), pusuh biyu itu disisipi dengan uang 3 kepeng, sedangkan lubang dari kelapa itu digantungi tipat belayag, keduanya tidak diisi beras) dan gantung-gantungan dari busung.
Disamping itu baik buki, pusuh biyu, dan pelapah kelapa tersebut diberi secarik kain dan ditandai dengan kapur yang berbentuk tampak dara. Semuanya itu dapat dianggap sebagai perwujudan dari Nyama Bajang. Kemudian disebelahnya diisi sebuah penjor dari pelapah enau (jak) yang masih berisi daun dan lidinya ditusuki bunga-bunga yang berwarna merah (kalau dapat bunga sepatu yang merah)
Bantennya adalah dua buah untek (penek kecil) yang dialasi dengan ceper, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan canang burat wangi. Sampian tangga yang kecil, sedangkan ikannya adalah : ceper yang pertama berisi guling katak, ceper yang kedua memakai guling capung, ceper yang ketiga memakai guling baling dan ceper yang keempat memakai guling ayam semululung yang diperoleh di tengah jalan (semululung = ayam kecil).
Kemudian dilengkapi dengan tengen-tengenan (salaran kecil tidak dengan ayam dan itik). Setelah upacara semua banten ini dibuang diperempatan jalan di jalan raya.
JEJANGANAN
Untuk tempatnya sedapat mungkin yang agak besar dan diisi beras, sirih tampel, benang putih dan wang. Diatasnya disusun sebuah taledan, kemudian barulah diisi perlengkapan sebagai berikut : Peras, ajuman, daksina, suci, tipat kelanan masing-masing satu tanding uang 225, nasi yang berbentuk matahari, nasi yang berbentuk burung, nasi yang berbentuk jalan, nasi yang berbentuk tangkariga (tulang belakang dan rusuk), nasi beberapa kepel masing-masing diisi conger (tanda yang berbeda-beda yaitu ada yang memakai tanda bulu ayan, bulu itik, bulu angsa, bunga terung, ikan siput, terasi mentah, bawang jahe, kunir, lombok, laos, padang lepas, pelas (bumbu yang sudah dimasak), ikan banding, ikan laut, telur, kacang-kacang dan garam. Kemudian terdapat pula nasi takilan (nasi dengan lauk-lauk dibungkus dengan daun pisang), penek among (penek yang disisipi kecai mentah, bawang dan jahe), tumpeng gurih (tumpeng yang dicampur dengan kelapa dan kacang putih), bubur kacang, sayur-sayuran (108 jenis), tulung bertingkat 3, bertingkat 5, masing-masing berisi nasi dan lauk-pauk. Dan akhirnya banten ini dilengkapi dengan sampian nagasari, canang buratwangi dan ikannya adalah ayam yang dipanggang. (dalam upacara yang agak besar jejanganan ini dilengkapi dengan jajan seperti jajan gula gembal).
UPACARA TIGA BULANAN ( NYAMBUTIN )
URAIAN UPACARA
Upacara ini disebut pula upacara “Nelu-Bulanin”. Tujuannya adalah agar jiwa-atma si bayi benar-benar kembali berada pada raganya. Disamping itu upacara ini juga merupakan pembersihan serta penegasan nama si bayi. Serangkaian dengan upacara ini biasanya dilakukan pula upacara turun tanah.
Tujuannya adalah untuk mohon waranugraha kehadapan Ibu Pertiwi bahwa si anak akan menginjak kakinya dan agar beliau melindungi / mengasuhnya.
Upakara yang kecil
Pengelepas aon, penyambutan, jejanganan, banten kumara, dan tataban.
Upakara yang lebih besar
Seperti diatas, tetapi tetatabannya memakai pula gembal, banten pengelukatan dan banten turun tanah.
TATA UPACARA
Dalam hal ini upacara langsung dipimpin oleh pimpinan upacara (dilakukan di depan beliau). Setelah itu barulah dilaksanakan upacara turun tanah.
Pelaksanaannya setelah selesai mohon tirtha pengelukatan kemudian tirtha dipercikkan pada si bayi dibuatkan keroncongan (rantai bahu), gelang tangan dan kaki. Sebelum alat-alat tersebut dikenakan pada si bayi terlebih dahulu alat-alat itu diperciki segau, diperciki tirtha dan dilukat. Kemudian si bayi disembahyangkan 3 (tiga) kali dengan memohonkan semoga si bayi tidak ternoda karena mulai saat ini ia memakai ratna kencana (permata emas). Setelah sembahyang lain diberi tirtha pengening dan barulah kemudian ngayab jejanganan yang maksudnya memberi upakara kepada babu/rare bajang agar jangan menggodanya. Setelah itu si bayi diberi natab banten ayaban yang maksudnya agar si bayi selamat berumur tiga bulan.
PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN
Banten pangelepas aon
Sebagai alasnya adalah daun telujungan, diatasnya diisi nasi muncuk kuskusan, buah-buahan, jajan, lauk-lauk, sampian nagasari, canang buratwangi, pasucian/pebersihan dan lis/bebuu. Pada nasi muncuk kuskusan itu disisipi 3 buah linting, dan masing-masing tangkainya digantungi sebuah pipil yang berisi calon nama si bayi misalnya kalau laki-laki I Wijana, I Sparsa, I Yudana, dsbnya. Sedagkan kalau perempuan Ni Kumuda, Ni Menuh, Ni Rijata, dstnya. (nama tersebut adalah menurut petunjuk dalam lontar tetapi kiranya nama-nama itu dapat disesuaikan menurut kehendak si ayah dan si ibu).
Pada waktu upacara linting itu dinyalakan, dan nama yang tercantum pada linting yang terakhirnya mati, dipakai sebagai nama si bayi dan abunya ditaruh pada dahinya.
BANTEN PENYAMBUTAN
Alasnya berbentuk bundar, diatasnya diisi beras, kelapa telur itik, dll seperti isi daksina, masing-masing satu biji. Kemudian dilengkapi dengan 4 buah tumpeng yang ditaruh pada setiap sudut, serta jajan, buah-buahan, lauk-pauk, ikannya ayam dipanggang, canang buratwangi, sampian nagasari, peras,s esayut, sanggah urip penyenang dan pesucian, masing-masing satu tanding.
BANTEN MENGELILINGI LESUNG
Tempat upacara dihalaman sanggah kemulan. Sebagai alat perlengkapan adalah sebuah lesung (lumpung), paso yang diberi air ditaruh diatas lesung sedangkan di dalam paso itu diisi jejahitan taman dari busung. Di dalam jejahitan taman padma pada paso itu diisi beberapa jenis perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, subeng, dsbnya.
Bantennya adalah : peras, ajuman, daksina, suci, pengulapan, pengambean, penyambutan, jejanganan, dan tetataban seadanya. Lain dari itu terdapat pula anak-anak dari belego (ketimun), batu dan pusuh biyu (jantung pisang).
Waktu mengelilingi lesung, bayi memakai tongkat bumbungan (bambu yang tidak masih ruasnya). Upacara ini adalah sebagai simbul, bahwa si bayi pergi ketaman untuk mandi dan memperoleh perhiasan, serta ditegaskan bahwa ia adalah anak manusia.
BANTEN TURUN TANAH
Tempatnya adalah didepan Sanggah Kemulan,serta tanah yang akan diinjak dirajah berbentuk bedawang nala. Bantennya adalah peras, ajuman, daksina dan tipat kelanan.
BEBERAPA BUAH MANTERA
Mantera pengelepas aon
Pakulun betara Brahma, betara Wisnu Betara Iswara, manusa sira si anu angelepas-aon ipun ri betara tiga, pakulun anyuda letuh ipun, teka suda, teka suda, teka suda, lepas malan ipun.
Mantra Penyambutan
Pekulun kaki sambut, nini sambut, tan edanan sambut agung sambut alit, yan lunga mangetan, mangidul, mangalor, mangulon, mwang maring tengah atmane si jabang bayi tinututan dening prawatek dewata pinayungan. Kala cakra, pinageran wesi sambut ulihana atma bayu pramana ne si jabang bayi,
Mantra mengelilingi lesung (lumpang)
Om Sang Wawu pada wawu, anak ira si Tunggal Ametung, putun ira si karang jarat, sira anak-anakan beligo, ingsun anak-anakan pusuh, ingsun anak-anakan watu, anak-anakan antiga, ingsun anak-anakan manusa.
Mantra ngayab / natab banten penyambutan, tataban dllnya
Pakulun kaki prajapati, nini Prajapati, kaki Citragotra, nini Citragotri, ingsun aneda sih nugraha ring kita, sambutan ulapi, atmane sianu, manawi wenten atman anganti ring pingiring samudra, ring tengahing udadi, ndaweg ulihakene awaknia si anu, denpun tetep, mandel, denpun kukuh pageh aweta urip (dilanjutkan dengan Ayu Wredi…………….)
Mantra menurunkan bayi
Pakulun kaki Citragotra, nini Citragotri, ingsun mintanugraha nurunaken rare, ring lemah, turun ayam, ameng-ameng sarwa kencana sri-sedana, katur ring betari Nungkurat, betari wastu, betari kedep, meka I kaki Citragotra, nini Citragotri, iki aturan ipun srahatos, ameta urip waras dirgayusa, tan kemeng geget, wewedinan, asungana, aweta urip, teguh timbul, bujangga kulit, akulit tembaga, aotot kawat, abalung besi, anganti matungked bungbungan, angantos batu makocok, ulihakena pramanannia maka satus dualapan maring raga walunannia si bajang bayi. Om Tebel Akasa tebel pertiwi, mangkana tebel akukuh, atma yusa ne sirare jabang bayi.
Catatan :
Upacara mengelilingi lesung itu hanyalah merupakan penyempurnaan dari pada pengelepas aon, yang berfungsi sebagai pembersihan. Dalam hal ini adalah mandi ketaman. Lesung beserta perlengkapannya adalah sebagai simbul tetamanan.
Bayi yang meninggal sebelum umur 3 (tiga) bulan tidak dibuatkan upakara pitra yadnya. Apabila telah berumur 3 (tiga) bulan dan telah maketus pitra yadnya adalah Ngalungah.
UPACARA SATU OTON (6 BULAN)
URAIAN UPACARA
Yang dimaksud satu oton disini adalah 210 hari.
Upacara ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran dan biasanya diikuti dengan upacara pemotongan rambut yang pertama kali (magundul), yang bertujuan untuk membersihkan siwa-dwara (ubun-ubun). Upacara ini sering pula dilakukan setelah si bayi berumur 3 oton. Hal ini mungkin bermaksud untuk menjaga kesehatan si bayi. Tetapi sering juga upacara pengguntingan pertama dilakukan pada waktu tiga bulan, hanya saja tidak digundul sampai bersih, melainkan merupakan simbolis saja. Demikian pula menurut lontar-lontar upacara turun tanah dilakukan pada waktu otonan yang pertama kali ini. Tetapi kalau diperhatikan, anak-anak sekarang telah mulai belajar berjalan sebelum berumur satu oton.
Dan tujuan dari pada upcara turun tanah itu adalah mohon waranugraha kehadapan Ibu Pertiwi, maka kiranya upacara tersebut baiknya dilakukan sebelum si bayi belajar berjalan. Di samping si bayi untuk pertama kali diperkenalkan kehadapan Ida Betara Betari yang ada di Dasarnya, yaitu diwujudkan dengan menghaturkan pejati / pesaksi ke Bale Agung (Pura Desa).
Upacara yang paling kecil
Prayascita, parurubayan (untuk magundul), jejanganan, tataban seadanya, peras lis, banten pesaksi ke Bale Agung / pura Desa, ajuman 12 tanding), banten turun tanah dan banten kumara.
Upacara yang lebih besar
Seperti diatas, hanya saja parurubannya dilengkapi dengan guling babi, dan tatabannya dilengkapi dengan pulagembal / bebangkit.
Catatan :
Upakara / alat perlengkapan untuk magundul adalah :
Gunting, cincin (kalau dapat bermata mirah), kartika, 5 buah seet mingmang, karawista dan belayag (untuk tempat rambut).
TATA UPACARA
Setelah memuja sajen (termasuk menghaturkan sebagai saksi ke Dewa) dilakukan persembahyangan yakni :
1) ke Surya sebagai pesaksi
2) Bhatara-bhatari juga sebagai pesaksi
3) Sembahyang peguntingan dan yang terakhir
4) Sembahyang oton
Sesudah itu dilakukan peguntingan. Ketika ini, si bayi kepalanya (paban) berisi bunga tunjung, masirat (maketis) sirat cendana berisi garboda lalu sang Sulinggih mengambil gunting (tangan berisi andel-andel) dan cincin yang berisi karawista, kemudian memotong rambut si bayi. Rambut si bayi yang akan dipotong ditempeli kartika, seet mingmang dan cincin dan kemudian digunting di depan, di sebelah kanan, di sebelah kiri, dan dibelakang dan ditengah. Setelah selesai rambut ditanam dibelakang Sanggah Kemulan. Setelah itu lalu diberi prayascita, pebersihan dsbnya yang berfungsi sebagai penyucian, kemudian dilanjutkan dengan natab banten dan akhirnya turun tanah serta bersembahyang / mohon wangsuh pada.
BEBERAPA MANTRA
Mantra untuk gunting rambut / mapetik
Om yata way sakel panem ikesame anidih papa klesa winasa syat Banghara mantram utaman.
Mantra Cincin
Om Eng tejo sakalpanem suci ka tri mahesidhi, papa klesa winasa syat takara Mantra Utaman
Mantra panca kusika (seet-mingmang)
Om Kusa sri kusa widnyanan pawitran, papasasanem, papa klesa winasa syat Nangkara aksara taman
Mantra megunting rambut di depan
Om Sang Sadya yanamah, hilanganing papa klesa peteka
Mantra menggunting rambut di depan
Om Bhang, bana dewaya nama, hilanganing lara roga wigena
Mantra menggunting rambut di sebelah kiri yang dipotong / mapetik
Om Ang hagora yanamah, hilanganing gering sasab marana
Mantra menggunting rambut di belakang
Om Tang tat purusayanamah, hilanganing gagodan satru musuh
Mantra menggunting rambut ditengah
Om Ing isana yanamah. Hilanganing sebel kandel sang pemetik.
Penjelasan Banten
BANTEN PERURUBAYAN (yang kecil)
Alasnya dilengkapi sebuah dulang atau yang lain diatasnya diisi tumpeng putih dan kuning masing-masing sebuah, jajan, buah-buahan, lauk-pauk dan ikan ayam dipanggang.
Di sebelah ditaruh dua buah wakul yang berisi jajan, buah-buahan, tumpeng masing-masing sebuah dan ikannya ayam dipanggang. Dalam upacara yang besar banten ini dilengkapi dengan guling babi yang memakai jembor, dan babi yang dipakai adalah babi jantan tetapi bukan kucit butuan, melainkan yang sudah dikebiri.
Demikian pula pada banten perurubayan ini dilengkapi dengan peras, ajuman, daksina, tulung sesayut, pesucian / pebersihan, penyeneng, atau kadang-kadang suci masing-masing satu buah / tanding.
TUMBUH GIGI
URAIAN UPACARA
Upacara ini disebut pula Ngempugin dan sedapat mungkin dilakukan pada waktu matahari mulai terbit.
Tujuan adalah untuk memohon kehadapan Betara Surya, Betara Brahma, dan Dewi Sri agar gigi si bayi tumbuh dengan baik, putih bersih, tidak jamuran / candawanan atau dimakan ulat.
UPAKARA YANG KECIL
Petinjo kukus dengan ikannya telur
UPAKARA YANG LEBIH BESAR
Adalah petinjo kukus dengan ikannya ayam atau itik yang diguling, dilengkapi dengan tataban.
Banten petinjo kukus.
Alasnya adalah sebuah taledan, kemudian diisi sebuah jit kuskusan (nasi muncuk kuskusan), dilengkapi dengan buah-buahan, jajan lauk-pauk dan ikannya sesuai dengan tingkatan upakaranya. Disekitarnya dilengkapi dengan peras, tulung, sesayut, penyeneng, pasucian, ajuman dan canang.
MANTRA NGEMPUGIN
Om Sang Hyang Surya, Brahma, ndih empug saka wenten, empug untune sianu wesi kari pinaka untune, bumi kari pinaka gusine, arata jajara kaya walandingan siniger, sire Betari sri angelukata untune sianu, tan keneng jejamuran, tan keneng subatahan, munggah untune Maha Betari Siwa Bumi Maha Sidhi.
TATA UPACARA
Setelah saji diaturkan lalu natab,sesudah itu layudannya terutama ikan digosokkan pada gusi bayi, lalu ngelayud.
MAKETUS ( LEPAS GIGI )
Upacara ini disebut juga makupak. Upacara ini dilaksanakan apabila si anak sudah lepas giginya (maketus untuk pertama kalinya). Pada upacara ini dibuatkanlah upacara yang agak berbeda dengan yang sudah-sudah, yaitu pabyakalaan dan sesayut / tatebasan. Mulai saat itu dia tidak diperkenankan lagi untuk natab jejanganan dan penyambutan, melainkan diganti dengan pabyakalaan dan sesayut / tatebasan (sesayut Pangerti Swara).
Menurut lontar Siwa Gana si anak tidak lagi diasuh oleh Sang Hyang Kumara, oleh karena itu tidak perlu lagi membuat banten Kumara.
Si anak mulai mempersiapkan diri untuk mepelajari pengetahuan. Upakara-upakara dalam hal ini tidaklah begitu banyak, dan biasanya dilakukan pada waktu otonan berikutnya, yaitu dilengkapi dengan pabyakalaan dan sesayut / tatebasan. Mengenai jenis sesayut / tatebasan yang dimaksudkan sebaiknya mohon petunjuk kehadapan tukang / orang yang dianggap tahu.
MENINGKAT DEWASA (MUNGGAH DEHA / TERUNA)
URAIAN UPACARA
Sebagai tanda kedewasaan bagi seorang laki-laki adalah suaranya mulai membesar )ngembakin), sedangkan tanda kedewasaan bagi seorang wanita adalah untuk pertama kalinya dia mengalami datang bulan (haid).
Sejak itu seseorang merasakan getaran-getaran samara karena Dewa Asmara mulai menempati lubuk hatinya. Upacara-upacara dalam hal ini terutama ditunjukkan kehadapan Sang Semara Ratih, dengan penghargaan agar beliau benar-benar dapat menjadi pembimbing dan teman hidup yang baik, berguna serta tidak menyesatkan hidup orang yang bersangkutan. Demikianlah orang yang meningkat dewasa itu disimbulkan kawin dengan Sang Hyang Semara Ratih.
Biasanya upacara meningkat dewasa ini dititik beratkan pada orang perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena kaum wanita dianggap sebagai kaum lemah, dan lebih memungkinkan untuk menanggung akibat perbuatan samara yang tersesat. Lain dari pada itu kiranya moral kaum wanita dapat dianggap sebagai barometer tinggi rendahnya, tegak runtuhnya moral suatu bangsa (alam manusia), seperti disebutkan di dalam Bhagawad Gita sebagai berikut :
kulaksaye pranasyanti, kuladharmaht sanatanah
dharma naste kulan krtsnam, udharmo bhibhavaty ute (1)
artinya :
keluarga yang didalam keadaan keruntuhan
dharmanya menemui ajal-nya
jika dharma menemui ajalnya seluruh keluarga diliputi oleh
perasaan adharma (1)
adharmabhibhavat krsna
pradusyanti kulastriyah
strisudustasu vasneya
jayate varnasamkarah (2)
artinya :
dan jika adharma meliputi suasana o Krishna
maka para wanita dari kaum keluarga itu menjadi jatuh ramalnya
dan bila para wanita moralnya jatuh, o Krishna maka terjadilah kekacauan alam manusia (2)
Upakara yang kecil
Banten pabyakalaan, prayascita, dapetan (tataban) dilengkapi dengan sesayut,sabuh rah, kalau perempuan) atau sesayut “ngeraja singa” (kalau laki-laki”. Dan banten padedarian.
Upakara yang lebih besar
Seperti diatas, dilengkapi dengan banten pesaksi di dapur, dan tataban memakai sorohan pulagembal.
TATA UPACARA
Terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita, lalu bersembahyang di dapur dan akhirnya natab sesayut sabuh rah / ngeraja singa.
Penjelasan Beberapa Buah Banten
Sesayut sabuh rah
alasnya disebut kulit sesayut, di atasnya diisi merah, disisipi bunga pucuk bang (kembang sepatu yang merah), darah mentah yang dialasi dengan takir, dan dilengkapi dengan sampian nagasari, buah-buahan, jajan, penyeneng dan canang buratwangi atau yang lain.
Sesayut Ngeraja Singa
Alasnya disebut kulit sesayut, diatasnya diisi 9 buah tumpeng yang dikalungi pekir (busung) dan setiap tumpeng berisi sebuah kawangen.
Disekitarnya dilengkapi dengan tulung urip 9 buah, tipat sidapurna 9 buah, jajan, buah-buahan, sampian nagasari, penyeneng, pasucian/pebersihan dan ikan ayam gumerot.
Banten Pededarian yang kecil
Nasi putih 11 ceper, nasi kuning 11 ceper dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya telur itik yang didadar, canang burat wangi, buah-buahan, pisang mas jajan kekiping, nyahnyah gula kepala, dan bungan yang harum serta berwarna putih dan kuning. (nyahnyah gula kelapa adalah campuran dari beras, ketan, injin yang dinyahnyah, lalu dicampur dengan kelapa yang disisir dan gula tebu / gula pasir).
Banten ini dilengkapi dengan peras ajuman, daksina dan suci. Banten ini ditaruh diatas tempat tidur dan dihaturkan kehadapan Sang Hyang Semara Ratih.
Banten pesaksi di dapur
Peras, ajuman, daksina, pebersihan, lis (bebuu), canang lengewangi buratwangi, canang sari dengan raka kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa dan sesari 225. kadang-kadang dilengkapi dengan tataban seadanya serta sesayut sabuh rah.
UPACARA POTONG GIGI (MAPANDES)
URAIAN UPACARA
Upacara ini dapat dijadikan satu dengan upacara meningkat dewasa, dan mapetik, dan penambahan upakaranya tidaklah begitu banyak. Upacara ini bertujuan untuk mengurangi Sad Ripu dari seseorang dan sebagai simbulnya akan dipotong 6 buah gigi atas (4 buah gigi dan 2 taring).
Yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah 6 sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh didalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut ditimbulkan oleh Budi Rajas dan Budi Tamas.
Sebenarnya kita sebagai manusia memiliki 3 budi yaitu : Budi Rajas, Budi Tamas, Budi Satwam, sedangkan pada binatang memiliki 2 budi yaitu : Budi Rajas, dan Budi Tamas. Oleh karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh Budi Rajas, dan Budi Tamas kiranya dapat dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangan yang tidak selayaknya menguasai diri kita sebagai manusia ini bukannya berarti bahwa Budi rajas, dan Tamas beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi hendaknya ada keseimbangan antara Budi Rajas, Tamas dan Budi Satwam sebagai penuntunnya. Adapun yang dimaksud dengan Sad Ripu :
1. 1. Tamak / loba
Suka menipu
Suka dipuji (moha)
Murka / kroda (suka marah)
Suka menyakiti sesame makhluk
Suka memfitnah
Demikianlah upacara potong gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan / kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.
Upakara yang paling kecil
Banten pabyakalaan, prayascita, pengelukatan dan tataban seadanya.
Upakara yang lebih besar
Seperti diatas, tetapi tatabannya memakai pulagembal.
CATATAN
Disamping upakara-upakara tersebut, terdapat pula upakara/perlengkapan lainnya yaitu :
Membuat / menyediakan sebuah balai-balai (dipan) untuk tempat upacara potong gigi. Pada tempat tersebut diisi perlengkapan seperti bantal, kasur, seprai, (permandian) dan tikar yang berisi gambaran Semara Ratih.
Bale Gading itu dibuat dari bamboo gading (yang lain) dihias dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta didalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci), canang buratwangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyahnyah kelapa. Bale gading ini adalah : sebagai tempat (pelinggih) dari Sang Hyang Semara Ratih.
Tegteg
Yang dimaksud dengan tegteg adalah sejenis jejahitan yang berisi jajan dan sampian tegteg. Biasanya dipakai daun rontal.
Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulisi Ardanareswari (gambar samara ratih). Kelapa gading ini akan dipakai sebagai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading ini dipendam dibelakang Sanggah Kemulan.
Untuk singgah gigi (pedangal), adalah tiga potong cabang dadap dan tiga potong tebu malem / tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1 cm atau 1, 5 cm
“Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata mirah
Untuk pengurif-urif, adalah empat kunir (isin kunyit) yang dikupas sampai bersih, dan kapur.
Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat (biasanya pengilap yang tersebut di atas ditaruh pada bokor ini. Demikian pula pangurip-uripnya.
Sebuah tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang, dan gambir. (didalam leesan itu sudah berisi kapur).
Beberapa potong kain (yang agak baik) dipakai untuk menutupi badan waktu upacara dan disebut rurub.
Banten tetingkeb yang akan diinjak waktu turun (dapat diganti dengan segehan agung).
TATA UPACARA
Seperti biasa dilakukan upacara mabyakala dan maprayascita lalu bersembahyang kehadapan Betara Surya, dan Sang Hyang Semara Ratih. Kemudian naik ke tempat upacara potong gigi (kebalai yang disebut did epan) serta duduk menghadap kehulu (keluanan). Pimpinan upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk nge”rajah” pada beberapa tempat yaitu :
Pada dahi (antara kedua kening) dengan huruf ( )
Pada taring sebelah kanan dengan huruf ( )
Pada taring sebelah kiri dengan huruf ( )
Pada gigi atas dengan huruf ( )
Pada gigi bawah dengan huruf ( )
Pada lidah bawah dengan huruf ( )
Pada dada dengan huruf ( )
Pada nabi puser dengan huruf ( )
Pada paha kanan dan kiri dengan huruf ( )
Setelah itu barulah diperciki tirtha pasangihan, selanjutnya upacara dipimpin oleh Sanggih yaitu orang yang bisa memotong gigi (nyangihin). Setelah orang yang bersangkutan tidur serta memakai rurub, maka sangging mengambil kikir, lalu dipujai. Orang yang akan diupacarai diberi pedangal tebu, disebelah kanan (kalau orang laki-laki, sedangkan kalau perempuan dipasang di sebelah kiri terlebih dahulu).
Setelah kikir dipujai, lalu dimulailah pelaksanaan potong gigi dengan disertai puja, kemudian pedangal diganti, orang yang bersangkutan disuruh meludah, pedangel diganti, dan demikian seterusnya sampai dianggap cukup (ludah dan pedangal dibuang kedalam kelapa gading).
Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir), kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali), dan sisanya dibuang kedalam kelapa gading. Selanjutnya natab banten peras, dan waktu turun menginjakkan kakinya pada tetingkeb (segehan agung) tiga kali. Sore hari setelah pemujaan sajen, dilakukan muspa kehadapan Surya Candra. Kemudian dilanjutkan dengan ma jaya-jaya dan natab.
BEBERAPA MANTRA
MANTRA KIKIR
Om Sang perigi manik, aja sira geger lunga, antinen kakang nira sri Kanaka teke kekeh pageh, tan katekaning lara wigena, take awet-awet.
MANTRA WAKTU PEMOTONGAN GIGI YANG PERTAMA
Om lunga ayu, teka yu (diucapkan 3 kali)
MANTRA PANGURIP-URIP
Om Urip-uriping bayu, sabda, teka urip, ang Ah.
MANTRA KEKESAN
Om suruh mara, jambe mara, timiba pwa ring lidah Sang Hyang Bumi Ratih ngaranira, tumiba pwa sira ring hati, kunti pepet arannira, katemu-temu delaha, samangkana lawan tembe, metu pwa sira ring wewadonan Sang Hyang Sumarasa aran nira, wastu kedep mantranku.
Catatan :
Menurut Lontar Castra Proktah (tutur Sang Hyang Yama) tidak wajar Cawa (mayat) itu ditadah, ngeludin wangke ngaran.
UPACARA MAWINTEN
URAIAN UPACARA
Upacara ini bertujuan untuk mohon waranugraha akan mempelajari ilmu pengetahuan seperti kesusilaan, keagamaan, weda dsbnya.
Pemujaan disini diutamakan kehadapan tiga dewa yaitu : betara guru sebagai pembimbing (guru), betara gana, sebagai pelindung serta pembebas daris egala tintangan / kesukaran, dan dewi Saraswati sebagai dewi penguasa ilmu pengetahuan.
SUSUNAN UPAKARANYA
Sebagai pasaksi adalah : peras, ajuman, daksina, banten “saraswati” dan sebuah cakepan (pustaka). Di depan Sanggar Pasaksi : banten pawintenan serta perlengkapannya/tataban. Untuk yang akan mawinten : tiap orang menghadapi banten-banten peras 1 tanding, byakala, dan segehan untuk bhuta.
PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN
BANTEN SARASWATI
Sebuah tamas yang berisi pisang mas, bubur precet 22 takir, bubur dibungkus dengan daun beringin 22 biji (dibungkus dengan keraras 22 biji, air cendana, empehan, madu nyahnyah gula kelapa, serta jajan-jajan yang lain, buah-buahan, canang mererepe, lenge wangi buratwangi, dan canang sari. Di samping itu pada tamas yang lain diisi bunga-bunga yang berwarna putih seperti menuh, gambir yang melukiskan Dewa Gana, tunjung sudamala, cecek dll.
BANTEN PAWINTENAN (YANG KECIL)
Alasnya adalah kulit sesayut, diatasnya diisi sebuah tumpeng dengan puncaknya telur itik yang direbus, ikannya itik putih yang diguling, dilengkapi dengan buah-buahan, jajan, jaja saraswati 11 buah dllnya.
Perlengkapan untuk ngarajah adalah : lekesan dengan ujungnya berisi tunjung biru, pinang 25 buah. Lekesan 25 buah ini dipakai sebagai labahan.
Kemudian lekesan yang sama lagi 3 biji tetapi berisi tulisan triaksara (Ang, Ung, Mang). Sirih ini akan ditelan (until). Lain dari pada itu terdapat madu 1 takir dan tangkai sirih sebanyak orang yang akan mawinten. Ini dipakai untuk ngarajah. Ngarajah (rerajahan) dan madu diperlukan apabila diadakan pawintenan Pemangku. Sedangkan pawintenan Saraswati (untuk permulaan belajar) tidak diperlukan rajahan, peguntingan dan madu.
TATA UPACARA
Pertama dilakukan upacara pelukatan, kemudian peguntingan dna ngerajah. Setelah itu barulah orang yang mewinten muspa selengkapnya. Upacara pawintenan hendaknya dilakukan bersama istri.
BRATAN PEMANGKU
Diusahakan berambut panjang, kalau dipotong oleh sesame pemangku atau oleh diri sendiri.
Pada waktu menjalankan swadarma hendaknya menurut busana pemangku
Tidak boleh makan daging sapi dan babi piaraan
Dalam hal kematian (kecuntakaan) hendaknya membatasi diri, tidak ikut ngarap sawa dan mengecap sesuatu yang berasal darinya. Dan kegiatannya hanya terbatas pada pelaksanaan upacara.
UPACARA PERKAWINAN
URAIAN UPACARA
Upacara perkawinan adalah merupakan persaksian baik kehadapan I.S.W, maupun kepada masyarakat bahwa kedua orang tersebut mengikatkan diri sebagai suami istri, dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Disamping itu upacara tersebut juga merupakan pembersihan terhadap “Sukla swanita” (bibit) serta lahir bathinnya.
Hal ini dimaksud agar bibit dari kedua mempelai bebas dari pengaruh-pengaruh buruk (gangguan Bhuta Kala), sehingga kalau keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah sebuah Manik yang sudah bersih. Dengan demikian diharapkan agar roh yang akan menjiwai Manik itu adalah roh yang baik/suci, dan kemudian akan lahirlah seorang anak yang berguna di masyarakat menjadi idaman orang tuanya). Lain dari pada itu, dengan adanya upacara perkawinan secara Agama Hindu, berarti pula bahwa kedua mempelai telah memilih Agama Hindu serta ajaran-ajarannya sebagai pegangan hidup didalam membina rumah tangganya.
Selanjutnya menurut beberapa lontar seperti Kuno dresta, Eka pertama dllnya, dikemukakan bahwa hubungan sex (didalam suatu perkawinan) yang tidak didahului dengan upacara pedengan-dengan (pekla-kalaan) dianggap tidka baik, dan disebut Kamakeparagan. Kalau kedua kama itu bertemu atau terjadi pembuahan maka, lahirlah anak yang disebut Rare-dia-diu, yang tidak mendengarkan nasehat orang tua atau ajaran-ajaran agama. Hal ini mungkin ditujukan kepada perkawinan yang direstui / disetujui oleh kedua belah pihak (pihak orang tua si gadis dan pihak orang tua si pemuda). Tetapi di Bali masih sering terjadi perkawinan secara Ngerorod, sehingga kemudian sekali segala upacara akan tertunda sampai tecapainya kata sepakat antara kedua belah pihak. Dan hubungan sex yang mungkin terjadi dalam hal ini, kiranya tidaklah dilakukan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab atas segala akibatnya. Sebagai contoh dapatlah dikemukakan perkainan antara Dewi Sankuntala dengan Prabhu Duswanta, dimana menurut ceritanya perkawinan itu tidak disertai dengan suatu upacara / upacara apapun. Kemudian kalau diperhatikan upacara-upacara didalam perkawinan kiranya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Upacara Madengen-dengenan (=makala-kalaan) adalah merupakan upacara yang terpenting (pokok) didalam perkawinan, karena didalam upacara inilah dilakukan pembersihan secara rokhaniah terhadap bibit kedua mempelai, dan pesaksi atas perkawinannya, baik dihadapan I.S.W dan masyarakat. Oleh karena itu pelaksanaannya sedapat mungkin tidak tertunda.
Upacara natab, dan mapejati (ngaba jaja) adalah merupakan penyempurnaan didalam perkawinan. Tujuan adalah untuk membersihkan lahir bathin kedua mempelai, memberikan bimbingan hidup dan menentukan status salah satu pihak. Pelaksanaannya kadang-kadang tertunda beberapa hari tergantung pada keadaan.
UPACARA YANG KECIL
Untuk penyemputan dimuka rumah si suami
Segehan cacahan warna lima, api takep dan tetabuhan.
Untuk peresmian perkawinan
Banten dengen-denganan (pekala-kalaan), tataban seadanya dan pejati.
UPACARA YANG LEBIH BESAR
Untuk penyemputan di muka rumah si suami.
Seperti diatas, dilengkapi dengan carun patemon
Untuk peresmian perkawinan
Seperti diatas, dilengkapi dengan carun-petemon dan tataban pula gembal, serta sesayut nganten.
PENJELASAN BEBERAPA BUAH BANTEN
Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan) yang terdiri dari : peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya telur itik yang direbus, tipat kelanan, sesayut, pengambyan, penyeneng, tulung, sanggah urip, pemubug. (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sesayut dengan raka-raka dan lauk-lauk), solasan 22 tanding (= nasi yang dialasi dengan taledan kecil), dilengkapi dengan lauk-pauk, ikannya sesate dan lekesan/sirih selengkapnya), bayunan (=penek warna 5 dialasi dengan daun tulujungan ikannya olahan ayam berumbum, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh diatasnya dilengkapi dengan kewangen, jika tidak mungkin membuat olahan / sesate maka ayam itu dapat pula dipanggang). Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita, lism gelar sanga, tetabuhan, dan beberapa perlengkapan seperti :
Tikeh dadakan : adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. Ini adalah merupakan simbul kesucian di gadis.
Kala Sepetan : adalah sebuah bakul yang berisi telur ayam yang mentah, sebutir, batu bulitan sebuah, uang 25, kunir, keladi, andong, kapas, lalu bakul itu ditutupi dengan serabut yang dibelah tiga dan berasal dari sebutir kelapa. Serabut itu diikat dengan benang merah putih dan hitam, diatasnya diisi muncuk dadap dan lidi masing-masing 3 buah. Ini adalah merupakan perwujudan dari pada Sang Kala Sepetan yaitu salah satu Bhuta Kala yang menerima banten pedengen-dengenan.
Tegen-tegenan, terdiri dari : cangkul, sebatang tebu, dan cabang dadap. Pada salah satu ujungnya digantungi periyuk yang berisi tutup, dan ujungnya yang lain digantungi bakul berisi uang.
Sok pedagangan : adalah sebuah bakul yang berisi beras, kain, bumbuan, rempah-rempah, pohon kunir, keladi dan andong.
Penegtegan : biasanya dipakai tiang dari pada Sanggah Kemulan yang disebelah kanan, yaitu diisi sebuah keris lengkap dengan pakaiannya. Ini adalah sebagai simbul kelaki-lakian.
Pepegatan : dibuat dari dua buah cabang dadap, yang ditancapkan agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih.
Tetimpug : dibuat dari beberapa potong bambu yang masih kedua ruasnya. Dalam upacara nanti bambu ini dibakar sampai mengeluarkan bunyi (meletus).
Carun patemon yang terletak dijalan :
Nasi dialasi dengan bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung dengan upih (daun) (ikannya hati) dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah, canang buratwangi, sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Hulu lembu, Sang Bhuta Harta, dan Sang Bhuta Kilang-kilung.
Carun patemon yang terletak diatas pintu
Nasi takilan yang ikannya darah mentah yang dialasi dengan limas (tangkih), bawang jae, dan garam. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Pila-pilu, Sanghyang Sasarudira, Sanghyang kuladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Ranggaulung, dan Kaki Rangga tan kewuh.
Banten Pejati (Jauman)
Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kuskus, dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau, gambir, rantasan saparadeg (pakaian istel) dan kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kemulan, kemudian diserahkan kepada orang tua si gadis.
BEBERAPA MANTERA
MANTERA PENGELUKATAN
Om Sanghyang Kama Jaya-Kama ratih, sira ta maka uriping carmaning ngulun, yan sira angawe manusa, aja sira amiruda, amrisakiti, wehana pengelukatan luputan luputa ring lara roga, sanut sangkala, sebel kendel, awak ring sariran ipun. Om siddhi rastu, Om, Cri Criambawane sarwa roga winasaya, sarwa papa winasanem, sarwa klesa winase ya namo namah.
Mantra natab Banten Pedengen-dengen
Om indah ta kita Sang Kala Kali, puniki pabyakala kalane sianu katur ring Sang Kala-kali sedaya, sira reka pakulun angeluwaraken, sakwehing kala, kala pati, kala karapan, kala karongan, kala mujar, kala kapepengan, kala sepetan, kala kapepek, kala cangkingan, kala durbala durbali, kala brahma makadi sakwehing kala heneng ring awak sariran ipun si anu, sami pada kaluwarane de nira betara Siwa wruh ya sira ring Hyang Hyanggani awak sarirania, kejenengana denira Sanghyang Tri purusangkara, kasaksenan denira sanghyang Triodasa-saksi lan ya maruwaten sang kala-kali mundura dulurane rahayu dan nutugang tuwuh ipun si anutunggunen dening bayu pramana, mwang wreddhi putra listu ayu (kadang-kadang dilanjutkan dengan : “Ayu wreddhi”……………………….)
TATA UPACARA MEDENGEN-DENGENAN
Seperti biasa terlebih dahulu ma-byakala, dan ma-prayascita, kemudian mempelai disuruh duduk menghadap Sanggah Kemulan serta banten medengen-dengen. Setelah banten tersebut dipujai seperlunya lalu kedua mempelai bersembahyang, kemudian diupakarai dengan alat-alat yang ada pada pebersihan seperti : sisig, keramas, segara tepung tawar dsb-nya, lalu diberi pengelukatan, dan kemudian natab banten pedengen-dengenan. Selanjutnya kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah Kemulan, Sanggar Pesaksi, tiap kali melewati Kala Sepetan kakinya disentuhkan sebagai simbul pembersihan sukla-swanita dan dirinya. Setelah tiga kali, lalu penganten yang laki berbelanja, sedangkan yang perempuan menjual segala yang ada pada “sok bebelanja” (waktu berjalan penganten yang laki memikul tegen-tegenan yang perempuan menjunjung sok bebelanjan).
Upacara jual beli ini mungkin sebagai simbul tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan “merobek tikar” (tikar dadakan), dimana pengantin yang peremuan memegang tikar tersebut dan yang laki merobek dengan keris yang berada pada penegtegan.
Hal ini merupakan simbul “pemecahan selaput gadis”. Setelah itu kedua mempelai memutuskan benang yang terlentang pada cabang dadap (pepegatan) sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui masa remajanya, dan kini berada pada fase yang baru sebagai suami istri. Kemudian bersama-sama menanam pohon kunir, andongan dan keladi di belakang Sanggah Kemulan, dilanjutkan dengan mandi / berganti pakaian.
Sore harinya dilakukan upacara melukat, mejaya-jaya dan natab dapetan seadanya, dan akhirnya mepejati (ngaba jaja). Upacara mepejati itu bertujuan menyatakan bahwa mulai saat ini si gadis tidak masih menjadi tanggung jawab dan hak waris keluarganya.
Dengan demikian upacara perkawinan dianggap selesai.
Demikian sekedar damar sentir untuk menerangi kehidupan beragama dan berbudaya!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar