Senin, 14 Juli 2025

Silakramaning Penabean Kapurusan garis PARAMPARA griya agung BANGKASA

Tradisi Kapurusa Garis Parampara di Griya Agung Bangkasa

Sloka Utama:

Silakramaning Kapurusan Garis Parampara ri Penabean Griya Agung Bangkasa

Abstrak:

Tulisan ini merupakan bentuk pelestarian dan penguatan nilai-nilai tradisi suci Hindu khususnya dalam lingkup Kapurusa Garis Parampara di Griya Agung Bangkasa. Berlandaskan pada ajaran suci Hindu dan tradisi keagamaan keluarga, upaya ini menggambarkan kesinambungan nilai spiritual yang telah berlangsung lintas generasi, serta peran penting sistem Aguron-guron dalam mewujudkan kesadaran religius menuju tujuan tertinggi umat Hindu, yaitu Mokṣa.

Pendahuluan:

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, umat manusia mengakui bahwa keberadaan mereka pada masa peradaban modern merupakan anugerah yang luar biasa. Di era ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, meliputi bidang energi, kedokteran, transportasi, hingga komunikasi, yang semuanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Keimanan Hindu dalam Perspektif Teologis:

Sebagai umat Hindu, keyakinan kami tercermin dalam lima landasan utama atau Pañca Śraddhā, yaitu:

  1. Brahman – Kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Ātman – Bahwa setiap individu adalah percikan dari Tuhan, terbungkus oleh Śthūla Śarīra (tubuh kasar), Sūkṣma Śarīra (tubuh halus), dan Antaḥkaraṇa Śarīra (tubuh mental).
  3. Punarbhawa – Keyakinan terhadap kelahiran kembali atau reinkarnasi.
  4. Karma Phala – Bahwa setiap perbuatan akan berbuah sesuai hukum sebab-akibat.
  5. Mokṣa – Tujuan akhir dari kehidupan, yakni kebebasan dari penderitaan duniawi (duḥkha) dan bersatu kembali dengan Brahman.

Dalam rangka mencapai Mokṣa, seorang individu hendaknya menyucikan Karma Vāsanā yang melekat pada tubuh halus (Sūkṣma/Liṅga Śarīra) agar dapat mencapai Jīvanmukti — pembebasan spiritual dalam kehidupan ini.

Warisan Leluhur dan Tradisi Kapurusan:

Kami sebagai bagian dari keluarga besar Pasemetonan Pasek yang tergabung dalam Paiketan Dakṣa Dharma Sādhu (PDDS), bersyukur karena terlahir dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai spiritual. Para leluhur kami menjalani tahapan Catur Āśrama secara sempurna hingga mencapai Bhikṣu Āśrama, yaitu tahap kehidupan sebagai pertapa yang telah melepaskan ikatan duniawi.

Mereka menjalani hidup berlandaskan sloka utama:
“Mokṣārtham Jagadhitāya ca iti Dharma”
(Artinya: Dharma dijalankan demi tercapainya mokṣa dan kesejahteraan dunia).

Leluhur Griya Agung Bangkasa telah menapaki jalan menuju Jīvanmukti melalui pengamalan Ajaran Ida Bhatara Kawitan, yang menjadi pedoman spiritual utama. Dalam sejarahnya, sistem pendidikan spiritual (Aguron-guron) di Kapurusa Garis Parampara ini dilakukan secara terbuka lintas pasemetonan, dengan menunjuk Ida Sinuhun sebagai Nabe Śikṣā Kapurusa, meskipun berasal dari warih (garis keturunan) non-Brahmana.

Dengan demikian, Bhikṣu Āśrama dapat dimasuki oleh siapa saja yang secara tulus memohon bimbingan kepada Ida Bhatara Kawitan, melalui proses dīkṣā (inisiasi suci) yang membuka mata kebijaksanaan.

Eksistensi di Era Modern dan Pelestarian Tradisi:

Memasuki dekade kedua abad ke-21, sistem Aguron-guron di Griya Agung Bangkasa tetap berlangsung dengan baik. Kami sebagai bagian dari Kapurusa Garis Parampara Griya Agung Bangkasa merasa berkewajiban untuk:

  • Melestarikan warisan luhur ini,
  • Menjaga keaslian ajaran dan tradisi spiritual,
  • Menumbuhkembangkan nilai-nilai Dharma kepada generasi mendatang.

Hingga tahun 2025, telah tercatat sepuluh generasi yang melanjutkan tradisi ini, dengan tiga generasi di antaranya telah melaksanakan Upacara Dwijāti (inisiasi Brahmana). Tokoh spiritual yang pertama adalah Ki Dalang Tangsub. Setelah terputus pada generasi keenam, dilanjutkan kembali oleh Ida Sinuhun Paramadaksa (generasi ketujuh), kemudian oleh Ida Sinuhun Śiwa Putra Paramadaksa Manuaba (generasi kedelapan), yang juga merupakan pelopor pembangunan Pura Panataran Agung Catur Parhyangan Ratu Pasek di Pundukdawa.

Beliau berperan penting dalam menyatukan Pretisentana Ida Bhatara Sapta Ṛṣi dan Pañca Ṛṣi, serta mengembangkan sistem kaderisasi spiritual melalui dīkṣā, pawintenan Pinandita Wiwa, dan upacara transformasi menuju status Brahmana/Sulinggih, dengan simbolisasi metamorfosis dari kepompong menuju kupu-kupu yang siap menerbangkan ajaran Dharma ke seluruh penjuru dunia.

Tradisi Kapurusa Garis Parampara Griya Agung Bangkasa bukan hanya merupakan warisan keluarga, melainkan juga warisan spiritual yang memiliki nilai luhur universal. Pelestarian sistem Aguron-guron dan inisiasi Dwijāti adalah bagian dari upaya menciptakan manusia Hindu yang paripurna secara spiritual. Kesadaran ini menjadi kunci dalam menghadirkan kembali nilai-nilai Dharma di tengah dinamika modernitas.

Perubahan zaman menuntut adanya transformasi dalam sistem pembinaan rohaniawan Hindu, khususnya Sulinggih, agar dapat menjawab kebutuhan spiritual masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis. Dalam konteks ini, sistem Aguron-guron—yakni proses pendidikan dan pembinaan calon Sulinggih—perlu ditingkatkan melalui penataan yang menyeluruh dan sistematis, baik dari aspek struktur kelembagaan, pelaku pembinaan, hingga materi dan metodologi yang diterapkan.

Upaya ini menjadi sangat krusial agar Sulinggih yang dilahirkan tidak hanya mumpuni secara spiritual, tetapi juga kontekstual terhadap realitas sosial, mampu menjadi pembimbing moral, serta menjadi pengemban Dharma di era modern.

---


BAB I: PENGERTIAN, NAMA, DAN KEDUDUKAN


Pasal 1: Pengertian

1. Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa merupakan wadah resmi penyelenggaraan sistem Aguron-guron di lingkungan Pasemetonan Pasek, yang berada di bawah naungan Paiketan Dakṣa Dharma Sādhu (PDDS) dan dipimpin oleh seorang Ida Sinuhun selaku Nabe Śikṣā.

2. Silakramaning Penabean Aguron-guron adalah tata tertib dan sistematika spiritual yang mengatur proses pembentukan seorang Sisya atau siswa kerohanian dalam lingkup pendidikan spiritual di Pasraman Rangdilangit.

3. Aguron-guron adalah proses transformatif dan edukatif antara Ida Sinuhun (guru pembimbing utama) dan Sisya (calon Sulinggih), yang mencakup pembinaan fisik, mental, dan spiritual pada tahap akhir kehidupan, yaitu Bhikṣu Āśrama. Orientasi utamanya adalah pembentukan rohaniwan Hindu (Bujangga, Buddha, atau Siwa) yang suci dan fungsional.

4. Ida Sinuhun (Nabe Śikṣā) adalah Sulinggih senior yang memiliki hubungan rah (keterhubungan spiritual) dan berdomisili di Griya Agung Bangkasa, serta bertanggung jawab penuh atas jalannya sistem Aguron-guron.

5. Ida Nabe adalah Sulinggih utama dalam sistem Parampara, yang memikul tanggung jawab dalam proses Dīkṣā dan membina Sisya hingga mencapai kematangan spiritual seumur hidupnya.

6. Guru Waktra adalah pendamping Ida Nabe yang bertugas melakukan pembinaan Sisya sejak tahap awal hingga kesiapan menerima Dīkṣā. Guru Waktra pula yang memberikan ponjen kepada Diksita.

7. Guru Saksi adalah pendamping spiritual yang berfungsi mengawasi dan mengevaluasi perkembangan Sisya dalam sistem Aguron-guron, serta memberikan pecatu sebagai peneguhan terhadap pencapaian Sisya.

8. Dīkṣā adalah proses inisiasi spiritual yang dilakukan oleh Ida Nabe kepada calon Sisya, yang menandai pengakuan resmi bahwa seseorang telah diterima sebagai peserta Aguron-guron dan anggota komunitas Sulinggih.

9. Dīkṣā Mapulang Rah adalah inisiasi yang dilakukan kepada putra/putri kandung dalam lingkup keluarga Guru Rupaka dengan restu Ida Nabe, yang menjadikan mereka bagian resmi dari Penabean Garis Parampara Griya Agung Bangkasa.

10. Pembinaan Calon Dīkṣā merupakan tahapan pendampingan dan pendidikan bagi para Pinandita Wiwa atau Jro Mangku Gde untuk menuju status Bhāwati, sebelum menerima Dīkṣā. Kegiatan ini dilaksanakan di Pasraman Rangdilangit (di bawah Yayasan Widya Dakṣa Dharma) sebagai bagian dari akhir fase Wānāprastha Āśrama. Di tahap ini, calon diberikan ruang untuk mendalami Tattwa, Sūsīla, dan Ācāra secara luas di masyarakat.

11. Dīkṣā Turiksa Calon Dīkṣā adalah ujian akhir untuk menguji kesiapan calon Sisya. Jika lulus, mereka diberikan rekomendasi formal untuk diajukan kepada Ida Nabe sebagai syarat diterima menjadi Sisya.

12. Pinandita Wiwa / Jro Mangku Gde adalah individu yang menjalani kehidupan kerohanian, mempelajari ilmu pinanditaan secara mendalam, dan mengikuti pembinaan di Griya Agung Bangkasa sebagai bagian dari proses menuju Sulinggih.

13. Ida Bhāwati / Ida Gde / Ida Diksita adalah jenjang lanjutan dalam sistem Aguron-guron, di mana seorang Sisya telah “dimasukkan ke dalam kandungan Nabe” secara spiritual dan dinilai telah menguasai Ajah-ajahan (materi ajaran), yang keputusan akhirnya ditentukan oleh Ida Nabe.

14. Paiketan Dakṣa Dharma Sādhu (PDDS)

Paiketan Dakṣa Dharma Sādhu (PDDS) merupakan wadah persaudaraan spiritual yang menghimpun seluruh warih (keturunan) Ida Bhatara Kawitan, khususnya Pretisentana dari Ida Bhatara Panca Tīrtha, yang telah menerima anugerah Dīkṣā dari Ida Nabe. Keanggotaan PDDS mencakup mulai dari mereka yang baru di-dīkṣā hingga para Ida Sulinggih dengan usia pediksan kurang dari tiga tahun.

15. Sabha Agung

Sabha Agung adalah forum musyawarah tertinggi dalam sistem Penabean Kapurusan Griya Agung Bangkasa. Forum ini dilaksanakan atas persetujuan dan restu dari Ida Sinuhun Nabe Siksa, serta dihadiri oleh seluruh Ida Sulinggih dari garis Parampara Kapurusan Griya Agung Bangkasa. Keanggotaannya meliputi:

Ida Sinuhun Nabe Siksa

Ida Nabe

Guru Pembina (yang terdiri atas Guru Waktra dan Guru Saksi)

Seluruh Ida Sulinggih dalam garis Parampara Kapurusan Griya Agung Bangkasa

16. Sabha Madya

Sabha Madya merupakan forum diskusi terbatas antara unsur-unsur penting dalam penabean, seperti:

Ida Nabe dan para Guru Pembina, atau

Guru Pembina dengan para Nanak Dharma (sisya tingkat lanjut),

yang membahas berbagai aspek pembinaan kerohanian.

17. Sabha Alit

Sabha Alit adalah forum diskusi atau paruman bersifat terbatas, khusus diikuti oleh Nanak Dharma, Pinandita Wiwa, atau peserta Aguron-guron lainnya secara keseluruhan maupun sebagian. Forum ini berfungsi sebagai ruang Dharma Tula (diskusi keagamaan) untuk memperdalam pemahaman ajaran.

18. Bhisama

Bhisama adalah ketetapan atau wacana resmi yang memiliki kekuatan hukum spiritual dan moral dalam sistem Penabean, yang dapat bersumber dari:

1. Ida Sinuhun Nabe Siksa secara langsung, dan/atau

2. Keputusan Sabha Agung, dan/atau

3. Keputusan Sabha Madya yang telah memperoleh pengesahan dari Ida Nabe masing-masing Kapurusan.

Bhisama ini bersifat mengikat dan wajib dihormati oleh seluruh Ida Sulinggih, termasuk Ida Bhawati, Ida Gde, Ida Diksita, para Pinandita Wiwa, serta seluruh Welaka Griya Kapurusan yang berada dalam lingkup garis Parampara Griya Agung Bangkasa.

19. Tri Kahyangan Utama Maha Kapurusan

Tri Kahyangan Utama Maha Kapurusan adalah tiga pura utama yang berfungsi sebagai pusat spiritual dan tempat sosialisasi segala Bhisama dan keputusan Sabha Agung yang ditetapkan oleh Ida Sulinggih. Ketiga pura ini adalah:

1. Pura Panataran Mrajan Agung Dalem Tangsub

2. Pura Kahyangan Dharma Smerti

3. Pura Griya Sakti Manuaba di Bongkasa


20. Yadnya Dangan

Yadnya Dangan adalah bentuk pelaksanaan Pañca Yadnya yang tergolong ringan, di luar Atiwa-tiwa (Upacara Ngaben) dan Dewa Yadnya berskala besar seperti Nyanggar Tawang. Yadnya Dangan bersifat praktis dan dilaksanakan dalam rangka menjaga kesinambungan spiritual di tengah kehidupan umat.

---


Pasal 2: Nama Lembaga


Lembaga ini secara resmi bernama:

Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa,

yang merupakan wadah Aguron-guron lintas Pasemetonan dalam lingkungan Pretisentana Ida Bhatara Kawitan Panca Ṛṣi. Lembaga ini berada di bawah naungan Paiketan Dakṣa Dharma Sādhu (PDDS), dan menjadi tempat pembinaan spiritual mendalam (PaSeK - Pamikukuh Sesananing Kawikon) khususnya bagi mereka yang menapaki fase akhir Catur Āśrama, yaitu Bhikṣu Āśrama, dalam rangka mencapai Jagadhita dan Mokṣa.

---


Pasal 3: Kedudukan


Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa berkedudukan resmi di:

Sekretariat Parama Dakṣa Manuaba,

Jl. Tangsub No. 4, Banjar Pengubugan, Desa Bongkasa,

Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.


Adapun Griya Ida Sinuhun Nabe Siksa yang berada dalam garis Parampara Kapurusan Griya Agung Bangkasa, berfungsi sebagai pusat pengendalian dan penggerak utama organisasi ini, baik secara administratif maupun spiritual.


BAB II

FUNGSI, TUGAS, WEWENANG, SASARAN, DAN TUJUAN

Pasal 4 – Fungsi

Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa memiliki sejumlah fungsi utama sebagai institusi kerohanian Hindu yang berbasis pada sistem Aguron-guron. Fungsi-fungsi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Fungsi Edukatif-Spiritual
    Menjadi wadah proses Aguron-guron atau pembelajaran spiritual antara Sisya (peserta didik) dengan Guru Waktra sebagai pembimbing utama, dan Guru Saksi sebagai pengawas perkembangan kerohanian. Proses ini dilaksanakan secara terstruktur dan dibimbing oleh Ida Sulinggih Kapurusan sebagai figur sentral dalam pembinaan spiritual.

  2. Fungsi Regeneratif-Kaderisasi
    Menjadi sarana kaderisasi Ida Sulinggih yang berkualitas dari berbagai lintas Pasemetonan, yang mampu menjawab tantangan pelayanan umat Hindu di masa kini dan masa depan secara kontekstual dan berkelanjutan.

  3. Fungsi Penguatan Identitas Kesulinggihan
    Berperan sebagai media penguatan jati diri kesulinggihan sesuai dengan Agem-ageman (pilihan aliran/maẓhab kerohanian), baik sebagai Bujangga, Buddha, maupun Siwa, dalam koridor ajaran kerohanian Hindu yang luhur.

  4. Fungsi Penyucian dan Pemeliharaan Diri Spiritual
    Sebagai tempat pembinaan berkelanjutan bagi Ida Sulinggih Kapurusan dalam meningkatkan kesucian diri (adhyatmika) yang menjadi dasar untuk mencapai Jagadhita (kesejahteraan lahir dan batin) dalam kehidupan duniawi.

  5. Fungsi Transendental-Soteriologis
    Menjadi sarana penyucian dan peningkatan kualitas diri secara menyeluruh—baik jasmani, mental, maupun spiritual—guna mencapai Jiwanmukti (pembebasan spiritual dalam kehidupan ini) dan Mokṣa (pembebasan akhir dari siklus kelahiran kembali).

  6. Fungsi Sosial-Spiritual
    Selain mencetak Ida Sulinggih yang berorientasi pada Ngeraga (penyucian diri pribadi), Penabean juga berfungsi untuk melahirkan Ida Sulinggih yang siap melayani umat melalui kiprah sosial-keagamaan, seperti:

    • Ida Sulinggih Nglokapala Śraya: Pemimpin spiritual yang berkiprah di tengah masyarakat.
    • Ida Sulinggih Dang Ācārya: Guru kerohanian yang aktif memberi pencerahan melalui Dharma Wacana, pendidikan spiritual, dan kegiatan keagamaan lainnya.

Pasal 5 – Tugas

Pada hakikatnya, kehidupan manusia merupakan anugerah dan kesempatan yang sangat bernilai untuk mengembangkan kualitas diri, baik dalam aspek fisik, mental, maupun spiritual. Pencapaian tingkat kesucian pribadi sangat bergantung pada kehendak bebas, motivasi, serta niat tulus dan ikhlas dari individu yang bersangkutan. Dalam kerangka itulah, Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa memikul sejumlah tugas utama sebagai berikut:

  1. Memberikan Informasi dan Edukasi Keagamaan
    Menyampaikan informasi, menganjurkan, serta mendorong umat Hindu agar senantiasa menjalankan kehidupan yang selaras dengan nilai-nilai dan ajaran Agama Hindu, khususnya yang bersumber dari Śruti, Smṛti, dan Āgama Śāstra.

  2. Mendorong Pencapaian Tahap Spiritual Lebih Tinggi
    Mengarahkan dan memfasilitasi umat yang berminat menjalani Wānaprastha Āśrama dan Bhikṣu Āśrama secara serius dan sistematis, melalui pelatihan dan pembinaan calon Dīkṣā di Pasraman Rangdilangit, Yayasan Widya Dakṣa Dharma. Tugas ini dilimpahkan kepada Penyanggra Griya Agung Bangkasa berdasarkan hasil keputusan Sabha Agung.

  3. Menerima dan Membina Calon Sisya
    Menerima individu (calon Sisya) yang dengan ketulusan hati dan niat spiritual ingin menapaki Asuci Laksana melalui tahapan Wānaprastha dan Bhikṣu Āśrama sebagai bagian dari proses menuju pembebasan spiritual (Mokṣa).

  4. Melaksanakan Sistem Pendidikan Aguron-guron
    Melaksanakan proses Aguron-guron (pendidikan spiritual) melalui pengajaran, pembimbingan, serta pembinaan berkesinambungan kepada Welaka, Pinandita Wiwa, Ida Bhawati/Ida Gde/Ida Dīkṣita, hingga Ida Sulinggih agar mampu meningkatkan kesucian dan kualitas diri secara utuh: jasmani, mental, dan rohani.

  5. Memperkuat Komunikasi dan Keharmonisan Antar Sulinggih
    Menjalin dan membina komunikasi yang harmonis antara sesama Ida Sulinggih dalam garis Parampara Kapurusan Griya Agung Bangkasa, serta mempererat relasi dengan Sulinggih lain di luar lingkungan Penabean guna mendukung ekosistem spiritual yang damai dan suci.

  6. Membangun Kerja Sama Intra-Lembaga
    Mengembangkan kerja sama yang sinergis dan harmonis dalam lingkungan Penabean Kapurusan Griya Agung Bangkasa guna menciptakan semangat saling mendukung, dengan tujuan utama untuk menggali dan mengaktualisasikan jati diri spiritual sebagai umat yang menjunjung prinsip Vasudhaiva Kutumbakam (seluruh umat manusia adalah satu keluarga).

  7. Menanamkan Disiplin Spiritual Berbasis Asuci Laksana
    Menanamkan nilai disiplin spiritual melalui pelaksanaan Asuci Laksana secara bersama-sama dan konsisten, dalam suasana saling melengkapi dan mendukung antar Ida Sulinggih, menuju praktik Satya Brata yang menjadi landasan utama keberhasilan dalam pelaksanaan Yoga-Samādhi.


Pasal 6 – Wewenang


Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, dipimpin oleh Ida Sinuhun Nabe Siksa, memiliki kewenangan penuh dalam rangka pengelolaan lembaga dan pelaksanaan fungsi serta tugas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Rincian kewenangannya adalah sebagai berikut:


1. Pengelolaan Institusi

Mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek operasional Penabean agar dapat menjalankan fungsi dan tugas secara efektif dan konsisten.


2. Penetapan Kurikulum Spiritual

Menetapkan sistem Aguron-guron, termasuk menyusun dan menetapkan materi ajar spiritual dalam konteks pembelajaran di Pasraman Rangdilangit—Yayasan Widya Dakṣa Dharma.


3. Pengawasan Kurikulum

Melarang penggunaan materi ajar maupun metode pembelajaran di luar kurikulum resmi yang telah ditetapkan dalam sistem Aguron-guron lembaga.


4. Seleksi Calon Sisya

Menerima individu dari berbagai pasemetonan yang memenuhi syarat dan mengajukan diri untuk menjadi Calon Sisya.


5. Penolakan Calon Tidak Layak

Menolak calon Sisya yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Silakramaning Penabean ini.


6. Legitimasi Inisiasi Formal

Mengeluarkan pernyataan resmi bahwa seseorang telah menjadi Sisya setelah melalui upacara Dīkṣā oleh Ida Sinuhun Nabe Siksa.


7. Penyusunan Tata-cara Ritual

Menetapkan secara tertulis tata cara dan ketentuan pelaksanaan Padiksan serta upacara-upacara dalam lingkungan Penabean sebagai bagian dari perangkat peraturan resmi.


8. Penetapan Guru Pembina

Menerima, mencermati, menyetujui atau menolak Calon Guru Waktra dan Guru Saksi yang diusulkan oleh Calon Sisya, berdasarkan integritas dan kompetensi rohani.


9. Penunjukan Pengganti Guru Pembina

Menunjuk dan menetapkan pengganti Guru Waktra atau Guru Saksi apabila terjadi kekosongan karena faktor kematian atau ketidakhadiran, kecuali jika Sisya telah mencapai tingkatan Ida Sulinggih Utama dan Ida Sinuhun Nabe sendiri siap melanjutkan peran pembinaan tersebut.


10. Pemberian Penghargaan Spiritual

Dalam rangka mendorong disiplin dan kemajuan dalam praktik Asuci Laksana, Ida Sinuhun Nabe berhak memberikan penghormatan, berupa kurnia mantram, Catu, atau Piagam, kepada Sisya yang menunjukkan perkembangan nyata dalam kualitas spiritual, sebagai bentuk apresiasi dan legitimasi spiritual.


Butir 11.

Setiap Ida Sulinggih yang telah dinilai cakap secara spiritual dan teknis dalam melayani masyarakat keagamaan, dapat diberikan kewenangan untuk muput (melaksanakan) upacara keagamaan Hindu, sesuai dengan tingkat kemampuannya, atas penilaian dan rekomendasi Guru Pembina serta persetujuan Ida Sinuhun Nabe Siksa.


Butir 12.

Guru Waktra berkewajiban menyampaikan ajaran spiritual dan materi Aguron-guron sesuai dengan garis besar ajaran yang telah digariskan oleh Ida Nabe Senior dan ditetapkan oleh Lembaga Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa.


Butir 13.

Guru Saksi memiliki wewenang untuk memberikan teguran dan melakukan klarifikasi apabila ditemukan adanya penyimpangan dalam praktik ajaran yang dilakukan oleh Sisya. Teguran tersebut harus terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Guru Waktra, dan didasarkan pada prinsip kehati-hatian, pemurnian ajaran, dan pelestarian doktrin yang telah ditetapkan.


Butir 14.

Ida Sulinggih yang menjalankan Asuci Laksana semata-mata untuk kepentingan pembinaan diri secara internal (Ngeraga) tetap menjadi bagian dari sistem pembinaan dalam Penabean ini, dan berhak mendapatkan bimbingan spiritual serta dukungan dalam rangka penyempurnaan jalan pribadi menuju moksa.


Butir 15.

Terhadap Ida Sulinggih yang dipandang belum memenuhi kompetensi untuk muput upacara di masyarakat pada tingkat tertentu, Guru Pembina atau Ida Nabe berkewajiban untuk memberikan motivasi, bimbingan, serta pelatihan intensif guna meningkatkan kesucian rohani (power) dan keterampilan liturgisnya secara berkelanjutan.


Butir 16.

Sebagai wujud penguatan sistem ajaran dan pengawasan integritas doktrin, Ida Sinuhun Nabe Siksa atas nama Pimpinan Penabean, berhak untuk menegur atau melarang setiap bentuk penyusupan ajaran, metode, atau praktik spiritual dari luar sistem Penabean, kecuali telah melalui telaah dan persetujuan formal dari Sabha Madya atau Sabha Agung.


Butir 17.

Hanya Ida Sinuhun Nabe Siksa selaku otoritas tertinggi dalam Penabean yang memiliki kewenangan untuk menetapkan status dan peran seorang Sisya sebagai:


Ida Sulinggih Ngeraga, yang berfokus pada asuci laksana pribadi,


Ida Sulinggih Nglokapala Śraya, yang aktif dalam pelayanan sosial keagamaan masyarakat,


atau Ida Sulinggih Dang Acarya, yang diberi wewenang menyampaikan dharma wacana atau ajaran secara terbuka kepada umat.



Butir 18.

Penetapan jenis dan tingkatan upacara keagamaan Hindu yang dapat dipimpin oleh seorang Sisya sepenuhnya berada di bawah kewenangan Ida Sinuhun Nabe Siksa, berdasarkan penilaian atas kesiapan spiritual, penguasaan ajaran, dan integritas moral dari Sisya yang bersangkutan.


Butir 19.

Setiap Ida Sulinggih dari Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa dilarang keras untuk melakukan pelanggaran terhadap ketetapan, ketentuan, maupun tata tertib Penabean yang telah ditetapkan. Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan dikenai sanksi moral, administratif, atau spiritual sesuai mekanisme yang berlaku dalam Sabha Penabean.


Pasal 7

Sasaran

Pelaksanaan sistem Aguron-guron di dalam Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran strategis sebagai berikut:

1. Menginternalisasi Ajaran Ida Bhatara Kawitan

Membangun pemahaman mendalam terhadap ajaran suci Ida Bhatara Kawitan yang diyakini memiliki kekuatan transformatif dalam meningkatkan kualitas hidup umat manusia, baik secara fisik maupun mental, melalui jalur spiritual yang berkesinambungan.


2. Mencetak Ida Sulinggih Berkualitas dan Relevan terhadap Zaman

Menyiapkan dan melahirkan Ida Sulinggih yang unggul secara spiritual, intelektual, dan moral, serta responsif terhadap tuntutan perubahan sosial dan kebutuhan umat Hindu di masa kini dan mendatang.


3. Membentuk Ida Sulinggih Jagadhita

Mencapai tujuan kehidupan duniawi yang seimbang dan harmonis (jagadhita), yaitu kesejahteraan lahir dan batin, yang diwujudkan dalam pribadi Ida Sulinggih yang mampu menjadi teladan dalam praktik Dharma.


4. Menjadi Pusat Pencerahan Ajaran Dharma Kawitan

Menjadikan Penabean sebagai pusat pencerahan dan pengembangan ajaran Ida Bhatara Kawitan, serta penyebarluasan nilai-nilai kebenaran universal kepada seluruh lapisan masyarakat, yang didukung secara kolektif oleh umat dari berbagai Griya dan lintas pasemetonan.


5. Menanamkan Kesadaran Spiritual Menuju Jagadhita dan Mokṣa

Membina umat manusia agar menyadari dan memahami secara mendalam tujuan akhir dari kehidupan spiritual, yakni Jagadhita (kesejahteraan duniawi) dan Mokṣa (pembebasan rohani), melalui tuntunan ajaran suci Ida Bhatara Kawitan.


Faktor Penentu Keberhasilan

Disadari bahwa pencapaian sasaran-sasaran strategis tersebut sangat bergantung pada sinergi dan kualitas dari empat pilar utama dalam sistem Aguron-guron, yaitu:

1. Calon Diksa, sebagai subjek utama yang menjalani proses pembinaan spiritual.

2. Perangkat Penabean, termasuk Ida Sinuhun Nabe, Guru Waktra, Guru Saksi, serta struktur pembina lainnya.

3. Materi Ajar (Ajah-ajahan), sebagai dasar epistemologis dan praktis dalam proses pendidikan kerohanian.

4. Metodologi Pembelajaran, sebagai pendekatan sistematik dalam menyampaikan nilai-nilai kerohanian yang kontekstual dan transformatif.

Dengan demikian, pembinaan Calon Diksa dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Aguron-guron dan merupakan fase fundamental dalam rangka memastikan keberhasilan program Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa secara berkelanjutan.


Pasal 8

Tujuan

Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa diselenggarakan sebagai bagian dari sistem pembinaan kerohanian Hindu, yang memiliki tujuan utama sebagai berikut:


1. Membimbing Sisya Menjadi Sulinggih yang Sah dan Paripurna

Mengantarkan para Sisya yang terdiri dari Walaka, Pinandita Wiwa, Ida Bhawati, Ida Gde, atau Ida Diksita melalui tahapan pendidikan spiritual dan Asuci Laksana yang berkesinambungan, hingga layak dan sah ditetapkan sebagai Ida Sulinggih sesuai dengan ajaran dan tradisi keagamaan Hindu yang diwariskan oleh Ida Bhatara Kawitan.


2. Mengarahkan Sisya Menuju Tujuan Tertinggi Kehidupan: Jīvanmukti dan Mokṣa

Membimbing Sisya untuk mencapai kelepasan spiritual (mokṣārtham), yaitu terbebas dari keterikatan duniawi, melalui proses penyucian diri yang intensif dan disiplin spiritual yang mendalam. Tujuan akhir ini diwujudkan dalam pencapaian Jīvanmukti, yakni kebebasan rohani dalam kehidupan ini, atau Mokṣa, yakni penyatuan atman dengan Brahman setelah terlepas dari siklus kelahiran kembali (samsara).


Pasal 9

Ida Sulinggih Masa Depan

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat global maupun umat Hindu akan memasuki era yang ditandai oleh pola pikir yang semakin cerdas, logis, kritis, praktis, serta mengedepankan nilai-nilai efisiensi, kesederhanaan, dan rasionalitas spiritual. Oleh karena itu, diperlukan sosok Ida Sulinggih Masa Depan yang memiliki integritas tinggi dan kapabilitas memadai untuk menjawab kebutuhan pelayanan rohani umat secara holistik.


Karakteristik dan kualitas Ida Sulinggih yang relevan dan dibutuhkan di masa mendatang dapat diidentifikasi dan diukur melalui indikator berikut:


1. Ditinjau dari Perspektif Triguna (Sifat Dasar Alam Material):

Ida Sulinggih Masa Depan adalah pribadi yang berlandaskan pada dominasi Sattwika guna – yaitu sifat yang mencerminkan ketenangan batin, keseimbangan sikap, harmoni dalam tindakan, serta kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan. Beliau menjadi sumber kesejukan spiritual dalam dinamika masyarakat yang kompleks.


2. Ditinjau dari Tingkat Keterikatan terhadap Dunia Material:

Sosok Ida Sulinggih Masa Depan harus merupakan seorang Ātma Sādhaka atau Amṛta Sādhaka, yakni pribadi yang telah menyadari sepenuhnya bahwa jati dirinya bukanlah badan fisik (sthūla śarīra), melainkan Ātman yang kekal dan transendental. Kesadaran ini menjadi fondasi dalam menjalankan laku spiritual secara tulus dan mendalam, terbebas dari hasrat duniawi dan keterikatan material.


3. Ditinjau dari Ruang Lingkup dan Orientasi Swadharma (Tugas Spiritual):

Dalam kiprah pengabdiannya, Ida Sulinggih dapat memilih jalan spiritual yang sesuai dengan kapasitas dan panggilan batinnya, yakni:


Ida Sulinggih Ngeraga: berfokus pada penyucian diri pribadi secara intensif melalui kontemplasi, tapa, brata dan yoga.


Ida Sulinggih Nglokapala Śraya: berkiprah sebagai pelayan umat, hadir di tengah masyarakat sebagai pembimbing spiritual dalam konteks sosial-keagamaan.


Ida Sulinggih Ācārya (Dang Ācārya): menjalankan fungsi edukatif melalui penyebaran nilai-nilai Dharma, baik dalam bentuk dharma wacana, pendidikan spiritual, maupun penulisan dan kajian śāstra.


Dengan demikian, apapun bentuk Swadharma yang dipilih—baik sebagai Ngeraga, Nglokapala Śraya, maupun Ācārya—diharapkan setiap Ida Sulinggih telah mencapai tingkat kesadaran spiritual murni (Amṛta), kepribadian sattwika, dan memiliki keteguhan dalam Dharma, sehingga benar-benar menjadi sosok Sulinggih yang paripurna serta mampu memberi arah bagi kehidupan umat di masa kini dan mendatang.



Pasal 10

Sulinggih: Ida Sang Meraga Putus

Sulinggih, dalam makna tertinggi dan terdalam, adalah sosok spiritual yang telah mencapai tingkat pelepasan diri sepenuhnya dari keterikatan material, baik secara lahiriah maupun batiniah. Ida Sang Meraga Putus adalah wujud dari pencapaian spiritual tertinggi dalam laku tapa dan asuci laksana seorang dwijati. Ciri-ciri dan indikator pencapaiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Āmṛta Sādhaka

Ida Sulinggih telah berada pada tingkatan Āmṛta Sādhaka, yakni seorang praktisi spiritual yang telah memiliki kesadaran penuh bahwa dirinya adalah Sang Ātman – jiwa murni yang kekal abadi, bukan semata-mata tubuh fisik. Kesadaran ini melandasi seluruh orientasi hidupnya, menjadikannya senantiasa berada dalam keadaan damai dan tidak terikat oleh dualitas duniawi.


2. Pengamal Meditasi Mendalam dan Samādhi

Beliau merupakan penekun spiritual yang konsisten dalam praktik samādhi (keheningan batin yang mendalam) serta melakukan perjalanan rohani secara kontinyu. Melalui pengalaman mistikal yang mendalam, sifat, sikap, dan perilaku beliau berkembang secara cepat menuju Satya Brata—pola hidup berbasis kejujuran, pengendalian diri, dan disiplin rohani.


3. Satya Brata sebagai Pola Hidup

Kehidupan Ida Sulinggih sepenuhnya telah terarah dan menyatu dengan brataning wiku, yaitu tata-laku suci yang berlandaskan pada Pañca Yama Brata (lima pengendalian diri) dan Pañca Niyama Brata (lima pengembangan spiritual). Kedua fondasi ini tidak lagi sekadar menjadi ajaran, melainkan telah menjadi gaya hidup integral dalam keseharian beliau.


4. Pelepasan Ikatan Duniawi

Ida Sang Meraga Putus adalah Sulinggih yang telah “putus” dari segala bentuk keterikatan terhadap objek-objek duniawi: harta, status, keinginan pribadi, dan ketergantungan terhadap panca indriya. Beliau telah mencapai tingkat netralitas dan kejernihan spiritual yang menjadikan dirinya bebas dari hasrat pribadi dan dorongan ego.


5. Keseimbangan Jagadhita dan Jīvanmukti

Dalam keseharian, beliau menjalani hidup yang penuh kesejahteraan lahir dan batin (jagadhita). Namun, yang lebih luhur, dalam keheningan meditatif, beliau telah mengalami kebebasan tertinggi (mokṣa) dalam kehidupan ini, atau dikenal dengan istilah Jīvanmukti—yaitu terbebas dari siklus samsara tanpa harus menunggu kematian ragawi.


BAB III

SUMBER DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENABEAN

Pasal 11

Agama Hindu sebagai Sumber Utama

Pelaksanaan Penabean di lingkungan Kapurusan garis PARAMPARA Griya Agung Bangkasa, yang mencakup lintas pasemetonan, secara fundamental bersumber dan berpedoman pada ajaran Agama Hindu sebagai jalan dharma yang menyeluruh. Dalam hal ini, Agama Hindu tidak hanya menjadi identitas formal, tetapi merupakan landasan filosofis, teologis, dan praktis yang menjiwai seluruh proses pembinaan spiritual, termasuk sistem Aguron-guron.

Sebagai penganut Sanātana Dharma (ajaran kekal), komunitas Kapurusan garis PARAMPARA Griya Agung Bangkasa menjadikan prinsip-prinsip luhur Agama Hindu sebagai pegangan utama dalam menata dan menyelenggarakan proses Penabean. Beberapa prinsip dasar yang dijadikan acuan antara lain:

  1. Śraddhā dan Bhakti – Keimanan dan ketulusan pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber utama kekuatan rohani dalam proses diksa dan aguron-guron.
  2. Tatwa, Susila, dan Acara – Tiga pilar utama dalam Agama Hindu yang menjadi fondasi kurikulum spiritual dalam Penabean, meliputi aspek filsafat, etika, dan ritual.
  3. Catur Marga dan Catur Asrama – Pendekatan jalan hidup (marga) dan tahapan kehidupan (asrama) yang memberikan kerangka spiritual dan sosial bagi para Sisya dalam menempuh perjalanan menuju Mokṣa.
  4. Śāstra Agama – Kitab-kitab suci Hindu seperti Veda, Upanisad, Bhagavad Gītā, dan lontar-lontar warisan leluhur yang dijadikan pedoman normatif dalam menyusun materi ajar dan tata laksana Penabean.
  5. Warisan Leluhur Parampara – Nilai-nilai spiritual yang diwariskan secara turun-temurun oleh para Mahā Ṛṣi dan leluhur Kapurusan, yang terus dilestarikan dan dimaknai dalam kontekstualisasi zaman.

Dengan menjadikan Agama Hindu sebagai sumber utama, Penabean Kapurusan ini bukan semata proses administratif atau ritual belaka, melainkan sebuah jalan spiritual integral menuju kesucian, kebijaksanaan, dan pembebasan (mokṣa). Oleh karena itu, seluruh tata kelola Penabean, baik secara struktural maupun substansial, wajib selaras dengan nilai-nilai Hindu Dharma sebagai tuntunan hidup yang abadi.



Pasal 12

Pedoman Pelaksanaan Penabean

Pelaksanaan sistem Penabean Kapurusan garis PARAMPARA Griya Agung BANGKASA sepenuhnya berlandaskan pada ajaran pokok dalam Agama Hindu, dengan menjadikan Pañca Śraddhā sebagai fondasi keyakinan rohaniah yang menyatu dalam setiap tahapan pembinaan spiritual. Pañca Śraddhā, sebagai pedoman dasar, mencerminkan kepercayaan yang luhur terhadap realitas metafisis dan spiritual dalam kehidupan manusia.


1. Śraddhā kepada Brahman (Tuhan Yang Maha Esa)


Umat Hindu meyakini keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai realitas absolut, sumber dari segala ciptaan, pengatur, dan pelindung alam semesta beserta isinya. Keyakinan ini menjadi dasar dari seluruh laku spiritual dalam Penabean, menempatkan Tuhan sebagai tujuan tertinggi pencarian hidup.


2. Śraddhā kepada Ātman (Diri Sejati)


Bahwa dalam diri setiap makhluk hidup bersemayam Ātman, percikan suci dari Brahman. Ātman bersifat kekal, tidak lahir dan tidak mati, dan inilah yang menjadikan setiap manusia memiliki potensi ilahiah untuk mencapai kelepasan spiritual (mokṣa).


3. Śraddhā kepada Hukum Karma-Phala


Bahwa setiap pikiran, ucapan, dan tindakan akan membawa konsekuensi, sesuai dengan hukum sebab-akibat yang universal dan abadi. Keyakinan ini menumbuhkan kesadaran etis dan spiritual dalam setiap tindakan umat Hindu, khususnya para sisya dan calon sulinggih.


4. Śraddhā kepada Punarbhawa (Reinkarnasi)


Bahwa setelah kematian, Ātman akan terlahir kembali dalam bentuk kehidupan baru, sesuai dengan karma yang dibawanya. Reinkarnasi terjadi selama ikatan terhadap dunia material belum sepenuhnya terputus.


5. Śraddhā kepada Mokṣa (Pembebasan Spiritual)


Tujuan tertinggi dalam perjalanan rohani adalah mokṣa, yakni kebebasan mutlak dari lingkaran kelahiran dan kematian (saṁsāra), dari ikatan duniawi dan beban karma, menuju penyatuan abadi antara Ātman dan Paramātman.


Pedoman ini tidak hanya menjadi fondasi kepercayaan, tetapi juga merupakan kerangka etika dan spiritual dalam penyelenggaraan Aguron-Guron, memandu para sisya untuk membentuk karakter spiritual yang kuat, integritas moral yang tinggi, serta kesiapan menjalani laku sulinggih secara utuh.


2. Sloka Utama

Pelaksanaan sistem Penabean Kapurusan garis PARAMPARA Griya Agung BANGKASA sepenuhnya berlandaskan pada ajaran suci Hindu yang tertuang dalam sloka utama:


> "Mokṣārtham jagadhitāya ca iti dharmaḥ"

Makna dari sloka ini secara komprehensif menjadi fundamen filosofis dan teologis dari seluruh aktivitas Penabean, yaitu:


a. Menegaskan bahwa tujuan luhur dari Dharma (Agama Hindu) adalah untuk membimbing umat manusia mencapai dua tujuan utama kehidupan:

 - Jagadhita (kesejahteraan lahir dan batin di dunia), dan

 - Mokṣa (pembebasan spiritual yang tertinggi).


b. Menyadari bahwa Dharma sebagai sistem nilai dan praktik spiritual, memiliki kemampuan untuk menuntun manusia meningkatkan kualitas diri, secara bertahap, dari aspek fisik, mental, intelektual, hingga spiritual.


c. Dengan demikian, Jagadhita dipahami sebagai tujuan antara yang mesti dicapai umat manusia dalam proses menuju Mokṣa. Hal ini sejalan dengan prinsip hidup seimbang antara keduniawian dan kerohanian.


d. Pelaksanaan Dharma tersebut dijabarkan dan diwujudkan secara harmonis dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, yaitu:


Tattwa (filsafat dan keyakinan),


Śīla atau Susila (etika dan moralitas), dan


Ācāra (ritual dan tata laku).


Ketiganya menjadi struktur operasional Dharma dalam proses pembinaan spiritual di lingkungan Penabean ini.


3. Catur Purusa Artha


Sistem Penabean juga menjadikan Catur Purusa Artha sebagai kerangka etika dan tujuan hidup, yang terdiri atas empat sasaran utama dalam kehidupan manusia:


a. Dharma – Kebenaran dan kebajikan sebagai fondasi hidup.

b. Artha – Kemakmuran dan kesejahteraan yang diperoleh secara benar.

c. Kāma – Kesenangan dan kebahagiaan hidup yang sesuai dengan Dharma.

d. Mokṣa – Kebebasan spiritual yang merupakan tujuan tertinggi.


Prinsip-prinsip Catur Purusa Artha ini diyakini sebagai penjabaran praktis dari Sloka Utama di atas, yang secara sistematis membimbing manusia untuk:


Mencapai Jagadhita melalui pemenuhan Dharma, Artha, dan Kāma secara seimbang dan etis.


Menjadikan Dharma sebagai dasar pijakan dalam memperoleh Artha dan Kāma (sebagaimana tersurat dalam Sarasamuccaya, Sloka 11), sehingga tidak hanya memperoleh dunia, tetapi juga jalan menuju kelepasan.


Melalui pengamalan Catur Purusa Artha secara utuh, umat manusia dibimbing menuju kesempurnaan hidup:


Jagadhita sebagai hasil nyata kehidupan harmonis di dunia.

Mokṣa sebagai hasil akhir dari penyerahan diri kepada Dharma, yang membebaskan dari belenggu kelahiran kembali (saṁsāra).


4. Catur Asrama dalam Perspektif Filsafat Kehidupan Hindu


Konsep Catur Asrama merupakan sistem pembagian tahap kehidupan dalam ajaran Hindu yang menuntun manusia untuk menjalani hidup secara bertahap, seimbang, dan bermakna. Kesadaran mendasar bahwa hidup ini adalah kesempatan yang singkat namun sangat bernilai, mendorong umat Hindu untuk menjalani hidup dengan tekad mencapai Jagadhita (kesejahteraan lahir dan batin) dan Moksha (pembebasan spiritual) sebagai tujuan akhir.


Untuk itu, Hindu menyediakan struktur spiritual dan sosial yang komprehensif melalui empat tahap kehidupan yang disebut Catur Asrama, yakni:


1. Brahmacari Asrama


(Brahma = Tuhan, Cari = mencari)


Tahap ini merupakan masa menuntut ilmu, dikenal sebagai masa sewaka guru (pengabdian kepada guru). Brahmacari Asrama ditandai oleh tekad kuat untuk mencari kebenaran dan pengetahuan suci sejak dini, sebagai pondasi dharma (kebenaran) dalam kehidupan.


Ciri utama fase ini:


Menjunjung tinggi nilai selibat (brahmacarya) sebagai bentuk pengendalian diri.


Fokus utama pada widya (pengetahuan) dan pelepasan dari awidya (kegelapan kebodohan).


Bertujuan mempersiapkan diri untuk tanggung jawab sosial dan spiritual selanjutnya.


2. Grhastha Asrama


(Grha = rumah, Stha = menetap)


Grhastha adalah fase berumah tangga, di mana seseorang mengemban tanggung jawab sosial, ekonomi, dan spiritual sebagai anggota masyarakat. Dalam asrama ini, seseorang menjalankan dharma keluarga dan dharma sosial, dengan tetap menjaga keselarasan antara spiritualitas dan kehidupan duniawi.


Tanggung jawab utama:


Rna kepada istri dan anak, menjaga kesejahteraan dan pendidikan mereka.


Putra Śesana, berbakti kepada orang tua sebagai bentuk persiapan mereka menuju tahapan selanjutnya (Wana Prasta).


Menjadi tumpuan sosial, moral, dan ekonomi masyarakat.


3. Wana Prastha Asrama


(Wana = hutan, Prastha = menuju)


Wana Prastha merupakan masa transisi dari keterlibatan aktif dalam kehidupan duniawi menuju pembinaan spiritual yang lebih intens. Secara simbolis berarti “menuju hutan” – sebuah ekspresi dari keinginan melepaskan keterikatan terhadap dunia material.


Implementasi modern:


Tidak harus secara fisik pergi ke hutan, tetapi lebih pada menarik diri dari keterlibatan duniawi secara bertahap.


Fokus pada kontemplasi, meditasi, dan penguatan nilai-nilai spiritual.


Mengembangkan keheningan batin serta memperdalam pemahaman terhadap nilai kebenaran (Satyam) dan hakikat Tuhan.


4. Bhiksuka Asrama


(Bhiksu = petapa, pengemis spiritual)


Bhiksuka adalah fase puncak spiritual, di mana seseorang melepaskan semua keterikatan duniawi dan hidup sepenuhnya dalam pencarian moksha. Dalam tahap ini, individu hidup sederhana, bergantung pada kemurahan orang lain, dan memusatkan perhatian sepenuhnya pada realitas transendental.


Ciri khas fase ini:


Menginternalisasi sepenuhnya nilai tyaga (pelepasan) dan vairagya (ketidakterikatan).


Praktik spiritual menjadi pusat kehidupan, mengesampingkan kebutuhan jasmani.


Fokus pada penyatuan diri dengan Brahman, realitas mutlak.


Catur Asrama bukan hanya pembagian usia biologis, tetapi juga merupakan kerangka filosofis kehidupan yang menuntun manusia menuju keseimbangan antara artha, kama, dharma, dan akhirnya moksha. Setiap tahap bukanlah sekadar ritus, tetapi proses evolusi kesadaran menuju kesempurnaan hidup spiritual.

Dengan menjalaninya secara sadar dan bijaksana, umat Hindu dapat mewujudkan kehidupan yang bernilai, harmonis, dan membebaskan.


5. Catur Marga: Empat Jalan Spiritual Menuju Penyatuan dengan Tuhan dalam Hindu


Dalam tradisi filsafat Hindu, Catur Marga merupakan empat pendekatan atau jalan spiritual yang ditawarkan kepada umat manusia untuk mencapai moksha, yaitu pembebasan dan penyatuan dengan Tuhan (Brahman). Keempat jalan ini merepresentasikan keragaman kecenderungan manusia dalam aspek emosional, intelektual, praktis, dan kontemplatif, sehingga setiap individu dapat memilih atau mengintegrasikan jalan yang paling selaras dengan fitrahnya.


Berikut adalah uraian dari keempat jalan tersebut:


1. Bhakti Marga (Bhakti Yoga)


(Bhakti = pengabdian tulus)


Bhakti Marga adalah jalan spiritual melalui pengabdian penuh cinta dan ketulusan kepada Tuhan. Ini merupakan ekspresi hubungan personal dan emosional antara jiwa (atman) dan Tuhan (Ishwara). Dalam pendekatan ini, sembahyang, doa, mantra, puja, dan persembahan menjadi sarana untuk menyatu dengan aspek transenden.


Karakteristik utama:


Praktik penyerahan diri secara total (saranagati).


Dilandasi oleh keyakinan yang mendalam dan kasih tanpa pamrih.


Cocok bagi mereka yang secara alami religius dan emosional, yang merasakan kehadiran Tuhan dalam cinta dan pelayanan.


2. Karma Marga (Karma Yoga)


(Karma = tindakan, kerja)


Karma Marga adalah jalan melalui tindakan tanpa pamrih (nishkama karma), yakni bekerja dan berbuat kebaikan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai bentuk persembahan suci kepada Tuhan. Jalan ini mengajarkan disiplin etika, tanggung jawab sosial, dan spiritualisasi pekerjaan sehari-hari.


Esensi utamanya:


Mengabdikan seluruh aktivitas kepada Tuhan, bukan hasilnya (mengikuti ajaran Bhagavad Gita).


Membebaskan diri dari ikatan karma melalui tindakan yang didasari niat murni dan dharma.


Sesuai untuk individu yang aktif, berjiwa sosial, dan ingin menyatu dengan Tuhan melalui pengabdian praktis.


3. Jnana Marga (Jnana Yoga)


(Jnana = pengetahuan, kebijaksanaan)


Jnana Marga adalah jalan menuju Tuhan melalui ilmu pengetahuan spiritual dan pencerahan intelektual. Pendekatan ini menekankan kontemplasi, refleksi diri, dan pengenalan akan hakikat sejati diri (Atman) sebagai identik dengan Tuhan (Brahman).


Ciri khas pendekatan ini:


Studi teks-teks suci (sruti dan smriti), seperti Upanishad dan Bhagavad Gita.


Penggunaan metode viveka (diskriminasi spiritual) dan vairagya (ketidakterikatan).


Diperuntukkan bagi pencari kebenaran yang rasional, filosofis, dan reflektif.


4. Raja Yoga (Yoga Marga)


(Yoga = penyatuan, disiplin spiritual)


Raja Yoga, sering disebut sebagai Yoga Marga, adalah jalan spiritual yang menekankan disiplin meditasi dan pengendalian pikiran sebagai sarana menuju samadhi (penyatuan batin dengan Tuhan). Ini adalah pendekatan internal melalui introspeksi dan pembinaan kesadaran murni.


Unsur utama:


Mengikuti delapan tahap (Ashtanga Yoga) yang diajarkan oleh Patanjali, seperti yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, hingga samadhi.


Bertujuan untuk mengheningkan pikiran agar realitas ilahi dapat dialami langsung.


Ideal untuk individu yang kontemplatif dan tertarik pada praktik meditatif mendalam.


Integrasi Empat Jalan: Jalan Bijaksana Menuju Kesempurnaan


Walaupun masing-masing jalan berdiri sendiri, dalam praktik spiritual yang matang, keempat marga ini saling melengkapi. Seorang bijaksana akan memadukan cinta (bhakti), tindakan tanpa pamrih (karma), pengetahuan sejati (jnana), dan pengendalian diri (yoga) sebagai jalan menuju kesadaran tertinggi dan penyatuan sempurna dengan Tuhan.


Dengan demikian, Catur Marga bukan hanya kerangka teologis, melainkan juga panduan praktis dan inklusif dalam kehidupan spiritual Hindu yang kaya dan dalam.



BAB IV

PERANGKAT PENABEAN

Pasal 13. Struktur Penabean Kapurusan

Garis Parampara Griya Agung Bangkasa


Dalam tradisi turun-temurun Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, struktur Penabean telah secara konsisten menerapkan sistem Nabe Tunggal, di mana kepemimpinan spiritual dijalankan oleh satu sosok Ida Sulinggih Nabe sebagai sentral pembimbing rohani dan penjaga garis parampara.


Namun, dengan mempertimbangkan kondisi aktual, yaitu:


Usia Ida Sulinggih Nabe yang telah lanjut (lebih dari 85 tahun), dan


Luasnya cakupan wilayah pelayanan yang meliputi seluruh Bali, maka sistem kepemimpinan ini dipandang perlu untuk ditata ulang secara bijaksana dan adaptif, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kesucian, kesinambungan garis spiritual (parampara), serta efektivitas pelayanan rohani umat.


Ketentuan Tata Kelola Penabean


Ayat 1. Penunjukan Pemimpin Operasional Penabean

Dengan penuh kerendahan hati dan kebijaksanaan luhur, Ida Sulinggih Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa diharapkan berkenan memilih dan menugaskan pengelolaan Penabean kepada seorang Ida Sulinggih Nabe Senior, yang dipilih dari antara para Ida Sulinggih Kapurusan yang ada dan memenuhi kualifikasi spiritual, moral, serta kapasitas kepemimpinan.


Ayat 2. Struktur Kehormatan dan Penamaan

Setelah penunjukan tersebut, maka:


Ida Sulinggih yang melimpahkan wewenang tersebut tetap dihormati sebagai Ida Sinuhun Nabe Siksa, yaitu pembimbing agung dalam tataran spiritual tertinggi.


Ida Sulinggih Nabe Senior yang ditunjuk, bersama dengan Ida Sulinggih lainnya yang tergabung dalam struktur Penabean, disebut secara kolektif sebagai Ida Nabe.


Ayat 3. Kepemimpinan Fungsional Penabean

Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana telah diatur dalam BAB II (mengenai visi, misi, dan tujuan Penabean), maka kepemimpinan operasional Penabean dilaksanakan oleh Ida Nabe Senior sebagai koordinator utama.


Ayat 4. Kolaborasi Kepemimpinan Spiritual

Dalam menjalankan tugas, Ida Nabe Senior dibantu oleh beberapa Ida Nabe lainnya, termasuk dalam pelaksanaan tugas-tugas ritual (Napak) dan pelayanan keumatan, demi menjaga kesinambungan spiritual serta kualitas pembinaan.


Ayat 5. Pembina Langsung Sisya

Struktur Penabean ini juga didukung oleh Guru Waktra dan Guru Saksi, yang berperan sebagai pembina langsung para Sisya, guna memastikan proses pewarisan nilai-nilai spiritual dan ajaran dharma berjalan dengan bimbingan yang sahih dan berkelanjutan.


Ayat 6. Tugas Pembina Sisya


Pembina Sisya bertanggung jawab untuk mendampingi dan membantu Ida Nabe dalam proses pembinaan, pemantauan, dan pengawasan perkembangan spiritual calon Sisya, baik dalam masa persiapan menuju Diksa/Insiasi, maupun setelah yang bersangkutan secara sah menerima Diksa dan menjadi Sulinggih. Pendampingan ini meliputi aspek mental, moral, ritual, dan tata laku spiritual.


Ayat 7. Penunjukan Orang Tua sebagai Nabe


Apabila calon Sisya merupakan putra kandung dari seorang Ida Sulinggih Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa yang berstatus Kantun Nyeneng (masih hidup), maka:


Dengan persetujuan atau anugerah Ida Nabe Senior, Ida Sulinggih orang tua kandung (ayah atau ibu) dapat diangkat sebagai Nabe langsung dari putranya.


Dalam konteks ini, Ida Sulinggih tersebut secara spiritual juga dimuliakan sebagai Ida Sinuhun Nabe, dan selanjutnya disebut sebagai Ida Abra Sinuhun Nabe, sebagai bentuk penghormatan atas kelangsungan garis Parampara secara biologis dan spiritual.


Ayat 8. Kedudukan Ida Nabe dalam Konteks Diksa Mapulang Rah


Ida Nabe Senior tetap menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai pemimpin utama Penabean, meskipun putra atau Sisya beliau menerima Diksa Mapulang Rah (Diksa dari orang tua kandung).


Dalam hal demikian, baik Ida Nabe Senior maupun para Ida Nabe lain pada level yang setara tetap diakui sebagai Nabe kolektif dari Sisya yang bersangkutan, menjaga prinsip kebersamaan dan otoritas spiritual yang terstruktur.


Ayat 9. Persetujuan Guru Waktra dan Guru Saksi


Calon Sisya yang akan menjalani proses Diksa wajib memilih Guru Waktra dan Guru Saksi, namun pilihan tersebut harus mendapat persetujuan dari Ida Nabe yang bersangkutan dan/atau dari Ida Nabe Senior. Hal ini penting untuk menjaga otentisitas spiritual dan kelayakan moral calon Guru yang akan membimbing Sisya.


Ayat 10. Kualifikasi Guru Waktra dan Guru Saksi


Seorang Ida Sulinggih Kapurusan yang akan menjalankan peran sebagai Guru Waktra atau Guru Saksi wajib memenuhi kualifikasi sebagai berikut:


Telah menjalani Diksa sekurang-kurangnya selama 6 (enam) tahun.


Merupakan bagian dari garis Kapurusan Parampara Griya Agung Bangkasa.


Ketentuan ini diberlakukan untuk memastikan kematangan spiritual, kemapanan ilmu, serta stabilitas moral dalam mendampingi perjalanan rohani seorang Sisya.


Ayat 11. Status Guru Nabe Pembina


Seorang Sulinggih Utama yang sedang menjalankan peran sebagai Pembina—baik sebagai Guru Waktra maupun Guru Saksi—secara fungsional diakui dan disebut sebagai Ida Nabe, selama masa pembinaannya terhadap Sisya berlangsung. Pengakuan ini mempertegas peran spiritual yang dijalankan dalam struktur Penabean.


Ketentuan ini ditetapkan sebagai bagian dari ikhtiar untuk menjaga kesucian proses diksa, kesinambungan garis parampara, dan keharmonisan dalam struktur pembinaan spiritual di lingkungan Kapurusan Griya Agung Bangkasa. Dengan sistem yang tertata dan spiritualitas yang mendalam, diharapkan kualitas Sulinggih yang dihasilkan mampu menjadi pelayan dharma yang arif dan mumpuni di tengah masyarakat.


Pasal 14

Unit Pendukung Ida Nabe Senior dalam Pengelolaan Penabean


Dalam melaksanakan tugas suci dan strategis dalam pengelolaan Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, Ida Nabe Senior bersama para Ida Nabe memperoleh dukungan fungsional dari dua unit kerja pendukung utama yang memiliki fungsi koordinatif, administratif, dan pengembangan strategis, yaitu:


1. Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang)

Unit ini berperan sebagai think tank spiritual dan kelembagaan, yang bertugas untuk:

Melakukan kajian mendalam mengenai nilai-nilai ajaran, tatanan tradisi, dan dinamika sosial-spiritual Kapurusan.

Mengembangkan sistem pendidikan, pembinaan, dan penguatan sumber daya spiritual berbasis Parampara.

Menyusun rekomendasi kebijakan yang berlandaskan filosofi dharma dan berorientasi pada keberlanjutan.


Litbang bertanggung jawab memastikan bahwa perjalanan spiritual dan kelembagaan Penabean selalu selaras dengan nilai-nilai luhur warisan leluhur, sekaligus adaptif terhadap perkembangan zaman.


2. Bidang Tata Usaha

Bidang ini memiliki fungsi administratif dan manajerial, yang bertugas:

Mengelola urusan surat-menyurat, dokumentasi, arsip, serta pelaporan kegiatan Penabean.

Menyusun dan mengatur sistem administrasi yang tertib, transparan, dan akuntabel.

Menyokong pelaksanaan kegiatan pembinaan Sisya, pelayanan umat, serta dokumentasi prosesi spiritual dan kelembagaan.


Tata Usaha memastikan bahwa fungsi pelayanan Penabean berjalan secara efisien dan profesional, mendukung tugas-tugas spiritual dan strategis Ida Nabe secara menyeluruh.


Penegasan

Kedua unit pendukung ini bekerja di bawah arahan dan koordinasi langsung Ida Nabe Senior, dan berfungsi sebagai perpanjangan tangan kelembagaan spiritual dalam mendukung pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana telah diatur dalam ketentuan sebelumnya.


Pasal 15

Kedudukan, Tugas, dan Tanggung Jawab Ida Nabe dalam Penabean


Sebagai pilar utama dalam struktur Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, kedudukan serta tanggung jawab Ida Nabe, khususnya Ida Nabe Senior, memiliki peranan sentral dalam membina, menjaga, dan mengembangkan warisan spiritual yang adi luhur. Dengan demikian, ketentuan berikut diatur sebagai pedoman formal:


1. Kedudukan Kepemimpinan

Dalam pelaksanaan tugas-tugas Penabean, Ida Nabe Senior berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi operasional, yang memimpin dan membina para Ida Nabe lainnya dalam rangka menjaga kesinambungan garis Parampara serta keharmonisan kelembagaan spiritual.


2. Tanggung Jawab Pendidikan Spiritual


Ida Nabe Senior bertanggung jawab penuh terhadap kelancaran, kualitas, dan kesinambungan proses aguron-guron (belajar-mengajar) dalam lingkungan Penabean, sebagai wujud pembinaan berjenjang bagi para calon Sulinggih (Sisya).


3. Tugas Ritual Penerimaan Sisya


Ida Nabe Senior dan/atau Ida Nabe lainnya secara resmi bertugas melaksanakan prosesi Napak Calon Diksa, sebagai tanda pengesahan bahwa yang bersangkutan telah diterima sebagai Sisya dalam lingkup Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa.


4. Penetapan Kurikulum Spiritual


Bertugas untuk menyusun dan menetapkan struktur materi ajaran (mata ajaran/spiritual curriculum) yang harus disampaikan kepada Sisya, disesuaikan dengan jenjang spiritual dan tahap pembinaan.


5. Integrasi Hasil Sabha sebagai Materi Ajar


Menetapkan dan menyelaraskan keputusan-keputusan Sabha Agung dan Sabha Madya yang relevan sebagai bagian dari materi pembelajaran spiritual, agar senantiasa aktual dan kontekstual dalam pengajaran.


6. Pembimbingan dalam Proses Kepanditaan


Bertanggung jawab membimbing setiap Sisya dari tahapan awal Pediksaan, lanjut ke Ngalinggihang Weda, Mapulang Lingga, dan seterusnya dalam perjalanan menuju kematangan spiritual dan kebrahmanan yang sejati.


7. Pembinaan Berkelanjutan bagi Ida Sulinggih


Menjadi teladan dan penggerak bagi seluruh Ida Sulinggih Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, khususnya yang merupakan Sisya, agar senantiasa meningkatkan kualitas kepanditaan secara berkelanjutan sepanjang hidup.


8. Penjamin Mutu Kepanditaan

Bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap kemajuan kualitas kebijaksanaan, keilmuan, dan kepanditaan para Ida Sulinggih Sisya, sehingga mampu menjadi pelayan dharma yang mumpuni dan bijaksana.


9. Penjaga Keberlanjutan Penabean


Bertanggung jawab menjaga keberlangsungan, perkembangan, dan pelestarian sistem Penabean sebagai lembaga spiritual yang mendalam, demi membimbing umat manusia menuju kebenaran, dharma, dan moksha.


Dengan landasan tanggung jawab suci dan kedudukan yang luhur, Ida Nabe Senior beserta Ida Nabe lainnya diharapkan mampu menjaga integritas, kemurnian, dan kemajuan Penabean, sebagai warisan rohani dari Griya Agung Bangkasa untuk umat, generasi kini, dan masa depan.


Pasal 16

Syarat Umum Menjadi Ida Nabe

Menjadi Ida Nabe dalam Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa bukanlah jabatan administratif, melainkan anugerah spiritual yang lahir dari kematangan batin, kesucian hidup, dan kualifikasi keilmuan Weda yang mendalam. Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987, maka syarat umum untuk seseorang dapat diangkat atau diakui sebagai Ida Nabe ditetapkan sebagai berikut:


1. Kesucian Lahir dan Batin

Calon Ida Nabe wajib berada dalam kondisi senantiasa bersih dan suci, baik secara fisik (lahiriah) maupun spiritual (batiniah), sebagai cerminan kedisiplinan diri dalam menjalani laku tapa dan pengendalian diri.


2. Kebebasan dari Ikatan Duniawi

Memiliki kemampuan dan kematangan batin untuk melepaskan diri dari keterikatan terhadap kenikmatan duniawi dan hawa nafsu, sebagai syarat utama menuju kedalaman spiritual dan kemurnian niat dalam membimbing Sisya.


3. Keteguhan dalam Kebijaksanaan dan Ketentraman Jiwa

Memiliki sikap yang tenang, jernih, dan bijaksana, serta mampu menjadi sumber keteduhan bagi para Sisya dan umat, terutama dalam menghadapi persoalan spiritual dan kehidupan.


4. Kepatuhan terhadap Kitab Suci Weda

Menjadikan Kitab Suci Weda sebagai pedoman utama dalam berpikir, berkata, dan bertindak, serta menjunjung tinggi ajaran suci sebagai sumber kebenaran dan jalan menuju Brahman.


5. Pemahaman Mendalam tentang Catur Weda

Menguasai dan memahami secara utuh Catur Weda (Rigveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda), baik secara tekstual maupun kontekstual, serta mampu menerapkannya dalam pembinaan spiritual Sisya.


6. Kemampuan Membaca dan Memaknai Sruti & Smrti

Mampu membaca, menafsirkan, serta memahami Sruti (wahyu suci) dan Smrti (hukum dan tradisi turun-temurun) sebagai landasan dalam penetapan dharma dan panduan hidup suci.


7. Keteguhan dalam Dharma-Sadhana

Menjalani kehidupan dengan komitmen tinggi terhadap Dharma-Sadhana, yaitu praktik nyata berupa amal, kebajikan, pelayanan, dan pengabdian tulus kepada umat dan sesama makhluk.


8. Konsistensi dalam Menjalani Tapa Brata

Menegakkan Tapa Brata (disiplin spiritual yang ketat) secara berkelanjutan, sebagai bentuk penyucian diri dan peningkatan kesadaran rohani untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa.

Syarat-syarat tersebut merupakan fondasi spiritual dan moral yang harus dimiliki oleh seorang calon Ida Nabe, agar dapat menjalankan tugas kepemimpinan suci dalam Penabean secara sah, tulus, dan berlandaskan ajaran dharma. Hanya dengan kualitas yang paripurna, seorang Sulinggih layak menyandang tanggung jawab luhur sebagai pembimbing generasi rohani dalam garis parampara.


Pasal 17

Syarat Khusus Menjadi Ida Nabe

Selain memenuhi persyaratan umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 16, seorang calon Ida Nabe dalam Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa juga harus memenuhi syarat-syarat khusus, sebagai bentuk pengakuan atas kematangan spiritual, pengalaman kepanditaan, serta kesinambungan dalam garis parampara. Syarat khusus tersebut meliputi:

1. Latar Belakang Spiritual Kapurusan

Calon Ida Nabe harus merupakan:

Ida Sulinggih Lanang (laki-laki) atau

Ida Sulinggih Istri (perempuan),

yang merupakan bagian dari Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, dan telah di-Diksa secara sah dalam garis spiritual tersebut.


2. Pasangan Ida Sulinggih

Dalam hal kepemimpinan spiritual dijalankan oleh sepasang suami-istri, maka keduanya harus:

Sama-sama merupakan Ida Sulinggih Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa,

Telah menjalani tugas kepanditaan bersama, dan

Menunjukkan keselarasan serta kematangan dalam membimbing Sisya dan umat.


3. Masa Pengabdian dan Kedewasaan Spiritualitas

Calon harus telah:

Menjalani sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun sejak menerima anugerah Diksa, dan

Telah mencapai tahap Mapulang Lingga dengan pengalaman minimal 6 (enam) tahun, sebagai tanda kematangan dalam menegakkan fungsi kepanditaan secara utuh.


4. Pengalaman Sebagai Guru Waktra

Pernah menjalankan tugas sebagai Guru Waktra dalam proses Diksa setidaknya sebanyak 3 (tiga) kali, sebagai bukti keterlibatan aktif dalam pembinaan Sisya secara langsung dan sahih.


5. Pengalaman Sebagai Guru Pembina Lengkap

Telah menjalankan peran sebagai Guru Pembina lengkap, yakni pernah paling sedikit:

Pernah menjadi Guru Waktra, dan

Sudah pernah menjadi Guru Saksi,

yang menandakan bahwa calon Ida Nabe telah menguasai dan menjalankan kedua aspek pembinaan rohani utama dalam proses diksa.

Syarat-syarat khusus ini dirancang sebagai jaminan kualitas spiritual dan legitimasi tradisi, agar hanya mereka yang benar-benar matang, berpengalaman, dan teruji dalam spiritualitas Hindu serta setia menjaga garis parampara, yang dapat diangkat sebagai Ida Nabe—pemimpin luhur dalam lembaga Penabean Griya Agung Bangkasa.

Sebagai bagian dari ketentuan khusus bagi calon Ida Nabe, berikut ini dijabarkan syarat-syarat lanjutan yang menekankan pada kedalaman spiritual, kematangan mental, dan dedikasi terhadap pengembangan tradisi suci Kapurusan Parampara Griya Agung Bangkasa

6. Penguasaan Ajaran Weda dan Warisan Kawitan

Calon Ida Nabe wajib memiliki penguasaan mendalam terhadap ajaran Weda, intisari ajaran Agama Hindu secara umum, dan secara khusus menghayati serta memahami ajaran-ajaran luhur Ida Bhatara Kawitan sebagai sumber utama kekuatan spiritual garis Parampara.


7. Kesehatan Jasmani, Mental, dan Spiritual

Menunjukkan kondisi yang sehat secara fisik, mantap secara mental, dan stabil secara spiritual, sebagai simbol keselarasan antara tubuh, pikiran, dan jiwa dalam menjalankan laku kepanditaan dan tugas pembinaan rohani.


8. Berlandaskan Sauca dan Santosa

Menjalankan kehidupan sehari-hari dengan sikap suci (Sauca) dan ketenangan jiwa (Santosa). Calon Ida Nabe harus:

Konsisten meningkatkan kesucian lahir dan batin,

Teruji dalam menghadapi cobaan, termasuk tidak mudah terguncang oleh hinaan atau pujian, serta

Mampu bersikap damai, tidak mudah marah, dan bijak dalam bertindak.


9. Menjalani Satya Brata secara Konsisten

Calon Ida Nabe harus telah menjalankan Satya Brata, yaitu:

Menjalani Panca Yama Brata (lima pengendalian diri) dan

Panca Niyama Brata (lima disiplin positif)

secara konsisten dan ketat, serta telah menjadikan keduanya sebagai pola hidup spiritual yang nyata, bukan sekadar simbolik atau formalitas.


10. Komitmen Penuh terhadap Pengembangan Penabean

Memiliki kesadaran murni dan niat tulus untuk ikut serta membangun, mengembangkan, dan melestarikan Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa, bukan hanya sebagai pewaris garis, tetapi juga sebagai pelayan dharma yang aktif menjaga warisan spiritual bagi generasi berikutnya.

Dengan memenuhi keseluruhan syarat khusus ini, seorang Ida Sulinggih Kapurusan dinilai layak secara spiritual, moral, dan tradisional untuk diangkat sebagai Ida Nabe, pemimpin dan pembimbing utama dalam sistem Penabean, serta penjaga kesucian dan keluhuran Parampara Griya Agung Bangkasa.


11. Komitmen Mengajarkan dan Memaknai Ajaran Kepanditaan

Calon Ida Nabe harus merupakan Ida Sulinggih Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa yang memiliki kesadaran murni dan niat tulus untuk:

Menanamkan ajaran-ajaran kepanditaan secara aktif kepada umat Hindu,

Memaknai serta menghidupkan nilai-nilai spiritual dalam laku kehidupan sehari-hari,

Dan menjadi teladan dalam pengajaran, pembinaan, serta pengabdian kepada umat secara berkesinambungan.


12. Pengajuan Diri secara Formal dan Dukungan Spiritual

Calon Ida Nabe wajib:

Mengajukan diri secara tertulis kepada lembaga Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa,

Mendapatkan dukungan spiritual dan moral dari sedikitnya 4 (empat) Ida Sulinggih Lanang yang juga merupakan bagian dari garis Kapurusan yang sama.

Ketentuan tambahan terkait mekanisme dukungan:

Seorang Bakal Calon Ida Nabe tidak diperkenankan memberikan dukungan kepada bakal calon lainnya demi menjaga kemurnian dan etika seleksi,

Seorang Ida Sulinggih Lanang hanya boleh memberikan dukungan kepada satu (1) bakal calon saja, sebagai bentuk komitmen spiritual dan moral yang tegas.


13. Tahapan Menuju Penetapan Calon Ida Nabe

Setelah melalui verifikasi dan dinyatakan memenuhi seluruh syarat, baik umum maupun khusus, Bakal Calon Ida Nabe akan:

Ditetapkan sebagai Calon Ida Nabe, dan

Diajukan secara resmi dalam proses Pemilihan Ida Nabe, sesuai mekanisme yang berlaku dalam Penabean Kapurusan Garis Parampara Griya Agung Bangkasa.

Ketentuan ini disusun untuk memastikan bahwa setiap Calon Ida Nabe merupakan figur spiritual yang matang, teruji secara moral, dan diterima secara sah secara struktural maupun kultural dalam garis Parampara, serta memiliki legitimasi kuat untuk melanjutkan tugas suci sebagai pemimpin Penabean dan pelayan umat.


Pasal 18

Pemilihan dan Penetapan Ida Nabe / Ida Nabe Senior

1. Penetapan Ida Nabe Penerus (Anyar) merupakan proses sakral yang dilandasi kepercayaan luhur dan pertimbangan spiritual mendalam oleh Ida Sinuhun Nabe selaku pemegang mandat suci terdahulu. Ida Nabe Anyar ditetapkan sebagai pewaris dharma penabean—sebagai titik sentral rohani dan pemangku parampara garis spiritual Griya Agung Bangkasa, bagi segenap Maha Warga Kapurusan yang dengan tulus memasuki Tahapan Bhiksuka Āśrama—yakni tahap pengabdian total kepada Hyang Widhi.

2. Penunjukan Ida Nabe Penerus dilaksanakan secara formal dan transendental dalam Sabha Agung, yaitu sidang utama suci yang melibatkan saksi-saksi rohaniwan dan para tetua griya. Dengan penunjukan ini, Ida Nabe Anyar secara otomatis menerima kedudukan sebagai Ida Nabe Senior, dan mengemban seluruh tanggung jawab spiritual dan kultural dalam garis keturunan suci tersebut.

3. Apabila karena keadaan tertentu Ida Nabe incumbent belum sempat menetapkan pewaris secara langsung sebelum beralih ke alam niskala, maka pemilihan Ida Nabe dapat ditempuh melalui musyawarah-mufakat di antara para tetua, pinandita, dan Maha Warga Kapurusan yang sah dan memahami struktur parampara dengan mendalam.

4. Apabila konsensus spiritual tidak tercapai dalam proses musyawarah, maka dilaksanakan pemilihan melalui mekanisme demokratis (voting terbuka) yang menjunjung tinggi prinsip Yadnya, Dharma, dan Kebenaran Luhur.

5. Keadaan-keadaan luar biasa yang mengakibatkan penunjukan langsung tidak memungkinkan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, meliputi:

Ida Nabe meninggal dunia (lebar) sebelum menetapkan Ida Nabe Penerus.

Ida Nabe mengalami kondisi sakit berat atau gangguan daya pikir, sehingga secara objektif tidak lagi mampu memberikan penetapan yang jernih dan adil secara dharmika.

Ida Nabe secara sadar tidak menunjuk pengganti, hingga beliau lebar, dan tidak meninggalkan wasiat spiritual atau penetapan formal.

Pasal ini merupakan peneguhan nilai parampara dharmika, yang bukan hanya mewariskan garis darah, tetapi lebih utama, mewariskan kebijaksanaan, kesucian hati, dan kesiapan batin dalam mengemban amanah dharma agung bagi umat dan semesta. 

6. Pemilihan dan Penetapan Ida Nabe wajib dilaksanakan dalam Sabha Agung Ida Sulinggih Kapurusan garis Parampara Griya Agung Bangkasa se-Bali, sebagai forum tertinggi yang bersifat adhyatmika dan kolegial. Sabha Agung dinyatakan sah apabila dihadiri oleh sedikitnya 50% + 1 dari total anggota kapurusan yang memiliki hak suara, termasuk kehadiran wajib dari Ida Sulinggih Nabe / Ida Sinuhun Nabe Siksa sebagai simbol kesinambungan parampara dan pembimbing rohani utama.

7. Sabha Agung juga mengundang dan melibatkan Pengurus Pemucuk Pusat atau utusannya yang memiliki hak suara aktif, sebagai representasi legitimasi dan keharmonisan struktural dalam tubuh organisasi kapurusan. Kehadiran mereka menegaskan sinergi antara dharma spiritual dan dharma organisatoris.

8. Penetapan Bakal Calon Ida Nabe sebagai Calon Resmi dilakukan secara terbuka dan terhormat di dalam Sabha Agung Ida Sulinggih Kapurusan Parampara Griya Agung Bangkasa se-Bali. Proses ini disertai dengan penapisan moral, integritas, dan kematangan spiritual sesuai ajaran adhikara pramana (kualifikasi rohani).

9. Seluruh Ida Sulinggih yang berada dalam garis Kapurusan Parampara Griya Agung Bangkasa, baik Lanang maupun Istri, tanpa diskriminasi, memiliki hak suara penuh dalam pemilihan Ida Nabe. Hak ini melekat sebagai manifestasi dari equality of adhikara—kesetaraan kedudukan spiritual dalam satu garis padiksan.

10. Perwakilan Walaka juga diberikan hak suara sah dalam Pemilihan Ida Nabe, sebagai bentuk kebijaksanaan yang inklusif dan partisipatif dalam struktur parampara. Perwakilan tersebut meliputi: a. Dewan Pertimbangan Pemucuk Pusat: 1 suara

b. Ketua Umum Pemucuk Pusat selaku wakil otoritatif lembaga kepemucukan pusat: 1 suara

c. Pemucuk Kabupaten/Kota se-Bali: masing-masing 1 suara

Pemilihan Ida Nabe bukan sekadar seremonial administratif, tetapi merupakan momentum penyambung nadi spiritual dan warisan suci dharma leluhur. Melalui Sabha Agung yang sah, sinergi antara sulinggih dan walaka, antara tattwa dan tatakelola, diikat dalam semangat kula dharma, loka dharma, serta keluhuran tri hita karana.

11. Spiritualitas Pemilih: Keutamaan Kesucian dalam Menentukan Pemimpin Adhyatmika

Setiap pemilik hak suara dalam pemilihan Ida Nabe sejatinya memikul tanggung jawab moral dan spiritual yang luhur. Pilihan bukan semata hasil pertimbangan intelektual atau genealogis, tetapi merupakan perwujudan adhyātmika krama, yaitu kesadaran diri untuk mengutamakan kesucian, kesadaran dharma, dan ketulusan hati demi keberlanjutan penabean yang agung. Dalam konteks ini, pemilihan menjadi yadnya spiritual kolektif, bukan kontestasi kuasa. Dengan memilih secara suci, pemilih turut menjaga kemurnian Parampara serta memuliakan masa depan Penabean Kapurusan Griya Agung Bangkasa sebagai pusat pencerahan dan pengabdian rohani.

"Śuci manah, śudda laksana, nitya dharma santhi" – Orang yang berhati bersih, berbudi suci, akan melahirkan kedamaian abadi melalui dharma.

12. Mekanisme Pemilihan: Satu Putaran, Satu Kesatuan

Pemilihan Ida Nabe dilaksanakan secara serentak dan hanya dalam satu putaran sebagai simbol dari ketegasan dalam dharma, serta kesatuan pikiran (ekagrata) di antara para pemilih. Satu putaran mencerminkan prinsip niścaya krama – keputusan bersama yang tidak berlarut-larut, dengan semangat efisiensi spiritual dan tata kelola yang bijaksana. Hal ini mencegah polarisasi berkepanjangan dan menjaga kesucian Sabha Agung dari potensi perpecahan energi spiritual.

13. Ambang Kelayakan: 20% Sebagai Ambang Niskala

Calon Ida Nabe dianggap sah dan dapat ditetapkan sebagai Ida Nabe apabila memperoleh minimal 20% suara dari total suara sah yang masuk. Ambang batas ini menjadi simbol angka sakral: bukan hanya representasi kuantitatif, tetapi juga mengandung makna kelayakan niskala-laukika, yaitu kemampuan seseorang mengemban dharma penabean dan didukung oleh bagian signifikan komunitas spiritualnya. Angka ini juga mencegah terpilihnya figur yang hanya mendapat dukungan minoritas ekstrem.

14. Penunjukan Langsung oleh Ida Sinuhun Nabe

Ida Nabe Senior, sebagai pemegang tertinggi mandat adhyatmika dalam penabean, dapat pula ditunjuk langsung oleh Ida Sinuhun Nabe. Dalam struktur parampara, ini mencerminkan prinsip guruśiṣya parampara, di mana sinuhun (guru utama) memiliki hak spiritual untuk menunjuk penerusnya berdasarkan pengetahuan mendalam terhadap karakter, karma, dan kelayakan spiritual sisya-nya. Penunjukan ini bukan otoriter, tetapi hasil perenungan batin dan wahyu dharmika yang luhur.

15. Penetapan Final di Sabha Agung: Konsensus Suci Komunitas Parampara

Penetapan resmi terhadap Ida Sinuhun Nabe dan Ida Nabe selalu dilakukan secara terbuka, kolegial, dan spiritual dalam wadah Sabha Agung Ida Sulinggih Kapurusan Griya Agung Bangkasa se-Bali. Sabha Agung menjadi cermin tertinggi dari kehendak niskala dan keharmonisan komunitas spiritual, tempat di mana suara ilahi (śabda Brahman) dijelmakan melalui mufakat para sulinggih dan pemucuk kapurusan yang berakar dalam dharma.


Keseluruhan mekanisme ini menunjukkan bahwa pemilihan Ida Nabe dan Ida Sinuhun Nabe bukan hanya urusan administratif, tetapi ritual spiritual dan tradisi suci yang memelihara warisan Brahmavidya (ilmu ketuhanan). Dalam kerangka Hindu Dharma, setiap tindakan mesti berdasar pada satya (kebenaran), śuddha (kesucian), dan śānti (kedamaian). Maka, pemilihan pemimpin spiritual harus senantiasa menjunjung rasa, tata, dan karma yang menyatu dalam bhakti.


Pasal 19

Guru Pembina

1. Dalam setiap tahapan suci aguron-guron, mulai dari masa persiapan Pediksaan (Diksa Brahmadharma) hingga pelaksanaan pembinaan rohani berkelanjutan, Ida Nabe Senior / Ida Nabe senantiasa didampingi oleh Guru Pembina, sebagai pilar spiritual yang meneguhkan adhikara dan samskara sisya (murid). Kehadiran Guru Pembina mencerminkan prinsip trividha guru, yaitu tiga sumber pencerahan yang menopang transformasi jiwa menuju kesadaran ilahi.

2. Guru Pembina terdiri dari dua pribadi suci, yaitu:

Guru Waktra, sebagai pembimbing utama yang menyampaikan ajaran-ajaran spiritual secara lisan dan simbolik melalui sabda dharma yang diresapi dalam kalbu sisya.

Guru Saksi, sebagai saksi suci yang memastikan bahwa prosesi dan laku rohani sisya berlangsung sesuai tattwa (kebenaran), susila (etika), dan ācāra (tata laku dharma).

Keduanya hadir bukan hanya sebagai pembimbing, tetapi sebagai cermin citta (refleksi batin) dan penjaga kesucian perjalanan sisya menuju penyatuan dengan Brahman.

3. Hubungan Guru–Sisya antara Ida Nabe dan sisya bukan semata hubungan duniawi, tetapi merupakan ikatan spiritual seumur hidup (jīvita-bandhana adhātmika). Ini adalah keterhubungan batin yang dijalin melalui keyakinan, pengabdian, dan pengayoman dharma secara niskala. Hubungan ini berlandaskan pada prinsip śraddhā (iman), bhakti (pengabdian), dan vinaya (kerendahan hati).

4. Demikian pula, relasi suci antara Guru Waktra dan sisya, serta Guru Saksi dan sisya, bersifat ajeg dan langgeng seumur hidup. Mereka bukan sekadar pelengkap seremoni pediksaan, tetapi merupakan tali spiritual utama yang menjaga agar sisya tetap berada dalam jalur kebenaran dan kesucian hidup. Dalam tradisi guruśiṣya parampara, Guru Pembina memiliki kedudukan yang hampir setara dengan orang tua spiritual, tempat di mana sisya menimba kebijaksanaan, keheningan, dan kebajikan hidup sepanjang hayat.

Pasal ini menegaskan bahwa dalam parampara penabean, setiap transformasi spiritual seorang sisya tidak berdiri sendiri. Ia dibimbing oleh tiga cahaya:

1. Ida Nabe sebagai pemimpin rohani

2. Guru Waktra sebagai penutur śāstra

3. Guru Saksi sebagai peneguh adharmaśakti

Sebagaimana tersurat dalam Chandogya Upanishad:

> “ācāryavān puruṣo veda” – Hanya mereka yang dibimbing guru sejati akan memahami kebenaran tertinggi.


Pasal 20

Tugas Guru Waktra

1. Guru Waktra mengemban peran luhur sebagai pembina spiritual utama yang membimbing, menuntun, dan menginspirasi Sisya dalam proses penyucian diri secara lahir dan batin. Tugas ini mencerminkan implementasi nyata dari prinsip śikṣā guru dalam sistem guru-śiṣya parampara, yaitu guru sebagai obor penerang jalan menuju kebebasan rohani (mokṣa).

2. Dalam seluruh pembinaan, Guru Waktra berpedoman kepada ajaran suci Weda sebagai sumber utama kebenaran. Pembinaan meliputi tiga pilar ajaran Hindu, yaitu:

Tattwa: filsafat dan pengetahuan adhyatmika tentang hakikat eksistensi dan Tuhan.

Susila: etika luhur yang menuntun perilaku dharmika dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Acara: tata laksana suci yang merefleksikan keteraturan hidup religius sesuai tradisi Hindu Bali.

Melalui ketiga aspek ini, Guru Waktra tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga mentransformasikan batin sisya menjadi pribadi yang matang secara spiritual.

3. Guru Waktra wajib memahami secara mendalam struktur materi ajaran yang patut disampaikan kepada Sisya. Materi ini disesuaikan dengan tingkatan spiritual, kesiapan mental, dan tahap kedewasaan rohani dari masing-masing sisya, sebagaimana telah dirumuskan dan ditetapkan secara kolektif oleh Penabean Griya Agung Bangkasa.

4. Dalam tugasnya, Guru Waktra merancang secara sistematis kurikulum atau mata ajaran yang mencakup ajaran-ajaran utama Hindu. Tujuannya agar, seiring tahapan pembinaan, sisya memperoleh pemahaman komprehensif dan integral mengenai Tattwa, Susila, dan Acara, sehingga kelak ia mampu mengamalkannya secara konsisten dalam hidup sehari-hari dan ritual keagamaan.

5. Sejak menyatakan kesediaan menjadi Guru Waktra bagi seorang Calon Sisya, maka guru tersebut telah mempersiapkan dirinya secara total: baik secara niskala (spiritual) maupun sekala (praktis). Guru Waktra mulai membimbing calon sisya dalam menyongsong momen suci Anugrah Diksa dari Ida Nabe / Ida Nabe Senior, dan terus membina hingga prosesi tersebut terlaksana dengan kesempurnaan spiritual dan ritual.

Dalam tradisi Hindu, Guru Waktra bukan hanya seorang pengajar, melainkan penuntun cahaya dharma. Ia membentuk karakter sisya tidak hanya melalui kata, tetapi melalui teladan hidup, ketulusan bhakti, dan pancaran kesucian. Tugas Guru Waktra meneladani semangat dari mantra dalam Taittiriya Upanishad:

> “Acharya devo bhava” – Lihatlah guru sebagai perwujudan ketuhanan.

Oleh karena itu, kehadiran Guru Waktra adalah bagian tak terpisahkan dari proses transformasi batin sisya menuju kedewasaan spiritual yang sejati.

Dalam tradisi Hindu Dharma, khususnya aliran keagamaan yang mempraktikkan jalur spiritual melalui sistem kepanditaan (diksa parampara), peran Guru Waktra tidak sekadar sebagai pengajar formal, tetapi sebagai cahaya penuntun (dipaka jnana) bagi perjalanan batin Sisya menuju kesadaran tertinggi. Tugas-tugas Guru Waktra tidak bersifat administratif belaka, melainkan sarat nilai soteriologis (pembebasan), pedagogis, dan transformatif.

6. Membina, Membimbing, dan Memberi Pelajaran kepada Sisya sesuai Petunjuk Ida Nabe dan Keputusan Sabha Agung

Tugas ini menggambarkan fungsi Guru Waktra sebagai perpanjangan lidah dharma yang menjalankan ajaran luhur sesuai wahyu (sabda) dari Ida Nabe sebagai satguru utama. Keputusan Sabha Agung berperan sebagai sistem legitimasi kolektif yang menghindari penyimpangan spiritual. Dalam konteks ini, Guru Waktra tidak hanya mengajarkan secara tekstual, namun menjadi teladan adhyātmika (spiritual), susila (moral), dan acara (ritual).

> Ilmiah: Hal ini mencerminkan model pendidikan berbasis spiritual transmission dan moral alignment antara ajaran, guru, dan komunitas.

Karismatik: Guru menjadi sumber inspirasi dan pemantik kebangkitan batin.

Estetik: Etika penyampaian ilmu diselaraskan dengan harmoni bahasa, nada suara, dan suasana batin yang suci.

7. Mendorong dan Mengajarkan Tahapan Brata secara Bertahap dan Pasti

Brata adalah jalan tapasya atau disiplin spiritual. Tugas Guru Waktra di sini adalah membimbing Sisya agar menapaki setiap jenjang brata (seperti mauna, upavasa, tirtha yatra, dll) dengan prinsip anukramika (berjenjang) dan satatya (konsisten). Ini menunjukkan pendekatan pendidikan yang tidak instan, melainkan membentuk habitus rohani yang kuat.

> Ilmiah: Sejalan dengan teori pembelajaran berjenjang (scaffolding learning) yang menyesuaikan beban spiritual dengan kesiapan psikologis dan mental siswa.

Karismatik: Proses ini menumbuhkan bhakti dan keteguhan karakter Sisya melalui laku nyata.

Estetik: Brata yang dijalankan penuh kesadaran menciptakan aura kesucian dalam laku hidup.

8. Mendorong Pemanfaatan Waktu Luang dengan Eling, Japa, atau Pranayama

Waktu dalam Hindu dipandang sebagai kala suci—setiap detik merupakan kesempatan mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui praktik eling, japa (pengulangan nama suci), dan pranayama (pengaturan napas), Guru Waktra menanamkan kebiasaan meditatif mindfulness dalam kehidupan Sisya.

> Ilmiah: Praktik ini sesuai dengan prinsip neuroplasticity—pengulangan aktivitas positif secara sadar akan membentuk pola pikir dan perilaku baru.

Karismatik: Guru membangkitkan semangat disiplin batin yang tidak tergantung ruang-waktu.

Estetik: Pranayama dan japa menumbuhkan irama batin yang harmonis antara nafas, pikir, dan semesta.

9. Mendorong Sisya Memanfaatkan Setiap Pertemuan dengan Ida Nabe secara Etis

Bertemu Ida Nabe bukan hanya kesempatan fisik, tapi momen teologis—pertemuan dengan perwujudan dharma hidup. Guru Waktra mendorong Sisya untuk selalu siap secara mental dan satvika dalam menyambut pewarah-warah Ida Nabe, dengan tetap menjaga tata krama, wicara, dan sikap tubuh.

> Ilmiah: Mengembangkan kecerdasan sosial-spiritual (SQ) dan nilai respectful engagement antara murid dan guru.

Karismatik: Menumbuhkan rasa suci (sacredness) dalam perjumpaan.

Estetik: Sikap etika dan kesopanan membentuk keindahan dalam interaksi spiritual.

10. Mendorong Sisya Melaksanakan Petunjuk Ida Nabe dengan Taat, Tertib, dan Tepat Waktu

Disiplin dalam melaksanakan petunjuk adalah bentuk konkret dari śraddhā (keyakinan) dan bhakti (pengabdian). Guru Waktra mengajarkan bahwa spiritualitas bukanlah teori, tetapi praktik dan seva (pelayanan) melalui ketaatan dalam waktu dan aturan.

> Ilmiah: Disiplin waktu dan kepatuhan berkontribusi dalam pembentukan karakter dan keberhasilan pembelajaran spiritual.

Karismatik: Ketekunan mencerminkan transformasi jiwa menuju satya dan dharma.

Estetik: Tertib dan taat waktu menciptakan keteraturan hidup yang memancarkan keselarasan.

Kelima poin di atas menggambarkan peran Guru Waktra sebagai jembatan suci antara ajñāna (ketidaktahuan) dan jnana (pencerahan). Pendidikan yang dibangun bukan semata intelektual, melainkan transformasional dan adhyatmika, mempertemukan ilmu, nilai, dan penghayatan. Dalam konteks ini, setiap tugas Guru Waktra adalah wujud nyata dari upaya luhur menciptakan generasi spiritual yang berkarakter, sadar diri, dan menyatu dalam kesadaran Brahman.

> “Guru Waktra bukan hanya pengajar, melainkan pembentuk jiwa, pembakar kegelapan, dan penjaga terang dalam perjalanan menuju moksha.”

11. Melatih Penerapan Mantram dan Tikas pada Setiap Yadnya dalam Pelayanan Masyarakat (Nglokapalasraya)

Tugas ini menunjukkan bahwa Guru Waktra tidak hanya membimbing secara kontemplatif tetapi juga aktif dalam karmayajña (pelayanan sosial religius). Pelatihan mantram dan tikas pada setiap upacara yadnya menjadi bentuk internalisasi spiritual melalui aksi. Tugas ini sangat krusial dalam membentuk Sisya yang tidak hanya tahu secara teori, tetapi mampu melayani dengan suci dan tepat sesuai jenjangnya.

Ilmiah: Menunjukkan pendekatan experiential learning—belajar melalui praktik langsung dalam konteks ritual.
Karismatik: Menghidupkan vibrasi spiritual melalui suara (nada suci) dan gerak (mudra) dalam pelayanan.
Estetik: Penerapan mantram dan tikas menciptakan taksu upacara yang hidup, indah, dan sakral.


12. Memberi Bimbingan dalam Setiap Pertemuan agar Sisya Rajin Bertanya dan Tekun

Interaksi Guru-Sisya tidak dibatasi ruang formal. Bahkan setiap pertemuan adalah kṣaṇa suci (momen ilahi) yang penuh makna. Dorongan kepada Sisya agar aktif bertanya menciptakan budaya inquiry-based spirituality—di mana bertanya bukanlah keraguan, melainkan tanda haus akan pencerahan.

Ilmiah: Selaras dengan prinsip student-centered approach yang memfasilitasi keaktifan peserta didik.
Karismatik: Guru menjadi inspirator yang membangkitkan keberanian berpikir dan bertindak suci.
Estetik: Tatap muka yang sarat nilai dan makna menjadi keindahan komunikasi batin yang tak terucap.


13. Mendorong dan Membangkitkan Sisya untuk Mengungkap Jati Diri

Atma-vidya (pengetahuan tentang diri) adalah puncak pendidikan rohani. Guru Waktra berperan sebagai cermin batin, yang membimbing Sisya menemukan siapa dirinya dalam konteks kosmik—bahwa Jati Diri bukanlah ego, melainkan kesadaran akan kediriannya sebagai percikan Brahman.

Ilmiah: Sejalan dengan konsep self-discovery education, yang menekankan kesadaran diri sebagai dasar pengembangan karakter.
Karismatik: Guru menuntun dengan cinta, bukan memaksa; membangkitkan kesadaran, bukan menggurui.
Estetik: Proses pencarian jati diri adalah seni jiwa; perjalanan sunyi yang anggun dan penuh makna.


14. Bertugas sebagai Narasumber dan Pembina saat Penilaian Sisya oleh Ida Nabe Senior

Guru Waktra memiliki tanggung jawab intelektual dan moral dalam proses evaluasi spiritual. Fungsi sebagai narasumber (bukan sekadar penonton) pada saat upacara kenaikan jenjang Sisya menandakan perannya sebagai penjaga kualitas dan kesinambungan silsilah kerohanian. Dalam konteks ini, kehadiran Guru Waktra adalah bentuk pramana (otoritas sah) yang menyaksikan pertumbuhan rohani Sisya.

Ilmiah: Sejalan dengan prinsip authentic assessment dan multi-perspective evaluation.
Karismatik: Guru hadir sebagai saksi suci yang mendorong Sisya menuju jenjang lebih tinggi.
Estetik: Keterlibatan Guru menciptakan kesinambungan nilai dan keindahan tradisi spiritual dalam alur hidup Sisya.


15. Bertanggung Jawab terhadap Kemajuan Sisya sesuai Jenjangnya

Tanggung jawab bukan sekadar administratif, melainkan adhyatmika yagna—pengorbanan batin Guru dalam melihat tumbuhnya kesadaran Sisya. Guru Waktra harus memahami potensi, dinamika, dan hambatan yang dihadapi setiap Sisya sesuai tingkatannya. Ini memerlukan ketelatenan, kasih sayang, dan keikhlasan total.

Ilmiah: Konsep ini beririsan dengan personalized learning yang mengedepankan perkembangan individu.
Karismatik: Guru menjadi pilar kepercayaan, tempat Sisya berlindung dan tumbuh.
Estetik: Hubungan spiritual ini memancarkan kemuliaan seperti bunga mekar di taman batin dharma.


🌺 Penutup: Guru Waktra sebagai Pelita Jiwa

Secara keseluruhan, lima tugas ini menegaskan bahwa Guru Waktra bukan hanya pengajar teks, tetapi penjaga api kesucian. Ia menjadi jembatan antara cita dan cita, antara kegelapan batin dan terang jnana. Dalam sistem nilai Hindu, Guru Waktra adalah perwujudan sinergi antara vidya (ilmu), karuna (belas kasih), dan tapasya (kesungguhan).

Guru Waktra adalah sang pemahat batin. Sisya adalah batu tak berbentuk. Melalui mantram, pembinaan, dan cinta kasih—lahirlah arca suci bernama Kesadaran Diri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar