Sang Jiwa diperintahkan Sang Hyang Titah pencipta dan pengatur semesta turun ke dunia.
Lalu Sang Jiwa bertanya:
“Bagaimana aku turun ke dunia?”
Sang Hyang Titah memberi penjelasan:
“Engkau akan turun dalam bentuk aksara”.
Sang Jiwa kembali bertanya:
“Apa itu aksara?”
Sang Hyang Titah memberi jawab:
“Aksara adalah keabadian. Aksara adalah hening sebelum penciptaan semesta. Di dalamnya bertumbuh suara aksara. Ia adalah benih-benih terjadinya alam semesta. Ketika semesta diciptakan, yang muncul kepermukaan adalah suara dan biji-biji suara, dalam dengung. Dalam berbagai suku kata berkumandang di alam raya. Om adalah yang tertinggi dan abadi. Lalu pecah menjadi berbagai dengung suara yang terbagi menjadi suara aksara-aksara yang menjadikan unsur-unsur penciptaan terjadi. Waktu, ruang, jiwa dan alam raya. Jiwa adalah aksara dan suaranya. Jika jiwa ingin mendapat tubuh, ia berdengung dalam berbagai ragam aksara, suara-suara itu yang akan menjadi material tubuh. Tubuh yang tercipta dari dengung ini mengikat dan mewadahi jiwa.”
Sang Jiwa merasa perlu dijelaskan lebih jauh:
“Jika aksara menjadikan aku bertubuh, apakah aku akan terikat dan tak terlepas? Apakah aku kehilangan kesucianku?”
Jawab Sang Kuasa:
“Tubuhmu adalah suara aksara yang mengental. Jika engkau ingin menyucikan tubuhmu, dengungkan kembali aksara-aksara itu sampai bersuara. Suara aksara itu akan melembekkan semua kebekuan jiwa, meluluhkan kekeruhan hati dan jiwa. Sebagaimana air jika ingin memisah diri dari berbagai kotoran yang kadang melewati atau mengambang di atasnya, ia harus menyusup ke dalam pertiwi, begitu juga tubuh yang tak lain suara aksara, ia akan kembali ke kualitas aksara ketika kembali berbagai aksara itu diucapkan dan tata ulang kembali dalam ucap suara aksara. Tubuh disusupkan kembali ke dalam suara aksara. Air disucikan dengan menyusup dalam pertiwi atau diuapkan dalam akasa; tubuh disucikan kembali dengan menyusup dalam suara aksara”.
Sang Jiwa pun berangkat mendengar titah Sang Hyang Titah.
Sebelum berangkat, Sang Jiwa bertanya kembali:
“Jika aku ingin kembali berjumpa denganMu, bagaimana caranya?”
Jawab Sang Hyang Titah:
_*“Sama seperti saat engkau ke dunia, turun dalan bentuk dan berbekal aksara. Maka ketika kembali kepadaku, kembalilah dalam bentuk aksara.”*_
Sang Jiwapun turun bertangga dan berpusar dalam aksara. Menjadi putaran suara aksara dan menjelma tubuh
Demikianlah kisah turunnya Sang Jiwa.
Sang Jiwa tak lain dari aksara yang menjelma tubuh. Untuk kembali Sang Jiwa dikembalikan ke dalam bentuk aksara dan suara aksara.
Upakara atau ritual kematian, di Bali, untuk mengembalikan Sang Jiwa dikenal dengan nama *Upakara Ngeringkes* (atau Ngelelet).
Melalui tata cara Ngeringkes(atau Ngelelet) tubuh orang yang telah berpulang disucikan kembali ke asalnya, yaitu: aksara suci. Sang Jiwa yang turun ke dunia dengan sarana aksara, dikembalikan ke titik muasalnya yaitu suara suci.
Demikian juga isi dari *Kajang* (Kain putih bertulis berbagai aksara suci) adalah jalan mengembalikan tubuh kembali ke hakikat suara aksara, yang menjadi muasalnya sebelum terbentuk dan masuk dalam tubuh yang dibentuknya sendiri dengan dengung suara aksara.
_*Sang Hyang Titah adalah Ongkara Mula. Inilah ditulis dan diucapkan kembali suaranya. Tubuh sang Jiwa di dalam suara dalam Aksara Krakah-Mudra, Aksara Wrestra-Nuriastra dan Aksara Swalalita*._
Ketiga pembagian aksara itu dikenal sebagai *Tri Kona* yaitu esensi perjalanan Sang Jiwa ketika mengalami kehidupan bertubuh: *Utpti, Stiti, Pralina* (lahir, hidup, mati). Sang Jiwa yang lahir, tumbuh bertubuh, dan ketika berpulang tangga kembalinya adalah suara aksara.
*———*
Sang Jiwa yang bertubuh, jika ingin selaras dengan muasal dan Sang Hyang Titah, ia harus menjalankan doa harian menghayati dan mendengungkan kembali berbagai suara aksara tubuhnya.
Pesan ajaran itu mengatakan:
_*“Suarakan, pahami posisi, hayati, hidupkan sampai bergetar semua aksara-aksara itu”.*_
1. A = dengung suara aksara Ati Putih
2. Na = dengung suara aksara Nabi (pusar)
3. Ca = dengung suara aksara cekoking gulu (ujung leher)
4. Ra = dengung suara aksara tulang dada (tulang keris)
5. Ka = dengung suara aksara pangrengan (telinga)
6. Da = dengung suara aksara dada
7. Ta = dengung suara aksara netra (mata)
8. Sa = dengung suara aksara sebuku-buku (persendian)
9. Wa = dengung suara aksara ulu hati (madya)
10. La = dengung suara aksara lambe (bibir)
11. Ma = dengung suara aksara cangkem (mulut)
12. Ga = dengung suara aksara gigir (punggung)
13. Ba = dengung suara aksara bahu (pangkal leher)
14. Nga = dengung suara aksara irung (hidung)
15. Pa = dengung suara aksara pupu (paha)
16. Ja = dengung suara aksara jejaringan (penutup usus)
17. Ya = dengung suara aksara ampru (empedu)
18. Nya = dengung suara aksara smara (kama)
Ajaran *“Hanacaraka ring sarira”* (ha-na-ca-ra-ka dalam anatomi tubuh-jiwa) adalah salah satu metode memasuki hening dengan memahami dan menggetarkan anatomi suara aksara tubuh yang beririsan dengan Sang Jiwa.
Ajaran suci suara aksara tubuh yang lebih luas menjelaskan anatomi tubuh Sang Jiwa terdiri dari 112 simpul suara aksara, secara umum manusia memiliki 108 suara aksara yang membuatnya terkoneksi dengan proses penciptaan awal, *Sangkan Paraning Dumadi*.
Sang Jiwa turun ke dunia dalam bentuk suara aksara, kembali lagi ke Sang Hyang Titah sebagai suara aksara.
*CATATAN:*
1. Aksara Suci yang paling diutamakan dalam tradisi Kepemangkuan dan Sulinggih di Bali adalah *Dasa Aksara* dan panunggalannya (silahkan baca lontar-lontar bertema PANUNGGALAN AKSARA).
2. *Catur Dasa Aksara* yang terdiri dari empat belas aksara suci, dalam catatan banyak lontar-lontar kependetaan di Bali, sebutkan sebagai pintu meraih pintu surga dan jika dijalankan semasa hidup menjadi tangga menuju KAMOKSAN. Seperti dalam Jnana Siddhanta dan Brahmokta Widhisastra, yang mana disebutkan Catur Dasa Aksara disebut sebagai perwujudan Siwa yang disebut Catur Dasa Śiwa (empat belas kekaryaan Hyang Śiwa yang mengejawantahkan diri di alam semesta), ke14 aksara ini menjadi portal untuk memasuki pemahaman KAMOKSAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar