(Mari belajar mematuhi aturan
Agar tidak menjadi bagian perusak tatanan)
OLEH:
IDA SINUHUN SIWA PUTRI PRAMA DAKSA MANUABA
[…] yadin pagata ni wangsanya ikang kapangguh, phalanya nana, witan ikang suka kagawe de mami makadi niyama warabrata […]
Jika putus keturunannya itu, segala pahala [tapanya] tidak didapat, awalnya kesenanganlah yang saya perbuat seperti Niyama Warabrata [band. Zoetmulder, 2005: 44].8
Seseorang dituntut agar memiliki keturunan sehingga pahala dari tapanya berhasil dinikmati. Jika tidak, konon orang itu tidak berhak menikmati hasilnya.
Setiap agama pasti memiliki orang suci sebagai penuntun dan pencerah dalam pendakian spiritual masing-masing umat. Tidak terkecuali umat Hindu, yang juga memiliki orang suci dan biasa disebut sebagai sulinggih. Seseorang yang menjadi sulinggih telah melewati proses dwijati atau diksa yakni lahir untuk kedua kalinya. Lahir pertama secara biologis, dan lahir kedua secara spiritual.
Meski semua orang berhak menjadi seorang sulinggih, namun ternyata itu tidak mudah seperti yang dibayangkan. Mereka yang ditempatkan mulia di antara umat itu, memiliki tanggung jawab berat sebagai orang suci. Banyak pantangan yang harus diikuti, serta harus menjauhkan diri dari ikatan, nafsu dan duniawi.
Untuk dapat didiksa menjadi seorang sulinggih, umat yang telah melalui proses tingkatan kawikon harus masuk ke dalam pasemetonan, maksimal selama tiga tahun. Hal ini dikecualikan untuk calon sulinggih yang nyambung rah (keturunan darah langsung) putra seorang sulinggih yang menggantikan tugas orang tuanya semasih beliau nyeneng.
Nyambung Rah, ada nyambung rah masih utuh atau sekantun nyeneng, jika Nabe Lanang atau Nabe Istri masih ada, tetapi sudah ada pengganti karena merasa sudah tidak mampu melayani umat setiap hari. Ada juga disebut nyambung rah saat salah satu Nabe masih ada/nyeneng serta ada juga nyambung rah ketapak antuk daksina lingga sewaktu layon Sang Nabe masih di Bale Cemanggen, yang proses penapakannya di diambil alih atau dibantu oleh para sulinggih yang selevel dengan Nabenya.
Istilah Nyambung Griya disebutkan ketika Nabe Lanang dan Istri dalam garis keturunan darah langsung sudah tidak ada lagi atau garis kasulinggihan pernah putung. Jadi nyambung griya itu melanjutkan keberlangsungan griya dengan nunas penabean yang baru terhadap sulinggih atau nabe yang masih nyeneng.
Sedangkan istilah nglimbakang atau ngembangan griya disebutkan bagi sulinggih yang baru dan menempati pasraman atau griya baru serta memilih nabe baru.
#Sulinggih adalah orang yang diberikan kedudukan mulia karena kesucian diri dan perilaku luhurnya.
Sulinggih merupakan orang suci yang kedudukannya dimuliakan oleh umat Hindu. Jika ditilik berdasarkan arti katanya, Su berarti baik, mulia atau utama. Sedangkan linggih berarti tempat atau kedudukan. Sehingga sulinggih bermakna mendapat kedudukan mulia di masyarakat.
Mereka dimuliakan karena telah melalui proses upacara diksa atau dwijati, yakni lahir sebanyak dua kali. Lahir pertama adalah lahir secara biologis dari rahim ibu. Sedangkan lahir kedua adalah lahir dari proses spiritual. Lahir kedua ini dianggap sebagai penyucian lahir bathin, agar sulinggih disebut sebagai orang suci.
Sulinggih sebenarnya seorang Brahmana (Salah satu golongan dari Catur Warna yang memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan maupun pengetahuan Ketuhanan untuk mencerahkan spiritual umat Hindu). Nama sulinggih ada banyak. Seperti Ida Pedanda, Ida Pandita, Ida Dukuh, Ida Sri Mpu, Ida Rsi, Ida Bhagawan, dan sebagainya. Nama kesulinggihannya biasanya berkaitan dengan nama keluarga besar.
#Sulinggih memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang berat
Apabila seorang walaka (Manusia biasa) ingin meningkatkan diri menjadi sulinggih, harus menyadari betul tahap yang akan ditempuh dan kewajiban-kewajibannya setelah dikukuhkan menjadi seorang Brahmana. Hanya dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi pada dirinya, maka sulinggih bisa menjadi seorang Brahmana sejati.
Adapun beberapa kewajiban sulinggih, mengutip dari buku berjudul “Pedoman Calon Pandita dan Dharmaning Sulinggih (Wiku Sesana)” karya Gede Sara Sastra, yaitu:
Arcana: memuja Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa setiap hari, seperti Surya Sewana (Pemujaan setiap pagi saat matahari terbit)
Adhyaya: tekun belajar, mendalami Kitab Suci Weda, Tattwa, tutur-tutur dan sebagainya
Adhyapaka: mengajarkan tentang kesucian, kerohanian, keagamaan, kesusastraan, serta bimbingan rohani lainnya
Swadhyaya: rajin belajar sendiri mengulangi pelajaran-pelajaran terutama yang diberikan oleh Nabe-nya
Dhyana: merenungkan Brahman (Tuhan) dan hakikat yang dipuja.
Sulinggih memiliki beberapa tugas, di antaranya:
Surya Sewana, yaitu pemujaan kepada Sang Hyang Widhi setiap pagi (Saat matahari terbit)
Memimpin upacara Yadnya
Ngelokapalaraya, yakni membina dan menuntun umat di bidang agama dan spiritual
Melayani umat yang memerlukan tuntunan
Menerima punia dari umat
Memberi teladan dan contoh kepada umat.
#Sulinggih memiliki banyak pantangan. Mulai dari tidak boleh memamerkan kepandaian, mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya, hingga tidak boleh makan daging babi peliharaan
Sulinggih memiliki banyak pantangan atau larangan perilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Yaitu:
Tidak membunuh
Tidak berdusta dan memfitnah
Tidak bertengkar
Tidak memamerkan kepandaian
Tidak mencuri atau memperkosa hak milik orang lain bila tidak mendapat persetujuann dari kedua belah pihak
Tidak berkata-kata yang tidak selayaknya, kotor, dan pedas hingga menyakiti telinga
Tidak boleh berkata-kata sambil memaki sumpah serapah
Tidak boleh berhasrat jahat pada orang lain
Tidak boleh mengadakan hubungan seks apabila bukan istrinya
Tidak boleh mengadakan pertemuan dengan istrinya pada hari-hari terlarang
Tidak boleh melakukan jual beli atau berdagang
Tidak boleh terlibat hutang piutang
Tidak boleh segala usaha mencari keuntungan
Tidak boleh mengambil hak milik orang lain dengan memaksa
Tidak boleh mementingkan diri sendiri
Tidak boleh marah atau bersifat pemarah
Tidak boleh ingkar dan mengabaikan kewajiban
Tidak berzina (Selingkuh)
Tidak boleh memerintahkan mencuri
Tidak bersahabat dengan pencuri, tidak memberikan tempat pada pencuri, termasuk tidak memberikan makan dan minum, memberi pertolongan dan tidak menerima hasil pencurian
Tidak boleh mengendarai sepeda motor atau mobil (Pegang setir sendiri)
Tidak boleh makan daging babi peliharaan (Celengwanwa)
Tidak boleh makan ayam di desa (Ayamwanwa)
Tidak boleh makan daging binatang buas, binatang berkuku satu, dan binatang berjari lima
Tidak boleh makan ikan yang terlalu besar dan ikan yang buas
Tidak boleh makan sisa-sisa makanan yang telah dimakan, makanan yang disentuh atau diletakkan di bawah benda-benda yang tidak suci
Tidak boleh minum minuman keras, semua jenis susu dari binatang buas, serta susu kental sisa sapi yang habis menyusui
Dilarang menempati tempat atau tanah terlarang
Tidak boleh mengadakan perjudian
Tidak boleh mengunjungi tempat perjudian, rumah tukang potong, tempat pelacuran, dan tempat sejenis.
Serta pantangan lainnya yang jauh dari kebenaran dan kesucian.
#Syarat-syarat menjadi sulinggih berdasarkan Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa:
Seseorang yang ingin menjadi sulinggih harus melalui proses berguru (Aguron-guron) lebih dulu. Ia berguru pada seorang nabe (Guru) yang sudah berstatus sulinggih. Biasanya sulinggih yang dijadikan nabe adalah sulinggih senior, pengetahuan agama dan Ketuhanannya sudah dalam, paham Weda, serta teguh melaksanakan Dharma Sadhana (Jasa, amal, dan kebajikan).
Namun nabe juga tidak akan sembarangan dalam menerima murid, karena tanggung jawabnya juga berat. Dalam Ketetapan Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia II Nomor V/Kep/PHDIP/68, dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh PHDI, sekaligus juga berdasarkan Lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu yang telah memenuhi syarat-syarat seperti di bawah ini:
Laki-laki yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Sukla Bramhacari)
Perempuan yang sudah menikah dan yang tidak menikah (Kanya)
Pasangan suami istri
Minimal usia 40 tahun
Paham dengan Bahasa Kawi, Sansekerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, dan pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
Sehat lahir bathin dan berbudi luhur
Berkelakuan baik, tidak tersangkut perkara pidana
Tidak terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan
Mendapat tanda kesediaan dari calon nabenya yang akan menyucikan.
Baca Juga: 12 Pepatah Bahasa Bali Tentang Kehidupan, Jangan Dilupakan Ya
*Tambahan :*
1. Calon Diksita Taat dan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa lan Kawitan, baik secara Dharma Agama dan Negara.
2. Tidak tersangkut Hutang - Piutang secara Formal, In Formal, Non Formal.
3. Tidak tersangkut Pidana baik secara Hukum Negara, Adat dan Agama.
#Dalam beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda
Meskipun dalam syarat-syarat tersebut menyebutkan minimal berusia 40 tahun, namun pada beberapa kasus ada juga sulinggih yang didiksa di usia muda.
Itu tergantung keberanian nabenya. Apabila nabe memandang bahwa itu sudah cukup, maka siswa akan dilahirkan melalui upacara diksa atau dwijati. Kalau belum, akan sampai lama. Di sini nabe yang punya kewenangan.
Menurutnya, dalam Kitab Manawa Dharmasastra, proses siswa berguru pada nabenya paling lama 10 tahun. Namun paling cepat ada yang setahun atau dua tahun. Di sini, faktor nabe juga sangat menentukan. Itu sebabnya peran dan tanggung jawab nabe juga sangatlah berat.
Nabe tidak mau menerima sembarang murid karena tanggung jawabnya berat. Apa yang menjadi kesalahan murid, kemudian berbagai hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai murid, nabe yang paling pertama bertanggung jawab bila murid melakukan kesalahan. Tanggung jawabnya adalah dengan membina atau mencabut kesulinggihannya. Itu nabe yang punya wewenang.
#Jika dirasa sudah cukup, maka sang guru akan mengajukan muridnya untuk dilakukan upacara diksa menjadi sulinggih, dengan persetujuan dari keluarganya
Setelah proses bergurunya dianggap layak menjadi sulinggih, maka calon diksa mengajukan permohonan untuk melakukan upacara diksa. Prosedur administrasi untuk melakukan diksa ini ditujukan kepada PHDI setempat. Selambatnya tiga bulan sebelum melakukan upacara diksa. Syarat yang perlu dilengkapi harus sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh PHDI.
Pertama harus ada persetujuan keluarga. Keluarga kecil dulu, setelah itu keluarga besar. Lalu syarat lainnya ada kelakuan baik, tidak pernah dihukum, tidak cacat. Tidak dalam status perkara atau masih ada status perkara. Paham tentang sastra, kitab suci dan teknologi. Wajib bisa baca tulis karena beliau nantinya harus nyastra.
Setelah mendaftar, calon sulinggih wajib memiliki tiga nabe. Yakni Nabe Napak, Nabe Waktra, dan Nabe Saksi. Nabe Napak sebagai nabe yang melahirkan, Nabe Waktra yang memberi wejangan, dan Nabe Saksi yang mengamati serta menyaksikan proses kelahiran siswanya menjadi seorang sulinggih.
Waktu mendaftar ke PHDI, calon diksa baru memiliki Nabe Napak saja. Setelah mengajukan permohonan ke PHDI, Nabe Napak selanjutnya menentukan dua nabe lainnya yang dikehendaki. Setelah permohonan diterima PHDI, kemudian PHDI yang koordinasi ke panitia untuk melaksanakan diksa pariksa. Semacam uji lisan baik dari sisi integritas, komitmen, kesungguhan, kesucian, perilaku, psikologi, semuanya dites.
Dari proses diksa pariksa dan jawaban yang diberikan oleh calon diksa, ketiga nabe kemudian rembug untuk memutuskan apakah calon diksa layak didiksa atau ditunda karena kemampuannya dipandang belum cukup. Jika nabe memutuskan calon diksa layak untuk dilakukan upacara diksa, maka selanjutnya proses madiksa bisa dilakukan pada hari baik yang telah ditentukan.
Jika misalnya calon diksa masih dinilai belum layak, maka untuk sementara ditunda sampai beliau bisa memenuhi syarat kembali. Berikutnya laksanakan lagi ulang diksa pariksa. Bila nabe berani memutuskan, maka hasilnya diumumkan kepada umat yang menyaksikan bahwa calon sulinggih sekarang ini bisa dilanjutkan untuk pelaksanaan upacara madiksa.
#Setelah didiksa, akan diberikan SK oleh PHDI. Namanya kemudian diganti (abhiseka) dengan nama kesulinggihan yang diberikan oleh sang nabe
Setelah lulus diksa pariksa, kemudian calon diksa menjalani upacara pada hari baik yang telah ditentukan. Secara umum, pelaksanaannya dimulai dari berkunjung ke rumah nabe (Mapinton) dengan membawa upakara-upakara sebagaimana mestinya. Dilanjutkan dengan pamitan pada keluarga, serta melakukan pembersihan diri.
Pada upacara puncak, calon diksa akan menjalani proses seda raga (Mati raga) yang berlangsung sehari sebelum upacara diksa. Pada dinihari setelah menjalani amati raga, calon diksa kemudian dimandikan dan diberikan pakaian serba putih. Selanjutnya melakukan pemujaan yang dipimpin oleh nabe.
Begitu upacara diksa selesai, barulah diberikan Surat Keputusan (SK) bahwa benar yang bersangkutan telah menjalani proses diksa atau dwijati dan namanya terdaftar di PHDI. Sejak saat didiksa, namanya sudah berubah dari nama walaka (Nama sewaktu menjadi manusia biasa) menjadi nama sulinggih yang diberikan oleh nabenya.
“SK ini dibacakan oleh PHDI sekaligus memberikan dharma wacana. Setelah dibacakan keputusan itu, ada tembusannya kepada PHDI Kabupaten/Kota, Bali, dan Pusat, Kanwil Agama, Gubernur Bali, dan Bupati/Walikota se-Bali. SK itu dikirim dan nanti tercatat di bagian Kesra Kabupaten/Kota dan ditembuskan ke Provinsi,” kata Sudiana.
#Sulinggih melakukan diksa wajib diketahui oleh PHDI. Jika tidak, maka prosesnya dianggap melalui jalur di luar formal
Secara formal, lembaga yang berwenang hanya PHDI. Bila ada lembaga lain yang melakukan, ya tidak formal itu. Proses diksa wajib melalui PHDI.
#Jika melakukan pelanggaran hukum dan pantangan, sang nabe berwenang untuk mencabut status kesulinggihannya
Menjadi sulinggih sangatlah berat. Karena sulinggih dianggap mewakili Tuhan dalam wujud sebagai orang suci. Sulinggih sudah menjauhi ikatan, nafsu, dan duniawi. Apabila tidak memiliki jiwa seperti itu, mungkin akan sangat berat.
Bila ada kasus yang melibatkan sulinggih, itu sangat sensitif. Apalagi kasusnya berat, kita khawatir nanti masyarakat tidak respect kepada sulinggih. Beliau adalah rohaniawan yang sangat dihormati. Jika masyarakatnya cerdas, tentu bisa memilah, tidak menggeneralisir (Menggeneralisasi).
Dengan Iptek/logika hidup jadi mudah,
Dengan Agama/dharmika hidup jadi terarah,
Dengan Seni Budaya Spiritual/adhyatmika hidup jadi indah.
Ketiga aktivitas ini selalu ada di Grya Agung Bangkasa,... Astungkara, Swaha
#tubaba@griyangbang//jalursulinggih//nyambungrah//nyambunggriya//menghindariwikupegatwangsa#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar