Mawinten berasal dari bahasa jawa kuno, mawa arti nya bersinar dan inten arti nya intan (permata) berwarna putih/suci kemilau/bersinar dan mempunyai sifat mulia, bila diuraikan mempunyai pengertian, dengan upacara Mawinten ini orang yang melaksanakannya secara lahir batin akan suci, berkilau dan bersinar bagaikan permata juga dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Umat Hindu di Bali meyakini, wajib hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja.
Mawinten adalah penyucian diri untuk meningkatkan kualitas diri. Dengan Mawinten berarti mengubah status kehidupan menuju lebih fokus pada masalah kesucian, keagamaan, dan spiritual. Lantas, siapa saja yang bisa mengikuti pawintenan ini?
Mewinten adalah salah satu jenis dari upacara manusa yadnya. Belakangan umat semakin menyadari bahwa Mawinten itu penting bila ingin belajar pengetahuan agama maupun masalah lainnya. Mengikuti pawintenan berarti ingin lebih meningkatakan diri dalam pengabdian kepada umat maupun Sang Hyang Widhi Wasa.
Menjadi pemangku/pinandita adalah sebuah pengabdian. Niat menjadi pemangku harus karena ingin melayani umat ataupun membantu sulinggih. Tidak hanya itu, seorang pemangku tidak hanya bisa nganteb saja, tetapi juga harus bisa dharma wacana.
Jika memang ingin jadi pemangku dan memakai atribut pemangku, seseorang harus beranggung jawab atas apa yang ia gunakan. Seorang pemangku tidak ngaturan canang sama nganteb, tetapi bisa bermantra dengan baik, minimal Tri Sandya. Selain itu, juga harus bisa dharma wacana.
"Iki kabeh wenang diniksan de sang brahmana pandita, apan sira sang brahmana pandita maka putusing ulah parakreti, nimita sang brahmana pandita sinanggeh sang putus. Putusa nga. Subal. Kunang yan durung diniksan de sang brahmana putus, ri salwiring yajna-yajna swaraja karya, kirti-kirti nikang wang ring para loka tan sida putus, nga. Puput, tan wenanang watek Dewa Bhatara ananggapi ikang yajna mangkana, kalinganya ikang sarwa kala buta juga wibuh karepnira amukti bebanten, pareng lawan sawunduk warganya prasama lilingse ring manusa, kapiragan, angaku-aku Dewa, angaku Bhatara, angaku sakti wisesa, ambodo ikang angaling-alingi ulat nikang wang bakti ring Bhatara mwang ring sarwa Dewa, apan abirama polah nikang kala alilingse ring janma, angaku Dewa luwih, moha murka karepa amangan anginum, awiwidian, umolah angigel awija-wijah, saha dulur ri imia-imia, angucap-ucap lan waneh atatangisan, kweh paripolahnya, amruguli wang bodo, twi tan wruh ing kalingan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar