Oleh: I Gede Sugata yadnya Manuaba
Dalam geguritan ki Dalang tangsub (griya agung bangkasa) sang pencetus desa Bongkasa dalam pupuh ginada:
De ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu buka katah
Yadin ririh liu nu peplajahan
Yang kira-kira artinya (dari berbagai sumber):
Jangan mengira dirimu sudah pintar
Biarlah orang lain yang menilai diri kita/menyebutnya demikian
Ibarat kita menyapu
Sampah akan ada terus menerus
Kalaupun sudah habis, masih banyak debu
Biarpun kamu sudah pintar, masih banyak hal (yang harus dipelajari)
Dalam pandangan saya, lagu ini begitu polos, lugu, apa adanya, namun penuh makna. mengungkap bahwa para ilmuwan hebat justru sangat nyaman merasa bodoh. Bukan karena rendah diri, tapi karena kebodohan (dalam arti ketidaktahuan yang produktif) membuka ruang untuk penemuan dan eksplorasi. Stuart Firestein bahkan menyebut “ignorance” sebagai bahan bakar utama dari semua penemuan besar dalam sains.
Saat seseorang bertanya, “ngerti gak?” kita cenderung menjawab “ngerti dong” meskipun dalam hati sebenarnya setengah ragu. Jawaban itu bukan soal kebenaran, tapi refleks sosial yang tertanam kuat: kita takut terlihat bodoh. Masalahnya, saat otak berhenti jujur soal ketidaktahuan, saat itu juga kemampuan belajar melambat.
Lihatlah cara anak kecil belajar. Mereka tidak segan bertanya hal paling sepele sekalipun. Tapi semakin dewasa, kita menyembunyikan pertanyaan demi terlihat cerdas. Akibatnya, kita tumbuh dengan wawasan tipis yang disusun dari asumsi, bukan dari eksplorasi dalam.
Kebodohan diartikan sebagai ketidaktahuan aktif
Dalam buku Ignorance, Firestein menjelaskan bahwa kebodohan ilmiah bukan tentang tidak tahu dan pasrah, tapi justru tentang tahu bahwa tidak tahu, dan menganggap itu sebagai pintu. Misalnya, penemuan DNA tidak lahir dari pengetahuan sempurna, tapi dari kejujuran akan kebingungan tentang struktur kimia kehidupan.
Orang jenius mencintai pertanyaan lebih dari jawaban
Einstein punya kutipan yang terkenal: I have no special talents. I am only passionately curious. Bagi Einstein, yang penting bukan seberapa banyak kamu tahu, tapi seberapa dalam kamu mempertanyakan apa yang belum kamu mengerti. Orang jenius tidak malu mengulang pertanyaan dasar. Justru di situlah mereka menemukan celah yang luput dari orang yang “sok tahu”.
Merasa bodoh adalah sinyal kamu sedang berada di zona tumbuh
Dalam esainya, Schwartz menulis bahwa saat mahasiswa baru merasa bodoh saat masuk lab riset, itu pertanda mereka sedang ada di batas kemampuan lama menuju kemampuan baru. Ketika kamu benar-benar paham sesuatu, kamu tahu di mana letak tidak tahumu. Ini disebut dengan conscious ignorance.
Malu terlihat bodoh justru membuat kamu stagnan
Kebanyakan orang belajar hanya sampai tahap “tahu cukup buat nggak kelihatan bodoh”. Tapi cara berpikir seperti ini membuatmu terjebak di zona aman dan tidak berkembang. Orang jenius tidak cari pengakuan, mereka cari pemahaman.
Semakin kamu sadar kebodohanmu, semakin kamu bisa memetakannya
Peta pemahaman dibangun bukan dari “apa yang kamu tahu”, tapi dari “apa yang kamu tahu bahwa kamu belum tahu”. Dengan menyadari wilayah ketidaktahuanmu, kamu bisa menarget belajar secara lebih tajam dan mendalam.
Jadi, kalau kamu merasa bodoh saat membaca topik baru, itu bukan kelemahan. Itu sinyal bahwa otakmu sedang membuka pintu. Jenius bukan tentang tahu segalanya, tapi tentang bersahabat dengan ketidaktahuan dan menjadikannya bahan bakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar